dengan system pidana minimum dan maksimum. Selain adanyanya system pidana minimum dan maksimum dalam pemidanaan, aliran ini juga
mengakui asas-asas tentang keadaan yang meringankan. Dengan denikian tampak disini bahwa aliran neo-klasik mulai
mempertimbangkan hal-hal yang bersifat individual dalam kaitannya dengan penjatuhn pidana. Artinya pemidanaan tidak saja dijatuhkan
berdasarkan pada perbuatan, tetapi juga berdasarkn pada pertimbangan individu pelaku tindak pidana.
Satu hal yang sangat tampak dari adanya pergeseran pandangan antara aliran klasik dan aliran neo-klasik dalam hal ini adalah
ditinggalkannya system perumusan pidana secara pasti definite sentence.
Sebagi gantinya dikemukakan system pidana yang dirumuskan secara tidk pasti
indefinite sentence.
B. Disparitas Pemidanaan
1. Pengertian Disparitas Pemidanaan
Dalam penyelenggaraan sistem peradilan pidana, vonis hakim menjadi bagian paling menentukan dari rangkaian hukum acara formiil.
Karena mempunyai konsekuensi yang sangat luas terhadap diri terpidana maupun masyarakat secara umum.
Putusan pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim berdasarkan pada keyakinan hakim bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana dan patut
untuk dipidana, dan masyarakatlah yang nantinya memberikan penilaian adil tidak adilnya suatu putusan, sebab suatu putusan sangat relatif tergantung
dari sudut mana kita memandangnya. Disparitas adalah perbedaan antara vonis yang dijatuhkan dengan
bunyi perundang-undangan, yang disebabkan oleh alasan yuridis maupun ekstra yuridis.
18
Disparitas pemidanan disparity of sentencing adalah penjatuhan
yang tidak sama atau tidak seimbang oleh hakim terhadap:
19
a. Tindak-tindak pidana yang sama.
b. Tindak-tindak pidana yang berbahaya dapat diperbandingkan tanpa dasar
pembenaran yang sah. c.
Tindak pidana yang sama yang pelakunya lebih dari satu orang.
20
Disparitas pemidanaan korupsi sering kali melukai perasaan keadilan masyarakat, meskipun hakim mempunyai alasan yang kuat dalam
menjatuhkan pidana yang ringan terhadap para pelaku korupsi. Hal itu disebabkan karena kasus korupsi merupakan
organize crime yang dampak
18
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kebijakan Pidana, h.52
19
Lihat Antara lain: Oemar Seno Adji, Hukum Hakim Pidana, Jakarta: Erlangga 1984, cet. Ke-2, h.27 dan Munir Fuadi, Aliran Hukum Kritis; Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2003, cet Ke-1, h.49
20
Muladi dan Barda Nawawi Arief,
Kebijakan Pidana, h. 53.
negatifnya luar biasa terhadap perekonomian, dan budaya bangsa juga sulit diberantas.
2. Faktor-faktor Penyebab Disparitas Pemidanaan.
Dalam pembahasan ini akan dikemukakan faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas pemidanaan yang bersumber dari hukum itu sendiri:
a. Hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih dan
menentukan berat dan jenis pidana. Dalam hukum pidana positif Indonesia hakim mempunyai
kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana strafsoort yang
dikehendaki, sehubungan dengan penggunakan system alternatif dalam pengancaman pidana di dalam undang-undang.
21
Dari rumusan pasal 81 ayat 1 huruf a dan ayat 2 huruf a UU No.22 1997, dapat diketahui beberapa pidana pokok yang diancamkan
kepada pelaku secara alternatif. Alternatif disini berarti, hanya satu diantara pidana-pidana pokok yang diancamkan tersebut, yang dapat
dijatuhkan. Adanya kebebasan hakim dalam menentukan berat pidana karena yang ditetapkan oleh perundang-undangan hanya pidana minimal
umum, maksimum umum dan maksimal khusus.
21
Muladi dan Barda Nawawi Arief,
Kebijakan Pidana, h. 56.
Pidana minimal umum algemeen minimum adalah batasan
pidana terendah yang bersifat umum dan diatur didalam pasal 12 ayat 2 dan pasal 30 KUHP. Menurut ketentuan ini, batas minimal pidana
adalah 1 hari penjara atau kurungan
22
dan denda dua puluh lima sen.
23
Pidana maksimal umum algemeen maksimum adalah batasan
pidana tertinggi yang bersifat umum yang menurut ketentuan pasal 12 ayat 3 dan 4 adalah 15 lima belas tahun penjara dan bisa atau dapat
ditambah menjadi 20 dua puluh tahun penjara.
24
Untuk pidana maksimal khusus atau yang dikenal dengan “sistem indefinite” merupakan praktek legislatif tradisional untuk
mendistribusikan kekuasaan pemidanaan dari badan legislatif kepada badan atau kekuasaan pemidanaan lainnya ditingkat bawah sebagaimana
dikutip oleh Barda Nawawi Arief dari Colin Howard. Masing-masing tindak pidana telah ditentukan batas setinggi-tingginya yang dapat
dijatuhkan oleh hakim.
25
Pidana maksimal khusus dalam pasal 81 ayat 1 huruf a 15 lima belas tahun dan denda Rp. 750.000.000,00 tujuh
22
E. Utrecht dan M. S Djindang, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan,
1983, cet Ke-11, h.394.