B. Dampak Disparitas Pemidanaan
Ada beberapa akibat yang timbul apabila disparitas pidana yang terjadi bersifat mencolok:
3
1. Menghalangi tindakan-tindakan perbaikan terhadap hukum.
Terpidana tidak menghargai hukum, sedangkan penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu target dari pemidanaan, ini adalah
dampak dari disparitas pemidanaan yang sangat mencolok ketika terpidana merasa menjadi korban “the judicial caprice” kesalahan peradilan setelah
memperbandingkan vonis. 2.
Memelihara berkembangnya perasaan sinis masyarakat terhadap sistem pidana yang ada.
Disparitas pemidanaan yang mencolok selain menimbulkan masalah yang serius terhadap narapidana, juga akan menimbulkan ketidakpuasan dan
rasa tidak percaya masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana.
4
3. Kegagalan sistem penyelenggaraan hukum pidana dalam mencegah terjadinya
tindak pidana. Adanya disparitas pidana berarti adanya pelaku yang divonis ringan
dan ada pula yang divonis berat. Pelaku-pelaku yang divonisnya ringan kemungkinan akan menjadi pelaku yang kambuhan yang tidak jera melakukan
3
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kebijakan Pidana, h. 45.
4
Ibid., h. 45 .
tindak pidana karena menganggap pidana yang diterima tidak akan jauh berbeda dari sebelumnya.
C. Upaya-upaya Mengurangi Disparitas Pemidanaan
Setelah teridentifikasi sebagai hal yang menyebabkan terjadinya disparitas pemidanaan, selanjuntya adalah mencari alternatif untuk
mengurangi disparitas pemidanaan. Oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief diuraikan ke dalam dua bentuk pendekatan:
5
1. Pendekatan untuk memperkecil disparitas approach to minimize
disparity 2.
Pendekatan untuk memperkecil pengaruh negatif disparitas approach to minimize the effects disparity
Dalam pendekatan pertama terkandung usaha-usaha sebagai berikut: 1.
Menciptakan pedoman pemidanaan Dalam pasal 51 RKUHP Nasional tahun 20012002 dijelaskan
beberapa rincian pedoman pemidanaan dengan mempetimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. kesalahan pelaku
b. motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana
c. cara melakukan tindak pidana
d. sikap batin pelaku
5
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kebijakan Pidana, h. 67.
e. riwayat hidup dan keadaan soial ekonomi pelaku
f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana
g. pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku
h. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan pelaku
i. pengaruh tindak pidana terhadap korban dan keluarganya
j. apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana atau tidak.
Dengan butir-butir pertimbangan di atas, hendaknya dapat dihasilkan pemidanaan yang proporsional dan mudah dipahami pelaku,
korban dan keluarga serta masyarakat. Namun harus ditegaskan juga apakah butir-butir pedoman pemidanaan di atas bersifat fakultatif, dengan
bagitu hakim bisa menambahkan pertimbangan pada hal-hal lain, selain yang tercantum dalam pedoman di atas.
2. Khususnya untuk kasus tindak pidana tertentu seperti korupsi,
dibentuknya suatu lembaga khusus seperti sentencing council untuk hakim yang menangani kasus korupsi, supaya mereka memiliki
“sentencing standart” tentang jumlah dan jenis vonis terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
3. Memperketat dalam seleksi penerimaan calon-calon hakim dan
mengadakan pelatihan yang lebih intensif bagi para hakim.
4. Pengaturan ketentuan pidana minimal khusus
6
Untuk menghindari terjadinya disparitas pemidanaan yang sangat mencolok terutama untuk delik-delik yang dipandang sangat merugikan
atau membahayakan masyarakat pada umumnya dan delik-delik yang dikualifisir atau diperberat karena akibatnya, penjatuhan pidananya perlu
diimbangi dengan pidana minimal khusus yang nantinya berfungsi sebagai standar pemidanaan terendah sebagai hakim.
Perlunya pidana minimal khusus ini merupakan jawaban dari rasa ketidak puasan masyarakat terhadap sanksi pidana penjara yang selama ini
dijatuhkan dalam praktek peradilan, terutama pidana yang tidak jauh beda antara pelaku tindak pidana yang bahayanya labih tinggi dengan tindak
pidana yang sedang. 5.
Penerapan peringkat keseriusan tindak pidana, melalui suatu parameter yang disusun berdasarkan penelitian, kajian dan analisis yang sahih.
