Mimikri dan Hibriditas Novel Hindia Belanda: Kajian Poskolonialisme
MIMIKRI DAN HIBRIDITAS NOVEL
HINDIA BELANDA: KAJIAN
POSKOLONIALISME
DISERTASI
ROSLIANI
098107002/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
(2)
MIMIKRI DAN HIBRIDITAS NOVEL HINDIA
BELANDA: KAJIAN POSKOLONIALISME
DISERTASI
Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Linguistik pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
dengan wibawa Rektor Universitas Sumatera Utara
Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H., M.Sc. (CTM), Sp.A. (K) dipertahankan pada tanggal 30 Agustus 2012
di Medan, Sumatera Utara
ROSLIANI
0981070002
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
(3)
MIMIKRI DAN HIBRIDITAS NOVEL
HINDIA BELANDA: KAJIAN
POSKOLONIALISME
DISERTASI
Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Linguistik
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Terbuka
Pada Hari : Kamis
Tanggal
: 30 Agustus 2012
Pukul
: 10.30
Oleh
ROSLIANI
NIM: 090107002
(4)
Judul Disertasi : MIMIKRI DAN HIBRIDITAS NOVEL HINDIA BELANDA: KAJIAN POSKOLONIALISME
Nama Mahasiswa : Rosliani
NIM : 098107002
Program Studi : Linguistik Konsentrasi : Kajian Sastra
Menyetujui:
Promotor
Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.
Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D.
Ko. Promotor Ko. Promotor
Prof. Mana Sikana, Ph.D.
Ketua Program Studi, Direktur Sekolah Pascasarjana,
(5)
HASIL PENELITIAN DISERTASI INI TELAH DISETUJUI UNTUK
SIDANG TERBUKA TANGGAL 30 AGUSTUS 2012
Oleh Promotor
Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.
Ko-Promotor
Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. Prof. Mana Sikana, Ph.D.
Mengetahui
Ketua Program Studi Linguistik
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
(6)
Diuji pada Ujian Tertutup Disertasi Tanggal: 11 Agustus 2012
PANITIA PENGUJI DISERTASI
Ketua : Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. USU MEDAN
Anggota : Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. UNIMED MEDAN Prof. Mana Sikana, Ph.D. UPSI MALAYSIA Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. USU MEDAN
Prof. Dr. Harris Effendi Thahar, M.Pd. UNIV. NEG. PADANG Dr. Asmyta Surbakti, M.Si. USU MEDAN
Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A. USU MEDAN
Dengan Surat Keputusan
Rektor Universitas Sumatera Utara
Nomor : 1118/UN5.1.R/SK/SSA/2012 Tanggal : 2 Juli 2012
(7)
Diuji pada Sidang Terbuka (Promosi Doktor) Tanggal: 30 Agustus 2012
PANITIA PENGUJI DISERTASI
Ketua : Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. USU MEDAN
Anggota : Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. UNIMED MEDAN Prof. Mana Sikana, Ph.D. UPSI MALAYSIA Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. USU MEDAN
Prof. Dr. Harris Effendi Thahar, M.Pd. UNIV. NEG. PADANG Dr. Asmyta Surbakti, M.Si. USU MEDAN
Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A. USU MEDAN
Dengan Surat Keputusan
Rektor Universitas Sumatera Utara
Nomor : 1350/UN5.1.R/SK/SSA/2012 Tanggal : 27 Agustus 2012
(8)
TIM PROMOTOR
1. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.
2. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D.
(9)
TIM PENGUJI LUAR KOMISI
Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.
Prof. Dr. Harris Effendi Thahar, M.Pd.
Dr. Asmyta Surbakti, M.Si.
(10)
BUKTI PENGESAHAN PERBAIKAN DISERTASI
Judul Disertasi : Mimikri dan Hibriditas Novel Hindia Belanda: Kajian Poskolonialisme
Nama Mahasiswa : Rosliani
NIM : 098107002
Program Studi : Linguistik Konsentrasi : Kajian Sastra
No. Nama Tanda Tangan Tanggal
1 Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.
2 Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D.
3 Prof. Mana Sikana, Ph.D.
4 Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. 5 Prof. Dr. Harris Effendi Thahar, M.Pd. 6 Dr. Asmyta Surbakti, M.Si.
(11)
PERNYATAAN
Judul Disertasi
MIMIKRI DAN HIBRIDITAS NOVEL HINDIA BELANDA: KAJIAN POSKOLONIALISME
Dengan ini penulis menyatakan bahwa disertasi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor Linguistik pada Program Studi Linguistik Konsentrasi Kajian Sastra Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.
Ada pun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan disertasi ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian disertasi ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan, Agustus 2012 Penulis,
(12)
Disertasi ini saya persembahkan untuk keluarga, Universitas
Sumatera Utara, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
serta Bangsa dan Negara Republik Indonesia
Orang tua tercinta dan tersayang
Ayahanda Parnak
Ibunda Giyah
Mertua tercinta
Ayahanda Mohammad Yasin
Ibunda Sarimpi
Suami tercinta
Syaiful Hidayat, S.S.
Anak-anak terkasih dan tersayang
Farah Oktavia Hidayat
(13)
ABSTRAK
MIMIKRI DAN HIBRIDITAS NOVEL HINDIA BELANDA: KAJIAN POSKOLONIALISME, Rosliani, Program S3 Linguistik Konsentrasi Kajian Sastra, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan
Disertasi ini berjudul “Mimikri dan Hibriditas Novel Hindia Belanda: Kajian Poskolonialisme”. Novel yang dijadikan bahan penelitian adalah Max Havelaar karya
Multatuli (1839-1887), Berpacu Nasib di Kebun Karet M.H. Székely-Lulofs
(1899-1958), Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito (1912-1977), dan Oeroeg karya
Hella S. Haasse (1918-2011). Hasil identifikasi terhadap novel tersebut ditemukan masalah yang berkaitan dengan struktur penceritaan, mimikri, ambivalensi, hibriditas dan sinkretisme. Dari kelima masalah, ambivalensi muncul akibat ketidakpastian mimikri dan sinkretisme muncul akibat fleksibelitas hibridisasi Barat dan Timur.
Di dalam penganalisisan digunakan teori poskolonialisme dan teori struktur naratif dengan paradigma konstruktivisme. Penggunaan teori dan metodologi penelitian ini untuk mengungkap gaya hidup Hindia Belanda sebagai realitas fiksi dan peristiwa sejarah yang melatarbelakanginya sebagai realitas historis. Untuk itu, penelitian ini menggunakan uji teks dan uji pustaka dalam membenarkan deskripsi dan komparasi realitas fiksi dan realitas historis kehidupan bangsa penjajah dan bangsa terjajah di Hindia Belanda.
Secara struktur naratif, realitas fiksi novel Hindia Belanda dideskripsikan secara kronologis berdasarkan struktur plot, struktur fisik, ras, dan relasi gender, struktur ruang dan waktu, serta struktur transmisi narasi. Realitas fiksi ini diikuti pendeskripsian realitas historis dengan fokus pada riwayat hidup pengarang dan masalah yang dihadapi elite birokrasi, baik pemerintahan, pendidikan, maupun perkebunan. Hasilnya, realitas fiksi dalam novel didasarkan pada realitas historis, seperti praktik KKN dan pembaratan, baik sesuai konteks historisnya maupun konteks historis yang dipindahkan dan disamarkan lokasi serta nama pelakunya.
Pemunculan benturan peradaban Barat dan Timur dalam novel Hindia Belanda memunculkan masalah mimikri dan hibriditas bagi bangsa Belanda dan Indonesia. Mimikri dalam gaya hidup yang berterima di Hindia Belanda, misalnya, membentuk ambivalensi kepribadian bangsa yang terjajah (Indonesia) dan bangsa yang menjajah (Belanda). Mimikri dan ambivalensi tersebut menempatkan hibriditas struktural dan kultural yang berpusat pada model dan wujud kepemimpinan. Hibriditas kepemimpinan memunculkan sinkretisme religi di mana Barat yang Kristen bertemu dengan Timur yang memiliki keanekaragaman religi. Persoalan mimikri dan hibriditas dalam realitas fiksi dan realitas historis novel Hindia Belanda tersebut menjadi fokus penelitian poskolonial ini sehingga memberi gambaran yang jelas terhadap akar persoalan kebangsaan Indonesia yang tetap mengedepankan local geniusnya menghadapi era globalisasi.
(14)
ABSTRACT
THE MIMICRY AND HYBRIDITY OF DUTCH EAST INDIES NOVEL: POST-COLONIALSM STUDIES, Rosliani, S3 Doctoral Linguistics Program, Literature Studies Concentration Post-graduate School of the University of North Sumatra
The title of the dissertation is “Mimicry and Hybridity of Dutch Indies Novels: A Post-colonialism Study”. The materials of the research are taken from Max
Havelaar written by Multatuli (1839-1887), Berpacu Nasib di Kebun Karet written by M.H. Székely-Lulofs (1899-1958), Manusia Bebas written by Suwarsih Djojopuspito (1912-1977), and Oeroeg written by Hella S. Haasse (1918-2011). The results of the identification are problems relating to the structure of the narratation, mimicry, ambivalence, hybridity, and syncretism. Of the five problems, ambivalence occurs due to the infirmness of mimicry and syncretism occurs due to the flexibility of Western and Eastern hybridization.
Post-colonialism theory and narrative structure theory are used in the analysis by using constructivism paradigm. The aim of using the theories and methodology is to reveal Dutch Indie’s lifestyle as fiction reality and historical event underlying it as a historical reality. For that reason, the study uses text study and library research in justifying description and comparative reality of the fiction and historical reality of colonial nation’s life and colonized country in Dutch-Indie.
Based on the narrative structure, fiction reality of Dutch-Indies novels are chronologically described based on plot, physical structure, race and gender relation, space and time structure, and narration transmission structure. The description of historical reality is focused on the author and the problem faced by bureaucratic elite such as the government, education, and plantation. Fiction reality in the novel is based on the historical reality, such as the practice of corruption, nepotism and Westernization, in accordance to the historical context or the historical context which has moved or disguised the locations and the names of the actors.
The appearance of western and eastern civilization clash in Dutch-Indies novels causes mimicry and hybridity problem to the Dutch and Indonesian. Mimicry in lifestyle which is accepted in Dutch-Indie, such as forming ambivalent personality of colonized nation (Indonesia) and colonial nation (Dutch). The mimicry and the ambivalence place structural and cultural hybridity focused on model and form of leadership. Leadership hybridity causes religious syncretism between Christian Western people and Eastern people who have various religions. The mimicry and hybridity problem in fiction reality and historical reality of Dutch-Indie’s novels are the focus of this post-colonialism research so that it can give a clear description to the roof of the problem of Indonesian nationality which puts forward its local genius in facing the global era.
