Tafsir Ayat Tafsir Surat Luqman Ayat 12-19 dan Surat ‘Abasa Ayat 1-10

“Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, dalam keadaan dia menasihatinya: Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kezaliman yang besar. Ayat di atas melukiskan suatu pengalaman hikmah oleh Luqman dan mencerminkan kesyukuran atas anugrah dari Allah, serta pengajaran kepada anaknya. Diperintahkan kepada Nabi Muhammad SAW atau siapa saja untuk merenungkan anugrah Allah kepada Luqman agar mengingat dan mengingatkan orang lain. Ayat di atas berbunyi: Dan ingatlah ketika Luqman bekata kepada anaknya dalam keadaan dia dari saat ke saat menasihatinya bahawa wahai anakku sayang Janganlah engkau mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, dan jangan juga mempersekutukan Allah sedikitpun, baik lahir maupun batin. Persekutuan yang jelas maupun yang tersembunyi. Sesungguhnya syirik adalah mempersekutukan Allah merupakan kezaliman yang besar. Perbuatan seperti itu adalah menempatkan Allah yang sangat agung pada tempat yang sangat buruk. 14 Kata ضع ya’izhuhu terambil dari kata ظع wa’zh yaitu nasihat menyangkut berbagai kebajikan dengan cara yang menyentuh hati. Ada juga yang mengartikannya ucapan yang mengandung peringatan dan ancaman. Penyebutan kata ظع ya’izhuhu sesudah kata dia berkata yaitu untuk memberi suatu gambaran tentang bagaimana perkataan itu Luqman sampaikan kepada anaknnya, yakni tidak membentak, tetapi dengan punuh kasih sayang. Kata ini juga menggunakan bentuk kata kerja masa kini dan masa akan datang, sehingga kata ظع ya’izhuhu mengisyaratkan bahwa nasihat itu dilakukannya dari saat ke saat. Kata َي ب bunayya adalah kalimata yang menggambarkan kemungilan seorang anak. Asal katanya adalah ي ب ibny, dari kata ب ibn yang berarti anak laki-laki. Pemungilan kata tersebut menggambarkan kasih sayang seorang bapak kepada anaknya. Dari sini dapat diambil hikmahnya bahwa 14 Shihab, op. cit., Vol. 11, h. 125. ayat di atas memberi isyarat bahwa mendidik hendaknya didasari oleh rasa kasih sayang terhadap peserta didik. 15 3 Ayat 14 Wajib berbakti dan taat kepada kedua orang tua                   “Dan Kami wasiatkan manusia menyangkut kedua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan kelemahan di atas kelemahan dan penyapiannya di dalam dua tahun: Bersyukurlah kepada- Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu ”. Ayat di atas menunjukkan betapa hormat dan baktinya kepada kedua orang tua yang menempati tempat kedua setelah pengagungan terhadap Allah SWT. Ayat di atas menjelaskan: Dan Kami wasiatkan yakni berpesan dengan amat tegas terhadap semua manusia menyangkut kedua orang ibu-bapaknya; dengan alasan ibunya telah mengandungnya dalam keadaan kelemahan di atas kelemahan, yakni kelemahan yang selalu bertambah. Lalu ibunya melahirkannya dengan susah payah, lalu memelihara dan menyusuinya setiap saat, bahkan di tengah malam ketika orang lain sedang tertidup lelap. Demikian hingga tiba masa menyapikannya dan penyapiannya di dalam dua tahun mulai terhitung sejak kelahirannya. Ini jika orang tuanya ingin menyempurnakan penyusuan. Wasiat kami adalah: Bersyukurlah kepada-Ku Karena Aku yang menciptakan kamu dan yang menyediakan semua sarana kebahagiaan kamu, dan bersyukur pulalah kepada dua orang ibu bapak kamu karena merekalah yang Aku jadikan perantara kehadiran kamu di bumi ini. kesyukuran ini mutlak kamu lakukan karena hanya kepada-Kulah dan tidak kepada selain Aku kembali kamu semua manusia, untuk kamu pertanggungjawabkan kesyukuran itu. 15 Ibid., h. 126-127. Ayat di atas tidak menyebut jasa bapak, tetapi menekankan pada jasa ibu. Ini disebabkan karena ibu berpotensi untuk tidak dihiraukan oleh anak karena kelemahan ibu, berbeda dengan bapak. Peranan bapak dalam konteks kelahiran anak memang lebih ringan jika dibandingkan dengan peranan ibu. Namun, dalam proses kelahiran anak jasa seorang bapak tidak dapat diabaikan. Oleh karena itulah seorang anak berkewajiban berdoa juga untuk bapaknya sebagaimana doa untuk ibunya. 