7
Penerapan parameter ini tidak mungkin disusun berdasarkan disiplin hukum semata, karena masalah pemidanaan bukan sekedar masalah
hukum, akan tetapi juga berkaitan erat dengan nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat. Hal ini bertujuan untuk menjadi pedoman bagi
6
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2002, Cet. Ke-2, h. 185
7
Harkiatuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan, h. 2
pembuat undang-undang legislatif dalam membuat atau menyusun perundang-undangan yang mengandung sanksi pidana.
8
Selanjutnya mengenai pendekatan kedua dapat dilakukan melalui kebijakan Lembaga Pemasyarakatan Lapas. Contohnya, pemberian
remisi parole bagi mereka yang pidananya dianggap terlalu berat, juga dalam hal pidana bersyarat dan pelepasan bersyarat.
D. Disparitas Pemidanaan Kasus Korupsi dalam Tinjauan Hukum Islam
Pelaku tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai perilaku hirabah. Hirabah adalah aksi seseorang atau sekelompok orang dalam suatu
negara untuk melakukan kekacauan, pembunuhan, perampasan harta, secara terang-terangan mengganggu dan menentang peraturan negara yang berlaku,
perikemanusiaan, dan agama. Hirabah merupakan salah satu bentuk jarimah hudud, yaitu tindak pidana yang sejenis, jumlah dan hukumannya ditentukan
oleh syariat. Dalam hal ini, korupsi disebandingkan dengan hirabah karena korupsi
dapat merusak dan mengganggu stabilitas negara dan mengganggu perekonomian masyarakat akibat kekayaan negara yang digerogoti.
8
Barda Nawawi dalam bukunya “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana” lebih popular menyebut hal ini dengan pola pemidanaan, yang pada akhirnya akan membedakan
dengan pedoman pemidanaan itu sendiri. Pedoman pemidanaan merupakan pedoman pembuatan penyusunan pidana oleh legislatif.
Allah Swt telah menetapkan dalam Al-Qur’an tentang hukuman bagi pelaku hirabah berupa hudud. Hakim dapat mengeksekusi hukuman yang
telah ditentukan Allah SWT tanpa diubah, ditambah, dan dikurangi apabila tindak pidana telah terbukti secara meyakinkan di sidang pengadilan.
Pada penerapan hukuman-hukuman tersebut terdapat perbedaan pendapat ulama fiqih, apakah hukuman itu boleh dipilih atau hukuman yang
disesuaikan dengan bentuk tindak pidana yang dilakukan dalam hirabah tersebut. Ulama Mazhab Hanafi, Syafi’I dan Hanbali berpendapat bahwa
hukuman yang diberikan harus secara berurut, sebagaimana yang dicantumkan dalam ayat, serta sesuai dengan bentuk tindak pidana yang
dilakukan oleh pelaku hirabah tersebut. Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa apabila pelaku hirabah
tersebut hanya merampas harta tanpa menyebabkan kematian maka hukumannya adalah potong tangan dan kakinya secara silang. Apabila pelaku
hirabah membunuh maka hukumannya juga dibunuh. Sedangkan apabila pelaku hirabah merampas juga disertai pembunuhan maka menurut mereka
Mazhab Hanafi baru adanya kebebasan hakim untuk memilih penjatuhan hukuman. Apabila pelaku hanya menakut-nakuti saja sedang mengganggu
keamanan maka hukumannya dipenjarakan dan dikenakan hukuman ta’zir yang mana bentuk hukumannya diserahkan kepada hakim.
Begitu juga dengan pendapat Ulama Syafi’I dan hambali. Adapaun menurut Ulama Mazhab Maliki, penerapan hukuman diserahkan sepenuhnya
kepada kebijaksanaan hakim setelah dimusyawarahkan dengan para ahli fiqih dan pihak-pihak yang terkait, dengan ketentuan hakim harus memilih
hukuman yang terbaik bagi kemashlahatan.
9
Landasan-landasan dalam menetapkan hukuman tindak pidana korupsi dalam Al-Qur’an maupun Hadits, diantaranya:
a. Surat al-Maidah ayat 38:
Artinya: “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.Q.S al Maidah 5: 38.
b. Surat al-Baqarah ayat 188:
☺
Artinya: dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain dengan jalan bathil dan janganlah kamu membawa urusan harta
itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan harta sebahagian dari pada harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal
kamu mengetahuinya.” QS. Al-Baqarah 2: 188.
