26
BAB III PROFIL K.H. MUHAMMAD IDRIS JAUHARI
A. Latar Belakang Keluarga
K.H. Muhammad Idris Jauhari dilahirkan di Prenduan pada tanggal 28 Nopember 1950, sebuah desa yang terletak di kecamatan Pragaan Kabupaten
Sumenep. Desa yang secara geografis berada di pinggir pesisir selatan kabupaten sumenep juga mendekati perbatasan antara kabupaten Sumenep dengan kabupaten
pamekasan. K.H. Muhammad Idris Jauhari adalah putera kedua dari tiga bersaudara, yang pertama adalah K.H. Moh. Tidjani Djauhari MA, dan yang
ketiga K.H. Maktum Djauhari MA. Ayahnya bernama K.H. Achmad Djauhari Chotib. Ibunya bernama Nyai Maryam.
K.H. Achmad Djauhari Chotib adalah pendiri Pendok Pesantren AL- AMIEN yang letaknya kurang lebih 150 meter sebelah utara masjid
jami’ Prenduan yang saat ini dikenal dengan nama Masjid Gemma Prenduan. Beliau
merupakan seorang pejuang di bidang pendidikan, hal ini dapat dilihat dari perkembangan lembaga pendidikan yang didirikannya terus berkembang yaitu
dengan dua lembaga tingkat dasar. Kedua lelmbaga tersebut adalah Mathlabul Ulum untuk putra dan Tarbiyatul Banat untuk putri.
Dilihat dari silsilah keluarga, K.H. Muhammad Idris Jauhari memang memiliki gen yang mempunyai semangat di bidang pendidikan. Mulai dari kakek
beliau, K. Achmad Chotib dan ayah beliau K.H. Achmad Djauhari Chotib adalah praktisi pendidikan yang senantiasa mendedikasikan kehidupannya untuk
pendidikan. Maka tidak mengherankan lagi jika K.H. Muhammad Idris Jauhari
27
juga mempunyai semangat yang tinggi untuk mengembangkan pendidikan khususnya di Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN.
B. Latar Belakang Pendidikan
Seperti halnya anak-anak lainnya, pada umur 7 tahun K.H. Muhammad Idris Jauhari memasuki jenjang pendidikan dasar SD pada pagi hari, dan di siang
harinya mengikuti Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah MI yang penyelenggaraan pendidikannya dilaksanakan setelah setelah dhuhur. Untuk itu K.H. Muhammad
Idris Jauhari sejak di jenjang pendidikan dasar telah mengenal dasar-dasar pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam di samping ilmu pengetahuan
umum, ini mencerminkan semangat keilmuan dan keagamaannya yang mendapatkan akar dukungan yang kuat dalam tradisi lingkungannya.
Dan semangat itu pula yang mendorongnya untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu ke Pondok Pesantren pada tahun
1965, adapun pesantren yang menjadi tempat beliau belajar adalah Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo yang tergolong sebagai pondok pesantren
yang memiliki popularitas Nasional bahkan Internasional. Hal ini sesuai dengan pemikiran dan pandangan ayahnya yang menginginkan putra-putranya untuk
menuntut ilmu dalam rangka mempersiapkan diri menjadi kader-kader penerus perjuangannya dalam lapangan pendidikan. Agar nantinya pondok pesantren yang
didirikannya menjadi pondok pesantren yang representatif serta mampu menjawab tantang zaman dan tuntutan umat. Di pondok pesantren Gontor ini, K.H.
Muhammad Idris Jauhari nyantri selama 6 tahun mulai dari tahun 1965 sampai tahun 1970, dengan memasuki lembaga pendidikan Kulliyatul Mualimin Al-
Islami KMI dengan masa jenjang pendidikan 6 tahun dari kelas satu sampai dengan kelas enam.
Lembaga pendidikan Kulliyatul Mu’alimin Al-Islami KMI setingkat
dengan Madrasah Tsanawiyah sampai dengan Madrasah Aliyah MTs - MA atau Sekolah Menengah Pertama sampai dengan Sekolah Menengah Atas SMP-
SMA. Perbedaannya hanya terletak pada isi atau kurikulum yang dipakai. Kurikulum yang dipakai di lembaga ini mengaksentuasikan pada pengajaran ilmu
28
pengetahuan agama Islam serta ilmu alat. Oleh karena itu alumni dari pondok pesantren ini oleh kalangan pondok pesantren sendiri sering dinilai lebih
berkualitas secara intelektual apabila dibanding dengan sekolah agama yang dikelola oleh pemerintah.
Selama belajar di pondok pesantren Darussalam Gontor inilah K.H. Muhammad Idris Jauhari mempunyai atau memiliki kegemaran membaca kitab
kuning. Di saat semangatnya menggebu-gebu dalam rangka menambah ilmu pengetahuannya, K.H. Muhammad Idris Jauhari dipanggil pulang untuk
meneruskan pimpinan pondok pesantren Tegal. Karena K.H. Ahmad Djauhari ayahnya dipanggil pulang ke rahmatullah wafat. Sebenarnya tampuk
kepemimpinan pondok pesantren Al-Amien Prenduan setelah wafatnya K.H. Ahmad Djauhari dipegang oleh putra pertama yaitu K.H. Tidjani Djauhari, akan
tetapi pada saat itu K.H. Tidjani Djauhari sedang menuntut ilmu di Makkah, maka untuk sementara K.H. Muhammad Idris Jauhari yang memegang kepemimpinan
pondok Pesantren yang ditinggalkan ayahnya. Pada awal kepemimpinannya inilah dibentuklah sebuah lembaga
pendidikan pondok pesantren dengan memakai nama yang pernah dipakai oleh almarhum ayahnya K.H. Ahmad Djauhari 1960 yaitu Tarbiyatul Mualimin Al-
Islamlyah TMI yang menempati lokasi baru seluas ±6 Ha. Dan pada awal kepemimpinannya pula masyarakat masih banyak yang kurang memberikan
keparcayaan penuh karena masyarakat mempunyai asumsi bahwa K.H. Muhammad Idris Jauhari akan merubah tatanan atau tradisi yang ada secara
revolusioner, di samping rasa tidak percaya akan kemampuan atau kualitas keilmuan yang dimiliki oleh K.H. Muhammad Idris Jauhari, alasan masyarakat
pada saat itu juga beliau masih berusia 18 tahun menurut mereka terlalu muda. Sehingga beliau lebih banyak berjalan-jalan atau kalau dalam bahasa Jawa disebut
dengan Dulanan dibanding mengurusi pondok, akan tetapi setelah mendapat mandat dari K.H. Zarkasyi Pengasuh pondok pesantren Modern Gontor
Ponorogo kebiasaan tersebut sedikit demi sedikit berkurang dan mulai mencoba mengurus santri yang kemudian menjadi sebuah hobi.
29
C. Kontribusi dalam Bidang Pendidikan