16 Firman Allah SWT, ي ب ف اا َ “Dan Kami perintahkan kepada manusia berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya ”. Kata tersebut merupakan wasiat yang Allah beritakan kepada Lukman dan disampaikan oleh Lukman kepada anaknya. Maksudnya adalah “Janganlah kamu menyekutukan Allah dan janganlah kamu taat kepada orang tuamu dalam hal perbuatan syirik. Karena Allah telah mewasiatkan taat kepada kedua orang tua selama hal-hal tersebut tidak ada kaitannya dengan kesyirikan dan kemaksiatan kepada Allah SWT”. 17 Kata ه ع ه “Dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah”. Maksudnya, seorang ibu mengandung anaknya di dalam perutnya, sedangkan dia sendiri hari demi hari bertambah lemah dalam kondisi fisiknya. Kondisi fisik seorang perempuan itu lemah, kemudian ditambah lemah lagi oleh kehamilannya. 18 Kata ع ي wa fishaluhu fi amain yang berarti dan penyapiannya di dalam dua tahun, mengisyaratkan bahwa penyusuan anak sangatlah penting dilakukan oleh ibu kandung untuk memelihara kelangsungan hidup anak dan untuk menumbuhkembangkan anak dalam kondisi fisik dan psikis yang prima. 19 16 Ibid., h. 129. 17 Al-Qurthubi, op, cit., Jil. 14, h. 153 18 Ibid., Jil. 14, h. 154 19 Shihab, op. cit., Vol. 11, h. 130. 4 Ayat 15 Wajib berbakti dan taat kepada orang tua selama perintahnya tidak menyalahi syariat Islam                                  “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah engkau mematuhi keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembali kamu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan ”. Ayat di atas menguraikan kasus yang merupakan pengecualian menaati perintah kedua orang tua, sekaligus menegaskan tentang keharusan meninggalkan kemusyrikan dalam bentuk serta kapan dan dimanapun. Ayat di atas menyatakan: Dan jika keduanya apalagi kalau salah satunya, lebih- lebih kalau orang lain bersungguh-sungguh memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, apalagi setelah Aku dan rasul-rasul menjelaskan kebatilan dalam mempersekutukan Allah, dan setelah engkau mengetahuinya apabila menggunakan nalarmu, maka janganlah engkau mematuhi keduanya. Namun, janganlah engkau memutuskan hubungan dan tidak menghormati keduanya. Tetaplah berbakti kepada keduanya selama tidak bertentangan dengan ajaran agamamu, dan pergaulilah keduanya di dunia selama keduanya masih hidup dan dalam urusan keduniaan bukan urusan akidah dengan cara pergaulan yang baik, jangan sampai hal ini mengorbankan prinsipmu dalam beragama, oleh karena itulah perhatikanlah tuntunan agama dan ikutilah jalan orang yang selalu kembali kepada-Ku dalam segala urusanmu, karena semua urusan di dunia kembali kepada-Ku, kemudiaan hanya kepada-Kulah juga di akhirat nanti, bukan kepada siapapun selain Aku kembali kamu semua, maka Ku- beritakan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan dari kebaikan dan keburukan yang telah kamu perbuat selama di dunia, lalu masing-masing Aku beri balasan dan ganjaran. Kata كايه ج jahadaka terambil dari kata يهج juhd yang berarti kemampuan. Pilihan kata yang digunakan ayat ini menggambarkan adanya upaya dengan sunguh-sungguh. Apabila upaya sungguh-sungguhpun dilarang, maka dalam hal ini bisa berarti dalam bentuk ancaman. Sehingga terlebih lagi apabila sekedar himbauan atau peringatan. Kata م ٌ ع ب س ا ma laisa laka bihi „ilm yang berarti yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu. Ini berarti tidak adanya pengetahuan tentang kemungkinan terjadinya wujud sesuatu yang dapat dipersekutukan dengan Allah SWT. Jika sesuatu yang tidak diketahui duduk persoalannya boleh atau tidaknya saja sudah dilarang, maka tentunya lebih terlarang lagi apabila telah terbukti adanya larangan atasnya. Bukti tentang keesaan Allah dan tidak ada sekutu bagi Allah sudak terlalu banyak, sehingga penggalan ayat ini merupakan penegasan tentang larangan mengikuti siapapun waluapun kedua orang tuanya dan walaupun dengan memaksa anaknya mempersekutukan Allah SWT. Kata ً ع ma’rufan yang berarti mencakup segala hal yang dinilai baik oleh masyarakat dan selama tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Rasulullah juga memerintahkan agar tetap menjalin hubungan baik, menerima, dan memberi hadiah serta mengunjungi dan menyambut kunjungannya dengan baik. 20 Kata َ ب س ع َ آ “Dan ikutlah jalan orang-orang yang bertaubat kepada- Ku”. Maksudnya adalah berupa wasiat kepada seluruh alam. Namun seakan-akan yang diperintahkan adalah manusia. Kata ب berarti condong dan kembali kepada sesuatu. Inilah jalan para nabi dan orang- orang shahih. 