Perempuan dan Hak-hak perempuan

seluruh dunia langsung gempar, hingga bulan maret 1986 sudah ditemukan 18.000 kasus dan 51 dari jumlah tersebut meninggal dunia. Bahkan sampai akhir 1996 di Indonesia sudah muncul 501 kasus AIDS. 55 Prostitusi atau pelacuran merupakan penyakit dalam masyarakat yang harus segera dihilangkan, karena sangat mengganggu ketentraman dan kedamaian dalam suatu masyarakat. Walaupun dipahami bahwa prostitusi merupakan salah satu dari sekian keprihatinan yang pasti ada dan sulit untuk dihindarkan, sebagai konsekuensi logis dari perkembangan peradaban, namun prostitusi dalam bentuk apapun tetap merupakan penyakit masyarakat yang harus diatasi secara jelas, tegas dan tuntas.

E. Perempuan dan Hak-hak perempuan

Perempuan secara langsung menunjukkan kepada salah satu dari dua jenis kelamin, meskipun didalam kehidupan sosial selalu dinilai sebagai the Other Sex yang sangat menentukan mode sosial tentang status dan peran perempuan. Marginalisasi perempuan yang muncul kemudian menunjukkan bahwa perempuan menjadi the second sex, seperti juga yang disebut sebagai “warga kelas dua” yang keberadaannya tidak begitu di perhitungkan. 56 Posisi perempuan dalam masyarakat memberi kesan bahwa, ada beberapa posisi universal yang diduduki oleh setiap perempuan di semua masyarakat. Kenyataannya bahwa, bukan semata-mata tidak ada pernyataan yang sederhana 55 Anang Zamroni dan Ma’ruf Asrori, Bimbingan Seks Islami, Surabaya: Pustaka Anda cet. I, h. 217-227 56 Istibyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Gender menurut al-Sya’rawi, Jakarta: Teraju, 2004, h. 63 tentang posisi perempuan yang universal, tetap di sebagian masyarakat tidaklah mungkin memperbincangkan perempuan ikut andil dalam stratifikasi masyarakat. Latar belakang kelas perempuan mungkin sama penting dengan gendernya dalam menentukan posisi mereka di masyarakat, Sebab masyarakat masih kuat memandang perempuan sebagai penyangga moral sehingga penegakan moralitas di masyarakat harus dimulai dari perempuan. Selain itu, budaya hukum di masyarakat masih memandang perempuan sebagai obyek yang harus diatur, di kekang dan dibatasi geraknya di ruang publik. Kata Pelacur dan prostitusi di masyarakat selalu diarahkan kepada perempuan, muncullah istilah WTS wanita tuna susila, bukan PTS pria tuna susila, padahal perempuan dan laki-laki pelacur kedua-duanya sama-sama tuna susila, dan sama- sama berdosa di hadapan Tuhan. 57 Realitas Sosiologi di masyarakat membuktikan bahwa upaya-upaya untuk mengeliminasi prostitusi dan perbuatan maksiat lainnya selalu mendiskriminasikan perempuan. Seolah-olah perempuan lah penyebab utama munculnya perbuatan maksiat tersebut, padahal sejumlah penelitian tentang prostitusi mengungkapkan ada sejumlah elemen di masyarakat yang diuntungkan oleh praktek prostitusi. Mereka itu diantaranya para calo, germo, petugas keamanan, pedagang makanan dan minuman, supir-supir taksi, bahkan pemda yang menarik retribusi atau pajak dari tempat-tempat 57 Siti Musdah Mulia, Perda Syariat dan Peminggiran Perempuan, artikel diakses pada tanggal 25 Desember 2008 dari http:emaicrp-online.org lokalisasi prostitusi. Dan terutama adalah para pengguna atau pelanggan yang nota bene adalah laki-laki. Karena itu, semua upaya penghapusan prostitusi harus memangkas semua elemen yang mengambil keuntungan dari praktek prostitusi, bukan hanya dengan melakukan razia terhadap perempuan yang terlibat prostitusi. 58 Menurut Komnas Perempuan, LBH APIK, Women Research Institute, budaya atas nama “moral bangsa” dan “perlindungan terhadap perempuan”, tidak sungguh- sungguh bertujuan melindungi perempuan karena justru mengembalikan perempuan pada relasi kekuasaan yang timpang dalam hubungannya dengan keluarga, masyarakat, dan bahkan Negara. Tuntutan terhadap perempuan sebagai penjaga moral bangsa tidak bersama dengan laki-laki menunjukkan adanya politisasi terhadap seksualitas perempuan. Sudah tentu hal ini sangat merugikan perempuan karena hak- hak dasarnya sebagai manusia yang utuh akan tercabut dan terlanggar. Padahal gerakan perempuan Indonesia selama ini sudah jauh ke depan yang ditandai oleh jaminan kesetaraan dan keadilan melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang sudah ada selama ini Di antaranya yang terpenting adalah: UUD 45, pasal 27 2 tentang persamaan di muka hukum, UU No. 71984 yang meratifikasi Konvensi CEDAW Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, UU No.391999 tentang Hak Asasi Manusia, Inpres No. 92000 tentang Gender Mainstreaming, UU Perlindungan Anak No. 232003, UU No. 232004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan banyak lagi, termasuk berbagai 58 Ibid. konvensi ILO yang melarang diskriminasi terhadap perempuan kerja, perdagangan perempuan dan anak perempuan. 59

F. Islam Dan Gender