Menurut Muqabil bin Hayyan ayat ini diturunkan berkenaan dengan kasus Amr bin al-Kindi dan Abdan bin Asyar al-Hadhrami yang keduanya
9
http:www.acehforum.or.idhukum-mati-koruptor-1995.html?s=0712 . H. 1-3.
mengadu kehadapan Rasulullah SAW tentang sebidang tanah yang mereka selisihkan.
10
c. Surat al-Anfal ayat 27:
☺
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan RasulNya Muhammad dan juga janganlah kamu
mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”QS. Al-Anfal 8: 27.
d. Surat an-Nisa’ ayat 14:
⌧
Artinya: “dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah akan memasukkannya
kedalam api neraka sedang ia kekal didalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan”QS. An-Nisa’ 4: 14.
e. Hadits Rasulullah SAW
ﺤﻋ ﻦ ا ﻦﻋ لﺎﻗ م ص ﻲ ﻟا نا ﺮﻤ
: رﺎ ﻟا ﻰﻓ ﻰﺷاﺮﻟ ا
ﺮ ﻄﻟا اور
8 Wahbah Zuhaili, al-Tafsir al-Muni, Beirut: Daar al-Fikr, jilid I, h. 168A.
Artinya: “Dari Ibnu Umar, Nabi bersabda: “orang yang menyuap dan meminta suap kelak masuk neraka.”HR. Ath-Thabrani.
Apabila diindentifikasi penyebab disparitas pemidanaan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus korupsi perkara Drs. Tri Witjaksono S.,
M.Si akan terlihat adanya faktor yang dominan dan mendasar, yaitu penerapan kekuasaan hakim yang mempunyai kebebasan yang sangat luas
untuk memilih jenis pidana yang dikehendaki sehubungan dengan digunakan sistem alternatif di dalam pengancaman pidana dalam undang-undang serta
tidak adanya pedoman pemidanaan, sehingga terkadang putusan yang dihasilkan bersifat subjektif.
Di dalam literatur fiqih Islam hukum pidana dikenal dengan sebutan al- ahkam al-jinayyah, yaitu hukum-hukum yang mengatur perihal ucapan,
sikap dan atau tindak orang-orang mukallaf dewasa yang berkenaan dengan berbagai tindak kejahatan berikut jenis-jenis ancaman hukuman yang
patut diberikan kepada mereka. Hukuman yang patut diberikan kepada para pelaku tindak pidana harus sesuai dengan tujuan dari pemidanaan tersebut.
Oleh karena itu hukuman yang diterapkan meskipun tidak disenangi demi mencapai kemashlahatan bagi individu dan masyarakat.
Para ‘Ulama fiqih telah sepakat mengatakan bahwa perbuatan korupsi adalah haram dilarang, karena bertentangan dengan Maqashid Asy-syari’ah
Tujuan Hukum Islam, dan setiap sesuatu yang bertentang dengan tujuan
hukum Islam ada penghukumannya. Oleh karena itu, pelaku tindak korupsi harus menerima hukuman untuk mencegah dan memperbaiki tindak
kejahatan. Secara teoritis kedudukan korupsi merupakan tindakan kriminal
jinayah atau jarimah. Sebagai suatu delik pencurian pelaku korupsi harus dihukum. Lebih jauh makna potong tangan dalam ayat yang menjatuhkan
sanksi bagi pencuri lebih menunjukkan esensi perbuatan korupsi itu sendiri.
11
Maka dalam pandangan hukum Islam korupsi bukan merupakan tindak pencurian biasa, tetapi juga mengandung penipuan karena dilakukan secara
diam-diam disertai pemalsuan laporan. Apabila korupsi dilakukan oleh pejabat Negara, maka perilaku pejabat tersebut telah mengkhianati amanah
rakyat yang dipimpinnya. Oleh karena itu korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa berat, disamping mudharatnya lebih besar.
Hukum pidana Islam menggolongkan pidana kedalam dua bentuk, dua diantaranya:
1. Ditinjau dari kekuasaan hakim untuk menentukan berat ringannya pidana:
a. Pidana yang tidak mempunyai batasan tertinggi dan terendah.
b. Pidana yang mempunyai batasan tertinggi dan terendah. Dalam hal ini
hakim diberi kebebasan memilih pidana yang sesuai diantara kedua batas tersebut.