21 20 Ibid., h. 131-132. 21 Al Qurthubi, op, cit., Jil. 14, h. 157. 5 Ayat 16 Kekuasaan Allah yang mutlak dan adanya hari pembalasan                           Wahai anakku, sesungguhnya jika ada seberat biji sawi, dan berada dalam batu karang atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya. Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui ”. Ayat di atas melanjutkan nasihat Luqman kepada anaknya. Pada ayat ini yang diuraikan adalah kedalaman ilmu Allah SWT. Luqman berkata: “Wahai anakku, sesungguhnya jika ada sesuatu perbuatan baik atau buruk walau seberat biji sawi, dan berada di tempat yang paling tersemunyi, misalnya dalam batu karang sekecil, sesempit, dan sekokoh apapun batu itu, atau di langit yang luas dan tinggi, atau di dalam perut bumi yang sedemikian dalamnya sehingga dimanapun keberadaannya, niscaya Allah akan mendatangkannya lalu member perhitungan dan memberinya balasan. Sesungguhnya Allah Maha Halus yang dapat menjangkau segala sesuatu lagi Maha Mengetahui segala sesuatu, sehingga tidak ada satupun yang dapat luput dari Allah SWT. Kata لد خ khardal sebagaimana yang dikutip dalam tafsir al-Mishbah bahwa dalam QS. al-Anbiya ayat 47, Tafsir Muntakhab melukiskan biji tersebut. Dalam kitab tafsir tersebut dinyatakan bahwa 1 kilogram biji khardal terdapat 913.000 butir. Sehingga berat satu butir biji khardal hanya seberat satu per seribu gram, atau kurang lebih seberat 1 miligram, dan merupakan satu-satunya biji-bijian teringan yang diketahui umat manusia sampai sekarang. Oleh karena itu, biji ini sering digunakan dalam al- Qur’an untuk menunjuk sesuatu yang sangat kecil dan halus. Kata ف ط lathif terambil dari kata فط lathafa yang mengandung makna lambut, halus, atau kecil. Dari makna ini kemudian lahir makna ketersembunyian dan ketelitian. 22 Dalam penjelasan tentang dzat dan sifat-sifat Allah SWT. Allah berfirman:            “Dia tidak dijangkau oleh pandangan mata, dan Dia menjangkau segala penglihatan karena Dia Lathif lagi Khabir ” QS. al-An’am [6]: 103. Firman di atas, dijelaskan bahwa Allah tidak dapat dilihat, paling tidak dalam kehidupan di dunia. Nabi Musa as. pernah memohon untuk melihat Allah, namun begitu Allah menampakkan kebesaran dan kekuasaan-Nya atau pancaran cahaya-Nya ke sebuah gunung, gunung tersebut hancur berantakan. Allah juga Latif yang berarti tidak dapat diketahui hakikat dzat dan sifat- sifat-Nya. Kata خ Khabir yang maknanya berkisar pada dua hal, yaitu pengetahuan dan kelemahlembutan. Khabir jika dilihat dari segi bahasa berarti yang mengetahui dan tumbuhan yang lunak. Sementara para mufasirin berpendapat bahwa kata ini terambil dari kata ضرأا ت خ khabartu al- ardha dalam arti membelah bumi. Dari sinilah lahir pengertian “mengetahui”, sampai-sampai yang bersangkutan dalam membahas segala sesuatu sampai dia membelah bumi untuk menemukannya. Sebagaimana yang dijelaskan dalam tafsir al-Misbah bahwasannya al- Ghazali berpendapat, bahwa Allah adalah al-Khabir, karena tidak ada yang dapat bersembunyi dari Allah baik hal-hal yang sangat dalam maupun yang disembunyikan dan tidak ada yang tidak diketahui-Nya baik yang di bumi maupun yang di alam raya. 23 22 Shihab, op. cit., Vol. 11, h. 133-134. 23 Ibid., h. 135-136 6 Ayat 17 Perintah melaksanakan shalat, amar maruf nahi munkar dan bersabar terhadap musibah                    “Wahai anakku, laksanakanlah shalat dan perintahkanlah mengerjakan yang ma’ruf dan cegahlah dari kemungkaran dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal diutamakan. ” Ayat di atas Luqman melanjutkan nasihatnya kepada anaknya. Wahai anakku sayang, laksanakanlah shalat dengan sempurna baik syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, maupun sunah-sunahnya. Dan selain engkau memperhatikan dirimu dan membentengi diri dari kekejian dan kemungkaran, anjurkan juga orang lain untuk melakukan hal yang sama apa yang engkau lakukan. Oleh karena itu, perintahkanlah secara baik-baik siapapun