Respon masyarakat Kota Tangerang terhadap peraturan Daerah kota Tangerang No.8 Tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran

(1)

RESPON MASYARAKAT KOTA TANGERANG TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NO. 8 TAHUN 2005

TENTANG PELARANGAN PELACURAN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh : Ety Lusiana NIM : 204044103025

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1429 H/2009 M


(2)

RESPON MASYARAKAT KOTA TANGERANG TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NO. 8 TAHUN 2005

TENTANG PELARANGAN PELACURAN

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh :

Ety Lusiana NIM : 204044103025

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. H. Yayan Sopyan, M.Ag Dr. Hj. Mesraini, M.Ag

NIP: 150 277 991 NIP: 150 326 895

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul RESPON MASYARAKAT KOTA TANGERANG TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NO. 8 TAHUN 2005 TENTANG PELARANGAN PELACURAN telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 18 Februari 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyyah.

Jakarta, 18 Februari 2009 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H.M Amin Suma, S.H., M.A,M.M

NIP. 150 210 422

PANITIA UJIAN MUNAQASAH

Ketua : Drs.Djawahir Hejazziey, SH. MA (---) NIP. 130 789 745

Sekretaris : Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag (---) NIP. 150 269 678

Pembimbing I : Dr. H. Yayan Sopyan, MA (---) NIP. 150 277 991

Pembimbing II : Dr. Hj. Mesraini, MA (---)

NIP. 150 326 895

Penguji I : Drs. Sirril Wafa, M.Ag (---)

NIP. 150 277 992

Penguji II : Kamarusdiana, S.Ag., MH (---) NIP. 150 285 972


(4)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul RESPON MASYARAKAT KOTA TANGERANG TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NO. 8 TAHUN 2005 TENTANG PELARANGAN PELACURAN telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 18 Februari 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyyah.

Jakarta, 18 Februari 2009 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H.M Amin Suma, S.H., M.A,M.M

NIP. 150 210 422

PANITIA UJIAN MUNAQASAH

Ketua : Drs.Djawahir Hejazziey, SH. MA (---) NIP. 130 789 745

Sekretaris : Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag (---) NIP. 150 269 678

Pembimbing I : Dr. H. Yayan Sopyan, MA (---) NIP. 150 277 991

Pembimbing II : Dr. Hj. Mesraini, MA (---)

NIP. 150 326 895

Penguji I : Drs. H. Sirril Wafa (---)

NIP.

Penguji II : Kamarusdiana, S. Ag., MH (---) NIP. 150 282 927


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas segala rahmat, karunia, hidayah, dan inayah-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tetap tercurahkan kepada Nabi pembawa perubahan, revolusioner di dalam segala aspek kehidupan dan rahmat sekalian alam, Baginda Nabiyullah Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya dan juga orang-orang yang tetap istiqamah menegakkan dinul Islam hingga akhir zaman.

Skripsi yang berjudul “Respon Masyarakat Kota Tangerang terhadap Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (S1) pada Jurusan Al-Akhwal Al-Syakhsiyyah program studi Administrasi Keperdataan Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selama penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan sumbangan motifasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, izinkanlah penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof., Dr., H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M, Selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum.


(6)

2. Bapak Drs., H.A. Basiq Djalil, S.H., MA dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag., M.H, Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah yang selalu memberikan bimbingan, spirit kepada penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

3. Drs. Djawahir Hejazziey, SH.,MA, dan Bapak Drs.H.Ahmad Yani, MA, Ketua Koordinator Teknis, dan Sekretaris Program Non Reguler, Ahwal Syakhsiyyah yang selalu memberikan bimbingan, spirit kepada penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

4. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. H. Yayan Sopyan, MA, dan Ibu Dr. Hj. Mesraini, MA, dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan memberikan ilmunya selama penulis mengerjakan skripsi ini. Merupakan suatu kehormatan bagi penulis bisa berada di bawah bimbingan bapak dan ibu.

5. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Jaenal Aripin, MA, yang telah meluangkan waktunya dan memberikan ilmunya selama penulis mengerjakan skripsi ini.

6. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ibu Pemerintahan Daerah Kota Tangerang Bagian Hukum dan Perundang-undangan, dan Bapak Ibu Dinas Tramtib Kota Tangerang, serta seluruh instansi Kecamatan Cipondoh (Khususnya warga masyarakat Kelurahan Poris Plawad dan Kenanga),dan Kecamatan Karawaci (Khususnya warga masyarakat kelurahan Bojong Jaya dan masyarakat Gerendeng) yang sudah memberikan data-data, ilmu dan


(7)

pengalamannya kepada penulis. Semoga apa yang dilakukan menjadi amalan yang baik dan dibalas oleh Allah SWT.

7. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen yang penulis hormati, yang telah memberikan tenaga dan pikirannya untuk mendidik agar kelak menjadi manusia yang berguna di dunia dan akhirat semoga do’a dan didikannya menjadi berkah dan dapat menuntun penulis untuk memasuki kehidupan baru yang lebih baik. 8. Segenap pengelola perpustakaan Pusat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan

Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam mencari data-data yang berkaitan dengan skripsi penulis.

9. Ibundaku Zaenah dan ayahanda Sugianto serta adikku Lala, dan kak toni yang senantiasa mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan bimbingan baik moril maupun materil, nasihat maupun do’a demi kesuksesan penulis, semoga hari-hari selalu bahagia dan dilindungi Allah SWT.

10.Teman-teman PA angkatan 2004-2005, khususnya Lilis, Erna yang membantu dan menemani penulis menyelesaikan skripsi ini dalam suka dan duka. Semoga tali silaturrahmi tidak terputus Amien.

Akhirnya penulis dengan segala kerendahan hati berharap, semoga kebaikan dan pengorbanan yang telah diberikan kepada penulis akan mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih ada kekurangan dan belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat


(8)

berguna dikemudian hari dan memberikan manfaat bagi semua pihak serta rekan-rekan yang membacanya dan semoga semua yang telah penulis lakukan mendapat ridha Allah SWT. Amin.

Jakarta, 23 Desember 2008 M

25 Dzulhijjah 1428 H


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI ...v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Review Studi Terdahulu... 10

E. Metode Penelitian ... 13

F. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG PELACURAN... A. Definisi Pelacuran... 21

1. Pelacuran menurut Hukum Islam... 25

2. Dasar Hukum Larangan Pelacuran menurut Hukum Islam ... 26

3. Pelacuran menurut Hukum Pidana ... 28

B. Sejarah Pelacuran di Indonesia... 31

C. Faktor penyebab terjadinya pelacuran ... 38

D. Dampak dari pelacuran terhadap masyarakat... 40


(10)

F. Islam dan Gender ... 46

BAB III PERDA KOTA TANGERANG NO 8 TAHUN 2005 TENTANG PELARANGAN PELACURAN ... 48

A. Sekilas Tentang Kota Tangerang ... 48

B. Latar Belakang Lahirnya Perda Kota Tangerang No.8 Tahun 2005 Tentang Pelarangan Pelacuran ... 54

C. Seputar materi Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran ... 57

1. Identifikasi Bab-bab dan Pasal-pasal yang krusial dalam Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran... 57

2. Problematika Perda Kota Tangerang No.8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran ... 60

3. Penerapan Perda Kota Tangerang No.8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran ... 65

BAB IV PERDA KOTA TANGERANG NO 8 TAHUN 2005 TENTANG PELARANGAN PELACURAN DALAM PANDANGAN MASYARAKAT ... 69

A. Kondisi Objektif Wilayah Penelitian ... 69

B. Identitas Responden ... 73


(11)

D. Sikap masyarakat terhadap Perda Kota Tangerang No 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran ... 88 E. Respon masyarakat terhadap Perda Kota Tangerang No 8 Tahun

2005 tentang Pelarangan Pelacuran

... 10 3

F. Analisa Data

... 11 3

BAB V PENUTUP

... 11 7

A. Kesimpulan

... 11 7

B. Saran-saran

... 11 8

DAFTAR PUSTAKA

... 12 0


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat menghindari pergaulan sesama. ia pun punya kebebasan bergaul dan memasuki berbagai komunitas yang beragam. Namun kebebasan tidak selamanya absolut. Tentu ada batas–batas tertentu yang secara normatif disetujui oleh masyarakat (Pemerintah) maupun ajaran agama yang dapat di yakini kebenarannya. Tanpa batasan itu ia akan kehilangan kemuliannya, karena ia akan terjebak pada kebejatan moral yang tidak mustahil merusak jasmani.1

Kebebasan yang dilakukan secara absolut, sering diterapkan orang pada kebebasan antara lelaki dan wanita. Akan tetapi bila sudah meningkat pada kebebasan hubungan seksual, sadar atau tidak, hal itu mengakibatkan perilaku yang abnormal, dari pandangan sosial maupun agama. Akibat lebih jauh adalah timbulnya kerusakan moral dan kehormatan yang tidak jarang mengakibatkan kerusakan jasmani. Berjangkitnya penyakit kelamin seperti AIDS, lahir dari kebebasan seksual, tanpa kontrol terhadap kebersihan lawan seks.

Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah di beri bekal hidup berupa aturan-aturan untuk dijadikan pedoman dalam sebuah kehidupan agar tidak menyimpang dari garis-garis yang telah di tentukan. Salah satu yang diatur dalam Islam adalah

1


(13)

masalah hukuman bagi tindak kejahatan. Al-Qur’an membatasi teksnya pada ketentuan lima macam tindak kejahatan bersama sanksinya. Yaitu; Pembunuhan, pencurian, melakukan pengrusakan, zina, dan tuduhan zina terhadap wanita baik- baik.2

Guna terciptanya suatu kemaslahatan dan ketentraman dalam masyarakat serta menjaga manusia dari hal-hal yang mafsadah maka diadakanlah pembalasan atas kejahatan atau pelanggaran agar merasa jera dan berfikir untuk tidak mengulangi masalah yang sama. Sebagaimana diadakannya hukuman dalam Islam.

Salah satu hukuman dalam Islam adalah hudûd atau hukuman rajam bagi pelaku zina. Kasus hukum rajam bagi pelaku zina bukanlah inti ajaran yang di kehendaki syariah. Adapun hukum rajam adalah hukum pendukung dalam menegakkan larangan zina.

Islam sangat mementingkan pemeliharaan terhadap lima hal yaitu; Agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Larangan Islam terhadap pelacuran/perzinaan, ini berkaitan dengan penghargaan Islam terhadap kehormatan diri dan kesucian keturunan. Islam mensyari’atkannya hâd (dera) bagi lelaki atau perempuan yang berzina, dan bagi penuduh pembuat zina.3 Islam sangat melarang keras perbuatan zina, seperti pelacuran dan sejenisnya, pelanggaran terhadap ketentuan ini akan menimbulkan dampak yang buruk sangat serius terhadap masyarakat luas.