(15)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur bagi Allah yang telah memberi kemudahan dan kemurahan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini dengan baik.
Disertasi ini penulis beri judul “Mimikri dan Hibriditas Novel Hindia Belanda: Kajian Poskolonialisme”. Disertasi ini membicarakan teks dan konteks novel Hindia Belanda, yakni novel yang terbit pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, sejak penerbitan novel Max Havelaar karya Multatuli (1860), Berpacu Nasib di Kebun Karet karya M.H. Székely-Lulofs (1931), Manusia Bebas karya
Suwarsih Djojopuspito (1940), dan Oeroeg karya Hella S. Haasse (1948).
Pemunculan novel ini dikaitkan dengan keberadaan teori poskolonialisme dan teori struktur naratif sebagai bagian postrukturalisme dalam penelitian ini.
Di dalam penyelesaian disertasi ini telah diusahakan keilmiahannya oleh penulis dengan bantuan dari berbagai pihak. Kelemahan atau kesalahannya tetap menjadi tanggung jawab penulis. Untuk itu, penulis menerima kritik dan saran untuk lebih menyempurnakan disertasi ini.
Medan, Agustus 2012 Penulis,
(16)
UCAPAN TERIMA KASIH
Di dalam perkuliahan dan penyelesaikan disertasi ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik moril maupun material. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada pihak-pihak berikut ini.
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H., M.Sc. (CTM), Sp.A. (K) sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara dan Pembantu Rektor Universitas Sumatera Utara, Medan.
2. Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana USU serta Direktur I dan II beserta Staf Akademik dan Administrasinya.
3. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. dan Dr. Nurlela, M.Hum. sebagai Ketua dan Sekretaris Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana USU beserta Dosen dan Staf Administrasinya.
4. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. selaku Promotor yang telah mengajarkan banyak hal tentang sastra, mitra berdiskusi selama perkuliahan dan penyelesaian disertasi ini, serta bersedia meminjamkan buku-bukunya.
5. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. selaku Ko-Promotor dan Mantan Kepala Balai Bahasa Medan yang telah membimbing penulis dalam penyelesaian disertasi ini serta memberikan dorongan dan motivasi untuk terus melanjutkan pendidikan. 6. Prof. Mana Sikana, Ph.D. selaku Ko-Promotor yang telah mengajarkan banyak
(17)
7. Prof. Dr. Mahsun, M.S. dan Dra. Yeyen Maryani, M.Hum selaku Kepala dan Sekertaris Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, yang telah melegalisasi pemberian beasiswa selama penulis menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana USU Medan. 8. Dr. T. Syarfina, M.Hum. selaku Kepala Balai Bahasa Medan yang telah
memotivasi penulis untuk melanjutkan pendidikan.
9. Dr. Asmyta Surbakti, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik dan Penguji Luar Komisi yang banyak memberikan pertimbangan akademik dalam menyelesaikan perkuliahan.
10.Prof. Dr. Harris Effendi Thahar, M.Pd. dan Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A. sebagai Penguji Luar Komisi yang banyak memberikan pertimbangan akademik dalam penyempurnaan disertasi ini.
11.Orang tua penulis, Ayahanda Parnak dan Ibunda Giyah yang dengan tulus mengalirkan doa dan kasih sayangnya.
12.Mertua penulis, Ayahanda Mohammad Yasin dan Ibunda Sarimpi yang selalu sabar dan pengertian saat penulis menempuh pendidikan.
13.Keluarga penulis, yaitu suami tercinta Saiful, S.S. –dengan nama khasnya, Syaiful Hidayat- yang banyak mentransformasikan dan mendiskusikan ilmu sastra dengan perhatian dan kasih sayang, kedua anak penulis yaitu ananda terkasih Farah Oktavia Hidayat dan ananda tersayang Muhammad Farhan Hidayat yang selalu berdoa dan penuh kasih sayang memotivasi penulis untuk mencapai kesuksesan dalam karier dan pendidikan.
(18)
14.Keluarga besar penulis, yaitu Kakanda Harianum, A.Md., Abangda Supriadi, Adinda Wardianto, S.Kom., Adinda Juliani, S.Pd., serta adik-adik ipar Suyatini, Suhendra, Muhammad Sofyan, Agus Wahyudi, S.T. beserta kemanakan penulis yang banyak memberikan motivasi dan bantuan dalam menyelesaikan pendidikan. 15.Keluarga dr. Marza’i Amirsjah, SpPD. (alm.) atas motivasi, perhatian dan kasih
sayangnya.
16.Sahabat mahasiswa Program Doktor Linguistik, Sekolah Pascasarjana USU Angkatan 2009/2010, khususnya mahasiswa yang memilih Konsentrasi Kajian Sastra sebagai spesialisasi akademiknya.
17.Teman seprofesi penulis di Balai Bahasa Medan serta Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Jakarta.
18.Semua pihak yang telah membantu dan berpartisipasi kepada penulis selama perkuliahan dan penyelesaian disertasi ini
Semoga Allah SWT memberikan kemurahan rezeki dan kemudahan jalan hidup bagi kita. Amin.
Medan, Agustus 2012
(19)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
UCAPAN TERIMA KASIH ... iv
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR SINGKATAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1Latar Belakang ... 1
1.2Identifikasi Masalah ... 11
1.3Batasan Masalah ... 13
1.4Rumusan Masalah ... 14
1.5Tujuan Penelitian ... 15
1.6Manfaat Penelitian ... 16
1.6.1 Manfaat Teoretis ... 16
1.6.2 Manfaat Praktis ... 17
1.7Definisi Istilah ... 17
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK ... 21
(20)
2.2Kajian Pustaka ... 22
2.2.1 Sastra Hindia Belanda ... 22
2.2.2 Novel dalam Penelitian Poskolonial ... 28
2.2.3 Bahasa Masyarakat Poskolonial ... 35
2.3Kerangka Teoretik ... 37
2.3.1 Teori Struktur Naratif ... 38
2.3.2 Teori Poskolonialisme ... 47
2.3.2.1Keberadaan Teori Poskolonialisme ... 47
2.3.2.2Mimikri dan Hibriditas ... 55
2.3.2.2.1 Mimikri ... 55
2.3.2.2.2 Hibriditas ... 59
2.3.2.3Model Kajian Poskolonialisme ... 63
2.4Penelitian Terdahulu ... 67
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 75
3.1Paradigma dan Metode Penelitian ... 75
3.2Kerangka Berpikir ... 77
3.3Data dan Sumber Data ... 81
3.4Prosedur Pengumpulan Data ... 83
3.5Teknik Analisis Data ... 86
BAB IV PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN ... 89
4.1Pengantar Paparan ... 89
(21)
4.2.1 Deskripsi dan Analisis Realitas Fiksi ... 91
4.2.1.1Data I: Novel Max Havelaar Karya Multatuli ... 91
4.2.1.1.1 Struktur Plot ... 91
4.2.1.1.2 Struktur, Fisik, Ras, dan Relasi Gender 102 4.2.1.1.3 Struktur Ruang dan Waktu ... 114
4.2.1.1.4 Struktur Transmisi Narasi ... 118
4.2.1.2Data II: Novel Berpacu Nasib di Kebun Karet Karya M.H. Székely-Lulofs ... 125
4.2.1.2.1 Struktur Plot ... 125
4.2.1.2.2 Struktur Fisik, Ras, dan Relasi Gender 132 4.2.1.2.3 Struktur Ruang dan Waktu ... 141
4.2.1.2.4 Struktur Transmisi Narasi ... 147
4.2.1.3Data III: Novel Manusia Bebas Karya Suwarsih Djojopuspito ... 152
4.2.1.3.1 Struktur Plot ... 152
4.2.1.3.2 Struktur Fisik, Ras, dan Relasi Gender 159 4.2.1.3.3 Struktur Ruang dan Waktu ... 163
4.2.1.3.4 Struktur Transmisi Narasi ... 167
4.2.1.4Data IV: Novel Oeroeg Karya Hella S. Haasse ... 168
4.2.1.4.1 Struktur Plot ... 168
4.2.1.4.2 Struktur Fisik, Ras, dan Relasi Gender 173 4.2.1.4.3 Struktur Ruang dan Waktu ... 181
(22)
4.2.1.4.4 Struktur Transmisi Narasi ... 183 4.2.2 Deskripsi dan Analisis Realitas Historis ... 185 4.2.2.1Novel Max Havelaar Karya Multatuli ... 186
4.2.2.1.1 Riwayat Hidup Eduard Douwes Dekker 186 4.2.2.1.2 Elite Birokrasi Pemerintahan ... 194 4.2.2.1.3 Perlawanan Rakyat ... 203 4.2.2.2Novel Berpacu Nasib di Kebun Karet Karya M.H.
Székely-Lulofs ... 206 4.2.2.2.1 Riwayat Hidup M.H. Székely-Lulofs . 206 4.2.2.2.2 Elite Birokrasi Perkebunan Karet Deli 210 4.2.2.2.3 Perempuan: Istri, Nyai, dan Pembantu 224 4.2.2.3Novel Manusia Bebas Karya Suwarsih
Djojopuspito ... 227 4.2.2.3.1 Riwayat Hidup Suwarsih Djojopuspito 227 4.2.2.3.2 Elite Birokrasi Pendidikan ... 234 4.2.2.3.3 Emansipasi Wanita Hindia Belanda .... 237 4.2.2.4Novel Oeroeg Karya Hella S. Haasse ... 239
4.2.2.4.1 Riwayat Hidup Hella S. Haasse ... 239 4.2.2.4.2 Elite Birokrasi Perkebunan Teh Jawa . 245 4.2.2.4.3 Perang Kemerdekaan Indonesia ... 248 4.3 Temuan Penelitian ... 251 4.3.1 Struktur Penceritaan Novel Hindia Belanda ... 251
(23)
4.3.2 Wacana Poskolonial Novel Hindia Belanda ... 252
BAB V PEMBAHASAN TEMUAN PENELITIAN ... 256
5.1Pengantar Pembahasan ... 256 5.2Struktur Penceritaan Novel Hindia Belanda ... 259 5.2.1 Novel Max Havelaar Karya Multatuli ... 260
5.2.2 Novel Berpacu Nasib di Kebun Karet Karya M.H.
Székely-Lulofs ... 266 5.2.3 Novel Manusia Bebas Karya Suwarsih Djojopuspito ... 276
5.2.4 Novel Oeroeg Karya Hella S. Haasse ... 279
5.3Mimikri dalam Novel Hindia Belanda ... 281 5.3.1 Proses Pembentukan Mimikri ... 281 5.3.2 Penyesuaian Etika dan Kategori Ideal ... 282 5.3.3 Local Genius Mimikri ... 294
5.3.4 Pola Mimikri ... 298 5.4Ambivalensi dalam Novel Hindia Belanda ... 299 5.4.1 Proses Pembentukan Ambivalensi ... 299 5.4.2 Ambivalensi Kepribadian Bangsa ... 301 5.4.3 Local Genius Ambivalensi ... 306
5.4.4 Pola Ambivalensi ... 309 5.5Hibriditas dalam Novel Hindia Belanda ... 310 5.5.1 Proses Pembentukan Hibriditas ... 310 5.5.2 Model dan Wujud Kepemimpinan ... 312
(24)
5.5.3 Local Genius Hibriditas ... 323
5.5.4 Pola Hibriditas ... 328 5.6Sinkretisme dalam Novel Hindia Belanda ... 329 5.6.1 Proses Pembentukan Sinkretisme ... 329 5.6.2 Dampak Sinkretisme ... 330 5.6.3 Local Genius Sinkretisme ... 336
5.6.4 Pola Sinkretisme ... 340 5.7Kontekstualitas Pembahasan ... 341
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 344
5.1Simpulan ... 344 5.2Saran ... 346
DAFTAR PUSTAKA ... 347 Lampiran:
1. Cover Novel Hindia Belanda ... 356 2. Foto Pengarang Novel Hindia Belanda ... 357 3. Sinopsis Novel Hindia Belanda ... 358 4. Peta Jalan Kereta Api di Pulau Sumatera Tahun 1925 ... 372 5. Daftar Identitas Informan ... 373 6. Daftar Pertanyaan Wawancara ... 377 7. Riwayat Hidup Penulis Disertasi ... 380
(25)
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1: Kronologi Peristiwa Penting dalam Pekerjaan Multatuli
di Hindia Belanda ... 190 Tabel 4.2: Elite Birokrasi Pemerintahan dalam Novel Max Havelaar Karya
Multatuli Menurut Nama dalam Realitas Fiksi, Nama dalam
Realitas Historis, dan Jabatan di Hindia Belanda ... 196 Tabel 4.3: Perbandingan Isi Surat dari/untuk Multatuli pada Realitas Fiksi dan Eduard Douwes Dekker pada Realitas Historis ... 197 Tabel 5.1: Struktur Waktu Realitas Fiksi dan Realitas Historis Novel
Max Havelaar Karya Multatuli ... 264
Tabel 5.3: Perbandingan Jumlah Kuli Laki-laki dan Perempuan di Sumatera
(26)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1: Diagram Teori Struktur Naratif ... 40 Gambar 2.2: Kuardipartiti Bentuk-Substansi dengan Ungkapan-Isi dalam Teori Struktur Naratif ... 41 Gambar 3.1: Kerangka Berpikir Penelitian Mimikri dan Hibriditas dalam
Novel Hindia Belanda ... 78 Gambar 4.1: Skema Struktur Transmisi Narasi Novel Max Havelaar Karya
Multatuli ... 121 Gambar 4.2: Skema Struktur Transmisi Narasi Novel Berpacu Nasib di Kebun
Karet Karya M.H. Székely-Lulofs ... 149
Gambar 4.3: Grafik Perkembangan Jumlah “Koeli Kontrak” Menurut
Suku/Bangsa di Sumatera Timur ... 214 Gambar 4.4: Grafik Penyerangan “Koeli Kontrak” terhadap Asisten Kebun
Belanda Menurut Jumlah Penyerangan dan Korban Tewas
(27)
DAFTAR SINGKATAN
AMS Algemeene Middelbare School
AVROS Algemeene Vereniging Rubberplanters Dost kust Van Sumatra
BB Binnenlandsch Bestuur
BNdKK Berpacu Nasib di Kebun Karet
BP KNIP Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat DKJ Dewan Kesenian Jakarta
H.B. Hans Bague
HBS Hogare Burgere School
HIS Hollansch-Inlandsche School
H.N.A.
IKAPI Ikatan Penerbit Indonesia Hasan Noel Arifin Ind. Indonesia
Ir. Insinyur
KKN Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme LBH Lembaga Bantuan Hukum
No. Nomor
Ny. Nyonya
M.Eng. Master Engginering
MB Manusia Bebas
M.H. Madelon Hermine
MH Max Havelaar
MULO Meer Uitgebreid Lager Onderwijs MoU Memorandum of Understanding Oe Oeroeg
PID
PKI Partai Komunis Indonesia
Politieke Intelichtingen Dienst
PNI Partai Nasional Indonesia
PPPI Perhimpoenan Peladjar Peladjar Indonesia RI Republik Indonesia
RIS Republik Indonesia Serikat RHS Recht Hoge School
S.H. Sarjana Hukum SHC Sumatra Heave Coy. Stb. Staatsblad
TBC Tuberculosis
VOC
(28)
ABSTRAK
MIMIKRI DAN HIBRIDITAS NOVEL HINDIA BELANDA: KAJIAN POSKOLONIALISME, Rosliani, Program S3 Linguistik Konsentrasi Kajian Sastra, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan
Disertasi ini berjudul “Mimikri dan Hibriditas Novel Hindia Belanda: Kajian Poskolonialisme”. Novel yang dijadikan bahan penelitian adalah Max Havelaar karya
Multatuli (1839-1887), Berpacu Nasib di Kebun Karet M.H. Székely-Lulofs
(1899-1958), Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito (1912-1977), dan Oeroeg karya
Hella S. Haasse (1918-2011). Hasil identifikasi terhadap novel tersebut ditemukan masalah yang berkaitan dengan struktur penceritaan, mimikri, ambivalensi, hibriditas dan sinkretisme. Dari kelima masalah, ambivalensi muncul akibat ketidakpastian mimikri dan sinkretisme muncul akibat fleksibelitas hibridisasi Barat dan Timur.
Di dalam penganalisisan digunakan teori poskolonialisme dan teori struktur naratif dengan paradigma konstruktivisme. Penggunaan teori dan metodologi penelitian ini untuk mengungkap gaya hidup Hindia Belanda sebagai realitas fiksi dan peristiwa sejarah yang melatarbelakanginya sebagai realitas historis. Untuk itu, penelitian ini menggunakan uji teks dan uji pustaka dalam membenarkan deskripsi dan komparasi realitas fiksi dan realitas historis kehidupan bangsa penjajah dan bangsa terjajah di Hindia Belanda.
Secara struktur naratif, realitas fiksi novel Hindia Belanda dideskripsikan secara kronologis berdasarkan struktur plot, struktur fisik, ras, dan relasi gender, struktur ruang dan waktu, serta struktur transmisi narasi. Realitas fiksi ini diikuti pendeskripsian realitas historis dengan fokus pada riwayat hidup pengarang dan masalah yang dihadapi elite birokrasi, baik pemerintahan, pendidikan, maupun perkebunan. Hasilnya, realitas fiksi dalam novel didasarkan pada realitas historis, seperti praktik KKN dan pembaratan, baik sesuai konteks historisnya maupun konteks historis yang dipindahkan dan disamarkan lokasi serta nama pelakunya.
Pemunculan benturan peradaban Barat dan Timur dalam novel Hindia Belanda memunculkan masalah mimikri dan hibriditas bagi bangsa Belanda dan Indonesia. Mimikri dalam gaya hidup yang berterima di Hindia Belanda, misalnya, membentuk ambivalensi kepribadian bangsa yang terjajah (Indonesia) dan bangsa yang menjajah (Belanda). Mimikri dan ambivalensi tersebut menempatkan hibriditas struktural dan kultural yang berpusat pada model dan wujud kepemimpinan. Hibriditas kepemimpinan memunculkan sinkretisme religi di mana Barat yang Kristen bertemu dengan Timur yang memiliki keanekaragaman religi. Persoalan mimikri dan hibriditas dalam realitas fiksi dan realitas historis novel Hindia Belanda tersebut menjadi fokus penelitian poskolonial ini sehingga memberi gambaran yang jelas terhadap akar persoalan kebangsaan Indonesia yang tetap mengedepankan local geniusnya menghadapi era globalisasi.
(29)
ABSTRACT
THE MIMICRY AND HYBRIDITY OF DUTCH EAST INDIES NOVEL: POST-COLONIALSM STUDIES, Rosliani, S3 Doctoral Linguistics Program, Literature Studies Concentration Post-graduate School of the University of North Sumatra
The title of the dissertation is “Mimicry and Hybridity of Dutch Indies Novels: A Post-colonialism Study”. The materials of the research are taken from Max
Havelaar written by Multatuli (1839-1887), Berpacu Nasib di Kebun Karet written by M.H. Székely-Lulofs (1899-1958), Manusia Bebas written by Suwarsih Djojopuspito (1912-1977), and Oeroeg written by Hella S. Haasse (1918-2011). The results of the identification are problems relating to the structure of the narratation, mimicry, ambivalence, hybridity, and syncretism. Of the five problems, ambivalence occurs due to the infirmness of mimicry and syncretism occurs due to the flexibility of Western and Eastern hybridization.
Post-colonialism theory and narrative structure theory are used in the analysis by using constructivism paradigm. The aim of using the theories and methodology is to reveal Dutch Indie’s lifestyle as fiction reality and historical event underlying it as a historical reality. For that reason, the study uses text study and library research in justifying description and comparative reality of the fiction and historical reality of colonial nation’s life and colonized country in Dutch-Indie.
Based on the narrative structure, fiction reality of Dutch-Indies novels are chronologically described based on plot, physical structure, race and gender relation, space and time structure, and narration transmission structure. The description of historical reality is focused on the author and the problem faced by bureaucratic elite such as the government, education, and plantation. Fiction reality in the novel is based on the historical reality, such as the practice of corruption, nepotism and Westernization, in accordance to the historical context or the historical context which has moved or disguised the locations and the names of the actors.
The appearance of western and eastern civilization clash in Dutch-Indies novels causes mimicry and hybridity problem to the Dutch and Indonesian. Mimicry in lifestyle which is accepted in Dutch-Indie, such as forming ambivalent personality of colonized nation (Indonesia) and colonial nation (Dutch). The mimicry and the ambivalence place structural and cultural hybridity focused on model and form of leadership. Leadership hybridity causes religious syncretism between Christian Western people and Eastern people who have various religions. The mimicry and hybridity problem in fiction reality and historical reality of Dutch-Indie’s novels are the focus of this post-colonialism research so that it can give a clear description to the roof of the problem of Indonesian nationality which puts forward its local genius in facing the global era.
(30)
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang
Keberadaan novel Indonesia pada masa pemerintahan kolonial Belanda tidak dapat diabaikan begitu saja. Indonesia yang bernama Hindia Belanda pada masa penjajahan Belanda memiliki tradisi bersastra tulis berbahasa Belanda dan berbahasa Melayu. Novel-novel tersebut terbagi atas dua kategori, yakni yang ditulis oleh orang-orang asing, terutama Belanda dan Tionghoa, dan yang ditulis oleh penduduk asli Indonesia, terutama penduduk asli Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Novel yang terbit pada masa penjajahan tersebut memberi kontribusi yang signifikan dalam perjuangan melawan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia. Perjuangan tersebut dilakukan dalam wacana poskolonialisme.