yang mampu engkau ajak untuk mengerjakan yang ma’ruf dan cegahlah mereka dari kemungkaran. Dalam hal ini engkau akan mengalami banyak tantangan dan rintangan dalam melaksanakan perintah Allah, oleh karena itu tabahlah dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu dalam melaksanakan segala tugasmu. Sesungguhnya yang demikian itu sangatlah tinggi kedudukannya dan jauh tingkattannya dalam kebaikan yakni shalat, amr ma’ruf, dan nahi munkar. Dan sesungguhnya kesabaran termasuk hal-hal yang diperintahkan Allah agar diutamakan, sehingga tidak ada alasan untuk mengabaikannya. Luqman menasihati anaknya dengan menyuruh untuk mengerjakan yang ma’ruf, ini mengandung pesan untuk mengerjakannya, karena tidak wajar jika seseorang menyuruh orang lain sedangkan dirinya sendiri belum mengerjakannya. Demikian juga dengan melarang kemungkaran, menuntut agar seseorang yang akan melarang terlebih dahulu mencegah dirinya. Itulah alasan mengapa Luqman tidak memerintahkan anaknya melaksanakan yang ma’ruf dan menjauhi yang mungkar, tetapi Luqman memerintahkan anaknya untuk menyuruh orang lain agar melaksanakan yang ma’ruf dan mencegah orang lain untuk melakukan yang mungkar. 24 Kata َ آ ق َ “Hai anakku, dirikanlah shalat”. Dalam ayat ini Luqman berwasiat kepada anaknya tentang ketaatan yang paling besar, yaitu shalat, menyuruh yang makruf, dan menjauhi yang mungkar setelah dia sendiri melaksanakan yang makruf dan menjauhi yang mungkar. Karena ketaatan dan keutamaan inilah yang paling utama. Kata ب ع آ “Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu”. Ayat ini mengandung anjuran untuk mencegah orang lain melakukan kemungkaran sekalipun akan mendapatkan kemudharatan baginya. Karena orang yang mencegah kemungkaran terkadang akan disakiti. 25 7 Ayat 18-19 Mengajarkan agar tidak sombong, angkuh, tidak membanggakan diri, dan tidak meninggikan suara                                “Dan janganlah engkau memalingkan pipimu dari manusia dan janganlah kamu berjalan di bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah dalam berjalanmu dan lunakkanlah suaramu, sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. ” Ayat di atas nasihat Luqman terhadap anaknya berpesan tentang akhlak dan sopan santun dalam berinteraksi antar sesama manusia. Luqman 24 Ibid., h. 136-137. 25 Al Qurthubi, op, cit., Jil. 14, h. 163. menasihati anaknya dengan berkata: Dan wahai anakku, di samping nasihat- nasihat yang lalu, janganlah juga engkau berkeras memalingkan pipimu yakni wajahmu dari manusia siapapun dia yang didorong oleh penghinaan dan kesombongan. Tetapi tampillah dengan wajah yang rendah hati. Dan bila engkau melangkah, janganlah berjalan di muka bumi dengan angkuh, tetapi berjalanlah dengan lemah lembut dan penuh dengan wibawa. Sesungguhnya Allah tidak menyukai kepada orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan bersikap sederhanalah dalam berjalanmu, yakni jangan membusungkan dada dan merunduk bagaikan orang sakit dalam berjalan. Jangan berlari tergesa-gesa dan jangan juga sangat perlahan menghabiskan waktu. Dan lunakkanlah suaramu sehingga tidak terdengar kasar bagaikan teriakan keledai. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. 26 Kata عَ tusha’ir diambil dari kata عَ ا ash- sha’ar yaitu penyakit yang menimpa leher unta sehingga kepalanya borok dan tegang. Oleh karena itu, hal yang demikian diserupakan dengan orang sombong yang memalingkan wajahnya dari khalayak orang banyak. Ketika dia berkata dengan orang lain, dia memandang orang tersebut hina dan bersikap sombong. Sesungguhnya Allah melarang berbuat hal yang demikian. 27 Kata ضرأا fi al-ardh yang berarti di bumi untuk mengisyaratkan bahwa asal kejadian manusia dari tanah, sehingga seseorang hendaknya jangan menyombongkan diri dan melangkah angkuh di atas bumi. Kata ًا mukhtalan diambil dari kata ل خ khayal yang berarti khayal. Oleh karena itu, kata ini pada mulanya berarti orang yang tingkah lakunya diarahkan oleh khayalannya, bukan diarahkan oleh kenyataan yang ada pada dirinya. Biasanya orang yang seperti ini berjalan dengan angkuh dan merasa dirinya memiliki kelebihan dibandingkan orang lain. Dengan demikian, keangkuhannya tampak nyata dalam kesehariannya. Dan inilah yang ditunjuk oleh kata اًر fakhuran, yakni seringkali membanggakan 26 Shihab, op. cit., Vol. 11, h. 138-139. 27 Muhammad Nasib Ar- Rifa’I, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani, 2000, Cet. I, h. 792. diri. Memang kedua kata ini yaitu mukhtal dan fakhur mengandung makna kesombongan. Kata yang pertama bermakna kesombongan yang terlihat dalam tingkah laku, sedangkan kata yang kedua bermakna kesombongan yang keluar dari ucapan-ucapan. Di sisi lain, penggabungan dua kata tersebut bukan berarti bahwa ketidaksenangan Allah baru lahir jika keduanya tergabung bersama-sama dalam diri seseorang. Jika salah satu dari kedua hal tersebut di sandang manusia maka hal itu telah mengundang murka Allah SWT. Penggabungan dua ayat ini bermaksud menggambarkan bahwa salah satu dari keduanya seringkali berbarengan disandang oleh manusia. 28 Ketika Luqman melarang anaknya dari perilaku buruk, Luqman pun menjelaskan perilaku baik yang harus diterapkan anaknya. Luqman berkata kepada anaknya ي قآ “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan”, maksudnya adalah berjalanlah dengan biasa-biasa saja. Dari kata ي ا yang berarti berjalan antara cepat dan lambat. Kata ض آ “Dan lunakkanlah suaramu”, maksudnya rendahkanlah suaramu. Yang artinya jangan berlebihhan dalam meninggikan suara dan bersuaralah sesuai kebutuhan. Sebab suara yang nyaring dan keras yang dikeluarkan melebihi dari yang dibutuhkan dapat mengganggu orang lain. 29 Kata ض ا ughdhudh diambil dari kata ghadhdh dalam arti penggunaan sesuatu tidak dalam potensinya yang sempurna. Dengan perintah di atas, Allah memerintahkan agar dalam menggunakan potensi suara dengan tidak berteriak sekuat kemampuannya, tetapi dengan suara perlahan namun juga tidak harus bersisik. 30 Firman Allah “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan”, yang berarti tidak lambat tidak juga cepat, namun pertengahan di antara keduanya. Dan firman Allah “Dan lunakkanlah suaramu”, yang berarti janganlah kamu meninggikan suara tanpa guna. Oleh karena itu, Allah berfirman “Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”, yakni tidak ada 28 Shihab, op. cit., Vol. 11, h. 139-140. 29 Al Qurthubi, op, cit., Jil. 14, h. 169. 30 Shihab, op. cit., Vol. 11, h. 140. suara yang lebih buruk daripada suara keledai dalam hal suara yang melengking dan kerasnya suaranya. Selain hal tersebut dinilai buruk, hal itu juga dimurkai di sisi Allah SWT. Penyerupaan suara keras dengan suara keledai mununjukkan dan menetapkan bahwa hal tersebut haram dan sangat tercela. 31

b. Surat ‘Abasa Ayat 1-10

1 Ayat 1-2 Mengajarkan bahwasannya tidak boleh membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lain        “Dia bermuka masam dan berpaling, karena telah datang kepadanya seseorang tunanetra.” Ayat di atas menyatakan bahwa Dia yakni Nabi Muhammad SAW berubah wajahnya yang nampak bermuka masam dan Rasulullah memaksakan dirinya untuk berpaling yang didorong oleh keinginannya menjelaskan risalahnya kepada kepada tokoh-tokoh kaum musyrikin. Dan Rasulullah SAW berpaling karena telah datang kepadanya seorang tunanetra yang memutus pembicaraan Rasulullah SAW dengan tokoh-tokoh pembesar kaum musyrikin itu. Ayat di atas sampai ayat sepuluh, menurut banyak ulama bahwa ayat tersebut turun menyangkut sikap Nabi Muhammad SAW terhadap sahabat beliau yang bernama Abdullah Ibn Ummi Maktum, ketika Nabi Muhammad sedang sibuk menjelaskan tentang agama Islam kepada tokoh-tokoh kaum musyirikin Mekah. Nabi Muhammad berharap bahwa ajakannya dapat menyentuh hati dan pikiran mereka sehingga mereka bersedia memeluk agama Islam. Jika para pembesar Quraisy masuk agama Islam, maka akan membawa dampak positif bagi perkembangan dakwah agama Islam. Namun saat itulah Abdullah Ibn Ummi Maktum datang dan tidak mengetahui kesibukan Nabi, lalu Abdullah Ibn Ummi Maktum menyela pembicaran Nabi 31 Ar- Rifa’I, op. cit., h. 793. memohon agar diajarkan kepadanya tentang apa yang telah diajarkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Menurut riwayat, perkataan Abdullah tersebut diucapkan berkali-kali dan sikap Abdullah tersebut tidak berkenan di hati Nabi, namun Nabi Muhammad SAW tidak menegur apalagi menghardik memarahi Abdullah Ibn Ummi Maktum, hanya saja nampak pada raut wajah Nabi rasa tidak senang, maka turunlah ayat di atas menegur Nabi Muhammad atas sikapnya terhadap Abdullah Ibn Ummi Maktum. 