2

Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya (Jakarta : Sinar Grafika,2007) hal. 191

3

Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh. Penerjemah Masdar Helmy, (Bandung,Gema Risalah Press,1996 ),hal.359


(14)

Penyakit AIDS yang sangat di takuti masyarakat dewasa ini, di derita terus terutama oleh para pelaku homo-seksual, serta orang-orang yang suka jajan seks di luar pernikahan.4

Di Indonesia sendiri pelacuran tidak dianggap sebagai kejahatan akan tetapi hanya permasalahan sosial biasa. Yang dianggap kriminal adalah profesi sebagai germo yang diancam dengan hukuman maksimal 4 tahun (Pasal 297 KUHP). Karena pelacuran dianggap sebagai permasalahan sosial maka penanganannya pun dilakukan dengan pendekatan sosial.

Prostitusi atau pelacuran adalah persenggamaan antara pria dan wanita tanpa terikat oleh piagam pernikahan yang sah. Perbuatan ini dipandang rendah dari sudut moral dan akhlak, dosa menurut agama, tercela dan jijik menurut penilaian masyarakat di Indonesia. Akan tetapi belakangan ini, pelacuran adalah salah satu profesi dan lahan bisnis untuk tujuan ekonomi. 5

Walaupun pelakunya selalu berdalih dengan alasan ekonomi, namun juga dipengaruhi oleh berbagai faktor dan alasan yang secara rasional bukan moral bisa dipahami. Misalnya, mundurnya usia perkawinan, tingginya angka perceraian, meningkatnya mobilitas penduduk, gaya hidup, pendapatan masyarakat, dan tantangan yang dihadapi. Tidak dapat dipungkiri banyak berita media massa membukakan mata bahwa globalisasi juga berdampak pada penyebaran dan perluasan ruang lingkup operasi pelacuran, dan sekarang telah banyak industri seks komersil

4

Hasanuddin, Perdagangan Perempuan dalam perspektif hukum Islam”Ahkam V”, No.12 (2003): h.131

5


(15)

dikarenakan banyak peminat, baik itu dalam pemenuhan kebutuhan di Indonesia sendiri ataupun untuk diperdagangkan ke mancanegara dengan penghasilan yang cukup besar dan setingi-tingginya dari sistem pelacuran. Pelacuran tetap bagian tak terjangkau dari hukum yang ada. Tidak salah, kalau pelacuran merupakan komoditi seks yang menggiurkan.6

Pelacuran memiliki sisi positif dan negatif pula. Diantara sisi positifnya adalah ia memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Baik sebagai usaha kecil sampai industri seks komersial ternyata jumlahnya yang sangat besar. Industri seks merebak di daerah yang membuka lapangan kerja baru. Karena dalam sejarahnya pelacuran memang berkembang sejalan dengan tumbuhnya kota kecil dan kota-kota besar. Di tahun 1995 saja jumlah pekerja seks, di Indonesia berkisar antara 65.582 pelacur, dan diperkirakan mereka yang bekerja nyambi rangkap bisa mencapai angka 500.000. Lokalisasi atau komplek bordello secara resmi diatur oleh Pemerintah Daerah. Hasil dari industri seks ini diperkirakan US$ 1,27 milyar sampai US$ 3,6 milyar atau sama dengan 4%-11% APBN 1995 Republik Indonesia.7

Namun di balik sisi positifnya itu ternyata tersimpan berbagai sisi negatif yang tidak bisa dibayar dengan jumlah materi berapapun. Pelacuran bukan hanya sebuah gejala individual akan tetapi sudah menjadi gejala sosial dari penyimpangan seksualitas yang normal dan juga agama. Karena pelacuran bukan hanya memiliki

6

Armaidi Tanjung, dan Elfi Delfita, Mengapa Zina dilarang, (Solo:CV Pustaka Mantiq, 1997), h.69

7


(16)

dampak terhadap individu-individu pelaku dan pemakai jasa ini secara personal, akan tetapi juga memiliki dampak terhadap masyarakat umum.8

Di era desentralisasi seperti sekarang , penanganan masalah ketertiban dan sosial diserahkan pada pemerintah kota dan kabupaten setempat. Dan beberapa dari mereka kemudian menerbitkan perda mengenai masalah ini. Salah satunya adalah Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Tangerang.

Tepatnya pada usia ke-13 Pemerintah Kota Tangerang mulai melaksanakan Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Dengan disahkannya Perda tersebut, maka siapapun dilarang melacur ataupun melakukan kegiatan yang berhubungan dengan pelacuran. Adapun bagi pelanggar ketentuan-ketentuan Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 ini diberikan ancaman pidana bagi pelakunya yaitu kurungan paling lama 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 15.000.000 (lima belas juta rupiah).

Di samping itu Drs. H. Wahidin Halim, M.S.i, sebagai Walikota Tangerang ingin mewujudkan sebuah Kota yang berhias dan bertaqwa menuju peradaban pembangunan masyarakat yang berakhlakul karimah, bahkan semua aspek pemerintahan diarahkan bagaimana membentuk masyarakat yang berakhlak mulia

8

Abdul Moqsit Ghazali dkk, Tubuh, seksualitas, dan kedaulatan perempuan, (Jakarta: Rahima, 2000), h.211


(17)

guna membendung dekadensi moral ke jurang kehancuran untuk menjadi landasan moral dan etika dalam berbangsa dan bernegara. 9

Pada dasarnya, tujuan mulia mengiringi niat Pemerintah Kota Tangerang membuat Perda itu, selain ingin menciptakan masyarakat yang berakhlakul karimah, pemerintah juga ingin membantu kepolisian dalam rangka menekan angka kriminalitas yang kerap ada dan terjadi. Harus diakui, sejak disahkan DPRD Kota Tangerang pada akhir November 2005, perda No 8 tahun 2005 sedikit banyak telah membawa pengaruh positif bagi warga Kota Tangerang.

Terbukti kini keberadaan PSK tidak sesemarak dulu, sebelum adanya perda tersebut. Kepala Dinas Ketentraman dan Ketertiban Kota Tangerang, Ahamad Lutfi mengatakan semenjak Perda No 8 tahun 2005 diberlakukan, jumlah PSK diwilayahnya menurun, yaitu dari 200 PSK, kini tinggal 50 orang PSK. Sisa yang masih nekat beroperasi di Kota Tangerang, selalu kucing-kucingan dan berdandan tidak seronok.10

Itikad baik Pemda Tangerang untuk membenahi moral masyarakat juga mendapat sambutan negatif dari kalangan yang tidak sepaham. Bahkan ada yang menganggap hal ini sebagai upaya penegakan Syariat Islam di tingkat pemda.

9

http://www.Tangerangkota.go.id/view.php?mode=9&sort no=22, artikel diakses pada tanggal 15 maret 2008.

10

Sumantri Handoyo, Tangerang MIOL, artikel diakses pada 15 Juli 2008 dari http://www.Kaskus.us/showthread.php?t=308011


(18)

Berbagai macam isu yang mendeskreditkan Pemda Tangerang bertebaran di media massa, mereka bersuara lantang mencabut pembatalan Perda tersebut.11

Penyebabnya adalah Perda ini memberi kewenangan pada aparat Tramtib untuk menangkap perempuan mana saja yang dicurigai sebagai pelacur. Akibatnya banyak terjadi penangkapan terhadap perempuan baik-baik yang kebetulan keluar malam seperti pulang kerja. Padahal dalam sistim hukum manapun seseorang tidak boleh ditangkap dan dihukum hanya dilandasi oleh kecurigaan.

Ambil kasus salah tangkap yang dialami saudari Lilis Lindawati, seorang ibu rumah tangga yang bekerja di sebuah restoran Cengkareng, di tangkap oleh petugas Tramtib pada tanggal 27 Februari 2006 di daerah Grendeng Kecamatan Karawaci pada saat pulang kerja.12 Dengan kasus tersebut Perda No. 8 Tahun 2005 dalam Implementasinya telah menimbulkan kriminalisasi terhadap perempuan yang bekerja di malam hari. Sehingga terjadi adanya pro dan kontra mengenai Perda tersebut. Akan tetapi, dibutuhkan sebuah regulasi untuk menertibkan aktivitas mereka dengan terus berpikir bagaimana mencari penyelasaian permasalahan mereka.

Bertolak pada itu semua maka dianggap perlu untuk mengetahui bagaimana tanggapan dan reaksi masyarakat Kota Tangerang sendiri yang berlatar belakang masyarakat yang menjunjung tinggi agama memandang fenomena pelacuran yang

11

Chairil Akhmad, Orang Kerdil Takut Islam Besar, artikel diakses pada 20 juli 2008 dari http: www.mail-archive.com/ppiindia@yahoogroups.com/msg39478.html,

12

Soelastri soekirno dan Ninuk M Pambudy, Perempuan, perda, dan Domestikasi, kompas, Sabtu 04 maret 2006


(19)

terjadi di masyarakat dengan dikeluarkannya Perda Kota Tangerang No 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.

Atas dasar tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan melaporkannya dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi dengan judul :

“Respon Masyarakat Kota Tangerang terhadap Peraturan Daerah Kota Tangerang No 8 Tahun 2005 Tentang Pelarangan Pelacuran”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar pembahasan skripsi ini lebih sistematis dan terarah, maka perlu adanya pembatasan masalah yang akan dianalisa. Untuk itu pembatasan masalah dalam penulisan karya ilmiah ini adalah ;

1. Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.

2. Pelaksanaan Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.

3. Pelaksanaan Perda Kota Tangerang di Kecamatan Karawaci dan Kecamatan Cipondoh.

4. Respon masyarakat Kota Tangerang terhadap Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.

Dengan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, fokus penulisannya diharapkan mampu memberikan pemahaman bagi para pembaca. Berkenaan dengan ini, maka pokok masalah dalam skripsi ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Apa yang melatarbelakangi lahirnya Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran?


(20)

2. Bagaimana pengetahuan masyarakat terhadap Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2005 Kota Tangerang tentang Pelarangan Pelacuran?

3. Bagaimana sikap dan respon masyarakat Kota Tangerang terhadap Peraturan Daerah No. 8 tahun 2005 Kota Tangerang tentang Pelarangan Pelacuran?

C Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Setelah penulis menentukan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan :

1. Untuk mengetahui latar belakang lahirnya Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran

2. Untuk mengetahui pengetahuan masyarakat Kota Tangerang terhadap Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran

3. Untuk mengetahui sikap dan respon masyarakat Kota Tangerang terhadap Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.

