Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada saat ini Indonesia sedang menghadapi sebuah masalah besar dan paling krusial terjadi dalam sebuah Negara, yaitu korupsi. Persoalan ini tidak saja menjadi permasalahan struktural, namun lebih dari itu. Karena korupsi itu sudah menjadi masalah struktural menyebabkan korupsi tersebut menjadi semacam budaya nasional, dan bagian yang tidak bisa terlepaskan dari realitas birokrasi masyarakat. Hampir setiap hari atau bahkan setiap saat kata korupsi terdengar dan terlontarkan baik itu dari media massa ataupun elektronik. Bahkan seseorang rela menanggalkan title keimanannya demi mendapatkan kekayaan dan kepuasan materi, walaupun korupsi sudah terjadi sejak Indonesia masih berupa kerajaan- kerajaan yang tersebar dari ujung Sabang sampai Merauke. 1 Oleh karena itu, pemberantasan korupsi telah dilakukan dengan tanpa rasa lelah dan manusia selalu ingin menghapuskan korupsi, walaupun ada yang mengatakan “korupsi hanya bisa dihapus di surga”. 2 Korupsi sangatlah erat kaitannya dengan kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepada penguasa ataupun pemerintah setempat. Mengutip pendapat Lord Action “power tend to corrupt”, adanya kekuasaan yang dimiliki oleh para 1 Syed Husain Alatas, Korupsi; Sifat, Sebab dan fungsi, Jakarta: LP3ES, 1987, h. 64. 2 Munawar Foad Noeh, Islam dan Gerakan Anti Korupsi, Jakarta: Zikrul Hikam, 1997, h. 49. 1 penguasa memberikan kecenderungan untuk berbuat korupsi dan bahkan tindakan korupsi dapat terjadi didalam tubuh organisasi atau diluar organisasi. Korupsi ada yang dilakukan oleh pejabat sendiri-sendiri atau dalam kelompok kecil menggunakan wewenang yang dimilikinya untuk meminta suap ataupun memungut uang yang sudah seharusnya diberikan, atau menggunakan wewenang untuk tujuan yang tidak sah atau lebih dikenal dengan istilah free lance. 3 Kekuasaan sangatlah memungkinkan bagi seseorang untuk melakukan korupsi, dilihat dari beberapa kasus korupsi yang telah terjadi di Indonesia para pemegang kekuasaan dan wewenang cenderung menggunakan kekuasaannya untuk melakukan tindak pidana korupsi, baik itu untuk kepentingan individu maupun kepentingan kelompok. Hukuman yang patut diberikan kepada para pelaku tindak pidana harus sesuai dengan tujuan dari pemidanaan tersebut. Oleh karena itu hukuman yang diterapkan meskipun tidak disenangi demi mencapai kemashlahatan bagi individu dan masyarakat. Dengan demikian, hukuman yang baik adalah: 1. Harus dapat mencegah seseorang dari berbuat maksiat. 2. Batas tertinggi dan terendah suatu hukuman sangat tergantung kepada kebutuhan kemashlahatan masyarakat. 3 Robert Klitgaard, dkk, Terjemah: Teten Masduki, penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002, h. 3 . 3. Memberikan hukuman bukan berarti balas dendam, melainkan semata-mata untuk kemashlahatan. 4. Hukuman adalah upaya terakhir dalam menjaga seseorang supaya tidak jatuh kedalam perbuatan maksiat. 4 Dalam penjatuhan hukuman kepada pelaku tindak pidana, sejak dulu sampai sekarang masalah penjatuhan vonis terhadap pelaku kejahatan marak diperbincangkan dan diperdebatkan, terutama terkait dengan penerapan sanksi hukuman pidana. Menurut Alf Ross dalam bukunya “On Guil Responsibility and punishment” ada dua tujuan pemidanaan, pertama ditujukan pada pembalasan penderitaan terhadap pelaku dan kedua terhadap perbuatan para pelaku. 5 Alf Ross 6 menggambarkan bahwa pemidanaan apa pun bentuknya lebih ditujukan pada sifat melawan hukum pelaku. Jika pun berimbas, hal itu merupakan sebuah konsekuensi. Diharapkan nantinya paling tidak, pelaku bisa menyadari perbuatannya yang salah dan tidak akan mengulanginya lagi serta mencegah orang lain meniru perbuatan orang tersebut. Sementara Leo Polak 7 menilai bahwa penjatuhan pidana lebih ditujukan untuk menjaga keseimbangan tertib hukum. Itulah sebabnya pemidanaan harus diefektifkan untuk menjaga keseimbangan tata tertib hukum dalam masyarakat agar tidak terganggu. 4 A. Djazuli, Fiqh Jinayah Upaya menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, h. 26-27. 5 Marwan Mas, Konfigurasi Penjatuhan Pidana, Hukum Online, h.1 6 Marwan Mas, Ibid. 7 Ibid. Polemik dalam masyarakat akan muncul, ketika hakim menjatuhkan pidana yang berbeda. Kondisi ini dipersepsikan publik sebagai bukti tidak adanya keadilan sosial social justice di dalam sebuah Negara hukum dan sekaligus akan melemahkan atau bahkan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem penegakan hukum law enforcement itu sendiri. Hal ini disebabkan karena putusan di dalam pemidanaan akan mempunyai konsekuensi yang luas, baik yang menyangkut langsung pelaku tindak pidana maupun masyarakat secara luas. Dari sini akan nampak suatu persoalan serius, apakah hakim telah melaksanakan tugasnya sebagai penegakkan hukum dan keadilan? Disparitas adalah perbedaan antara vonis yang dijatuhkan dengan bunyi peraturan perundang-undangan, yang disebabkan oleh alasan yuridis maupun ekstra yuridis. Disparitas pidana disparity of sentencing adalah penerapan pidana yang tidak sama atau tidak seimbang oleh hakim terhadap tindak pidana yang sama same offence atau terhadap tindak-tindak pidana yang bersifat berbahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang sah. 8 Disparitas pidana akan berakibat fatal bilamana dikaitkan dengan correction administration, yaitu terpidana setelah memperbandingkan pidana kemudian merasa menjadi korban the judicial caprice akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu target di dalam tujuan pemidanaan. Bahkan dapat 8 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1999, cet. Ke-2, h.53. menimbulkan demoralisasi dan sikap anti rehabilitasi di kalangan terpidana yang dijatuhi pidana yang lebih berat dari pada yang lain dalam kasus yang sebanding. Oleh karena itu, fenomena tersebut menarik untuk dikaji dalam karya tulis ini, berjudul “DISPARITAS PEMIDANAAN KASUS KORUPSI DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF INDONESIA ; Studi Pemidanaan Terhadap Kasus Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah