Pelajaran akhlak tentang berjalan dan bersuara berbicara juga diajarkan oleh Luqman kepada anaknya sebagaimana yang dijelaskan pada ayat 19
yang berbunyi:
“Dan sederhanalah dalam berjalanmu dan lunakkanlah suaramu, sesungguhnya seburuk-
buruk suara ialah suara keledai”. Ayat tersebut jelas Allah juga tidak menyukai akhlak seperti itu, oleh
karena itu Luqman mengajarkan kepada anaknya bahwa tidak boleh bersuara keras apabila itu dianggap tidak perlu.
Kisah ini dijelaskan bahwa kompetensi yang dimiliki oleh Luqman sebagai seorang pendidik, adalah bijaksana dan penuh kasih sayang.
Kebijaksanaan Luqman ini disimpulkan dari cara pengajaran yang menekankan unsur kebijakan, karena ia telah diberi hikmah oleh Allah.
Dalam mendidik hendaknya menggunakan pendekatan yang bersifat penuh kasih sayang, hal ini dapat kita cermati dari seruan Luqman kepada anak-
anaknya, yaitu َي ب yang berarti Wahai anak-anakku, seruan tersebut
menyiratkan sebuah ungkapan yang penuh muatan kasih sayang, sentuhan kelembutan dalam mendidik anak-anaknya.
2. Surat ‘Abasa Ayat 1-10
Hadist yang berbicara tentang surat ‘Abasa berasal dari Al Aufi yaitu Athiyah, orang yang statusnya
dha’if. Dari jalur periwayatan Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, tentang firman Allah SWT,
“Ia Muhammad bermuka masam dan berpaling, ketika seorang buta mendatanginya.” Ketika Rasulullah SAW menyambut kedatangan Atabah bin
Rabi’ah, Abu Jahal bin Hisyam, dan Al Abbas bin Abdul Muththalib. Rasulullah SAW sangat berharap mereka mau beriman. Lalu datang kepadanya
seorang yang buta bernama Abdullah bin Ummi Maktum, ia berjalan, saat itu Rasulullah SAW sedang berbicara dengan mereka para pembesar Quraisy.
Abdullah meminta agar Rasulullah SAW sudi membacakan satu ayat dari Al-
Qur’an kepadanya, “Wahai Rasulullah, ajaklah kepadaku apa yang diajarkan Allah SWT kepadamu.” Rasulullah SAW lalu menolak dan bermasam muka
serta berpaling. Rasulullah justru menghadap kepada para pembesar Quraisy itu.
Ketika Rasulullah SAW selesai berbicara dengan mereka, beliau kembali kekeluarganya. Allah SWT lalu memegang sebagian pandangannya dan
memukul pelan kepalanya, kemudian turun ayat, “Dia Muhammad bermuka masam dan berpaling. Karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah
kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya dari dosa. Atau dia ingin mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
” QS. ‘Abasa [80]: 1-4. Ketika ayat tersebut telah turun, Rasulullah SAW
memuliakannya dan bertanya, “Apa yang Engkau inginkan? Apa ada yang Engkau inginkan?
” Lalu turun ayat, “Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup. Maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada celaan atasmu kalau dia
tidak membersihkan diri beriman. ” QS. ‘Abasa [80]: 5-7.
41
K isah yang terdapat dalam surat ‘Abasa ayat 1 dan 2:
“Dia Muhammad bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya”.
Sifat Rasulullah yang tertera dalam ayat tersebut, maka Allah SWT
mengingatkan Rasulullah SAW dalam bentuk teguran, bahwa kemiskinan dan kelemahan Ibn Ummi Maktum yang buta sama sekali tidak boleh membuat
Rasaulullah berpaling dan tidak menyukai kehadiran Ibn Ummi Maktum ketika Rasulullah sedang berdakwah atau berbincang dengan para pembesar Quraisy.
Karena para pembesar Quraisy tersebut meskipun memiliki kedudukan yang tinggi dan kekayaan, namun mereka adalah orang-orang yang ingkar, sehingga
tidak sepatutnya Nabi Muhammad SAW melayani mereka dengan serius, walaupun Nabi mengharapkan masuknya para pembesar Quraisy tersebut akan
membawa banyak pengikutnya masuk Islam juga. Firman Allah tersebut menjelaskan bahwa manusia tidak boleh membeda-
bedakan perlakuan terhadap sesamanya, terlebih lagi apabila perlakuan tersebut dapat menyinggung serta menyakiti hati dan perasaan orang lain. Dan perintah
untuk tidak membeda-bedakan tersebut berlaku terhadap siapapun tanpa kecuali.