11
Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Antikorupsi Jakarta: Zikrul Hakim, 1997,
h. 87.
2. Ditinjau dari segi besarnya pidana yang ditentukan:
a. Pidana yang ditentukan berat dan jenisnya, dimana hakim harus
menerapkan tanpa boleh ditambah, dikurangi dan diganti. b.
Pidana yang diserahkan kepada hakim untuk dipilih dari sekumpulan pidana yang telah ditetapkan oleh syariat agar dapat disesuaikan dengan
keadaan pelaku dan perbuatannya.
12
Dalam jarimah korupsi ada tiga unsur yang dapat dijadikan pertimbangan bagi hakim dalam menentukan besarnya hukuman, pertana, merampas harta
orang lain, kedua, penghianatan dan penyalah gunanaan wewenang, ketiga, kerjasama dalam melakukan kejahatan. Dalam menentukan hukuman, seorang
hakim hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip tentang tindak pidana Islam, yaitu:
1. Hukuman hanya dijatuhkan pada orang yang berbuat jarimah bukan pada
orang yang tidak melakukan tindak kejahatan. 2.
Adanya kesengajaan, seseorang dihukum karena kejahatan apabila ada unsur kesengajaan dalam melakukan kejahatan, akan tetapi bukan berarti hukum
karena kejahatan melainkan hukuman untuk kemashlahatan dan bersifat mendidik.
3. Hukuman hanya akan dilakukan apabila kejahatan tersebut secara
meyakinkan telah diperbuatnya.
12
Topo Santoso, menggagas Hukum Pidana Islam; penerapan pidana Islam dalam konteks modernitas, Bandung: Asy-Syamil, 2000, cet ke-I, h.189.
4. Berhati-hati dalam menghukum, membiarkan tidak dihukum dan
menyerahkan hukumannya kepada Allah apabila kurang bukti.
13
Hukuman yang didasarkan pada pertimbangan hakim imam adalah ta’zir karena ta’zir dipandang perlu untuk memberikan pelajaran kepada
pelakunya demi menjaga kemashlahatan manusia itu sendiri. Untuk terwujudnya kemashlahatn itu tentunya berat dan jenis pidananya ditetapkan
harus sesuai dengan bentuk kejahatan yang dilakukan. Jadi kebebasan hakim adalah kebebasan bergerak dalam batas kemashlahatn karena undang-undang
tidak menetapkan ketentuan pidana korupsi yang pasti, akibatnya kemungkinan terjadinya disparitas pemidanaan yang bersifat mencolok sulit
untuk dihindari. Dengan demikian bahwa dalam hukum Islam pun diatur adanya
kebebasan hakim. Yang jadi permasalahannya adalah, apakah dalam penerapan pidana bagi pencuri dibolehkan adanya kebebasan atau tidak,
karena tindak pidana ini termasuk tindak pidana hudud, yaitu tindak pidana yang sejenis, jumlah dan hukumannya ditentukan oleh syariat.
13
Isma’il Marzuki, Filsafat Hukum Islam¸Jakarta: Bumi Aksara, 1992, Cet. Ke-2, h. 87.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian-uraian dalam bab-bab terdahulu dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Terjadi disparitas pada kasus tindak pidana korupsi pada kasus Drs. Tri
Witjaksono S., M.Si dimana hakim menjatuhkan pidana 1 tahun penjara serta denda sebesar Rp. 50.000.000,- lima puluh juta rupiah. Dari putusan
tersebut, terbukti telah terjadi disparitas yang mencolok disebabkan majelis hakim yang memutus perkatara tersebut.
2. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya disparitas dalam pemidanaan kasus
korupsi adalah bersumber dari persepsi hakim terhadap filsafat pemidanaan yang sangat memegang peranan penting di dalam penjatuhan pidana. Seorang
hakim yang berfikir bahwa tujuan pemidanaan hanya bisa dicapai dengan pidana penjara, namun dilain pihak dengan tujuan yang sama, hakim lain
berpendapat bahwa pengenaan denda akan lebih efektif. Seorang hakim yang memandang bahwa aliran klasik akan lebih baik dan
lebih efektif dari pada aliran positif akan memidana lebih berat, sebab ia berpendapat bahwa pidana itu harus sesuai dengan kejahatan. Sebaliknya
72