32 Menurut para ulama, apa yang dilakukan oleh Ummi Maktum termasuk perbuatan tidak sopan apabila seannainya Ummi Maktum mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW sedang sibuk dengan orang lain dan beliau mengharapkan keislamannya. Akan tetapi Allah SWT tetap menegur Rasulullah atas perbuatannya yang telah berpaling dari Ummi Maktum yang sehingga umat kaum muslimin yang tidak mampu, tidak merasa kecewa terhadap sikap yang telah dilakukan Nabi terhadap Ummi Maktum. Teguran Allah terhadap sikap Nabi Muhammad SAW agar semua orang tahu bahwa mukmin yang fakir lebih baik daripada orang kafir yang kaya, dan memperlihatkan bahwa orang yang beriman itu lebih utama dan lebih baik, sekalipun ia seorang fakir, daripada memperhatikan orang-orang yang kaya karena menginginkan keimanan mereka, sekalipun perbutan tersebut termasuk salah satu kemaslahatan. 33 Penyebutan kata س ع „abasa dalam bentuk persona ketiga, maka tidak secara langsung menunjuk Nabi Muhammad SAW yang ditegur, mengisyaratkan betapa halusnya teguran tersebut dan betapa Allah pun dalam mendidik Nabi Muhammad SAW tidak menuding beliau atau secara tegas mempersalahkannya. 34 32 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al- Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002, Vol. 15, h. 59-60. 33 Al Qurthubi, op, cit., Jil. 20, h. 88. 34 Shihab, op. cit., Vol. 15, h. 60. 2 Ayat 3-4 Mengajarkan agar tidak berfikir negatif terhadap orang lain           “Apakah yang menjadikanmu mengetahui – boleh jadi ia ingin membersihkan diri atau mendapatkan pengajaran, sehingga bermanfaat baginya pengajaran itu?” Ayat di atas menjelaskan bahwa Apakah yang menjadikanmu mengetahui yakni bahwa engkau tidak akan mengetahui walaupun berupaya keras menyangkut isi hati seseorang boleh jadi ia sahabat yang tunanetra tersebut ingin membersihkan diri yakni beramal saleh dan mempertebal imannya dengan mendengarkan ajaran agama walupun dengan tingkat kebersihan yang tidak terlalu mantap atau ia ingin mendapatkan pengajaran, sehingga bermanfaat baginya pengajaran itu walaupun pengajaran yang diterimanya tidak terlalu banyak. Kata َ َ yazzakka asalnya adalah َ yatazakka tetapi huruf ta tidak disebut, ia diganti dengan huruf ز zai dan di-idgham-kan, demikian juga dengan kata َ yadzdzakkar asalnya َ yatadzakkar. Menurut al- Biqa’I sebagai mana yang dikutip dalam tafsir al-Misbah “untuk mengisyaratkan bahwa hal tersebut diharapkan oleh yang bersangkutan dapat wu jud walau tidak terlalu mantap”. 35 Kata َ “Atau dia ingin mendapatkan pengajaran ”, mengambil nasehat dari apa yang telah kamu katakan. ى آ ع “Lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya ”, maksudnya yaitu nasehat itu sendiri memberikan manfaat pada dirinya. 36 35 Ibid., h. 61. 36 Al Qurthubi, op, cit., Jil. 20, h. 90. 3 Ayat 5-10 Mengajarkan untuk bersikap cermat dan berhati-hati dalam mengambil suatu tindakan                          “Adapun orang yang merasa tidak butuh, maka engkau terhadapnya melayani padahal tiada celaan atasmu kalau ia tidak membersihkan diri. Dan adapun siapa yang datang kepadamu dengan bersegera sedang ia takut, maka engkau terhadapnya me ngabaikan.” Ayat di atas menjelaskan sikap Nabi Muhammad SAW terhadap tokoh kaum musyrikin yang sangat diharapkan keislamannya. Adapun orang yang merasa tidak butuh kepada Nabi Muhammad karena mereka memiliki harta, anak, kedudukan sosial, serta pengetahuan, maka walaupun tokoh kaum musyrikin tersebut tidak memiliki motivasi untuk takut terhadap Allah SWT engkau terhadapnya saja melayani, bukan kepada sang tunanetra melayani- nya dengan menjelaskan secara sungguh-sungguh ajaran agama Islam. Sebenarnya sikap Rasulullah terhadap tokoh-tokoh kaum musyrikin tersebut terdorong oleh rasa takut beliau bila sampai Nabi Muhammad dinilai belum menjalankan tugasnya dengan baik. Sehingga teguran ini dilanjutkan dengan menyatakan: Engkau wahai Nabi agung melakukan hal