Subjek Hukum Tindak Pidana dalam UU Korupsi

Tindak pidana korupsi memiliki ciri suatu hukum pidana khusus, yakni selalu ada penyimpangan tertentu dari hukum pidana umum. Dalam hukum pidana umum KUHP yang membedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan dalam pasal 10, yakni pidana pokok terdiri atas: pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda. Sedangkan pidana tambahan terdiri atas: pencabutan hak hak tertentu, perampasan barang- barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Dalam hukum pidana korupsi, mengenai jenis-jenis pidana pokok dalam pasal 10 KUHP, mengenai jenis pidana tambahan dimuat dalam pasal 18 ayat 1: 1. Perampasan barang yang berwujud atau tidak berwujud, bergerak atau tidak bergerak yang diperolah dari tindak pidana korupsi. 2. Pembayaran uang pengganti maksimal sama dengan nilai yang diperoleh dari hasil korupsi. 3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan paling lama 1 tahun. 4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak yang diberikan oleh negara kepada terpidana.

2. Subjek Hukum Tindak Pidana dalam UU Korupsi

Subjek hukum tindak pidana dalam hukum pidana korupsi Indonesia pada dasarnya adalah orang pribadi sama seperti yang tercantum dalam hukum pidana umum. Hal ini tidak mungkin ditiadakan, namun ditetapkan pula suatu badan yang dapat menjadi subjek hukum tindak pidana korupsi sebagaimana dimuat dalam pasal 20 jo 01 dan 3 UU No. 311999, subjek hukum dalam tindak pidana korupsi adalah: a. Subjek Hukum Orang Subjek hukum tindak pidana tidak terlepas pada sistem pembebanan tanggung jawab pidana yang dianut yang dalam hukum pidana umum sumber pokoknya KUHP adalah pribadi orang. Hanya orang yang menjadi subjek hukum pidana. Pertanggungjawaban bersifat pribadi artinya orang yang dibebani tanggug jawab pidana dan dipidana hanyalah orang atau pribadi sipembuatnya. Hukum pidana kita yang menganut azas concordantie dari hukum pidana belanda menganut sistem hukum pertanggungjawaban pribadi. Sistem pertanggungjawaban pribadi sesuai dengan kodrat manusia yang berfikir, berakal dan berperasaan, dengan itu seseorang menetapkan kehendak untuk berbuat yang kemudian diwujudkan. Apabila perbuatan bersifat tercela atau bertentangan dengan hukum, maka orang itu yang dipersalahkan dan bertanggung jawab atas perbuatannya itu. Kemampuan berfikir dan kemampuan menggunakan akal dalam berbuat dijadikan dasar untuk menetapkan orang sebagai subjek hukum tindak pidana. Dalam hukum pidana korupsi yang bersumber pada UU No. 311999 jo UU No. 202001, subjek hukum orang ini ditentukan melalui dua cara: 1 Cara pertama disebutkan sebagai subjek hukum orang pada umumnya, artinya tidak ditentukan kualitas pribadinya. Kata permulaan dalam kalimat rumusan tindak pidana menyebutkan subjek hukum tindak pidana orang pada umumnya, yang in casu tindak pidana korupsi disebutkan dengan perkataan “setiap orang” misalnya pasal 2, 3, 21, 22 dan juga diletakkan ditengah rumusan misalnya pasal 5 dan 6. 2 Cara kedua menyebutkan kualitas pribadi dari subjek hukum orang tersebut, yang in casu ada banyak kualitas pembuatnya antara lain 1 pegawai negeri; penyelenggara Negara misalnya pasal 8, 9, 10, 11, 12 huruf a, b, e, f, g, h, i; 2 pemborong ahli bangunan pasal 7 ayat 1 huruf a; 3 hakim pasal 12 huruf c; 4 advokat pasal 12 huruf d; 5 saksi pasal 24, 6 tersangka bisa juga menjadi subjek hukum pasal 22 jo 28. b. Subjek Korporasi Dalam beberapa peraturan perundang-undangan kita telah menganut sistem pertanggungjawaban strict liability pembebanan tanggung jawab pidana tanpa melihat kesalahan dan vicarious liability pembebanan tanggung jawab pidana pada selain sipembuat dangan menarik badan atau korporasi kedalam pertanggungjawaban pidana. Mardjono Reksodiputro 1989:9 dalam perkembangan hukum pidana Indonesia ada tiga sistem pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana. 1 Jika pengurus korporasi sebagai pembuat, maka pengurus korporasi yang bertanggung jawab. 