Penggunaan bahasa Melayu dalam penulisan novel pada masa pemerintahan Hindia Belanda sejalan dengan pengakuan Kerajaan Belanda terhadap bahasa Melayu. Pengakuan tersebut direalisasikan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van der Capellen, melalui peraturan (Ind. Stb. No. 34 pada 25 Maret 1819) yang mengharuskan lulusan Sekolah Militer Semarang menjalankan tugas tanpa penerjemah. Menurut Simbolon (2006:112), “Sesudah itu, semua asisten residen, sekretarisnya, dan opziner atau penilik, harus sudah menguasai bahasa Melayu dan
Jawa; kalau tidak, gaji mereka dikurangi sampai 25%.”
Peraturan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tentang penguasaan bahasa Melayu para pegawainya itu berkelanjutan. Dari hasil penelitian Simbolon
(31)
(2006:112-135) terbukti bahwa, pada 1825, peraturan ini menjadi persyaratan bagi calon pegawai yang diambil langsung dari Kerajaan Belanda. Mereka, terutama yang ingin mencapai pangkat asisten residen, harus memiliki sertifikat kemampuan dasar berbahasa Melayu, di samping kemampuan berbahasa Jawa dan bahasa daerah lain di Hindia Belanda. Bahkan, Gubernur Jenderal Dominique Jacques de Eerens (1836-1840) mengeluarkan Keputusan No. 30 dan dimuat dalam Ind. Stb. No. 23/1837 yang menetapkan kepemilikan ijazah bahasa Melayu dan salah satu bahasa daerah sebagai syarat naik pangkat bagi pegawai pemerintahan Hindia Belanda. Hal ini menjadikan bahasa Melayu sebagai lingua franca dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda.
Keberterimaan berbahasa ini membuat relasi bangsa penjajah dan bangsa terjajah dalam studi orientalis semakin meluas dan berpemahaman, baik dalam pandangan Belanda maupun Indonesia.
Relasi bangsa penjajah dan bangsa terjajah yang tereduksi dalam novel Hindia Belanda menjadi bagian integral dalam novel berbahasa Belanda yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Misalnya: (i) Novel Max Havelaar (MH)
karya Multatuli (1839-1887) terbit pada 1860 dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul yang sama pada 1972; (ii)Novel Rubber karya M.H.
Székely-Lulofs (1899-1958) terbit pada 1931 dan diterjemahkan dengan judul Berpacu Nasib di Kebun Karet (BNdKK) pada 1985; (iii) Novel Buiten het Gareel karya Suwarsih
Djojopuspito (1912-1977) terbit pada 1940 dan diterjemahkannya dengan judul
Manusia Bebas (MB) pada 1975; dan (iv) Novel Oeroeg (Oe) karya Hella S. Haasse
(32)
Novel MH, BNdKK, dan Oe ditulis oleh sastrawan berkebangsaan Belanda sedangkan
novel MB ditulis oleh sastrawan berkebangsaan Indonesia. Novel-novel tersebut
mengisahkan benturan peradaban bangsa penjajah dan bangsa terjajah sebagai representasi Barat dan Timur dalam kolonialisasi Belanda di Indonesia.
Novel MH karya Multatuli merupakan novel yang menggambarkan
kolonialisme Belanda dari dua sisi, yakni sisi kebelandaan dan keindonesiaan. Pemunculan novel yang mengambil latar kekejaman elite birokrasi pemerintahan Hindia Belanda dan penderitaan rakyat Lebak ini telah mengejutkan politisi dan pejabat Kerajaan Belanda. Kekejaman dan penderitaan tersebut berlangsung dalam sebuah konspirasi kepemimpinan elite politik dan pejabat kolonial. Konspirasi elite politik dan pejabat kolonial ini melanggengkan praktik KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme) dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda. Konspirasi inilah yang dibongkar oleh Multatuli dan ditentang oleh elite birokrasi pemerintahan Hindia Belanda, mulai dari tingkat Demang sampai Gubernur Jenderal. Penentangan tersebut tidak semata-mata karena dugaan pembiaraan KKN yang menyengsarakan rakyat, melainkan juga gugatan terhadap model dan wujud kepemimpinan dalam sistem pemerintahan kolonialisme Belanda di Indonesia.
Kesulitan Havelaar dalam novel MH mengungkap konspirasi elite politik dan
pejabat kolonial ini membuat praktik KKN tumbuh dan berkembang dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda. Kesulitan tersebut tidak hanya berasal dari tindakan Havelaar yang tidak mengikuti kebiasaan pejabat tinggi dalam menghadapi KKN, melainkan juga berasal dari solidaritas pejabat yang melindungi pejabat lain karena
(33)
pejabat itu melibatkan dirinya sendiri dalam KKN, baik secara langsung maupun tidak langsung. Konspirasi elite politik dan pejabat dalam praktik KKN seperti ini melampaui realitas fiksi karena terjadi dalam realitas historis sistem pemerintahan Indonesia. Bahkan, perang terhadap KKN menjadi agenda reformasi yang sulit direalisasikan secara murni dan konsekuen dengan keterlibatan pejabat tinggi selevel bupati, walikota, gubernur, dan menteri, yang berkoalisi dengan anggota DPR, hakim, jaksa, dan pengusaha dalam praktik korupsi. Kondisi ini mengingatkan bangsa Indonesia akan pentingnya mengkaji ulang relevansi novel MH dan novel sejenis
dengan kehidupan Indonesia, terutama untuk menumbuhkembangkan semangat memberantas korupsi dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Secara historis, telah terbukti bahwa, penerbitan novel MH karya Multatuli
memberi konstribusi penting dalam pemunculan politik etis di Hindia Belanda. Menurut Simbolon (2006:146), “... buku ini dengan sangat tajam dan keras menelanjangi jahatnya sistem Tanam Paksa, baik bagi pejabat Belanda yang jujur apalagi bagi Bumiputra.” Multatuli –yang dikenal sebagai EDD (Eduard Douwes Dekker)- sendiri adalah bangsa Belanda yang bermigrasi ke Hindia Belanda sebagai pejabat pemerintah dengan pangkat terakhir Asisten Residen Lebak. Status kepegawaian dan riwayat EDD yang selalu berpindah tempat tugas hingga akhirnya berhenti menjadi pejabat pemerintah –karena tidak suka dengan atasan yang menyimpang dari sumpah pejabatnya- menjadi bukti validitas dan representitifnya data yang digunakan Multatuli dalam menulis novelnya.
(34)
Superioritas Barat sebagai bangsa penjajah yang tercitra dalam pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia tidak hanya menjadi sorotan Multatuli. Seorang istri elite birokrasi perkebunan Belanda, Székely-Lulofs mendeskripsikan dampak kolonialisasi Belanda di sektor perkebunan karet dalam novel BNdKK. Novel yang
ditulis di Telok Dalam (Kabupaten Asahan, Indonesia) dan Budapest (Hongaria) sejak Desember 1929 sampai Juni 1931 ini mengejutkan masyarakat Belanda karena keberaniannya mengungkapkan kekejaman pejabat perkebunan dan penderitaan rakyat Hindia Belanda berdasarkan pengalaman hidup pengarang di Hindia Belanda. Székely-Lulofs itu sendiri adalah bangsa Belanda yang lahir di Surabaya dan mengikuti suaminya sebagai pejabat berpangkat tuan kebun (planter) Belanda di
Sumatera Timur. Oleh karena itu, Székely-Lulofs memperoleh dua gelar yang bertentangan, yakni dianggap sebagai pengkhianat karena menceritakan kekejaman pejabat sementara suaminya termasuk pejabat itu sendiri, namun ia dijuluki “Multatuli Wanita” karena keberaniannya mengungkap kekejaman Belanda sebagaimana pernah dilakukan oleh Multatuli.
Di samping novel MH dan BNdKK terdapat novel berjudul Oe karya Hella S.
Haasse. Novel ini terpilih sebagai Buku Hadiah 2009: dibagi-bagikan, didiskusikan, dan dirayakan di Belanda. Di Indonesia, peluncuran buku ini merupakan bagian kampanye Kedutaan Besar Belanda untuk Indonesia dalam rangka The Nederland Read. Novel Oe mengungkapkan relasi bangsa penjajah dan bangsa terjajah yang
termimikri dan terambivalensi dalam menemukan identitas kebangsaannya, baik sebagai bangsa Belanda maupun bangsa Indonesia.
(35)
Di antara novel MH, BNdKK, dan Oe terdapat novel MB karya Suwarsih
Djojopuspito. Suwarsih sebagai pengarang dan intelektual Hindia Belanda berasal dari masyarakat jajahan Belanda yang fasih berbahasa Belanda. Dia menuliskan novel dalam bahasa Belanda dan menerbitkan novel itu di Negeri Belanda, tempat tinggal bangsa yang menjajah bangsanya sendiri. Novel MB terbit di Negeri Belanda dengan
judul Buiten het Gareel. Novel ini berisi peristiwa tahun 1930-an di masa pergerakan
sedang hangat-hangatnya dan semangat kebangsaan mulai membangkitkan perlawanan bangsa Indonesia kepada Belanda. Perlawanan terhadap kolonialisme Belanda diperlihatkan pengarang novel ini dengan cara menghadirkan intelektual yang setara dengan intelektual Belanda untuk mendirikan sekolah partikelir nasional. Akibatnya, intelektual yang berusaha mencerdaskan kehidupan bangsanya harus berhadapan dengan politik kolonial yang menganggap sekolah partikelir sebagai “sekolah liar” sehingga rakyat menjadi takut menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut. Akan tetapi, pendiri dan guru-gurunya tidak takut meski harus ditangkap, hidup serba melarat, dan selalu diawasi oleh pejabat Hindia Belanda.