itu, padahal tiada celaan atasmu kalau ia yakni para pembesar kaum musyrikin tidak membersihkan diri yakni tidak beriman walau dalam tingkat sekecil apapun. Dan adapun siapa yang datang kepadamu dengan bersegera yakni penuh perhatian untuk mendapatkan perhatian sedang ia takut kepada Allah, maka sebaliknya, engkau terhadapnya dengan sikap mengabaikan. Kata غ سا istaghna diambil dari kata ي ghaniya yakni tidak butuh. Huruf ف sin pada kata tersebut berarti merasamenduga. Sehingga dapat diartikan ia tidak butuh terhadap Allah serta petunjuk dari Nabi Muhammad SAW karena sudah memiliki kekayaan, pengetahuan, dan kedudukan sosial. 37 Kata غ سآ َ “Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup”, maksudnya orang yang memiliki harta dan kekayaan. Kata , ىَي “Maka kamu melayaninya”, maksudnya menghadapkan wajahnya kepada para pembesar Quraisy dan mendengarkan perkataanya. 38 Kata ىَي tashadda terambil dari kata ىي shada yaitu gema suara yang memantul. Seseorang yang menghadapi orang lain dan melayaninya diibaratkan sebagai memantulkan suaranya, sehingga suara tersebut tidak akan berhenti terdengar sampai orang tersebut berhenti berbicara dan pantulannya akan terus terdengar sampai terhenti suara itu. Siapa yang melakukan hal tersebut dinamai tashadda. Kata َ ى talahha terambil dari kata ه – ه laha – yalha yang berarti menyibukkan diri dengan sesuatu, sampai-sampai mengabaikan yang lainnya. Dalam Hasyiyat al-Jamal sebagaimana yang dikutip dalam kitab tafsir al-Mishbah bah wa, “digarisbawahi bahwa kata ini bukan terambil dari kata ه ا al-lahw. Kata kedua ini bermakna lengah dan lupa. Kata yang digunakan ayat ini tidak selalu berarti meninggalkan yang penting dengan mengerjakan yang tidak penting, tetapi bisa juga meninggalkan yang lebih penting karena mengerjakan yang penting. 39 Nabi Muhammad SAW adalah makhluk yang paling didekatkan Allah di sisi-Nya, karena itulah Nabi Muhammad ditegur. Apa yang dilakukan Nabi Muhammad dapat menimbulkan kesan bahwa Nabi Muhammad lebih mementingkan orang kaya daripada orang miskin, orang yang terpandang dalam masyarakat dibandingkan dengan orang yang tidak terpandang. Sehingga Allah SWT berniat untuk menghapus kesan semacam itu dengan diturunkannya ayat-ayat ini. Karena itulah, teguran ayat-ayat di atas justru menunjukkan keagungan Nabi Muhammad SAW, dan bahwa Nabi 37 Shihab, op. cit., Vol. 15, h. 61-62. 38 Al Qurthubi, op, cit., Jil. 20, h. 91. 39 Shihab, op. cit., Vol. 15, h. 62. Muhammad juga manusia, akan tetapi bukan seperti manusia biasa. NabiMuhammad SAW adalah semulia-mulianya makhluk Allah SWT. 40

B. Analisis Surat tentang Pola Interaksi Guru dengan Murid

dalam Al- Qur’an

1. Surat Luqman Ayat 12-19

Materi pendidikan yang diterapkan oleh Luqman hakim pada anaknya meliputi tiga hal, antara lain: a. Pendidikan keimanan aqidah. Pendidikan inilah yang pertama kali dilakukan oleh Luqman kepada anaknya untuk menanamkan keyakinan bahwa Allah sebagai Dzat Yang Maha Esa yang harus disembah dan melarang perbuatan syirik. Pada ayat 13 Luqman mengajarkan kepada anaknya tentang larangan untuk berbuat syirik atau mempersekutukan Allah SWT. Karena syirik merupakan kezhaliman yang amat besar. Pelajaran Luqman terhadap anaknya tersebut bisa dilihat pada kata :                “Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, dalam keadaan dia menasehatinya: Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kezaliman yang besar”. Ayat 16 Luqman mengajarkan pada anaknya bahwa sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.                      . . . 