Sugandi, KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional.1981, Cet ke-1, h.16.

Pidana minimal umum algemeen minimum adalah batasan pidana terendah yang bersifat umum dan diatur didalam pasal 12 ayat 2 dan pasal 30 KUHP. Menurut ketentuan ini, batas minimal pidana adalah 1 hari penjara atau kurungan 22 dan denda dua puluh lima sen. 23 Pidana maksimal umum algemeen maksimum adalah batasan pidana tertinggi yang bersifat umum yang menurut ketentuan pasal 12 ayat 3 dan 4 adalah 15 lima belas tahun penjara dan bisa atau dapat ditambah menjadi 20 dua puluh tahun penjara. 24 Untuk pidana maksimal khusus atau yang dikenal dengan “sistem indefinite” merupakan praktek legislatif tradisional untuk mendistribusikan kekuasaan pemidanaan dari badan legislatif kepada badan atau kekuasaan pemidanaan lainnya ditingkat bawah sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief dari Colin Howard. Masing-masing tindak pidana telah ditentukan batas setinggi-tingginya yang dapat dijatuhkan oleh hakim. 25 Pidana maksimal khusus dalam pasal 81 ayat 1 huruf a 15 lima belas tahun dan denda Rp. 750.000.000,00 tujuh 22 E. Utrecht dan M. S Djindang, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan,

1983, cet Ke-11, h.394.

23 Berdasarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang perpu Nomor 18 tahun 1960 ditentukan, bahwa mulai 14 April 1960 besaran denda dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipat gandakan menjadi lima belas kali. 24

R. Sugandi, KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional.1981, Cet ke-1, h.16.

25 Keuntungan dari sistem ini menurut Colin Howard, yaitu menunjukkan tingkat keseriusan tindak pidana kepada badan-badan atau kekuasaan pemidanaan di tingkat bawah, memberikan fleksibilitas dan kebijakan diskresi kepada kekuasaan-kekuasaan pemidanaan di tingkat bawah, melindungi kepentingn-kepentingan sipelanggar itu sendiri dengan menetapkan batas-batas kebebasan dari kekuasaan pemidanaan ditingkat bawah. ratus lima puluh juta rupiah, ayat 2 huruf a maksimal pidana khususnya 18 delapan belas tahun dan denda Rp. 2.000.000.000,00 dua milyar rupiah, ayat 3 huruf a maksimal pidana khususnya adalah pidana mati atau penjara seumur hidup atau 20 dua puluh tahun penjara dan denda Rp. 4.000.000.000,00 empat milyar rupiah. Jadi untuk sanksi pidana yang dijatuhakan pada pelaku tindak pidana korupsi adalah sebagaimana yang dimuat dalam pasal 2 ayat 1 satu yang rumusannya adalah sebagai berikut: “ Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000 dua ratus juta dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 satu miliar rupiah”. 26 Dalam batasan-batasan minimal hingga maksimal tersebut, hakim bebas leluasa bergerak menjatuhkan pidana. Kondisi inilah yang bisa menyebabkan terjadinya disparitas pemidanaan karena bisa dipahami bahwa hakim tidak selalu menghasilkan pemidanaan yang seragam. 26 Wiyono, Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika 2006, cet ke-II, h. 26. b. Secara teoritis, disparitas pemidanaan dapat dibenarkan sebagai pencerminan karakteristik aliran modern positive school yang berkembang pada abad 19. Karakteristik aliran modern yakni, Let the punishment fit the criminal menghendaki pemidanaan yang disesuaikan dengan keadaan- keadaan tertentu baik yang melekat pada diri pelaku maupun yang mempengaruhi perbuatan pelaku sebagai keadaan-keadaan yang dapat meringankan berat pidana. 27 Adanya pembenaran terhadap disparitas pemidanaan dikemukakan pula oleh Cesare Lambroso salah satu pelopor aliran modern sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, different criminals have needs yaitu, sepanjang masing-masing pelaku mempunyai motif yang berbeda-beda saat melakukan kejahatan adalah suatu kebodohan bila menerapkan pidana yang sama kepada mereka. 28 c. Pedoman Pemidanaan Diaturnya ketentuan alternatif pidana, batas minimal dan maksimal pidana tanpa dibarengi dengan pengaturan pedoman pemidanaan yang dapat memberikan kemungkinan bagi hakim memperhitungkan seluruh fase-fase kejadian. Menurut Muladi, tanpa adanya pedoman pemidanaan, berat ringannya pidana yang dijatuhkan, 27 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kebijakan Pidana, h.58. 28 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kebijakan Pidana, h. 63. akan bergantung pada subyektifitas hakim. Di dalam prakteknya subyektifitan hakim sering menimbulakn disparitas pemidanaan, 29 karena keadilan bukan sekedar menurut undang-undang semata tetapi juga keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. d. Undang-undang yang tidak proporsional dalam menempatkan batasan antara kejahatan yang dilakukan dengan pidana yang diancamkan, antara satu kejahatan dengan kejahatan lain. 30 Ketidakjelasan pandangan legislatif DPR selama ini mengenai pemidanaan yang tidak dilandasi pada satu perangkat parameter yang konkret dalam menentukan ancaman pidana meyebabkan terjadinya inkonsistensi dalam penentuan keseriusan berbagai tindak pidana yang dirumuskan dalam Undang-undang, sehingga sanksinya pun sangat beragam, yang pada gilirannya menimbulkan disparitas dalam penjatuhan pidana oleh pengadilan. 29 Muladi dan Barda Nawawi Arief , Kebijakan Pidana, h. 52. 30 Harkiatuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan; Suatu Gugatan Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, hukum Online, Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Pada FH UI di Depok, h. 1.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Kondisi Disparitas Pemidanaan Kasus Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan 1. Identifikasi Perkara. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1287Pid.B2008PN. Jkt. Sel, dalam kasus korupsi. Duduk perkaranya sebagai berikut: Bahwa terdakwa Drs. Tri Witjaksono S., M.Si adalah ketua panitia pengadaan barang dan jasa tahun 2006 pada kantor Walikotamadya Jakarta Selatan berdasarkan surat keputusan Walikotamadya Jakarta Selatan Nomor 155 Tahun 2006 tanggal 16 April 2006 tentang Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Sekretariat Kotamadya Jakarta Selatan tahun anggaran 2006, melakukan perbuatan yang bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, meyalahgunakan kewenangan, kesempatan dan sarana yang ada padanya, yang dapat merugikan keuangan Negara. Pada waktu antara bulan Oktober 2006 sampai dengan Desember 2006. Akibat dari perbuatan terdakwa tersebut, mengakibatkan terjadinya kemahalan harga pada pengadaan Multipurpose Filing Cabinet tahan Api di Setkodya Jakarta Selatan tersebut dan mengakibatkan kerugian keuangan Negara sebesar Rp. 970.000.000, sebagaimana hasil audit dan perhitungan 55