Adapun manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu: Manfaat secara Teoritis yakni memperkaya khazanah keilmuan khususnya di lingkungan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedangkan Manfaat secara praktis yaitu memberikan Informasi pada masyarakat umum sebagai bahan untuk kebijakan Kota Tangerang dalam hal ini Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.


(21)

D. Review Studi Terdahulu

Berdasarkan telaah yang sudah dilakukan terhadap beberapa sumber kepustakaan, penulis meninjau bahwa apa yang merupakan masalah pokok penelitian ini tampaknya sangat penting dan prospektif untuk mengetahui seperti apa respon masyarakat terhadap Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2005 Kota Tangerang. Adapun penelitian sebelumnya tentang Peraturan Daerah dan pelacuran diantaranya adalah sebagai Berikut :

No Identitas Penulis Substansi Perbedaan

1. Najihatin Niswah, Tahun 2006

Kedudukan Hukum Lokalisasi Pelacuran menurut pemikiran Dr.KH.MA. Sahal Mahfudz,

memberikan pandangan yang jelas mengenai pelacuran yang merujuk pada Al-Qur’an dan Hadist, serta penanggulangan pelacuran melalui pemikiran DR. KH. SAHAL MAHFUDZ, lewat pemikirannya yang tertuang dalam Nuansa Fiqh Sosial. Menurutnya ada dua cara terbaik dalam menanggulangi pelacuran. Pertama, melalui

Terletak pada cara penanggulangan pelacuran. Yaitu dengan adanya Lokalisasi dan penanggulangan, dengan pencegahan pelacuran dengan adanya Peraturan

Daerah Kota

Tangerang No. 8

Tahun 2005


(22)

Sentralisasi lokasi pelacuran dari suatu tempat yang jauh dari kontak penduduk. Kedua, melalui pendekatan Kausatif-Sosiologis. Cara ini dimaksudkan untuk mengetahui sebab-sebab dan latar belakang para pelaku pelacuran. Kiai sahal menyebut sebagai

“Keyword” untuk mengatasi

pelacuran.

Pelacuran

2. Siti Bulkis pada Tahun 2008

Sikap masyarakat Terhadap

Perilaku zina (Studi kasus di Desa Kandawati Kec.Gunung Kaler,

Kab.Tangerang, Prop. Banten),

penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan pemahaman dan tindakan masyarakat Desa Kandawati terhadap peilaku zina.

Terletak pada zina yang dilakukan tanpa ada imbalan

atau bayaran

dengan perbuatan

zina adanya

pembayaran (pelacuran) 3. Dewi Nugraha

Nuraeni Tahun 2007

Adat kebiasaan masyarakat Garut dalam perspektif Perda Kabupaten Garut No 22 Tahun 2000 dan

Perbedaan pada materi perda, daerah pembuatan


(23)

Hukum Islam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemberdayaan, pelestarian, pengembangan adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat, jenis-jenis, adat-istiadat serta pelestarian adat istiadat tersebut sesuai dengan ketentuan hukum Islam.

perda, tidak adanya respon masyarakat terhadap penerapan perda.

4. Sri Wahyuni, Tahun 2006

Tinjauan Hukum Islam terhadap Perda Kota Tangerang No 7 Tahun 2005 tentang minuman

beralkohol, penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap Perda Kota Tangerang tentang Minuman Beralkohol.

Terletak pada isi perda dan tidak ada tanggapan

mengenai perda menurut persepsi masyarakat

terhadap

keberadaan perda. 5. Isti’amah, Tahun

2008

Tinjauan Hukum Islam terhadap

penanggulangan Prostitusi di

Cirebon (Analisis terhadap perda Kabupaten Cirebon No.1 tahun

Keberadaan perda ditinjau menurut

hukum Islam,


(24)

2002 Tentang Prostitusi ), tujuan penelitian ini, untuk mengetahui tinjauan Hukum Islam terhadap perda Cirebon No 1 tahun 2002 tentang Prostitusi.

dalam pandangan masyarakat, serta wilayah pembuatan perda.

Dari beberapa kajian skripsi yang telah dipaparkan di atas, belum ada satu karya ilmiah yang secara tuntas mengenai respon atau (tanggapan) masyarakat terhadap pelarangan pelacuran dalam Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.

E. Metode Penelitian

Ada beberapa hal yang terkait dengan metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini, yakni;

1. Pendekatan

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Data Kualitatif yang diperoleh adalah berupa dokumen yang berkaitan dengan Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran, dan juga data wawancara yang dilakukan kepada para pihak yang terkait erat dengan Peraturan Daerah tersebut. Serta penelusuran


(25)

terhadap data-data yang ada dilapangan, termasuk beberapa pemikiran atau tulisan dan catatan yang memiliki relevansi dan mendukung terhadap penelitian yang di angkat. Sedangkan Jenis data Kuantitatif digunakan terutama untuk melihat Respon masyarakat Kota Tangerang (di kecamatan Karawaci dan Kecamatan Cipondoh) terhadap Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran .

2. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian skripsi ini termasuk jenis penelitian hukum normatif karena titik tekannya didasarkan pada Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran serta peraturan lainnya yang terkait dengan Peraturan Daerah Kota Tangerang, baik menyangkut masalah yang diteliti dengan memuat deskripsi masalah berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan secara cermat dan mendalam. Pendekatan Empiris juga dilakukan, terutama untuk memotret realitas yang terjadi di lapangan yang berkaitan dengan Respon Masyarakat Kota Tangerang (di Kecamatan Karawaci dan Kecamatan Cipondoh) terhadap Peraturan Daerah Kota Tangerang No 8 tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.

3. Data

a. Jenis Data

Ada dua sumber yang dijadikan sebagai bahan pengambilan data penelitian ini,yakni primer dan sekunder. Untuk jenis penelitian normatif, data primer diambil dari Peraturan Daerah Kota Tangerang


(26)

No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran atau peraturan lainnya yang masuk dalam kategori sistematika sumber hukum di Negara hukum Indonesia, sedangkan data sekundernya adalah komentar, penjelasan dan juga penafsiran terhadap Peraturan Daerah yang terkait dengan obyek penelitian. Data yang dikumpulkan secara langsung dari sumber- sumber lain, seperti laporan-laporan atau data-data yang diperoleh dari daerah setempat, maupun dari literatur kepustakaan hingga situs internet. Sedangkan untuk jenis penelitian empiris, data primer berasal dari responden masyarakat Kota Tangerang (khususnya di kecamatan karawaci dan Kecamatan Cipondoh) serta informasi hasil wawancara dan sekundernya berupa dokumen yang diambil dari institusi terkait, terutama dari Pemerintahan Kota Tangerang.

b. Instrumen pengumpulan data

Instrument angket digunakan sebagai alat pengumpulan data empiris/lapangan.

c. Teknik pengumpulan data

Untuk jenis penelitian normatif dilakukan dengan cara studi kepustakaan, yakni menelusuri bahan pustaka yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Peraturan Daerah. Sedangkan untuk jenis penelitian empiris dilakukan penelitian lapangan dan penelusuran dokumen. Penelitian lapangan dilakukan dengan cara wawancara baik terstuktur yang terkait dengan Peraturan Daerah Kota


(27)

Tangerang, serta survei dengan instrumen angket Kuesioner atau angket sebagai instrumen utama. Tujuannya adalah menggali data tentang Respon masyarakat Kota Tangerang di Kecamatan Karawaci dan Kecamatan Cipondoh terhadap Perda kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Adapun teknik pengampilan sampel yaitu dengan cara Stratified Random Sampling (sampel dipilih secara acak berjenjang) yaitu diambil dari masyarakat Kota Tangerang yang terdiri dari 13 Kecamatan, diambil 2 kecamatan (Kecamatan Karawaci dan Kecamatan Cipondoh, setiap kecamatan diambil 2 Kelurahan, dan setiap kelurahan diambil secara acak yaitu satu RW dan dua RT.

Dalam hal ini Penulis berpedoman pada buku prosedur penelitian karangan Suharsimi Arikunto, yang memberikan pedoman dalam melakukan penelitian atau seorang peneliti harus memperhatikan 3 hal yaitu :

a. Kemampuan penelitian dilihat dari segi waktu, tenaga dan dana. b. Sempit Luasnya wilayah pengamatan dari setiap Subjek.

c. Besar kecilnya resiko yang ditanggung peneliti.13

Berdasarkan Keterangan diatas, maka penulis mengambil sampel berdasarkan ketiga pertimbangan tersebut, yaitu sebanyak 150 orang sebagai responden dari masyarakat Kota Tangerang (di Kecamatan Karawaci dan Kecamatan Cipondoh) Untuk kecamatan Karawaci yaitu 39 orang warga kelurahan Gerendeng (20 orang

13

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998), Edisi Revisi IV, Cet ke-11, h.120


(28)

warga RT 03/06, dan 19 orang warga RT 04/06) untuk kelurahan Bojong Jaya 38 orang (19 orang warga RT 02/04, dan 19 orang warga RT 03/04) Sedangkan untuk Kecamatan Cipondoh yaitu 43 orang warga kelurahan Poris Plawad (20 orang warga RT 02/03, dan 23 orang warga RT 05/03) untuk Kelurahan Kenanga 30 orang (15 orang warga RT 01/01, dan 15 orang warga RT 02/01).

4. Analisis data

Karena pendekatan yang digunakan adalah Kualitatif dan kuantitatif, maka untuk kualitatif teknik analisis data yang penulis gunakan adalah Content Analysis, teknik analisis diawali dengan mengkompilasi berbagai dokumen termasuk peraturan perundangan yang berkaitan khususnya dengan Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 8 tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran, serta mengkategorisasikan data hasil wawancara. Dari hasil tersebut, selanjutnya dikaji isi (content); baik terkait kata-kata (Word), makna (meaning) symbol, ide, tema-tema dan berbagai pesan lainnya yang disampaikan terutama oleh Peraturan Daerah yang dimaksud. Khusus mengenai Peraturan Daerah, data yang diperoleh dari analisis ini sekurang-kurangnya adalah gagasan kultural yang melingkupi latar belakang diterbitkannya Perda, identitas subyek dan obyek bahasan Perda serta pergolakan isu, kebijakan atau ide yang diperjuangkan/dikembangkan dalam tiap-tiap butir Perda tersebut.

Secara detail, langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan analisis tersebut adalah, semua bahan hukum baik yang diperoleh secara normatif maupun empiris disistematisir dan diklasifikasikan kemudian dilakukan eksplikasi yakni diuraikan dan dijelaskan sesuai obyek yang diteliti berdasarkan teori. Bahan yang


(29)

telah dieksplikasi dilakukan evaluasi, yakni dinilai dengan menggunakan ukuran ketentuan hukum yang berlaku, terutama ketentuan hukum mengenai Peraturan Daerah Kota Tangerang No 8 tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran. Langkah analisis tersebut dilakukan secara integral dalam satu kesatuan. Ini dilakukan agar menghasilkan kesimpulan yang komprehensif dan kritis, yang mencakup; fakta, teori dan nilai yang perspektif.