40 Ibid., h. 64. Wahai anakku, sesungguhnya jika ada seberat biji sawi, dan berada dalam batu karang atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya . . .” Kata tersebut menjadi penjelasan tentang kekuasaan Allah yang mutlak dan adanya hari pembalasan. Bahwa setiap dosa yang dilakukan hamba-Nya sekecil apapun dan tersembunyi dimanapun, Allah pasti mengetahuinya dan mendatangkan azab atas dosa yang telah diperbuat. b. Pendidikan syari’ah ibadah. Ruang lingkup Syari’ah meliputi interaksi antara seorang hamba dengan Allah yang direalisasikan melalui ibadah, Luqman mengajarkan shalat kepada anaknya, dan interaksi yang dilakukan dengan sesama manusia muamalah, lalu memerintahkan kepada anaknya untuk membiasakan bersikap baik terhadap keluarga terdekat. Interaksi seorang hamba kepada Allah SWT digambarkan pada ayat 12:               . . . “Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: Bersyukurlah kepada Allah, dan barang siapa yang bersyukur kepada Allah, maka sesungguhnya bersyukur untuk dirinya sendiri . . . ” Kalimat tersebut menggambarkan suatu bentuk interaksi dari seorang hamba yang bersukur kepada Allah atas karunia yang telah diberikan Allah kepada hamba-Nya. Dan syukur tersebut menjadi bentuk ibadah. Ayat 17 Luqman mengajarkan kepada anaknya tentang pendidikan syariah yang meliputi interaksi antara seorang hamba dengan Allah agar mengerjakan ibadah. Luqman juga mengajarkan pendidikan syariah tentang interaksi yang dilakukan dengan sesama manusia muamalah dengan megerjakan yang ma’ruf dan meninggalkan yang munkar. Dan kemudian Luqman juga mengajarkan kepada anaknya agar bersikap sabar terhadap semua cobaan yang dihadapi.              . . . “Wahai anakku, laksanakanlah shalat dan perintahkanlah mengerjakan yang ma’ruf dan cegahlah dari kemunkaran dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu . . .” c. Pendidikan akhlak Pendidikan yang mula-mula dilakukan Luqman kepada anaknya adalah dengan memperkenalkan etika baik terhadap kedua orang tua. Kemudian berikutnya diajarkan padanya akhlak dalam konteks kemasyarakatan sosial diantaranya adalah etika pergaulan, berbicara, dan berjalan. Ayat 14 dan 15 Luqman mengajarkan pada anaknya wajib berbakti dan taat kepada orang tua selama perintahnya tidak menyalahi syariat ajaran agama Islam. Ajaran Lukman terhadap anaknya tersebut berbunyi: . . .                          . . . “. . .bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mematuhi keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik . . .” Pelajaran akhlak juga diajarkan Luqman pada anaknya pada ayat 18 tentang etika agar tidak sombong, tidak angkuh, dan tidak membanggakan diri. Ayat tersebut berbunyi:                  “Dan janganlah engkau memalingkan pipimu dari manusia karena sombong dan janganlah kamu berjalan di bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. Pelajaran akhlak tentang berjalan dan bersuara berbicara juga diajarkan oleh Luqman kepada anaknya sebagaimana yang dijelaskan pada ayat 19 yang berbunyi:             “Dan sederhanalah dalam berjalanmu dan lunakkanlah suaramu, sesungguhnya seburuk- buruk suara ialah suara keledai”. Ayat tersebut jelas Allah juga tidak menyukai akhlak seperti itu, oleh karena itu Luqman mengajarkan kepada anaknya bahwa tidak boleh bersuara keras apabila itu dianggap tidak perlu. Kisah ini dijelaskan bahwa kompetensi yang dimiliki oleh Luqman sebagai seorang pendidik, adalah bijaksana dan penuh kasih sayang. Kebijaksanaan Luqman ini disimpulkan dari cara pengajaran yang menekankan unsur kebijakan, karena ia telah diberi hikmah oleh Allah. Dalam mendidik hendaknya menggunakan pendekatan yang bersifat penuh kasih sayang, hal ini dapat kita cermati dari seruan Luqman kepada anak- anaknya, yaitu َي ب yang berarti Wahai anak-anakku, seruan tersebut menyiratkan sebuah ungkapan yang penuh muatan kasih sayang, sentuhan kelembutan dalam mendidik anak-anaknya.

2. Surat ‘Abasa Ayat 1-10

Hadist yang berbicara tentang surat ‘Abasa berasal dari Al Aufi yaitu Athiyah, orang yang statusnya dha’if. Dari jalur periwayatan Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, tentang firman Allah SWT, “Ia Muhammad bermuka masam dan berpaling, ketika seorang buta mendatanginya.” Ketika Rasulullah SAW menyambut kedatangan Atabah bin Rabi’ah, Abu Jahal bin Hisyam, dan Al Abbas bin Abdul Muththalib. Rasulullah SAW sangat berharap mereka mau beriman. Lalu datang kepadanya seorang yang buta bernama Abdullah bin Ummi Maktum, ia berjalan, saat itu Rasulullah SAW sedang berbicara dengan mereka para pembesar Quraisy. Abdullah meminta agar Rasulullah SAW sudi membacakan satu ayat dari Al- Qur’an kepadanya, “Wahai Rasulullah, ajaklah kepadaku apa yang diajarkan Allah SWT kepadamu.” Rasulullah SAW lalu menolak dan bermasam muka