BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kampus adalah satu ikon penting sebagai tempat berlangsungnya pendidikan. Tak salah jika kampus dianggap sebagai tempat belajar yang cukup kompeten karena
mahasiswa bisa menggantungkan impian, cita-cita dan masa depan. Ruang kuliah diklaim sebagai terminal ilmu, di mana mahasiswa tak sekedar datang untuk kuliah, ujian dan
kumpul tetapi kampus menjadi agen pengembangan bakat dan penanaman nilai-nilai, sehingga dari ruang kuliah dan berbagai kegiatan kampus itu diharapkan akan lahir
mahasiswa yang kreatif, kritis, bertanggung jawab dan bermoral. Mahasiswa yang tengah mengenyam pendidikan tinggi selayaknya tidak sekedar masuk
kuliah atau mengikuti ujian sebagai syarat kelulusan. Mereka yang akan segera terjun ke masyarakat untuk menerapkan ilmu yang dimiliki, tentu diharapkan juga bisa
mengembangkan diri agar bisa menjadi sarjana yang berkualitas, kreatif, kritis dan bertanggung jawab. Pandangan masyarakat bahwa label pendidikan gelar dan nama
Perguruan Tinggi adalah suatu gengsi menimbulkan orientasi prestisius dalam benak mahasiswa.
Seiring laju globalisasi yang begitu pesat, berbagai permasalahan muncul dalam dunia Pendidikan Indonesia. Disadari atau tidak, semakin hari generasi muda mengalami
kemerosotan moral dan intelektualitas. Berita-berita tentang kasus kriminal yang dilakukan oleh mahasiswa hingga siswa Sekolah Dasar sudah biasa kita dengar, baca dan
simak di berbagai media informasi. Pergaulan bebas dan pola hidup hedonis menjadi
Universitas Sumatera Utara
kehidupan yang identik dengan dunia kampus. Dari bangku kuliah itu ternyata tak semua mahasiswa bisa menangkap transformasi ilmu dan nilai-nilai yang ditanamkan. Banyak di
antara mereka yang justru terjebak pada perilaku tak bertanggung jawab. Tidaklah mengherankan kalau ada mahasiswa yang ternyata bermoral bejat, pecandu minuman
keras dan narkoba, bahkan ada juga yang melacurkan diri atau dikenal dengan sebutan ayam kampus. Kenyataan itu tak sekedar isapan jempol, karena munculnya istilah seperti
ayam kampus mahasiswi yang nyambi jadi pelacur atau pelacur yang nyambi kuliah dan gigolo adalah bukan rahasia lagi. Hal-hal tersebut telah menjadikan kampus yang adalah
tempat pendidikan kemudian memiliki stigma miring dan sisi gelap. Triwikromo, Triyanto. 2003.
Hasil penelitian dari Citizen Reporter Boraq Cambuq yang telah melakukan investigasi akhir tahun lalu mengenai penyimpangan perilaku anak kampus di sejumlah
perguruan tinggi berhasil mewawancarai sejumlah mahasiswi yang mengaku melakukan pekerjaan sampingan demi mendapatkan hidup yang lebih nyaman dan mudah. Sebuah
fenomena yang selalu memprihatinkan tentu saja, meski bukan hal yang baru. Menurut banyak ahli, pelacuran memiliki beberapa komponen. Paling tidak
memiliki 4 komponen utama yaitu : 1.
Adanya perselingkuhan 2.
Adanya pembayaran tidak harus uang 3.
Adanya perbedaan tujuan 4.
Adanya unsur kehidupan Koentjoro, 2003
Universitas Sumatera Utara
Setiap perbuatan senantiasa mempunyai latar belakang. Keterlibatan mahasiswi–mahasiswi dalam bisnis seks itu tidak terlepas dari susunan kejiwaan dan
lingkungan yang mempengaruhinya. Permasalahan ini dapat dilihat dari 2 faktor, yaitu : 1.
Faktor dari dalam diri mahasiswi internal Faktor dari dalam diri mahasiswi ini berkaitan erat dengan keberadaan
dirinya, yaitu keadaan badan dalam perkembangan dan keadaan kejiwaannya. Dari keadaan badan maupun jiwa yang tidak sehat dapat membawa mahasiswi ke arah
perbuatan yang tidak baik dan jiwa yang tidak sehat akan tercermin dari tingkah laku atau perbuatan yang tidak baik pula.
2. Faktor dari luar diri mahasiswi eksternal
Faktor ini erat hubungannya dengan perkembangannya. Sehingga apabila faktor ini kurang baik, kemungkinan besar para mahasiswi akan berkarakter dan
bermental kurang baik pula. Seperti kita ketahui di dalam kehidupan mahasiswi terdapat wadah–wadah yang dapat dipakainya untuk mengembangkan
kepribadiannya. Wadah–wadah tersebut antara lain adalah lingkungan keluarga, lingkungan kampus dan lingkungan masyarakat.
Masalah keterlibatan mereka saat ini dalam bisnis seks merupakan suatu masalah yang menarik untuk dibicarakan dan menjadi pembahasan atau diskusi yang
hangat dewasa ini. Keprihatinan yang amat mendalam terhadap perilaku generasi muda yang
belajar disebuah kota pendidikan, yang katanya kaum terpelajar, harapan bangsa, yang diharapkan dan dibanggakan orangtuanya malah menjadi kaum yang kurang ajar, rentan
tergelincir oleh godaan seks, materialisme, dengan segala simbol dan variasinya. Lebih–
Universitas Sumatera Utara
lebih jika dikaitkan dengan posisi sosial keagamaannya, tampak lebih memprihatinkan lagi bahwa ternyata agama belum bisa dimanfaatkan sebagai benteng pertahanan moral
secara optimal. Memang tidak bisa dipungkiri, praktik pelacuran telah menjadi salah satu pusat pertumbuhan sosial dan ekonomi. Karenanya tidaklah aneh jika kompleks
pelacuran bisa berfungsi sebagai social atau economic generator. Wijayanto, Iip. 2003 : 8
Mengenai isu
ayam kampus itu sendiri, seorang wartawan majalah Matra pernah melakukan investigasi di Yogyakarta pada tahun 1989, ditemukan bahwa ternyata
banyak faktor yang menyebabkan ayam–ayam kampus itu menjajakan tubuhnya. Namun satu alasan menarik yang diucapkan oleh mereka adalah bahwa menjadi pelacur
mahasiswa di Yogya itu menyenangkan, bahkan banyak terjadi migrant prostitute yaitu pada hari tertentu mahasiswi Yogya melacur di Jakarta Semarang, mahasiswi Malang
melacur ke Yogya Wijayanto, Iip. 2003:15. Meneliti
ayam kampus menyangkut masalah moral dan pribadi seseorang. Kerapkali ditemukan banyak ayam kampus yang memberikan keterangan palsu. Secara
psikologis, hal ini sebenarnya awal dari kondisi masalah atau multiple personality yang sering dialami pelacur. Menjadi pelacur untuk kondisi Indonesia jelas sangat tidak
diterima oleh masyarakat. Melacurkan diri berarti melakukan sesuatu yang melanggar norma dan membuat aib keluarga. Kondisi ini membuat pelacur menjadi imbalance tidak
seimbang, padahal orang hidup selalu mencari keseimbangan balance. Dan agar kondisi mereka tetap balance seimbang, biasanya mereka menjadi orang dermawan,
menjalankan agamanya dengan baik, menciptakan tipuan dan dunia khayal lainnya. Wijayanto, Iip. 2003 : 12
Universitas Sumatera Utara
1.2. Perumusan Masalah