Kemudian untuk data kuantitatif data-data tersebut ditabulasi, yakni disusun ke dalam bentuk tabel dengan menggunakan Statistik Prosentase sebagai berikut

Keterangan :

% 100 X N F P=

P = Besar Prosentase

F = Frekuensi ( Jumlah jawaban responden ) N = Jumlah Responden14

Adapun dalam teknik penulisan dan transliterasi yang digunakan penulis adalah berpedoman kepada buku pedoman penulisan skripsi yang dikeluarkan oleh Syariah dan Hukum tahun 2007, dengan beberapa penulisan skripsi sebagai berikut:

1. Kutipan ayat-ayat Al-Qur’an tidak diberi footnote,melainkan dengan menyebut nama dan nomor ayat yang dikutip pada akhir kutipan.

2. Pembuatan indensi dan footnote disesuaikan dengan program komputerisasi yang ada.

14

Anas sudjono, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1997), cet ke-8, h.40


(30)

3. Pembuatan tabel dengan satu spasi.

F Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan masalah dalam penulisan skripsi ini penulis mencoba mengelompokkannya berdasarkan hubungan dari setiap masalah yang ada. Secara keseluruhan skripsi ini terdiri dari lima bab yaitu :

BAB I Pendahuluan, dalam bab ini penulis menjelaskan sekaligus menempatkan skripsi ini pada kerangka dasar dengan memaparkan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II Tinjauan teoritis pelacuran, dalam bab ini memuat tentang definisi pelacuran, pelacuran menurut hukum Islam, pelacuran dalam hukum pidana, sejarah pelacuran di Indonesia, faktor-faktor yang mempengaruhi pelacuran, dampak dari pelacuran. Perempuan dan hak-hak perempuan, Gender dan Islam.

BAB III Perda Kota Tangerang No.8 Tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran, sekilas tentang Kota Tangerang, materi Perda Kota Tangerang No.8 tahun 2005, sistematika Perda Kota Tangerang No.8 Tahun 2005, problematika Perda Kota Tangerang No.8 tahun 2005, serta penerapan Perda Kota Tangerang No.8 tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran.


(31)

BAB IV Respon masyarakat terhadap Perda Kota Tangerang No 8 tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran, dalam bab ini memuat tentang wilayah obyektif penelitian yaitu di Kecamatan Karawaci dan Kecamatan Cipondoh, identitas responden,pengetahuan masyarakat terhadap pelacuran, sikap masyarakat terhadap Perda Kota Tangerang tentang pelarangan pelacuran, respon masyarakat Tangerang terhadap Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran,sertaanalisa data.

BAB V Penutup yang berisi tentang Kesimpulan dan saran-saran, dalam bab terakhir ini berisi kesimpulan dari permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya dan saran-saran dari penulis


(32)

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG PELACURAN

A. Definisi Pelacuran dan hukumnya

Pelacuran disebut juga dengan prostitusi, yang berasal dari bahasa Latin

pro-stituare yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan perbuatan persundalan, pencabulan, pergendakan. Sedangkan prostitusi adalah pelacur atau sundal yang dikenal dengan WTS atau Wanita Tuna Susila. 15

Pelacuran dalam kamus bahasa Indonesia dijelaskan berasal dari kata lacur

yang berarti malang, celaka, sial, gagal, atau buruk laku. Pelacur adalah perempuan yang melacur, sundal, wanita tuna susila. Pelacuran adalah perihal menjual diri sebagai pelacur, penyundalan.16

Menurut William Benton dalam Encyclopedi Britannica, pelacuran dapat didefinisikan sebagai praktek hubungan seksual sesaat, yang kurang lebih dilakukan dengan siapa saja (promiskuitas)17, untuk imbalan berupa upah. Dengan demikian

15

Kartini Kartono, Patologi Sosial (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1997), Jil.1, Edisi 2, h.177

16

W.J.S. Poerwadarminta; (Diolah kembali oleh pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan), Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), h.548

17

Promiskuitas/promiscuity ialah: Hubungan seks secara bebas dan ketidak acuhan emosional, melakukan hubungan seks tanpa emosi, tanpa perasaan cinta kasih atau afeksi, dan dilakukan dengan pria manapun juga, dilakukan dengan banyak laki-laki.


(33)

pelacuran dikarakteristikkan oleh tiga unsur utama, yaitu pembayaran, promiskuitas,

dan ketidak acuhan emosional.18

Definisi pelacuran menurut Mulia, T.S.G. et.al, dalam Ensiklopedia Indonesia jelasnya, pelacuran itu bisa dilakukan baik oleh kaum wanita maupun pria. Jadi, ada persamaan predikat pelacur antara laki-laki dan wanita yang bersama-sama melakukan perbuatan hubungan kelamin di luar perkawinan. Dalam hal ini cabul tidak hanya berupa hubungan kelamin di luar nikah saja, akan tetapi termasuk pula peristiwa homoseksual dan permainan-permainan seksual lainnya.19

Selanjutnya, Kartini Kartono dalam bukunya “Patologi Sosial” mengemukakan definisi pelacuran adalah sebagai berikut:

1. Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri (persundalan) dengan gejala jalan memperjualbelikan badan, kehormatan, dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran.

2. Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang (promiskuitas), disertai eksploitasi dan komersialisasi seks yang impersonal tanpa afeksi sifatnya.

18 Encyclopedi Britannica, Macropaedia, (Chicago/London: William Benton Publishers), 1973-74, dalam Than-Dam truong, Seks, Uang dan kekuasaan, Pariwisata dan pelacuran di Asia Tenggara,Terjemahan Ade Armando, (Jakarta: LP3ES, 1992), cet ke-1, h.15

19

Mulia, T.S.G. et.al, dalam Ensiklopedia Indonesia sebagaimana dikutip oleh Kartini Kartono,


(34)

3. Pelacuran ialah perbuatan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan badannya untuk berbuat cabul secara seksual dengan mendapatkan upah.20

G. May dalam bukunya “Encyclopedia of Social Science”, menuliskan masalah prostitusi, May menekankan masalah barter atau perdagangan secara tukar-menukar, yaitu menukarkan pelayanan seks dengan bayaran uang, uang, hadiah atau barang berharga lainnya. Pihak pelacur mengutamakan motif-motif komersil, atau alasan-alasan keuntungan materiil. Sedang pihak laki-laki mengutamakan pemuasan nafsu-nafsu seksual.21

Sebuah definisi pelacuran yang kurang moralistis diajukan oleh Gagnon J.H. (1968) dalam bukunya “Prostitution”, dalam International Encyclopedia of Social Science, sebagaimana dikutip oleh Thanh-Dam Truong dalam bukunya Seks, Uang dan Kekuasaan, yang memandang pelacuran sebagai “pemberian akses seksual pada basis yang tidak diskriminatif untuk memperoleh imbalan baik berupa barang atau uang, tergantung pada kompleksitas sistem ekonomi. Pembayaran diakui bagi perilaku seksual yang spesifik.” Jadi pelacur didefinisikan sebagai profesional berdasarkan pertukaran moneter dan kelangkaan pelayanan yang disediakan. Pelayanan ini diasumsikan tidak tersedia di dalam lingkup hubungan seksual non komersial. 22

20

Ibid, h.185

21 G. May dalam bukunya, Encyclopedia of Social Science, dalam Kartini Kartono, Patologi

Sosial, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1997), Jil.1, Edisi 2, h.184 22

Gagnon J.H., Prostitution, dalam International Encyclopedia of Social Science, vol. 12, (Macmillan and Free Press, New York, 1968), sebagaimanadikutip olehThan-Dam Truong, Seks, Uang dan kekuasaan, h.17


(35)

Prostitusi atau pelacuran menurut pengertian masyarakat luas adalah Persenggamaan antara pria dan wanita tanpa terikat oleh piagam pernikahan yang sah. Perbuatan ini dipandang rendah dari sudut Moral dan akhlak, dosa menurut agama, tercela dan jijik menurut penilaian masyarakat di Indonesia. Akan tetapi pelacuran adalah salah satu profesi dan lahan bisnis untuk tujuan ekonomi. 23

Sedangkan pelacuran menurut perda Kota Tangerang No8 Tahun 2005 pasal 1 tentang Pelarangan Pelacuran ialah; hubungan seksual di luar pernikahan yang dilakukan oleh pria atau wanita, baik di tempat berupa restoran, hotel, tempat hiburan atau lokasi pelacuran ataupun ditempat-tempat lain di daerah dengan tujuan mendapat imbalan jasa.24

Semua definisi yang disebutkan diatas memiliki masalahnya sendiri-sendiri, karena diangkat dari pelbagai masyarakat yang berbeda yang tentu saja memiliki standar moral dan sosial yang berbeda pula tentang pelacuran.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa paling tidak terdapat empat elemen utama dalam definisi pelacuran yang dapat ditegakkan, yakni: bayaran, perselingkuhan, ketidak acuhan emosional, mata pencaharian.

Dalam banyak literatur pembayaran uang sebagai sumber pendapatan dianggap sebagai faktor yang paling umum dalam dunia pelacuran.

23

Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LKis, 1994), h.95 24

Lembaran Daerah Kota Tangerang No. 8 Seri E Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran


(36)

1. Pelacuran Menurut Hukum Islam

Dalam Islam istilah pelacur masuk dalam kategori pezina, yakni melakukan hubungan seks diluar pernikahan baik untuk mencari uang ataupun tidak. Sebagaimana yang dikutip oleh K.H. Sahal Mahfudz dalam bukunya Nuansa Fiqh Sosial, tentang pendapat para ulama madzhab dalam mendefinisikan zina adalah sebagai berikut:25

1. Menurut Syafi’iyah, zina adalah perbuatan lelaki memasukkan penisnya ke dalam liang vagina wanita lain (bukan istrinya atau budaknya) tanpa syubhat. 2. Menurut Malikiyah, zina adalah perbuatan lelaki menyenggamai wanita lain

pada vagina atau duburnya tanpa syubhat.

3. Menurut Hanafiyah, ia adalah persenggamaan antara lelaki dan wanita lain di vaginanya, bukan budaknya dan tanpa syubhat.26

Pengertian zina yang biasanya dikemukakan dalam kitab-kitab Fiqh adalah hubungan badan antara laki-laki dan perempuan yang tidak berdasarkan pada ikatan perkawinan atau perbudakan yang sah menurut agama. Dalam Al-Qur’an, zina bisa terjadi antara orang yang sudah menikah (Muhsanat) dan belum menikah (Ghairu Muhsanat). Bagi setiap pemeluk Islam harus meninggalkan perbuatan zina.