Keberanian Multatuli (1839-1887), M.H. Székely-Lulofs (1899-1958), Suwarsih Djojopuspito (1912-1977), dan Hella S. Haasse (1918-2011) mengungkapkan penderitaan penduduk Hindia Belanda menjadikan karya sastra sebagai bagian dari protes sosial terhadap pemerintahan Hindia Belanda. Akibatnya, karya sastra bisa dilarang beredar karena berpraduga isinya membahayakan ideologi. Bisa juga karya itu dilarang karena dianggap tidak sesuai dengan nilai moral dalam masyarakat atau mengungkapkan pandangan yang kontroversial mengenai suku,
(36)
agama, ras, dan antargolongan.1
Sapardi Djoko Damono (dalam Satoto dan Zainuddin Fanani, 2000:iii-iv), mengklasifikasi pelarangan karya sastra Indonesia dalam empat pernyataan: (i) pelarangan dan pembatasan atas sastra dan sastrawan oleh pemerintah atau penguasa merupakan pengakuan bahwa sastra dan sastrawan memiliki fungsi yang jelas, penting, dan setidaknya ‘ditakuti’ karena mempunyai kemungkinan melanggar ideologi negara yang bisa mengganggu stabilitas pemerintahan dan kekuasan; (ii) suatu pengakuan bahwa sastra bisa mempunyai pengaruh yang luas terhadap cara berpikir dan bertindak masyarakat terhadap ideologi, politik, dan kekuasaan; (iii) kita harus berani mengakui kenyataan bahwa pelarangan dan pembatasan sastrawan dan sastra tidak jarang malah menyebabkan kita memusatkan perhatian terhadapnya; dan, (iv) kita harus bisa memahami sebaik-baiknya bahwa salah satu cara untuk mengetahui kedewasaan suatu masyarakat (termasuk penguasa, sastrawan, publik, dan penerbit) adalah dengan mengukur sejauh mana kebebasan dan keterbukaan terhadap gagasan, harapan, dan aspirasi manusia seperti tersirat dan tersurat dalam karya sastra.
Pemasungan kreativitas juga bisa terjadi pada sastrawan kritis yang dianggap tidak mau loyal atau menjadikan karyanya sebagai corong pemerintah atau partai pemerintah yang berkuasa, atau karena karyanya memuat kritikan yang keras terhadap kebijakan pemerintah.
1 Lihat, Sapardi Djoko Damono,
Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999),
p. 49. Artikel dalam buku ini yang berjudul “Beberapa Masalah dalam Perkembangan Sastra Indonesia” menegaskan bahwa, “Setiap orang Indonesia, termasuk tentu saja sastrawannya, harus bertindak sangat hati-hati jika masuk ke dalam empat hal tersebut, yang sudah sejak lama diawetkan ke dalam suatu istilah resmi, yaitu SARA.” Artikel ini diterbitkan dalam bahasa Malaysia berjudul “Beberapa Masalah dalam Perkembangan Sastera Indonesia Modern.” Lihat juga, Damono (2000:17).
(37)
Karya sastra yang dilarang beredar di Indonesia terjadi akibat karya sastra itu dianggap berisi ideologi yang berbeda dari pemerintah yang berkuasa, dicurigai dapat mengasut masyarakat, melecehkan salah satu agama yang ada di Indonesia sehingga akan menimbulkan keresahan masyarakat. Karya sastra yang baik menurut pandangan estetis belum tentu baik menurut penguasa. Pelarangan sastra di Indonesia tersebut ternyata memiliki sejarah yang panjang sehingga harus ditelusuri sampai masa pemerintahan Hindia Belanda. Menurut Muhammad (2001:12), pada bulan September 1919, harian Benih Merdeka yang terbit di Medan menerbitkan sebuah
pantun berjudul “Nasibnya Hindia” karya penulis yang menggunakan nama samaran Van Aarde, sehingga membuat pemerintah Hindia Belanda merasa sangat terpukul. Pantun itu antara lain tertulis, “Hindia bukan tanah wakaf/Hindia bukan nasi bungkus/Hindia bukan rumah komedi.” Muhammad Yunus sebagai pemimpin redaksi ditangkap karena anggapan adanya pelanggaran kode etik pers Hindia Belanda. “Tetapi delik tersebut kandas di tengah jalan, karena kalimat-kalimat tersebut itu tidak melanggar hukum, tegasnya tidak dapat dihukum (net vervolgbaar).”
Kebijakan politik etis yang dijalankan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia telah menyuburkan penerbitan novel, baik yang dilakukan oleh Balai Pustaka maupun penerbit independen. Novel tersebut menggambarkan benturan peradaban Barat dan Timur, baik dalam hegemoni politik maupun identitas kultural. Novel Sitti Nurbaya karya Marah Roesli, Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, dan Layar Terkembang karya S. Takdir Alisjahbana muncul sebagai dokumentasi sosial
(38)
budaya yang menggambarkan dampak psikologis kolonialisme Belanda di Indonesia. Novel tersebut merupakan novel yang terbit dalam legitimasi pemerintah Hindia Belanda melalui penerbit Balai Pustaka.
Novel yang lain memiliki sudut pandang yang berbeda dengan novel terbitan Balai Pustaka. Novel tersebut merupakan novel berbahasa Melayu rendah dan novel berbahasa Belanda yang tidak ditulis oleh sastrawan berkebangsaan Belanda. Novel tersebut adalah Hikayat Siti Mariah karya Haji Mukti, Studen Hijo karya Marco
Kartodikromo, Lo Fen Koei karya Gouw Peng Liang, dan Buiten het Gareel karya
Suwarsih Djojopuspito. Novel tersebut menjadi objek poskolonialisme dalam sastra Indonesia masa pemerintahan Hindia Belanda. Novel tersebut terbit secara independen, sehingga memberi pencitraan yang lebih bebas dalam menggambarkan penderitaan bangsa Indonesia dalam penjajahan Belanda.
Novel Hindia Belanda di atas mewakili struktur ruang dan waktu tersendiri, antara lain dapat dimasukkan pada kategori novel terjemahan dari bahasa Belanda (MH, BNdKK, MB, dan Oe), novel berbahasa Melayu rendah (Hikayat Siti Mariah, Studen Hijo, dan Lo Fen Koei) dan novel berbahasa Melayu tinggi (Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, dan Layar Terkembang). Novel-novel tersebut mengungkapkan
penyesuaian etika dan kategori ideal Eropa sebagai sesuatu yang universal serta model dan wujud kepemimpinan dalam realitas fiksi dan realitas historis novel Hindia Belanda. Pengungkapan peristiwa antara satu novel dengan novel yang lain memiliki ciri khas, sehingga benturan peradaban Barat dan Timur yang tereduksi dalam novel dapat mencerminkan local genius kepribadian bangsa Indonesia.
(39)
Perilaku elite birokrasi pemerintahan yang mengakibatkan penderitaan rakyat dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda memberi ruang mimikri dan hibriditas. Mimikri yang terjadi dalam relasi bangsa pejajah dan bangsa terjajah memunculkan sikap ambivalensi kepribadian manusia Indonesia. Sikap ambivalen tersebut terjadi akibat penyesuaian etika dan kategori ideal yang tidak berterima. Demikian pula hibriditas, dalam prosesnya memunculkan sinkretisme akibat benturan peradaban Barat dan Timur. Hal ini diungkapkan oleh Multatuli, Székely-Lulofs, dan Hella S. Haasse dari sudut pandang bangsa Belanda dan diungkapkan oleh Suwarsih Djojopuspito dari sudut pandang bangsa Indonesia dalam novel-novelnya. Sudut pandang kebangsaan yang berbeda tersebut mendapat kesamaan dalam pengalaman langsung sastrawan dengan peristiwa kehidupan pada masa kolonialisme Belanda di Hindia Belanda.
Proses dan akibat kolonialisme Belanda yang menjadi pengalaman estetis pengarang dideskripsikan pengarang dalam bentuk novel berlatar historis Hindia Belanda. Pendeskripsian realitas fiksi dan realitas historis tersebut dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif, sehingga ditemukan pola mimikri, ambivalensi, hibriditas, dan sinkretisme. Pola tersebut menempatkan relasi bangsa penjajah dan bangsa terjajah dalam proses pembentukan identitas kultural dan identitas kebangsaan, baik dalam kategori ideal Barat maupun Timur. Bahkan, pertemuan dua peradaban tersebut memunculkan hibriditas dan sinkretisme dalam kehidupan elite birokrasi pemerintahan, perkebunan, dan pendidikan di Hindia Belanda.
(40)
Berdasarkan penjelasan di atas, wacana poskolonialisme seperti mimikri yang berkepanjangan dapat mengungkapkan ambivalensi kepribadian manusia Indonesia. Sebaliknya, pembentukan hibriditas struktural meunculkan hibriditas kultural yang dapat membongkar praktik sinkretisme dalam kehidupan bangsa Indonesia. Menghadapi proses mimikri dan hibriditas tersebut, bangsa Indonesia masa Hindia Belanda memunculkan kekuatan local genius yang mampu menghadapi penetrasi
Barat yang mendapat dukungan politik kolonial Belanda. Oleh karena itu, pengungkapan realitas fiksi dan realitas historis dalam teks dan konteks poskolonial novel Hindia Belanda menjadi demikian penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Kondisi tersebut menjadi daya tarik penelitian ini, sehingga peneliti menjadikan keempat novel tersebut sebagai fokus penelitian poskolonialisme. Dengan demikian, hasil penelitian ini dapat dijadikan model terapan teori poskolonial dan model hibriditas kultural yang layak direvitalisasi dalam kehidupan modern bangsa Indonesia.
1.2Identifikasi Masalah
Setelah melakukan observasi yang saksama terhadap bahan penelitian ini dapat diidentifikasi lima masalah. Kelima masalah yang diidentifikasi dalam novel Hindia Belanda tersebut adalah:
(1) Ada masalah dalam struktur penceritaan novel Hindia Belanda. Novel-novel tersebut menggunakan struktur penceritaan yang bervariatif tetapi menceritakan hal yang relatif sama. Bagaimana mungkin dengan pola yang berbeda dapat
(41)
mengungkapkan hal yang sama? Bahkan, keberpihakan penjajah terhadap rakyat jajahan atau rakyat jajahan terhadap penjajah menimbulkan pro dan kontra dalam kehidupan rakyat Hindia Belanda. Kondisi ini menimbulkan kesulitan bagi pengarang untuk memunculkan struktur penceritaan novel yang tepat pada masa penjajahan Belanda di Indonesia.
(2) Ada masalah dalam proses mimikri berwujud bentuk-bentuk peniruan atau penyesuaian etika. Masalahnya, proses mimikri harus berdasarkan etika ideal Eropa atau etika ideal Asia dalam karakteristik bangsa Belanda dan Indonesia. Bentuk peniruan atau penyesuaian etika yang menjadi sumber data penelitian menimbulkan pro dan kontra dalam realitas fiksi novel Hindia Belanda.
(3) Ada masalah dalam proses mimikri sehingga memunculkan ambivalensi dalam kepribadian bangsa Indonesia sebagai bangsa yang dijajah dan kepribadian bangsa Belanda sebagai bangsa yang menjajah bangsa Indonesia dalam realitas fiksi novel Hindia Belanda.
(4) Ada masalah dalam pemunculan model dan wujud sistem pemerintahan yang berterima bagi bangsa Belanda dan Indonesia. Pemunculan model dan wujud sistem pemerintahan yang berterima dalam menyelesaikan konflik horizontal dan vertikal dapat hadir sebagai mimikri tetapi dapat pula hadir sebagai hibriditas. Pengidentifikasian dan penganalisisan yang saksama terhadap isi novel Hindia Belanda dapat menetapkan model dan sistem pemerintahan yang berterima dalam penyelesaian konflik sebagai suatu mimikri atau hibriditas dan bukan mimikri sekaligus hibriditas.