41
Al Albani, op. cit., Cet. I, Jil. 3, h. 650.
Ayat selanjutnya Allah juga menegur Rasulullah tentang pelajaran bahwasannya sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bersedia tunduk
kepada kebenaran apabila kebenaran itu sudah tampak nyata, dan patuh kepada dalil apabila dalil tersebut sudah tidak diragukan lagi. Sedangkan harta, keturunan,
jabatan tinggi, dan lain sebagainya tak lebih dari sekedar pinjaman yang bersifat sementara dan pada saatnya nanti akan pergi atau ditinggalkan. Seperti halnya
yang terdapat dalam ayat 3 dan 4:
“Apa yang menjadikanmu mengetahui – boleh jadi ia ingin membersihkan diri atau mendapatkan pengajaran, sehingga bermanfaat baginya”.
Ayat tersebut menjelaskan tentang p endidikan syari’ah ibadah yang
dilakukan dengan sesama manusia muamalah, yaitu dengan tidak berfikir yang negatif terhadap orang lain sebelum kamu benar-benar mengetahui apa maksud
dan tujuan orang yang datang kepadamu. Selanjutnya dijelaskan oleh Allah juga pada ayat 5-10 tentang pendidikan
syari’ah mu’amalah yang dilakukan terhadap sesama manusia, dengan mengajarkan untuk bersikap cermat dan berhati-hati dalam mengambil suatu
tindakan.
“Adapun orang yang merasa tidak butuh, maka engkau terhadapnya melayani padahal tiada celaan atasmu kalau ia tidak membersihkan diri. Dan adapun
siapa yang datang kepadamu dengan bersegera sedang ia takut, maka engkau
terhadapnya mengabaikan.”
C. Pola Interaksi Guru dengan Murid yang Terkandung dalam
Al- Qur’an
1. Surat Luqman Ayat 12-19
Pola interaksi yang digunakan Luqman kepada anaknya menggunakan pola interaksi tiga arah. Sebenarnya interaksi seperti ini bukan sekedar adanya aksi dan
reaksi, melainkan juga adanya hubungan interaktif antara setiap individu. Setiap individu ikut aktif, dan tiap individu mempunyai peran.
Surat Lukman ayat 12-19 ini dapat di ilustrasikan bahwasannya Allah SWT sebagai guru dan Lukman sebagai muridnya. Dan kemudian Lukman mengajarkan
ilmu yang telah didapatkannya kepada anaknya, sehingga anaknya Lukman juga dapat diilustrasikan sebagai murid. Dalam pola interaksi tiga arah antara guru
dengan murid banyak diterapkan dengan metode diskusi. Mendidik hendaknya seorang guru bersifat penuh kasih sayang.
Sepertihalnya yang dilakukan Luqman dalam mendidik anaknya, yaitu َي ب
yang berarti wahai anakku, seruan tersebut berkesan sebuah ungkapan yang penuh dengan kasih sayang, kelembutan, indah, dan menyejukkan dalam mendidik
anaknya. Dan dalam kata tersebut mengandung rasa manja, kelembutan, dan kemesraan, akan tetapi tetap dalam koridor ketegasan dan kedisiplinan serta bukan
berarti mendidik dengan keras. Mendidik anak dengan keras hanya akan menyisakan dan membentuk anak
didik berjiwa keras dan kasar. Kepribadian anak didik menjadi kental dengan kekerasan, hati, fikiran, gerak, dan perkataanya jauh dari kebenaran dan
kesejukan. Kelembutan dan kemesraan dalam mendidik anak merupakan konsep al-
Qur’an, dan jenis pendidikan apapun hendaknya diberikan kepada anak didik dengan kelembutan dan kasih sayang.
Sikap yang ditunjukkan dalam kisah Luqman dan anaknya, menunjukkan bahwa anaknya merupakan murid yang mempunyai sikap baik. Hal ini terbukti
dari sikap patuh anaknya terhadap Luqman, selama pembelajaran anaknya sangat patuh menuruti apa yang dikatakan oleh ayahnya tanpa adanya protes dan
bantahan dari anaknya. Itu semua karena anaknya menghormati Luqman sebagai orang tua sekaligus guru dan Luqman juga menyayangi anaknya.