Perbedaan makna antara prostitusi dengan perzinaan adalah setiap prostitutor adalah pezina dan setiap pezina belum tentu prostitutor. Maksudnya setiap praktek

25

Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, h.95 26


(37)

prostitusi bertujuan komersil dengan meraup upah, sedangkan pezina tidak selalu bertujuan materil.

Pandangan Islam tentang zina dan prostitusi sudah dimaklumi, bukan saja oleh kalangan Islam sendiri, tapi juga oleh masyarakat luas yang berlainan agama. Di samping hukumnya haram dan termasuk dosa besar, Islam memandang perbuatan itu sebagai tindakan tercela dan punya sanksi berat.

2. Dasar Hukum Larangan Pelacuran menurut Hukum Islam

Al-Qur’an sebagai pedoman pertama dan utama agama Islam tegas-tegas melarang dan mengharamkan zina. Banyak ayat mengharamkan zina, bahkan perbuatan yang mengarah zina pun dijelaskan dalam Al-Qur’an, ditambah keterangan Nabi Muhammad SAW melalui sabda beliau.

Beberapa ayat Al-Qur’an yang menyampaikan masalah zina, hal tersebut dijelaskan didalam Qs. Al-Isra’(17): 32

!" #$ % &

'(

)*

+

, -)*

. /0

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya perzinahan itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”

1" ,2

3

3

4

56

&

37'

892:;

)<=>@2AB

" C

2B

D

&

)6

' E,1F&G

)<>I

J" &&K L

M

0MN2O

P(

Q'R!'

!2B 1

P(

2TU

,

$VW)

59">5X O


(38)

)<=> I

, 

J"

YZ(

[

V\2AB

M]2!2B <

./0

Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.”(QS. An-Nur/ 24:2)

Dari kedua ayat ini jelas dan tegas larangan mendekati zina. Zina tidak saja perbuatan yang merusak kehidupan manusia itu sendiri, tapi zina dinilai perbuatan yang keji dan buruk. Allah SWT yang menciptakan manusia, tentu Maha mengetahui dan Maha memahami betul akibat zina yang dilakukan manusia di muka bumi. Kalau tidak, mengapa larangan itu tegas dan jelas ditujukan pada umat manusia.

Sabda Nabi Muhammad SAW mengenai zina

!

" #$%

&'

(

)

*+,

-./

( , 01

01 2

%

3

#

-.%

4 5

,0

-./ ( , 4 5

6

7 8 !

9

Artinya: “Dari Ubaidah bin Shomit dia telah berkata: Bersabda Nabi Muhammad SAW, ambillah dari padaku, (sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi mereka) yaitu perempuan perawan yang berzina dengan laki-laki bujangan hukuman mereka (masing-masing) didera 100 kali dera dan diasingkan satu tahun, dan janda apabila berzina dengan duda hukumannya dera 100 kali ditambah rajam.” (H.R. Muslim)27

Islam memang sangat hati-hati dan bijak dengan perbuatan zina. Untuk itu, pemeluknya diharapkan untuk mengendalikan naluri birahi nafsu seksnya. Sehingga jangan sampai pemenuhan kebutuhan seks melalui praktek liar, kacau, dan melanggar

27


(39)

fitrah manusia. Tapi Islam mengatur jalan yang luhur dan membawa kebaikan sesuai dengan ketinggian martabat manusia.28

Adapun solusi yang diciptakan Islam dalam rangka mencegah terjadinya zina antara lain adalah lembaga perkawinan. Melalui lembaga ini diharapkan manusia akan melakkuakan hubungan seksual dengan jalan yang baik dan lebih memiliki ikatan formal maupun etik dengan agama dan juga dengan pasangannya, sudah pasti yang diharapkan adalah lembaga perkawinan yang mampu menciptakan keluarga yang mawaddah wa rahmah didasari oleh kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

2. Pelacuran dalam Hukum Pidana

KUHP dan RUU-KUHP tidak melarang postitusi tetapi hanya melarang

mucikari (germo).29 Adapun larangan melakukan profesi mucikari terdapat dalam pasal 296 KUHP. Yang menentukan bahwa:30

“Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan

cabul dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu.”

Pasal 432 RUU-KUHP juga menentukan bahwa:31

“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun paling singkat tiga tahun. Setiap orang:

28

Armaidi Tanjung, Mengapa Zina dilarang, (Solo: CV Pustaka Mantiq, 1997), h. 24 29

Orang yang menyediakan sarana (kamar, rumah), menyediakan pelacur, mengelola aktifitas tersebut, dan mendapat sejumlah prosentase tertentu.

30 Andi Hamzah, KUHP&KUHAP (Jakarta:Rineke Cipta, 1992), h.119 31

Departemen Hukum dan undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan direktur Perundang-Perundang-undangan, rancangan Undang-undang Republik Indonesia, Nomor…Tahun… Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Direktorat perundang-undangan, 1999-2000), h. 164


(40)

a)

enjadikan sebagai pekerjaan atau kebiasaan menghubungkan atau memuaskan orang lain berbuat cabul atau bersetubuh; atau

b)

enarik keuntungan dari perbuatan cabul dan persetubuhan orang lain dan menjadikannya sebagai mata pencahariannya.

KUHP dan RUU KUHP dalam pasal 434 hanya melarang orang yang bergelandangan dan berkeliaran di jalan atau di tempat umum dengan tujuan melacurkan diri, namun pelacuran atau prostitusi itu sendiri tidak dilarang.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang ada dan berlaku dalam mengatur delik susila masih sangat terbatas pada masalah pemerkosaan serta pada masalah perzinaan. Adapun istilah perzinaan yang digunakan dalam KUHP hanya terbatas pada skandal seksual yang dilakukan oleh orang-orang yang telah berkeluarga atau terkait dengan tali pernikahan, yang dilakukan dengan orang lain yang bukan suami atau istrinya. Skandal seks yang dapat dikategorikan perzinaan menurut KUHP, adalah apabila:

1. Dilakukan oleh orang-orang laki-laki beristri dengan perempuan lain yang bukan istrinya sendiri.

2. Dilakukan oleh seorang perempuan bersuami dengan laki-laki lain yang bukan suaminya

3. Dilakukan oleh seorang perjaka atau duda dengan istri orang lain. 4. Dilakukan oleh seorang gadis atau janda dengan suami orang lain.32

Jelaslah bahwa persetubuhan/pelacuran yang dilakukan oleh orang-orang yang bebas dari tali pernikahan tidak termasuk delik perzinahan. Seorang gadis/janda tidak

32

Asyhari Abdul Ghafar, Pandangan Islam tentang zina dan perkawinan sesudah hami, (Jakarta:Andes Utama, 1996), h.128


(41)

disebut berzina bila ia melakukan senggama dengan seorang perjaka atau duda, dan sebaliknya.33

Meskipun demikian hukum pidana tetap merupakan dasar dari peraturan-peraturan dalam industri seks di Indonesia. Karena larangan memberikan pelayanan seksual khususnya terhadap praktek-praktek pelacuran tidak ada dalam hukum Negara, maka peraturan dalam industri seks ini cenderung didasarkan pada peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah daerah, baik pada tingkat Propinsi, Kabupaten, dan Kecamatan, dengan mempertimbangkan reaksi, aksi dan tekanan berbagai organisasi masyarakat yang bersifat mendukung dan menentang pelacuran tersebut.

Sebenarnya pelacuran dilihat dari segi hukum, norma maupun agama merupakan sebuah bentuk penyimpangan seks yang normal. Dalam Islam secara tegas melarangnya bahkan mulai dari langkah pendekatannya sampai pelaksanaan pelacuran (perzinaan) itu sendiri, mengingat kejinya perbuatan tersebut melebihi dari perbuatan hewan. Namun hukum di Indonesia KUHP (yang berasal dari WVS Belanda itu) tidak dengan tegas melarang adanya pelacuran. Juridiksi ini hanya mengancam pidana bagi para mucikarinya saja. Sedangkan pelacur dan pelanggannya tidak diancam. Namun hanya terkena ancaman menyangkut ketertiban ditempat umum dan jalan raya. Sikap ini menunjukkan tidak adanya kekuatan hukum yang kuat yang bisa menjerat dan memberantas praktek pelacuran (prostitusi).

33 Ibid


(42)

B. Sejarah Pelacuran di Indonesia

Pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua umur kehidupan manusia itu sendiri. Yaitu berupa tingkah laku lepas bebas tanpa kendali dan cabul, karena adanya pelampiasan nafsu seks dengan lawan jenisnya tanpa mengenal batas-batas kesopanan. Pelacuran itu selalu ada pada semua negara berbudaya, sejak zaman purba sampai sekarang. Dan senantiasa menjadi masalah sosial, atau menjadi obyek urusan hukum dan tradisi. Selanjutnya, dengan perkembangan teknologi, industri dan kebudayaan manusia, turut berkembang pula pelacuran dalam pelbagai bentuk dan tingkatannya.34

Secara historis, Pelacuran bukan sebuah fenomena baru, sejak zaman Babilonia dan India kuno pelacuran telah muncul ke permukaan. Bahkan menurut Thanh-Dram Truong,35 praktik pelacuran pada masa Babilonia kuno ini mengatasnamakan agama. Praktik prostitusi ini dilakukan dengan cara menempatkan perempuan-perempuan cantik disekitar candi-candi untuk melakukan kegiatan seksual dengan orang-orang asing yang berkunjung sebagai imbalan kesuburan dan kekuasaan seksual si dewi yang mereka puja. Hasil prostitusi ini di sumbangkan untuk keberlangsungan candi. Perempuan pelayan seks ini memiliki akses terhadap tanah, budak, dan menikmati prestise sosial. Di India dikenal istilah devadasi (pelacur candi) dengan fenomena yang agak mirip dengan Babilonia, pelacuran dilakukan oleh perempuan-perempuan yang berasal dari kasta rendahan. Prostitusi ini dilakukan

34

Kartini Kartono, Patologi sosial, h.177-178 35


(43)

untuk tujuan keagamaan karena adanya keyakinan bahwa perempuan perlu dilahirkan kembali sebagai pria dengan menjalani Salvation (penyelamatan diri)36

Selain Pelacuran yang dimotivasi oleh unsur keagamaan juga terdapat pelacuran yang dipicu oleh unsur non keagamaan. Di Indonesia sendiri secara umum dilakukan karena non keagamaan yang terdapat dimana-mana. Entah itu diorganisir oleh suatu kelompok atau dilakukan secara individual.37 Bahkan, pada masa-masa krisis ekonomi seperti sekarang ini, prostitusi semakin hari semakin meningkat. Dengan sejarah panjang, pelacuran telah dikenal sejak nenek moyang bangsa Indonesia. Walaupun dengan bentuk yang berbeda-beda baik mulai dari tari-tarian, sawer, selir, ataupun dalam bentuk lain, namun semuanya mengarah pada satu bentuk pelacuran.