(42)
(5) Ada masalah dalam pemunculan hibriditas dari dua budaya –Indonesia dan Belanda- yang mengarah pada sinkretisme. Sinkretisme sebagai sebuah hibriditas memiliki arti kekuatan local genius manusia Indonesia dalam menghadapi budaya
asing. Masalahnya, novel Hindia Belanda memberi ruang dan waktu pemunculan hibriditas dengan sinkretisme dan hibriditas tanpa sinkretisme sehingga harus diidentifikasi, dideskripsikan, dan dianalisis dengan cermat serta saksama pemunculan hibriditas dan sinkretisme, baik realitas fiksi maupun realitas historis.
1.3Batasan Masalah
Masalah penelitian ini dideskripsikan dan dianalisis sesuai dengan realitas fiksi dan realitas historis yang terdapat dalam novel Hindia Belanda. Novel tersebut adalah MH karya Multatuli, BNdKK karya M.H. Székely-Lulofs, MB karya Suwarsih
Djojopuspito, dan Oe karya Hella S. Haasse. Keempat novel tersebut dijadikan
sumber data pengungkapan realitas fiksi dan realitas historis.
Realitas fiksi dalam keempat novel sumber data penelitian ini dideskripsikan berdasarkan bentuk dan substansi isi cerita dan wacana. Bentuk dan substansi isi cerita terdiri dari struktur alur, struktur ruang dan waktu, serta struktur fisik, ras, dan relasi gender, sedangkan bentuk dan subtansi isi wacana terdiri dari struktur transmisi narasi. Sebaliknya, realitas historis dideskripsikan dari peristiwa, tempat, waktu, dan pelaku dalam realitas fiksi yang relevan dengan realitas historisnya.
Berdasarkan realitas fiksi dan realitas historis novel yang dijadikan sumber data penelitian ini diidentifikasi dan dianalisis mimikri dan hibriditas yang diperluas
(43)
dampaknya sehingga diketahui ambivalensi dan sinkretismenya. Pemunculan ambivalensi sebagai dampak mimikri dan pemunculan sinkretisme sebagai faktor pengontrol hibriditas dianalisis dalam konteks realitas fiksi dan realitas historis yang melatarbelakangi tindakan, kejadian, karakter, serta latar kehidupan dalam novel Hindia Belanda.
1.4Rumusan Masalah
Penelitian ini dilaksanakan dengan didasarkan pada lima rumusan masalah berikut ini.
(1) Bagaimanakah struktur penceritaan novel Hindia Belanda dalam mengungkapkan kehidupan bangsa penjajah dan bangsa terjajah di Hindia Belanda, baik berdasarkan realitas fiksi maupun realitas historis?
(2) Bagaimanakah mimikri berwujud bentuk peniruan atau penyesuaian etika dan kategori ideal Eropa dalam realitas fiksi novel Hindia Belanda?
(3) Bagaimanakah ambivalensi kepribadian bangsa penjajah (Belanda) dan bangsa terjajah (Indonesia) menghadapi proses penyesuaian etika dan kategori ideal dalam novel Hindia Belanda?
(4) Bagaimanakah hibriditas model dan wujud kepemimpinan dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda, terutama model dan wujud kepemimpinan yang dominan untuk menyelesaikan konflik horizontal dan konflik vertikal dalam realitas fiksi dan realitas historis novel Hindia Belanda?
(44)
(5) Bagaimanakah sinkretisme dalam realitas fiksi dan realitas historis novel Hindia Belanda menghadapi transformasi budaya Barat di Hindia Belanda?
1.5Tujuan Penelitian
Penelitian ini bermaksud untuk mengungkapkan kondisi bangsa Indonesia dalam benturan peradaban bangsa penjajah dan bangsa terjajah sebagai representasi Barat dan Timur. Untuk mengungkapkan kondisi tersebut maka peneliti menetapkan lima tujuan sebagai lima tahapan pencapaian maksud penelitian novel Hindia Belanda ini. Kelima tujuan penelitian tersebut adalah:
(1) Menganalisis struktur penceritaan novel Hindia Belanda sebagai cara pengarang mengungkapkan kehidupan bangsa penjajah dan bangsa terjajah di Hindia Belanda, baik berdasarkan realitas fiksi maupun realitas historis.
(2) Menganalisis mimikri berwujud bentuk peniruan atau penyesuaian etika dan kategori ideal Eropa dalam realitas fiksi novel Hindia Belanda.
(3) Menganalisis ambivalensi kepribadian bangsa penjajah dan bangsa terjajah menghadapi proses penyesuaian etika dan kategori ideal dalam novel Hindia Belanda.
(4) Menganalisis hibriditas model dan wujud kepemimpinan dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda, terutama model dan wujud kepemimpinan yang dominan untuk menyelesaikan konflik horizontal dan konflik vertikal dalam realitas fiksi dan realitas historis novel Hindia Belanda.
(45)
(5) Menganalisis sinkretisme dalam realitas fiksi dan realitas historis novel Hindia Belanda menghadapi transformasi budaya Barat di Hindia Belanda.
1.6Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis hasil penelitian poskolonial terhadap novel Hindia Belanda meliputi tiga hal berikut ini.
(1) Hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah kajian poskolonialisme terhadap novel yang terbit pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Secara teoretik, kajian poskolonialisme ini mendeteksi realitas fiksi dan realitas historis dalam novel Hindia Belanda berdasarkan teori struktur naratif dan menganalisisnya dari sudut pandang teori poskolonial.
(2) Hasil penelitian ini dapat menjadi model penerapan teori poskolonialisme untuk mengungkapkan dampak penjajahan Belanda di Indonesia. Apakah penjajahan tersebut memberi dampak mimikri yang membentuk ambivalensi kepribadian, bahkan, memunculkan hibriditas yang menentukan sinkretisme dapat diuji oleh posisi strategis local genius bangsa Indonesia dalam globalisasi budaya semesta.
(3) Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi penelitian yang lain, baik penelitian ilmu sastra maupun penelitian ilmu-ilmu lain terhadap wacana poskolonialisme, terutama merekonstruksi dan merevitalisasi wacana mimikri dan hibriditas yang andal dalam kepribadian bangsa Indonesia.
(46)
1.6.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini dapat diwujudkan pada dua aspek berikut ini.
(1) Hasil penelitian ini memberikan model penelitian poskolonial terhadap wacana mimikri dan hibriditas dalam realitas fiksi dan realitas historis novel Hindia Belanda, terutama untuk memahami perilaku bangsa penjajah dan bangsa terjajah sebagaimana terjadi pada masa penjajahan Belanda di Indonesia.
(2) Hasil penelitian ini dapat dijadikan alat proyeksi dalam pembangunan sumber daya manusia Indonesia, sehingga pembangunan kebangsaan Indonesia dapat menghindarkan diri dari model penjajahan Belanda terhadap bangsa Indonesia yang kemungkinan dilakukan oleh bangsa Indonesia kepada bangsanya sendiri. (3) Hasil penelitian ini dapat dijadikan model persahabatan Indonesia-Belanda yang
bermartabat, terutama untuk penguatan local genius yang telah diuji oleh proses
mimikri, ambivalensi, hibriditas, dan sinkretisme.
1.7Definisi Istilah
Istilah-istilah penting dalam penelitian ini meliputi istilah yang digunakan para teoretikus poskolonial. Istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
(1) Ambivalensi merupakan gejala psikososial yang memperlihatkan penampilan kontradiktif. Menurut Ratna (2008:440), ambivalensi adalah sikap mendua atau berlawanan pada waktu yang sama. Dengan kata lain, menurut Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa (2005:37), ambivalensi ini dapat terjadi karena adanya
(47)
perasaan tidak sadar saling bertentangan terhadap situasi yang sama atau terhadap seseorang pada waktu yang sama. Wacana mimikri yang membentuk sikap ambivalensi dalam penelitian ini untuk menjelaskan keragaman pilihan dalam pembentukan identitas, baik identitas kepribadian maupun identitas kebangsaan bagi bangsa yang terjajah dan bangsa yang penjajah.
(2) Bahasa Indonesia adalah bahasa yang digunakan dan dijadikan bahasa nasional oleh bangsa Indonesia sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Bahasa Indonesia dalam konteks penelitian ini memiliki kedudukan yang setara dengan bahasa nasional suatu bangsa, seperti bahasa Belanda, bahasa Inggris, atau bahasa Arab. Oleh karena itu, bahasa Melayu yang dijadikan kerangka dan atau diangkat sebagai bahasa Indonesia pada Kongres Pemuda Indonesia tetap ditempatkan setara dengan bahasa etnik/bahasa daerah.
(3) Bahasa Melayu adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat bersuku Melayu yang dijadikan lingua franca di Nusantara, terutama sebelum Sumpah Pemuda
28 Oktober 1928. Bahasa ini memiliki kedudukan yang setara dengan bahasa suku atau bahasa etnik lainnya, seperti bahasa Jawa dan bahasa Batak.
(4) Barat secara harfiah menunjuk pada arah, lawan timur. Secara geografis, dalam kajian ini istilah Barat merujuk pada negara-negara Eropa, termasuk Amerika. Menurut Ratna (2008:442), “Secara luas berarti kebudayaan dengan ciri-ciri hegemoni kekuasaan yang berkembang sejak zaman pencerahan.”
(5) Elite adalah kelompok penentu, seperti elite politik yang mementingkan loyalitas, elite ekonomi yang mengutamakan harta benda, elite militer yang
(48)
menjaga stabilitas keamanan, elite budaya yang mengedepankan keaslian, serta elite birokrasi yang memokuskan loyalitas dan keaslian.
(6) Elite birokrasi adalah pejabat yang memimpin suatu institusi kenegaraan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Menurut Ratna (2008:445), elite birokrasi di Indonesia –terutama Jawa- terbagi dua macam, yaitu elite birokrasi tradisional (bangsawan) dan elite birokrasi modern (priyayi). Elite birokrasi pemerintahan dalam penelitian novel Hindia Belanda ini disebut juga pangreh praja pribumi
(Inlandsch Bestuur) yang berfungsi sebagai penghubung antara masyarakat
dengan pemerintah kolonial Belanda, seperti Regen dan Demang. Sebaliknya, elite birokrasi perkebunan dalam penelitian ini adalah manajer, asisten, dan mereka yang menyandang penyebutan tuan-tuan kebun di perkebunan karet di Sumatera Timur dan perkebunan teh di Jawa Barat.
