Contoh lain adalah kasus perkebunan di sejumlah wilayah Kolonial di Asia Tenggara. Di Sumatra pada abad ke-19,perluasaan perkebunan menciptakan
kebutuhan akan pekerja upahan yang kemudian dipenuhi oleh arus migrant pria dari Jawa. Para pelacur direkrut untuk menemani para kuli agar tetap berada di depot pada
masa menunggu yang panjang. Di perkebunan, pekerja kontrakan perempuan diboyong ke dalam untuk menarik para pekerja pria dan untuk menjaga agar mereka
tetap berada dalam kontrak. Kuli para perempuan berfungsi sebagai tukang masak dan “pelayan tempat-tempat tidur” bagi pekerja pria yang tidak menikah yang berada
dalam lilitan utang dan kekeurangan uang. Ditunjukkan Stoler 1985, perdagangan kuli perempuan oleh para manajer, mandor, dan pekerja pria pribumi sangat
menguntungkan dan berlaku umum di Sumatra pada peralihan abad ini.
45
Di zaman pemerintahan Hindia Belanda merasakan perlunya ada hiburan dan pelayanan seksual bagi tentaranya, pelacur diperbolehkan berkunjung ke penjara
untuk menghilangkan keresahan politik. Berbagai bentuk pelacuran telah dikenal pula dalam seni tari tradisional. Dongbret, lenong, ronggeng, ledek, punya bagian
sentral terdiri atas tari-tarian, dan sering diadakan untuk meramaikan hajatan atau selamatan, sering pula diikuti dengan transaksi seks.
46
3. Masa Kemerdekaan
Tak lama setelah Indonesia merdeka, kala perekonomian masih morat-marit, perempuan muda dan keluarga miskinnya dari desa mencoba mengubah nasibnya
45
Ibid, h.144
46
Stoler, A,. Capitalism and Confrontation in sumatra’s Plantation Belt 1880-1979, New Haven: Yale University Press, 1985, dalam Than-Dam Thruong, seks, uang,…, h.XXVII.
dikota. Pada 1990, ketika jumlah penghuni kota meroket, sektor primer tak mampu menyediakan lapangan kerja sebanyak pertambahan itu. Hanya 49 dari penduduk
usia kerja yang dapat ditampung. Untuk tenaga kerja wanita, terbanyak lowongan berada di pabrik, di jasa penjualan, hotel dan restoran, dan rumah-rumah tangga.
Tetapi karena upah kurang memadai, para perempuan itu melirik industri seks yang memberi peluang penghasilan lima sampai 10 kali lipat. Nah, ketika gaya hidup
berubah, mobilitas penduduk mudah, pendapatan masyarakat membaik, industri seks makin rumit jenisnya. Selain pelacur klasik yang beroperasi di jalanan dan rumah-
rumah untuk call girls alias gadis panggilan, ada kelompok wanita yang disebut perek perempuan eksperimen, dan paling mutakhir ABG anak baru gede atau
remaja komersial yang mencari mangsa di diskotek, bioskop, dan mall. Tetapi remaja yang bisa dipakai ini tidak selalu bisa dikategorikan sebagai pekerja seks.
Sebab ada yang motifnya bukan uang, cuma sekadar bersenang-senang. Data resmi menyebutkan, jumlah pekerja sekssampai 19941995 tercatat 71.281.tidak termasuk
yang di luar pagar lokalisasi.
47
Namun tak bisa diingkari kendati sampai 1997 perkembangan ekonomi Indonesia nampak begitu maju, namun pelacuran tidak pernah menjadi perhatian
pemerintah. Yang ada hanya usaha penyelesaian dengan jalan pintas. Dan mereka menganggapnya sebagai “penyakit sosial” sehingga memerlukan sebuah direktorat
khusus di Departemen sosial. Sampai sekarang hiburan malam dan praktek pelacuran
47
Panji Mas, Wanita Publik dari masa ke masa, diakses pada tgl 13 agustus dari http:www.hamline.eduapakabarbasisdata199707260018.html
makin marak, baik yang terselubung maupun yang secara terang-terangan. Mulai dari kalangan bawah yang berkeliaran di jalan-jalan raya, sampai yang berpraktek-praktek
di hotel-hotel untuk kalangan elit.. Semua fenomena ini adalah tanggung jawab kita bersama, karena semua ini bukanlah terjadi sendiri namun karena diciptakan oleh
kondisi yang di ciptakan oleh kehidupan manusia. Maka tidak adil jika hanya menyalahkan satu pihak saja.
C. Faktor penyebab terjadinya pelacuran