2 Jika korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung jawab. 3 Jika korporasi sebagai pembuat dan korporasi yang bertanggung jawab Dalam pasal 20 ada tiga hal yang harus dipahami oleh para praktisi hukum dalam menetapkan subjek hukum korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi, yaitu: 1 Indikator kapan telah terjadi tindak pidana korupsi oleh korporasi ialah bila korupsi dilakukan oleh orang-orang yang baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri maupun bersama ayat 2 2 Secara sumir mengatur hukum acaranya dan memberikan sedikit keterangan yakni dalam hal tindak pidana korupsi oleh korporasi, maka tuntutan dan penjatuahan pidananya dijatuhkan terhadap korporasi dan pengurusnya ayat 1. Apabila tuntutan dilakukan terhadap korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurusnya ayat 3. Pengurus juga dapat diwakilkan pada orang lain ayat 4. Dalam hal menyidangkan korporasi yang tidak bernyawa dan tidak berfikir dan berperasaan tersebut dilakukan terhadap pengurusnya ayat 5 dan kepada pengurusnyalah tuntutan dan panggilan dilakukan ayat 6. Jadi intinya pengurusnyalah yang pada kenyataannya sebagai subjek hukum yang dapat dipanggil, dapat menghadap dan dapat memberi keterangan. Penjelasan mengenai pasal 20 ayat 2 pengurus adalah organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. 1 Mengenai pembebasan tanggung jawab pidananya terhadap korporasi dalam ayat 7 hanya dapat dijatuhkan pidana pokok denda yang dapat diperberat dengan ditambah sepertiga dari ancaman maksimum denda pada tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi tersebut, karena badan tidak mungkin dipidana yang intinya hilang kemerdekaan sanksi dalam hukum pidana. Korporasi yang dapat menjadi subjek hukum tindak pidana korupsi diterangkan dalam pasal 1 yang menyatakan bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Suatu korporasi yang oleh peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai badan hukum yang didirikan dengan cara memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum. Korporasi yang bukan badan hukum adalah setiap kumpulan orang yang terorganisasi secara baik dan teratur, ada perangkat aturan yang mengatur interen dengan ditentukannya jabatan yang akan menggerakkan roda organisasi dengan sedikit atau banyaknya kekayaan atau dana untuk membiayai kumpulan tersebut. 26 26 . Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia Malang: Bayumedia Publishing 2005, Cet ke-2 h. 341-351

BAB III DISPARITAS PEMIDANAAN DALAM HUKUM

A. Tujuan dan Fungsi Pemidanaan

1. Pengertian Pemidanaan

Pemidanaan atau pengenaan pidana berhubungan erat dengan kehidupan seseorang di dalam masyarakat, terutama menyangkut kepentingan benda hukum yang berharga, seperti nyawa dan kemerdekaan atau kebebasannya. Pidana atau pemidanaan adalah istilah hukum yang akrab diartikan sebagai penghukuman dalam perkara pidana. 1 Menurut prof. Mulyatno, pidana berasal dari kata “straf” yang artinya hasil atau akibat dari penerapan hukum itu sendiri. Sementara prof. Sudarto menyatakan pemidanaan penghukuman dalam perkara pidana sebagai menetapkan atau menentukan hukuman untuk suatu peristiwa. 2 Secara terminologi pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seseorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana yang dikemukakan oleh prof. Sudarto. 3 Rupert Cross yang dikutip Muladi dalam bukunya mendefinisikan pidana 1 Joko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985, Cet ke-2 h. 13. 2 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: PT. Alumni, 2005, Cet ke-3, h. 1. 3 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, h. 2. 39