(7) Hibriditas adalah istilah ilmu hewan dan tumbuh-tumbuhan yang bermakna turunan yang dihasilkan dari perkawinan antara dua jenis yang berlainan. Menurut Ratna (2008: 447), hibriditas dalam humaniora berarti hubungan dua kebudayaan dengan identitas berbeda. Dalam era poskolonial, budaya dan bahasa terjajah tidak dapat disajikan secara murni.
(8) Local genius merupakan kemampuan (berbakat) luar biasa dalam berpikir dan
mencipta yang berasal dari masyarakat suatu daerah dalam menghadapi budaya asing atau kebudayaan global.
(9) Mimikri merupakan bentuk-bentuk peniruan, penyesuaian terhadap etika dan kategori ideal Eropa, seolah-olah sebagai sesuatu yang universal.
(49)
(10) Novel Hindia Belanda novel yang berisi kejadian-kejadian di Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Novel ini ditulis oleh sastrawan berkebangsaan Belanda dan Indonesia yang memperoleh pendidikan Barat pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
(11) Realitas adalah kenyataan yang terjadi dalam kehidupan, baik realitas fiksi, realitas historismaupun penggabungan realitas fiksi dan realitas historis.
(12) Realitas fiksi adalah kenyataan hidup yang terjadi dalam karya sastra, dalam hal ini novel, yang dapat diidentifikasi dari struktur penceritaannya, baik struktur plot, struktur ruang dan waktu, struktur fisik, ras, dan relasi gender, maupun struktur transmisi narasi.
(13) Realitas historis adalah kenyataan hidup yang terjadi pada masa yang lampau sebagai hasil rekonstruksi sejarah.
(14) Sinkretisme bermakna sutu paham yang mencampuradukkan unsur-unsur yang saling bertentangan. Hal itu terjadi karena masyarakat mengadopsi kepercayaan baru dan berusaha untuk tidak terjadi benturan dengan gagasan dan praktik budaya lama.
(15) Timur adalah istilah yang secara harfiah menunjuk pada arah sebelah timur, lawan barat. Akan tetapi, dalam kajian ini istilah Timur merujuk pada masyarakat dan kebudayaan di kawasan Asia Tenggara, terutama yang terhegemoni kekuasaan yang berkembang sejak kolonialisme Barat.
(50)
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK 2.1Pengantar Teoretik
Kajian pustaka dan kerangka teoretik ini merupakan bagian disertasi yang menjelaskan dasar filosofis penelitian. Bab ini terdiri dari tiga aspek, yaitu (i) kajian pustaka, (ii) kerangka teoretik, dan, (iii) penelitian terdahulu. Pertama, kajian pustaka
berkaitan dengan konsep-konsep dasar penamaan Sastra Hindia Belanda, kedudukan novel dalam penelitian yang menggunakan teori poskolonial, dan kedudukan bahasa dalam masyarakat poskolonial. Masyarakat poskolonial dalam penelitian ini adalah masyarakat yang berlatar belakang bangsa terjajah dan bangsa penjajah.
Kedua, kerangka teoretik berkaitan dengan konsep dan pengembangan teori
yang digunakan dalam penelitian ini. Teori tersebut dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu (i) teori poskolonial (ii) teori struktur naratif. Teori poskolonial dijelaskan secara terpisah dalam tiga aspek, yaitu (i) keberadaan teori poskolonial, (ii) mimikri dan hibriditas yang masing-masing dipecah menjadi dua bagian: mimikri dan ambivalensi serta hibriditas dan sinkretisme, dan (iii) model kajian poskolonial.
Sebaliknya, teori struktur naratif dijelaskan dalam satu aspek yang berkaitan dengan struktur plot, struktur fisik, ras, dan relasi gender, struktur ruang dan waktu, serta struktur transmisi narasi. Struktur naratif ini berfungsi menjelaskan pola hidup masyarakat dalam realitas fiksi dan kontekstualitasnya dengan realitas historis. Konstruksi kehidupan masyarakat dalam realitas fiksi dan realitas historis tersebut menjadi dasar pengembangan identitifikasi mimikri dan hibriditas dalam penelitian
(51)
poskolonial. Ketiga, penelitian terdahulu diposisikan sebagai hasil pelacakan jejak
hasil penelitian yang didasarkan pada teori poskolonial dan struktur naratif. Dengan demikian, bab ini berisi penjelasan filosofis dan aplikatif terhadap teori poskolonial dan teori struktur naratif yang relevan dengan penelitian mimikri dan ambivalensi dalam novel Hindia Belanda.
2.2Kajian Pustaka
2.2.1 Sastra Hindia Belanda
Penguasaan Belanda terhadap Hindia Belanda ternyata menyimpan karya sastra Hindia Belanda. Hindia Belanda merupakan penamaan wilayah Indonesia pada masa penjajajah Belanda. Hindia Belanda yang dikenal sebagai Nederlands(ch)-Indië
ini diakui secara hukum
Ratu/Raja Belanda dengan perwakilannya yang berkuasa penuh, yakni seorang geografis dengan negara tetangga. Perbatasan Hindia Belanda denga tetangganya tersebut ditentukan dengan perjanjian-perjanjian legal antara Kerajaan
Belanda dengaThe
White Rajah
Selatan).
Hindia Belanda merupakan wilayah jajahan Belanda yang tertulis dalam UU Kerajaan Belanda tahun
(52)
dengan perkembangan wilayah jajahan Belanda di Hindia Belanda.2
Secara umum, jajahan Belanda ini bermula dari penguasaan
Perkembangan wilayah ini disesuaikan oleh perluasan wilayah, baik sebagai akibat penaklukan, peperangan, maupun penyerahan pengawasan dan kedaulatan kerajaan oleh pemimpin atau raja-raja di Kepulauan Nusantara. Oleh karena itu, wilayah geografis Hindia Belanda sebagai wilayah hukum Kerajaan Belanda mengalami perkembangan hingga proklamasi kemerdekaan RI.
VOC) yang antara lain memiliki
beberapa daerah lain semenjak menguasai Hindia Belanda pada 1610-1799 yang kemudian diserahkan pada Kerajaan Belanda yang justru dalam penguasaan Perancis (1800-1811). Setelah Hindia Belanda berada dalam kekuasaan Inggris (1811-1816), barulah Hindia Belanda kembali dalam kekuasaan Belanda (1816-1949). Penguasaan terakhir ini berimplikasi pada pendudukan Jepang (1942-1945), kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, dan penyerahan kedaulatan Hindia Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949.
Penguasaan Belanda terhadap Hindia Belanda ternyata menyimpan karya sastra yang ditulis oleh sastrawan dari berbagai bangsa, seperti Belanda, Inggris, dan
2 Di dalam Wikipedia dinyatakan bahwa “Hindia-Belanda juga merupakan wilayah yang tertulis dalam
UU Kerajaan Belanda tahun “wilayah berdaulat” mengindikasikan bahwa Hindia Belanda berkedudukan setara dengan provinsi atau negara bagian dalam sistem pemerintahan Kerajaan Belanda.
(53)
Indonesia. Karya sastra yang muncul pada masa pemerintahan Hindia Belanda ini pada umumnya berbahasa Belanda dan diterbitkan di Belanda. Karya-karya tersebut menceritakan keadaan Hindia Belanda dalam hubungannya dengan peradaban Barat yang dibawa oleh Belanda. Hal ini sejalan dengan pendapat Sastrowardoyo (1990:11) berikut ini.
Yang dimaksudkan dengan sastra Hindia Belanda di sini adalah rumpun kesusastraan di dalam bahasa Belanda yang berpokok pada kehidupan di negeri jajahan Hindia Belanda, ditulis oleh orang-orang Belanda terutama dan oleh orang-orang Indo, baik yang keturunan Belanda maupun yang keturunan bangssa Eropah lainnya. Ada juga barang dua-tiga penulis Indonesia yang karangannya dapat dimasukkan ke dalam sastra Hindia Belanda, seperti Soewarsih Djojopuspito dan Noto Soeroto, tetapi karya-karya mereka tidak berada di tengah arus pokok perkembangan sastra itu, sehingga bisa diabaikan dalam hubungan karangan ini.
Pendapat Sastrowardoyo di atas bertolak belakang dengan pendapat Hellwig dan Nieuwenhuys. Hal ini dapat dipahami oleh karena Sastrowardojo berfokus pada analisis karya sastra Hindia Belanda yang ditulis oleh sastrawan berkebangsaan Belanda. Padahal, realitas historis menunjukkan bahwa, ketertarikan sastrawan mancanegara untuk menuliskan keadaan Indonesia dalam karya sastra berbahasa Belanda menjadikan sastra Hindia Belanda sebagai bagian yang menyatu dengan sastra Belanda. Dengan demikian, karya sastra yang ditulis oleh sastrawan berkebangsaan Indonesia harus ditempatkan setara dengan karya sastra yang ditulis oleh sastrawan berkebangsaan Belanda.
Kondisi di atas sesuai dengan pengakuan resmi Kerajaan Belanda terhadap legalitas pemerintahan Hindia Belanda sebagai bagian dari pemerintahan Kerajaan Belanda. Legalitas pemerintahan tersebut memberi konsekuensi atas pengakuan
(54)
seluruh aktivitas dan kreativitas warga negara dalam bersastra sebagai hasil karya sastra Kerajaan Belanda. Hal ini diakui oleh Hellwig (2007:49) dalam pernyataannya, bahwa, “Karya sastra Hindia Belanda tak pelak lagi merupakan bagian dari tradisi sastra Belanda dan dari perkembangannya.” Bahkan, Nieuwenhuys yang menyusun sejarah sastra Belanda tetap menempatkan sastrawan berkebangsaan Belanda sejajar dengan sastrawan berkebangsaan Indonesia yang menulis karya sastra dalam bahasa Belanda sebagai bagian yang menyatu dalam sastra Belanda. Bahkan, Nieuwenhuys (1978:49) menyatakan bahwa sastra Hindia Belanda memiliki tempat tersendiri yang tidak terpisahkan dari sastra Belanda meskipun tidak mempunyai tradisi dan iklim kesusastraan.
Pemunculan karya sastra Hindia Belanda dalam khasanah sastra Belanda tidak terbatas pada karya sastra berbahasa Belanda. Hal ini disebabkan oleh kehadiran Balai Pustaka dan penerbit independen yang memberikan ruang pada sastrawan berkebangsaan Indonesia untuk mempublikasikan karya sastranya. Merari Siregar dengan novel Azab dan Sengsara dan Marah Rusli dengan novel Sitti Nurbaya
merupakan sastrawan yang menerbitkan novel-novelnya melalui Balai Pustaka. Bahkan, terdapat karya-karya yang ditulis oleh sastrawan Tionghoa berbahasa Melayu dan sastrawan Jawa berbahasa Melayu yang diterbitkan oleh penerbit independen atau yang diistilahkan Belanda sebagai “penerbit liar”.
