Tindak Pidana Korupsi dalam UU Korupsi

rendah; tindakan penyalahgunaan kewenangan abuse of power, walaupun tidak mendapatkan keuntungan material, sebagai tindak korupsi tingkat menengah; dan tindakan penyalahgunaan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan material yang bukan haknya material benefit, baik untuk diri sendiri, keluarga, atau suatu korporasi, sebagai tindak korupsi yang paling kuat yang telah melewati korupsi tingkat pertama dan tingkat kedua.

C. Korupsi dalam Peraturan Perundang-Undangan

1. Tindak Pidana Korupsi dalam UU Korupsi

Sejak negara Indonesia merdeka, sekitar tahun 1945-1950an, belum dikenal istilah korupsi namun bukan berarti pada waktu itu belum ada yang melakukan tindak korupsi. Istilah korupsi itu secara yuridis baru dikenal sekitar tahun 1957. Peraturan perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan salah satu sarana represif, yang tidak dapat dilepaskan dari tindakan-tindakan lain, seperti perbaikan ekonomi masyarakat, pembinaan aparatur Negara, pengawasan dan lain sebagainyayang merupakan sarana preventif. Pengertian korupsi menurut Hukum Pidana Positif: Pertama : Melakukan perbuatan untuk pemperkaya diri atau orang lain, atau suatu badan, perbuatan memperkaya diri diartikan apa saja seperti mengambil, memindah bukukan, menandatangani kontrak dan lain sebagainya. Kedua : Perbuatan melawan hukum, maksud hukum disini secara formil dan materiil, dan harus dibuktikan karena dicantumkan secara tegas dalam rumusan delik. Ketiga : Perbuatan yang secara langsung, maupun tidak langsung merugikan Negara dan atau perekonimian Negara. 25 Peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi selain KUHP yaitu: Pertama, peraturan penguasa militer No PRTPM061957. Peraturan ini lahir disebabkan karena peraturan yang telah ada tentang pemberantasan korupsi itu tidak efektif. Disamping peraturan yang ada di KUHP yang berlaku umum tidak mampu memberantas korupsi. Adapun wewenang dari peraturan ini adalah untuk mengadakan pemilikan terhadap benda setiap orang atau badan didalam daerahnya yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan merugikan. Kedua, peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No. PRTPERPU0131958 tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan perbuatan pidana korupsi dan penilaian harta benda. 25 Hermain Hadiati Koeswadji, Korupsi di Indonesia dari Delik Jabatan ke Tindak Pidana Korupsi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994, cet ke-I, h. 62. Dalam peraturan ini masih nampak mempertahankan ide pokok untuk memudahkan orang-orang untuk melakukan perbuatan yang tidak merupakan perbuatan pidana tetapi yang dianggap bertentangan dengan rasa kewajaran, yaitu perbuatan tercela. Ketiga, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 Tahun 1960. Dalam peraturan ini tidak disebut lagi ketentuan tentang korupsi tercela, akan tetapi lengkapnya peraturan tersebut adalah peraturan pemerintah pengganti Undang-undang tentang pengasutan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana korupsi yang dimuat dalam L.N. Nomor. 72 Tahun 1960. Seperti diketahui bentuk PERPU ini dikeluarkan dalam keadaan mendesak oelh pemerintah sendiri tanpa persetujuan DPR terlebih dahulu, dengan ketentuan bahwa harus diminta persetujuan DPR pada masa persidangan berikutnya, dan kalau tidak disetujui maka harus dicabut. Keempat, undang-undang No. 3 Tanhun 1971 L.N. 1971, T.L.N. No. 2958 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi. Undang-undang ini dilahirkan atau dibentuk karena keinginan masyarakat sejak tahun 1950-an untuk memberantas korupsi yang sudah meluas. Kelima, Undang-undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lahirnya undang-undang ini sebenarnya merupakan person atas ketidakpuasan terhadap undang-undang anti korupsi lama. Undang- undang lama dianggap tidak lagi sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum di masyarakat, dan kurang efektif dalam mencegah dan memberantas korupsi. Keenam, Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tugas KPK yang termaktub dalam undang-undang ini adalah menyelidiki kasus korupsi yang nilainya diatas Rp. 1 M dan menarik perhatian masyarakat, melakukan koordinasi dan melakukan upaya pencegahan korupsi. Pembahasan korupsi menurut ketentuan KUHP sebagaimana yang termaktub dalam pasal 415, 426, 417, dan 418 dari pasal 418 adalah merupakan tindakan korupsi dari segi penerimaan suap bagi pejabat atau pegawai negeri. Unsur-unsur tindak pidana korupsi dijelaskan dalam undang-undang nomor 20 tahun 2001: Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, secara melawan hukum atau menentang ketetapan pemerintahan yang berarti menggambarkan suatu pengertian tentang perbuatan tercelanya atau sifat terlarangnya suatu perbuatan dengan jalan menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan dan sarana yang telah diberikan kepercayaan kepadanya. Tindak pidana korupsi memiliki ciri suatu hukum pidana khusus, yakni selalu ada penyimpangan tertentu dari hukum pidana umum. Dalam hukum pidana umum KUHP yang membedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan dalam pasal 10, yakni pidana pokok terdiri atas: pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda. Sedangkan pidana tambahan terdiri atas: pencabutan hak hak tertentu, perampasan barang- barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Dalam hukum pidana korupsi, mengenai jenis-jenis pidana pokok dalam pasal 10 KUHP, mengenai jenis pidana tambahan dimuat dalam pasal 18 ayat 1: 1. Perampasan barang yang berwujud atau tidak berwujud, bergerak atau tidak bergerak yang diperolah dari tindak pidana korupsi. 2. Pembayaran uang pengganti maksimal sama dengan nilai yang diperoleh dari hasil korupsi. 3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan paling lama 1 tahun. 4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak yang diberikan oleh negara kepada terpidana.

2. Subjek Hukum Tindak Pidana dalam UU Korupsi