1. Masa Kerajaan

Pelacuran di Indonesia tidak terlepas dari sejarah peradaban bangsa Indonesia sendiri. Menurut banyak sumber pelacuran di Indonesia telah terjadi sebelum zaman kerajaan Majapahit. Perdagangan perempuan saat ini merupakan pelengkap dari sistem kerajaan, kekuasaan raja tidak terbatas hanya sekedar menguasai pemerintahan, tapi juga menguasai segalanya termasuk tanah dan segala isinya beserta rakyatnya (hamba).38

36 Lihat di Marzuki Umar Sa’abah, Seks dan Kita, (Jakarta:Gema Insani Press),cet ke-1, h.83 37

Abdul Moqsit Ghozali dkk, Tubuh, Seksualitas, Dan Kedaulatan Perempuan, (Jakarta: Rahima, 2002), cet-I, h.212

38

Abu Al-Ghifari, Gelombang Kejahatan Seks Remaja Modern, (Bandung: Mujtahid, 2002), cet ke-3, h.99


(44)

Menurut penulis buku Pelacuran di Indonesia Sejarah dan Perkembangannya, Terence H. Hull dan Gavin W.Jones, para doktor kependudukan, serta kandidat doktor Endang Sulistyaningsih, sekarang dosen pascasarjana yang bekerja di Depnaker, sebagaimana dikutip oleh Panji mas dalam artikelnya wanita publik dari masa ke masa, yaitu Tradisi "menjual" atau mempersembahkan wanita untuk imbalan tertentu berlanjut sampai beratus tahun kemudian.39 Dalam sejarah, nilai perempuan sebagai barang dagangan kata mereka, melekat sejak berdirinya dua istana pecahan Kerajaan Mataram, 1755, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, yang pengaruhnya bertahan lama di Jawa. Di Jawa Barat daerah itu adalah Kabupaten Indramayu, Karawang, dan Kuningan. Di Jawa Tengah: Pati, Jepara, Grobogan, dan Wonogiri. Lalu Blitar, Malang, Banyuwangi, dan Lamongan untuk Jawa Timur.40

Tidak hanya di Jawa. Di Bali, umpamanya, seorang janda dari kasta bawah, jika tak ada beking kuat keluarganya, otomatis menjadi milik raja. "Jika raja memutuskan tidak mengambilnya untuk lingkungan istana, dia akan dikirimkan ke luar kota untuk menjadi pelacur", dengan catatan, sebagian penghasilannya disetor ke Istana. Tren ini, bersama dengan perbudakan dan pengabdian seumur hidup, merupakan hal yang biasa dijumpai dalam sistem feodal di seluruh Asia.

39

Panji Mas, Wanita Publik dari masa ke masa, diakses pada tgl 13 agustus dari http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/07/26/0018.html

40 Ibid.


(45)

Memang,tradisi itu belum mencapai segi komersialisasinya sebagai industri seks dengan sistem germo dan pelacur profesionalnya.41

2. Masa Penjajahan

Sejarah Prostitusi Pondasi pelacuran modern di Indonesia dibangun pada zaman kerajaan Mataram.Tradisi penyerahan perempuan sebagai upeti diteruskan dengan perdagangan wanita dan menemukan bentuknya yang mutakhir didorong faktor-faktor ekonomi dan kemiskinan nilai-nilai agama. Seperti perdagangan yang lain, pelacuran lahir oleh adanya penawaran dan permintaan.

Aktivitas pelacuran meningkat drastis setelah ada pembenahan hukum agraria, 1870. Yaitu dibukanya perekonomian negara jajahan bagi para penanam modal swasta. Area perkebunan diperluas di Jawa Barat, industri gula tumbuh di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di Sumatera, perkebunan didirikan. Gerakan ekonomi ini menarik migrasi tenaga kerja laki-laki. Mayoritasnya bujangan secara besar-besaran. Sarana pun dibangun. Misalnya jalan kereta api untuk menghubungkan kota-kota di Jawa: Batavia-Bogor-Cianjur, Bandung-Cilacap, Yogya, Surabaya. Fisik kota-kota kota ini juga dibenahi, termasuk didirikannya tempat penginapan. Ini yang membuat aktivitas pelacuran tumbuh di sekitar stasiun kereta api di setiap kota.42

Di Indonesia dari pertengahan 1890-an sampai sekitar 1913, pelacuran diatur oleh pemerintah Kolonial bagi Netherlands Indies Army agar para serdadu

41

Panji Mas, Wanita Publik dari masa ke masa, diakses pada tgl 13 agustus dari http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/07/26/0018.html

42


(46)

dapat memuaskan dahaga seksualnya melalui cara “alamiah”, mengingat berlakunya sikap menghinakan terhadap matsurbasi dan homoseksualitas pada masa itu. Pelacuran teratur seperti itu dibela berdasarkan kepercayaan bahwa pelacuran dibutuhkan untuk memuaskan kebutuhan seksual alami pria dan untuk menjaga agar mereka tetap “jantan”. Pelacur dipandang sebagai keniscayaan untuk membantu mempertahankan “kejantanan” pria seraya pada saat yang sama para serdadu didorong untuk tidak menikahi perempuan pribumi. Pelayanan medis disediakan bagi para pelacur untuk menjaga mereka tetap sehat dan kuat untuk digunakan. Segregasi spasial antara serdadu dan pelacur diberlakukan untuk mencegah hidup bersama atau perkawinan.43

Sebagai contoh, di Nairobi sekitar pertengahan 1930-an, “pusat-pusat a-susila”, ditoleransi oleh Negara sebagai tempat-tempat reproduksi pekerja upahan kota. Pusat-pusat ini menyediakan sekaligus pelayanan seksual dan kerumah-tanggaan seperti tempat tidur, makanan matang, air mandi, minuman keras, dan sebagainya. Pusat-pusat a-susila juga menguntungkan pemerintah daerah dalam hal menghemat dana “perumahan layak” bagi pekerja pribumi karena “kebutuhan delapan pekerja mungkin dapat dipenuhi hanya dengan menyediakan dua kamar bagi para pria dan satu kamar bagi pelacur”.44

43

Than-Dam Thruong, seks,uang, …, h.143 44

Davis dalam white, 1986:256, sebagaiman dikutip oleh Than-Dam Thruong dalam bukunya seks, uang, dan kekuasaan Than-Dam Thruong, seks,uang, …,h.143


(47)

Contoh lain adalah kasus perkebunan di sejumlah wilayah Kolonial di Asia Tenggara. Di Sumatra pada abad ke-19,perluasaan perkebunan menciptakan kebutuhan akan pekerja upahan yang kemudian dipenuhi oleh arus migrant pria dari Jawa. Para pelacur direkrut untuk menemani para kuli agar tetap berada di depot pada masa menunggu yang panjang. Di perkebunan, pekerja kontrakan perempuan diboyong ke dalam untuk menarik para pekerja pria dan untuk menjaga agar mereka tetap berada dalam kontrak. Kuli para perempuan berfungsi sebagai tukang masak dan “pelayan tempat-tempat tidur” bagi pekerja pria yang tidak menikah yang berada dalam lilitan utang dan kekeurangan uang. Ditunjukkan Stoler (1985), perdagangan kuli perempuan oleh para manajer, mandor, dan pekerja pria pribumi sangat menguntungkan dan berlaku umum di Sumatra pada peralihan abad ini.45

Di zaman pemerintahan Hindia Belanda merasakan perlunya ada hiburan dan pelayanan seksual bagi tentaranya, pelacur diperbolehkan berkunjung ke penjara untuk menghilangkan keresahan politik. Berbagai bentuk pelacuran telah dikenal pula dalam seni tari tradisional. Dongbret, lenong, ronggeng, ledek, punya bagian sentral terdiri atas tari-tarian, dan sering diadakan untuk meramaikan hajatan atau selamatan, sering pula diikuti dengan transaksi seks.46

3. Masa Kemerdekaan

Tak lama setelah Indonesia merdeka, kala perekonomian masih morat-marit, perempuan muda dan keluarga miskinnya dari desa mencoba mengubah nasibnya

45

Ibid, h.144 46

Stoler, A,. Capitalism and Confrontation in sumatra’s Plantation Belt 1880-1979, (New Haven: Yale University Press, 1985), dalam Than-Dam Thruong, seks, uang,…, h.XXVII.


(48)

dikota. Pada 1990, ketika jumlah penghuni kota meroket, sektor primer tak mampu menyediakan lapangan kerja sebanyak pertambahan itu. Hanya 49% dari penduduk usia kerja yang dapat ditampung. Untuk tenaga kerja wanita, terbanyak lowongan berada di pabrik, di jasa penjualan, hotel dan restoran, dan rumah-rumah tangga. Tetapi karena upah kurang memadai, para perempuan itu melirik industri seks yang memberi peluang penghasilan lima sampai 10 kali lipat. Nah, ketika gaya hidup berubah, mobilitas penduduk mudah, pendapatan masyarakat membaik, industri seks makin rumit jenisnya. Selain pelacur klasik yang beroperasi di jalanan dan rumah-rumah untuk call girls alias gadis panggilan, ada kelompok wanita yang disebut perek

("perempuan eksperimen"), dan paling mutakhir ABG ("anak baru gede") atau "remaja komersial" yang mencari mangsa di diskotek, bioskop, dan mall. Tetapi remaja yang "bisa dipakai" ini tidak selalu bisa dikategorikan sebagai "pekerja" seks. Sebab ada yang motifnya bukan uang, cuma sekadar bersenang-senang. Data resmi menyebutkan, jumlah "pekerja seks"sampai 1994/1995 tercatat 71.281.tidak termasuk yang di luar pagar lokalisasi.47

Namun tak bisa diingkari kendati sampai 1997 perkembangan ekonomi Indonesia nampak begitu maju, namun pelacuran tidak pernah menjadi perhatian pemerintah. Yang ada hanya usaha penyelesaian dengan jalan pintas. Dan mereka menganggapnya sebagai “penyakit sosial” sehingga memerlukan sebuah direktorat khusus di Departemen sosial. Sampai sekarang hiburan malam dan praktek pelacuran

47

Panji Mas, Wanita Publik dari masa ke masa, diakses pada tgl 13 agustus dari http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/07/26/0018.html


(49)

makin marak, baik yang terselubung maupun yang secara terang-terangan. Mulai dari kalangan bawah yang berkeliaran di jalan-jalan raya, sampai yang berpraktek-praktek di hotel-hotel untuk kalangan elit.. Semua fenomena ini adalah tanggung jawab kita bersama, karena semua ini bukanlah terjadi sendiri namun karena diciptakan oleh kondisi yang di ciptakan oleh kehidupan manusia. Maka tidak adil jika hanya menyalahkan satu pihak saja.

C. Faktor penyebab terjadinya pelacuran

Setiap pelacur memiliki berbagai alasan untuk menerjuni profesi yang tidak favorit di mata masyarakat umum. Sekali lagi, hidup tidaklah ideal. Profesi apapun akan dijalani untuk menyambung hidup. Salah satunya adalah menjadi pelacur. Adapun faktor penyebab terjadinya pelacuran yaitu:

1. Faktor ekonomi

Karena faktor kemiskinan; adanya pertimbangan-pertimbangan ekonomis untuk mempertahankan hidupnya, khususnya untuk mendapatkan status sosial yang lebih baik.48

2. Faktor Kemalasan

Diakibatkan oleh faktor psikis dan mental yang rendah, tidak memiliki norma agama, dan susila menghadapi persaingan hidup. Hanya dengan modal fisik, kecantikan, sehingga dengan mudah mengumpulkan uang.49

3. Faktor moral atau akhlak

48

Kartini Kartono, Patologi sosial, h.209 49

Reno Bachtiar dan Edy Purnomo, Bisnis Prostitusi Profesi yang menguntungkan, (Yogyakarta: Pinus), Cet-1, h.81


(50)

Adanya demoralisasi atau rendahnya faktor moral, ketakwaan individu dan masyarakat, serta ketidaktaatan terhadap ajaran agamanya, serta standar pendidikan dalam keluarga mereka pada umumnya rendah.

4. Faktor Biologis

Adanya nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian, yang tidak merasa puas mengadakan relasi seks dengan satu pria/suami.

5. Faktor sosiologis

Ajakan dari teman-temannya sedaerah yang sudah lebih dahulu terjun ke dunia pelacuran. Karena faktor pendidikan yang sangat minim, akhirnya mereka dengan mudah kena bujuk dan tipuan dari para calo yang menjanjikan gaji yang sangat tinggi dan akhirnya dijebloskan ke tempat pelacuran.

6. Faktor Psikologis

Hubungan keluarga yang berantakan, terlalu menekan, dan mengalami penyiksaan seksual dalam keluarga. Serta adanya pengalaman traumatis dan shock mental misalnya; gagal dalam bercinta atau perkawinan dimadu, ditipu, sehingga muncul kematangan seks yang terlalu dini dan abnormalitas seks.50 7. Faktor yuridis

Tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran, serta tidak ada larangan terhadap orang-orang yang melakukan relasi seks sebelum

50


(51)

pernikahan atau diluar pernikahan, akan tetapi yang dilarang dalam undang-undang adalah mucikari dan germo.51

D. Dampak dari pelacuran terhadap masyarakat.

Setiap sesuatu di muka bumi ini pastilah mempunyai dua sisi yang berlawanan, yakni sisi positif dan sisi negative. Namun dengan proporsi yang berbeda-beda dimana yang satu lebih mendominasi yang lainnya. Begitu juga dengan praktek pelacuran, ia mempunyai sisi positif walaupun dampak negatifnya lebih dominan dari pada dampak positifnya.

1. Dampak Positif Pelacuran

a) Prostitusi di Indonesia mampu menghasilkan uang sekitar Rp 8,6 triliyun. Jumlah tersebut dihitung dari penghasilan sekitar 72.000 pelacur se-Indonesia(1997), ditambah pajak tempat hiburan malam seperti bar dan diskotik. Dalam versi majalah Prospektif edisi 17-23 april 2006 itu mengutip sebuah hasil penelitian [Khofifah] bahwa omset bisnis syahwat mencapai Rp 11 triliun [setahun]. Bagi bangsa Indonesia turisme merupakan sumber devisa yang sangat penting di bidang non-migas. Di antara efek semakin berkembangnya arus turisme ini maka semakin besar permintaan. Maka jika permintaan terpenuhi, arus wisatawan semakin banyak, devisa yang masuk ke kas Negara juga semakin banyak. 52

51

Ibid, h.207 52

http://arifwidi.com/catatan/2006/04/playboy-indonesia-pornografi-indonesia, diakses pada tanggal 10 Desember 2008


(52)

b) Alternatif pekerjaan yang praktis untuk mengatasi kemiskinan yang tak berujung.

c) Bisa menjadi fasilitas menjaga keutuhan rumah tangga bagi orang yang melihatnya dari faktor teori keseimbangan. Dengan dalih misalkan suami tergoda untuk jajan (istilah dari memakai jasa pelacur), maka bisa jadi dia akan merasa berdosa, dan pada saat rasa berdosa itu semakin bertambah dan mencapai puncaknya maka ia akan lebih dan semakin sayang terhadap istrinya. Apalagi jika kedua belah pihak mampu memahami kondisi masing-masing dan saling membuka ruang komunikasi., yang merusak keharmonisan rumah tangga itu bukan murni kesalahan dari pelacur, namun juga karena salah satu pihak istri atau suami lebih senang menikmati suasana diluar rumah dan tergoda dengan menu baru (gaya-gaya berhubungan yang sering ditawarkan oleh pelacur).

Namun dampak positif yang ditawarkan ini masih sering terjadi kontroversi dari berbagai pihak tinggal dari sudut pandang mana orang menilainya, Maka masing-masing pihak akan mempunyai pandangan yang berbeda-beda.

2. Dampak negatif pelacuran.

Setiap hal yang dilarang agama pasti ada hikmah di baliknya. Seperti, pengharaman khamr, karena didalam khamr lebih banyak mengandung mudharatnya daripada manfaatnya. Begitu pula dengan pelacuran, diantara dampak negative pelacuran itu adalah:


(53)

a) Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga. Suami yang tergoda oleh pelacur biasanya melupakan fungsinya sebagai kepala keluarga, sehingga keluarga menjadi berantakan.

b) Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum, agama. Terutama sekali menggoyahkan norma perkawinan, sehingga menyimpang dari adat kebiasaan, norma hukum, dan agama, karena digantikan dengan pola pelacuran dan promiskuitas, yaitu digantikan dengan pola pemuasan kebutuhan seks dan kenikmatan seks yang awut-awutan serta tidak bertanggung jawab.

c) Dengan adanya pelacuran menyebabkan rusaknya moral di dalam masyarakat, dimana dapat menyebabkan rusaknya keturunan dan kehormatan wanita dan keluarga didalam masyarakat.

d) Menimbulkan dan menyebarkan penyakit kelamin dan kulit. Penyakit yang paling banyak terdapat ialah syphilis dan gonorrhoe (kencing nanah). Terutama akibat syphilis, apabila ia tidak mendapatkan pengobatan yang sempurna, bisa menimbulkan cacat jasmani dan rohani pada diri sendiri dan anak keturunan.53

e) Tersebarnya penyakit-penyakit menular yang berbahaya, baik yang telah dikenal secara umum maupun belum seperti AIDS dan sebagainya.54 Ketika AIDS untuk pertama kalinya ditemukan di Amerika Serikat pada tahun1981

53

Kartini Kartono, Psikologi Abnormal & Patologi Seks.(Bandung: Alumni. 1979), h.69-76 54

Usman Ath-Thawiil, Ajaran Islam tentang fenomena seksual,(Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 1997), cet-1, h.72


(54)

seluruh dunia langsung gempar, hingga bulan maret 1986 sudah ditemukan 18.000 kasus dan 51 % dari jumlah tersebut meninggal dunia. Bahkan sampai akhir 1996 di Indonesia sudah muncul 501 kasus AIDS.55

Prostitusi atau pelacuran merupakan penyakit dalam masyarakat yang harus segera dihilangkan, karena sangat mengganggu ketentraman dan kedamaian dalam suatu masyarakat. Walaupun dipahami bahwa prostitusi merupakan salah satu dari sekian keprihatinan yang pasti ada dan sulit untuk dihindarkan, sebagai konsekuensi logis dari perkembangan peradaban, namun prostitusi dalam bentuk apapun tetap merupakan penyakit masyarakat yang harus diatasi secara jelas, tegas dan tuntas.

E. Perempuan dan Hak-hak perempuan

Perempuan secara langsung menunjukkan kepada salah satu dari dua jenis kelamin, meskipun didalam kehidupan sosial selalu dinilai sebagai the Other Sex

yang sangat menentukan mode sosial tentang status dan peran perempuan. Marginalisasi perempuan yang muncul kemudian menunjukkan bahwa perempuan menjadi the second sex, seperti juga yang disebut sebagai “warga kelas dua” yang keberadaannya tidak begitu di perhitungkan. 56

Posisi perempuan dalam masyarakat memberi kesan bahwa, ada beberapa posisi universal yang diduduki oleh setiap perempuan di semua masyarakat. Kenyataannya bahwa, bukan semata-mata tidak ada pernyataan yang sederhana

55

Anang Zamroni dan Ma’ruf Asrori, Bimbingan Seks Islami, (Surabaya: Pustaka Anda) cet. I, h. 217-227

56

Istibyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Gender menurut al-Sya’rawi, (Jakarta: Teraju, 2004), h. 63


(55)

tentang posisi perempuan yang universal, tetap di sebagian masyarakat tidaklah mungkin memperbincangkan perempuan ikut andil dalam stratifikasi masyarakat. Latar belakang kelas perempuan mungkin sama penting dengan gendernya dalam menentukan posisi mereka di masyarakat, Sebab masyarakat masih kuat memandang perempuan sebagai penyangga moral sehingga penegakan moralitas di masyarakat harus dimulai dari perempuan.

Selain itu, budaya hukum di masyarakat masih memandang perempuan sebagai obyek yang harus diatur, di kekang dan dibatasi geraknya di ruang publik. Kata Pelacur dan prostitusi di masyarakat selalu diarahkan kepada perempuan, muncullah istilah WTS (wanita tuna susila), bukan PTS (pria tuna susila), padahal perempuan dan laki-laki pelacur kedua-duanya sama tuna susila, dan sama-sama berdosa di hadapan Tuhan.57

Realitas Sosiologi di masyarakat membuktikan bahwa upaya-upaya untuk mengeliminasi prostitusi dan perbuatan maksiat lainnya selalu mendiskriminasikan perempuan. Seolah-olah perempuan lah penyebab utama munculnya perbuatan maksiat tersebut, padahal sejumlah penelitian tentang prostitusi mengungkapkan ada sejumlah elemen di masyarakat yang diuntungkan oleh praktek prostitusi. Mereka itu diantaranya para calo, germo, petugas keamanan, pedagang makanan dan minuman, supir-supir taksi, bahkan pemda yang menarik retribusi atau pajak dari tempat-tempat

57

Siti Musdah Mulia, Perda Syariat dan Peminggiran Perempuan, artikel diakses pada tanggal 25 Desember 2008 dari http://ema@icrp-online.org


(56)

lokalisasi prostitusi. Dan terutama adalah para pengguna atau pelanggan yang nota bene adalah laki-laki. Karena itu, semua upaya penghapusan prostitusi harus memangkas semua elemen yang mengambil keuntungan dari praktek prostitusi, bukan hanya dengan melakukan razia terhadap perempuan yang terlibat prostitusi.58

Menurut Komnas Perempuan, LBH APIK, Women Research Institute, budaya atas nama “moral bangsa” dan “perlindungan terhadap perempuan”, tidak sungguh-sungguh bertujuan melindungi perempuan karena justru mengembalikan perempuan pada relasi kekuasaan yang timpang dalam hubungannya dengan keluarga, masyarakat, dan bahkan Negara. Tuntutan terhadap perempuan sebagai penjaga moral bangsa (tidak bersama dengan laki-laki) menunjukkan adanya politisasi terhadap seksualitas perempuan. Sudah tentu hal ini sangat merugikan perempuan karena hak-hak dasarnya sebagai manusia yang utuh akan tercabut dan terlanggar. Padahal gerakan perempuan Indonesia selama ini sudah jauh ke depan yang ditandai oleh jaminan kesetaraan dan keadilan melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang sudah ada selama ini (Di antaranya yang terpenting adalah: UUD 45, pasal 27 (2) tentang persamaan di muka hukum, UU No. 7/1984 yang meratifikasi Konvensi CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan), UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, Inpres No. 9/2000 tentang Gender Mainstreaming, UU Perlindungan Anak No. 23/2003, UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan banyak lagi, termasuk berbagai

58 Ibid.


(1)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan teori yang penulis paparkan pada bagian terdahulu, dan hasil wawancara serta pengisian angket tentang respon masyarakat Kota Tangerang terhadap Perda No. 8 Tahun 2005 tetang Pelarangan Pelacuran maka penulis dapat menyimpulkan beberapa hal:

1. Perda merupakan sebuah instrumen regulasi yang hadir di tengah sebuah komunitas. Sebuah perda lahir karena dorongan inisiatif pemerintahan dan tekanan masyarakat setempat yang disampaikan melalui musyawarah bersama aparat pemerintah dan pejabat setiap Kecamatan dalam bentuk usulan suatu peraturan tentang pelarangan pelacuran. Yang dianggap perlu untuk diregulasi demi kesejahteraan dan keamanan masyarakat Kota Tangerang. Tepatnya pada tanggal 18 Nopember 2005 dalam usia ke-13, Pemerintah Kota Tangerang menetapkan peraturan mengenai hal tersebut yaitu Perda Kota Tangerang No.8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Dengan tujuan bisa mengurangi bisa mengurangi adanya praktek pelacuran yang ada di Kota Tangerang.

2. Pengetahuan masyarakat terhadap adanya Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran, sebagian besar masyarakat (responden) mengetahui


(2)

adanya aturan lain yang melarang tentang pelacuran yaitu terdapat dalam hukum pidana. Mayoritas masyarakat juga mengetahui adanya peraturan daerah yang mengatur tentang pelarangan pelacuran yang ada di Kota Tangerang dan mereka mengetahuinya dari media. Mayoritas masyarakatpun (responden) mengetahui tentang isi yang terdapat dalam perda tentang pelarangan pelacuran. Adapun isi dalam perda tersebut tidak melanggar HAM terutama kaum perempuan.

3. Masyarakat Kota Tangerang (khususnya di Kecamatan Karawaci dan Kecamatan Cipondoh) sependapat jika aparat pemerintah berkewajiban mensosialisasikan Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran ini dengan intensif agar masyarakat mengetahui dan memahami isi Perda ini. Begitu juga, agar masyarakat mengetahui sangsi yang dikenakan bagi pelanggar Perda tersebut, sehingga tidak terdapat multitafsir di dalam setiap pasal-pasal yang ada dalam Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.

B. Saran-saran

1. Ada beberapa point tugas untuk Negara yang perlu menjadi perhatian utama sebagai upaya untuk mencegah warganya agar tidak terjerumus ke dalam praktek pelacuran; Pertama, Negara harus memberikan jaminan sosial agar seluruh warganya dapat hidup layak. Kedua, Negara harus menindak tegas praktik perdagangan manusia (trafficking), khusunya perdagangan terhadap anak-anak yang akan dipekerjakan sebagai pelacur. Ketiga, perlunya


(3)

penanaman nilai-nilai moral dan agama kepada setiap warganya. Keempat, perlunya memperkuat ikatan kehidupan keluarga yang harmonis. Bila ternyata pelacuran belum bisa dihapuskan maka dengan cara untuk mencegah agar pelacuran tidak semakin meningkat yaitu dengan cara adanya peraturan daerah yang mengatur tentang pelarangan pelacuran, diharapkan dapat mengurangi praktek pelacuran.

2. Kesejahteraan umat merupakan tanggung jawab bersama, sehingga setiap warga harus lebih peka dengan kondisi sosial disekitarnya. Hal ini sebagai langkah dini untuk pencegahan segala hal-hal yang menyimpang baik dari hukum, norma, maupun agama. Ketertiban yang telah terjaga mulai dari bagian masyarakat yang terkecil akan mempengaruhi ketertiban bangsa secara umum.

3. Demi terlaksananya Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan pelacuran, masyarakat diharapkan mematuhi berbagai aturan hukum yang diciptakan oleh pihak pemerintah agar tujuan dan upaya pencegahan terhadap praktek-praktek pelacuran dapat terwujud dan terealisasikan, sehingga jiwa manusia terutama generasi muda bangsa yang terancam akibat praktek pelacuran dapat terjaga dan terselamatkan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an Al-karim

Abdul Ghafar, Asyhari, Pandangan Islam tentang zina dan perkawinan sesudah hamil, Jakarta:Andes Utama, 1996

Al-Hajjaz, Muslim, ibn, Shahih Muslim, ttp: Dar al-Fikr, tth, juz ke-3

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998, Edisi Revisi IV, Cet ke-11

Ath-Thawiil, Usman, Ajaran Islam tentang fenomena seksual, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997, cet-1

Aripin, Jaenal, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008

Akhmad, Chairil, Orang Kerdil Takut Islam Besar,artikel diakses pada 10 agustus

2008 dari

http://www.mail-archive.com/ppindia@yahoogroups.com/msg39478.html

Bapeda (Badan Pemerintahan Daerah) Kota Tangerang, Penyusunan Profil Daerah Kota Tangerang, h.II-4 dan 5.

Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan direktur Perundang-undangan, rancangan Undang-undang Republik Indonesia, Nomor…Tahun… Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Direktorat perundang-undangan, 1999-2000), h. 164

Ghifari, (Al), Abu, Gelombang Kejahatan Seks Remaja Modern, Bandung: Mujtahid, 2002, cet ke-3.

Hamzah, Andi, KUHP&KUHAP Jakarta:Rineke Cipta, 1992

Hasanuddin, Perdagangan Perempuan dalam perspektif hukum Islam”Ahkam V”, No.12, 2003

Handoyo, Sumantri, Tangerang MIOL, artikel diakses pada 15 Juli 2008 dari http://www.Kaskus.us/showthread.php?t=308011


(5)

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=141653 http://www.Indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=280534 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0603/04/utama/2482226.htm http://www.Tangerangkota.go.id/view.php?mode=9&sort

http://arifwidi.com/catatan/2006/04/playboy-indonesia-pornografi-indonesia

http://WWW.TangerangKota.go.id./view.php?mode=1&sort_no=12

Istibyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Gender menurut al-Sya’rawi, Jakarta: Teraju, 2004

Irianto, Sulistyowati, Kebangsaan Indonesia dari Perspektif Perempuan, dari http://cedawui.net/index.php?option=com_content&task=view&id=184&Itemid =60

Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Kesetaraan dan Keadilan Gender, Jakarta: t.p, 2004

Khallaf, Wahab, Abdul, Ilmu Ushul Fiqh. Penerjemah Masdar Helmy, Bandung,Gema Risalah Press, 1996.

Kartono,Kartini, Patologi Sosial Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1997, Jil.1, Edisi 2.

--- Psikologi Abnormal & Patologi Seks, Bandung: Alumni. 1979

Lembaran Daerah Kota Tangerang No. 8 Seri E Peraturan Daerah Kota Tanerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran

Moqsit Ghazali, Abdul, Tubuh, seksualitas, dan kedaulatan perempuan, Jakarta: Rahima, 2000

Mahfudh, Sahal, Nuansa Fiqih sosial,Yogyakarta: LkiS,1994, cet ke-1

Mas, Panji, Wanita Publik dari masa ke masa, diakses pada tgl 13 agustus dari http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/07/26/0018.html

Mulia, Musdah, Siti, Perda Syariat dan Peminggiran Perempuan, artikel diakses pada tanggal 25 Desember 2008 dari http://ema@icrp-online.org


(6)

Poerwadarminta, W.J.S. (Diolah kembali oleh pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan), Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984

Reno Bachtiar dan Edy Purnomo, Bisnis Prostitusi Prifesi yang menguntungkan, Yogyakarta: Pinus, Cet-1

Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya Jakarta : Sinar Grafika, 2007

Soekirno, Soelastri dan M Pambudy, Ninuk, Perempuan, perda, dan Domestikasi, kompas, Sabtu 04 maret 2006

Sudjono, Anas, Pengantar Statistik Pendidikan, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1997, cet ke-8

Sadily, Hasan dan John M. Echols, kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1990

Sa’abah, Marzuki, Umar, Seks dan Kita, Jakarta:Gema Insani Press, cet ke-1.

Sawitri Nandari, Ni Putu, Penanggulangan Pelacuran Ditinjau Dari Perspektif Hukum dan Gender, T.tp

Tanjung, Armaidi,dan Delfita, Elfi, Mengapa Zina dilarang, Solo:CV Pustaka Mantiq, 1997

Trhuong, Than-Dam Seks, Uang dan kekuasaan, Pariwisata dan pelacuran di Asia Tenggara,Terjemahan Ade Armando, Jakarta: LP3ES, 1992

Wawancara Pribadi dengan Ramdan Lubis, Tangerang, 21 Agustus 2008 Wawancara pribadi dengan Tihadi, Tanggal 21 Agustus 2008

Zamroni, Anang, dan Asrori, Ma’ruf, Bimbingan Seks Islami, Surabaya: Pustaka Anda, cet. I