Secara historis, Lombard (2008a:45-50) membagi perkembangan sastra Hindia Belanda dalam tiga siklus. Siklus pertama adalah siklus “perompak Melayu”
(55)
Joseph Conrad (Inggris kelahiran Polandia). Salgari yang ingin menjadi pelaut dan bertualang mengarungi lautan luas tertarik pada buku The Malay Archipelago karya
Wallace dan buku-buku tentang kehidupan Oceania. Salgari menulis roman dengan latar Kalimantan Utara, yaitu Le Tigri di Mompracem yang terbit sebagai cerita
bersambung tahun 1883-1884 dan I Pirati della Malesia (1894). Sebaliknya, Conrad
yang berprofesi sebagai perwira kapal dagang berkesempatan mengunjungi Muntok-Pulau Bangka (1883) dan antara 1887-1888 kembali melakukan perjalanan di Nusantara antara Jawa dan Sumatera serta Sulawesi dan Kalimantan. Pengalaman dan pembacaannya terhadap karya Wallace serta penulis yang menggambarkan eksotisme Nusantara melahirkan roman Almayer’s Folly (1895) dengan latar Pulau Kalimantan
dan Lord Jim (1899) yang diduga berlatar pedalaman Nangroe Aceh Darussalam. Siklus kedua, dapat dinamakan sebagai “siklus Jawa” yang berpusat di Batavia
dan perkebunan-perkebunan di pedalaman. Karya sastra Hindia Belanda dalam “siklus Jawa” tampil dengan sumber inspirasi yang beragam dengan kebanyakan mencerminkan ketegangan bangsa penjajah dan bangsa terjajah. Pada siklus ini terdapat roman berbahasa Perancis Le planteur de Java karya Henri Guénot (1860)
dan Felix Batel ou La Hollande à Java karya Jules Bubat (1869) serta roman
berbahasa Belanda MH karya Multatuli (1860), Goena-goena karya P.A. Daum
(1889) dan De Stille Kracht karya Louis Couperus (1900).
Siklus ketiga, bersamaan dengan semakin menguatnya pemerintahan Batavia
di luar Pulau Jawa, sehingga siklus ini dinamakan “siklus pulau-pulau luar”. Pada siklus ini, M.H. Székely-Lulofs menulis novel Rubber (1931) dan Koeli (1932) yang
(56)
mengisahkan perkembangan perkebunan karet di Sumatera Timur. Pengarang lain yang mengenalkan eksotisme Hindia Belanda, antara lain, Maria Dermoût (1888-1962) menulis cerita pendek berdasarkan kehidupannya di Maluku dan menerbitkan dalam kumpulan cerita pendek De tieduizen dingen (1955) dan Vicki Baum
(1888-1960) menulis novel Liebe und Tod auf Bali (1937) dengan latar mitos Bali.
Pemunculan karya sastra berbahasa Belanda menimbulkan heboh sastra di Negeri Belanda, khususnya dengan pemunculan novel MH karya Multatuli.
Pemunculan novel ini disusul oleh novel lain yang kemudian muncul novel-novel BNdKK karya M.H. Székely-Lulofs. Pemunculan novel karya Székely-Lulofs
memberikan gelar “Multatuli Wanita” pada pengarang ini. Hal ini disebabkan keberaniannya mengungkapkan penderitaan kuli di perkebunan yang justru sebagai lokasi pengabdiannya sebagai istri pemimpin kebun di Sumatera Utara.
Kekacauan manajemen dan penderitaan rakyat Hindia Belanda yang diungkapkan oleh para sastrawan Hindia Belanda memberi kekuatan moral para politisi Kerajaan Belanda. Mereka menuntut perbaikan yang “nyata” dalam sistem kolonialisasi Belanda di Hindia Belanda. Hal ini mendorong Ratu Belanda untuk menyetujui “politik etis” di Hindia Belanda. Politik etis ini dijelaskan oleh End dan J. Weitjens (2008:7) sebagai-berikut:
Belanda wajib membayar kembali “hutang” itu. Garis kebijakan itu biasa disebut “Ethische Politiek” (“Ethisch” = moral, susila). Penganut-penganur garis ini menghendaki juga, supaya orang-orang Indonesia “dibimbing” oleh “kakaknya”, orang Belanda, ke tingkat yang lebih tinggi di segala bidang hidup, sehingga pada akhirnya secara politis dan ekonomis golongan Indonesia bisa berdiri di samping golongan Belanda, masing-masing dengan mempertahankan ciri kebudayaan dan wataknya sendiri (politik asosiasi).
(57)
Jadi, tujuan kaum pengajar “Ethische Politiek” bukanlah kemerdekaan Indonesia, melainkan kerja sama antara dua golongan yang setaraf dalam rangka suatu Hindia Belanda yang tetap bergabung dengan negara Belanda di Eropa. Hanya sedikit sekali orang Belanda yang berpoikir lebih jauh, yaitu yang mencita-citakan suatu Indonesia yang sungguh-sungguh merdeka.
Berdasarkan penjelasan di atas, sastra Hindia Belanda memiliki peranan penting dalam melaporkan keadaan yang sebenarnya dari kondisi masyarakat Indonesia. Kondisi masyarakat Indonesia tersebut dituliskan oleh para sastrawan dalam bahasa Belanda yang diterbitkan di Kerajaan Belanda dan berbahasa Indonesia yang diterbitkan di Indonesia. Para sastrawan Hindia Belanda tersebut terdiri atas beragam bangsa, seperti Belanda, Inggris, dan Indonesia.
2.2.2 Novel dalam Penelitian Poskolonial
Kajian poskolonialisme memiliki hubungan erat dengan novel sebagai karya sastra, kehidupan masyarakat, dan dampak kultural kolonialisasi. Bahkan, Alfonso (2001:55) mengatakan, “This is why Said proposes to regard the literary text as another instance of cultural colonization.” (Inilah sebabnya mengapa Said
mengemukakan agar menganggap teks sastra sebagai contoh lain dari kolonisasi budaya). Hal ini disebabkan kehidupan dalam sastra dan kehidupan dalam masyarakat memiliki hubungan yang dapat saja sama, mirip, dan bahkan mustahil. Fakta dan fiksi senantiasa saling pengaruh-memengaruhi sehingga pembaca karya sastra mau tidak mau harus menempatkan kehidupan dalam sastra dalam persinggungan dengan kehidupan dalam masyarakat yang realistik. Oleh karena itu, kajian sastra sebagai institusi sosial yang memakai medium bahasa tidak dapat dilepaskan dari frase De
(58)
Bonald. Menurut Wellek dan Austin Warren (1989:110), frase tersebut menyatakan bahwa, “Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat.”
Sejalan dengan pernyataan De Bonald, karya sastra mendapatkan tempatnya sebagai dokumen sosial dan pemodelan masyarakat. Genre sastra yang berpotensi besar sebagai dokumen sosial dan pemodelan itu adalah novel. Menurut Jonathan Culler sebagaimana dikutip oleh Teeuw (2003:187-188), “...the novel serves as the model by which society conceives of itself, the discourse in and through which it articulates the world....”3 (...novel bertindak sebagai model lewat mana masyarakat
membayangkan diri sendiri, penuturan dalam dan lewat mana disendikannya dunia...” Lebih lanjut dijelaskannya, “Our identity depens on the novel, what others thinks of us, what we think of ourselves .... How do others see us if not as a character from a novel?”4
3 Prof. A. Teeuw menerjemahkan ‘novel’ dengan ‘roman’. Lihat juga, Faruk,
Pengantar Sosiologi Sastra: dari strukturalisme genetik sampai post-modernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), p.
47. Faruk menerjemahkan pendapat Culler yang dikutip Teeuw dari kutipan Philippe Sollers dengan kalimat, “...novel berfungsi sebagai model yang dengannya masyarakat memahami dirinya. Novel merupakan wacana yang di dalam dan lewatnya masyarakat mengartikulasikan dunia.”
(Identitas kita tergantung pada novel, apa yang orang lain pikirkan tentang kita, apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri. Bagaimana orang lain memandang kita kalau bukan sebagai tokoh dalam sebuah novel?). Dengan demikian, novel sebagai ungkapan perasaan masyarakat berfungsi sebagai model kehidupan, baik sebagai model pemahaman kehidupan maupun model aplikasi kehidupan masyarakat.
4 Lebih lanjut dijelaskan oleh Faruk, “Di dalam novel kata-kata disusun sedemikian rupa agar melalui
pembacaan akan muncul suatu model mengenai suatu dunia sosial, model-model personalitas individuali, model hubungan antara individu dengan masyarakat, dan, lebih penting lagi, model signifikansi dari aspek-aspek dunia tersebut.”
(1)
Lampiran 7:
Riwayat Hidup Penulis Disertasi
A.
Data Pribadi
Nama Lengkap
: Rosliani
Tempat/Tanggal Lahir: Dolok Sinumbah, 6 Desember 1972
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
NIP
: 19721206 2003122001
Nomor Karpeg
: L.216824
Pangkat/Golongan
: Penata Muda Tk. I (Gol. III/b)
Pekerjaan
: Staf Teknis Balai Bahasa Medan
Instansi : Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Alamat Kantor
: Jln. Kolam Ujung No. 7 Medan Estate, Medan
Nomor Telepon Kantor
: 061-7332076, 7353502
Nomor Faksimili Kantor
: 061-7332076
Nama Ayah
: Parnak
Nama Ibu
: Giyah
Alamat Rumah
: Jln. Sumber Bangun, Gang Langgar No. 92, Harjosari
II, Marindaldalam, Medan Amplas 20147
Nomor Telepon Rumah
: 061-7876135
E-pos
: roslianip@yahoo.co.id
B.
Pendidikan Formal
1.
SD Negeri No. 4 (091578) Dolok Sinumbah, Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten
Simalungun (Tamat 24 Mei 1985)
(2)
3.
SMEA Negeri Pematangsiantar, Kabupaten Simalungun (Tamat 1 Juni 1991)
4.
Fakultas Sastra, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sumatera
Utara, Medan (Tamat 29 Juni 1996)
5.
Program Studi S-2 Linguistik, Konsentrasi Analisis Wacana Kesusastraan,
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan (Tamat 27 Juni 2009)
6.
Program Studi S-3 Linguistik, Konsentrasi Kajian Sastra, Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara (Sejak 2009)
C.
Pendidikan Nonformal
1.
Diklusemas Komputer Tingkat Paket Perkantoran di Pusat Pendidikan dan
Pelatihan SDM Abad-21, Medan (2002)
2.
Diklat Prajabatan Golongan III Departeen Dalam Negeri Angkatan V Tahun 2004
di Medan (19-21 Juli 2004)
3.
Pembekalan Calon Peneliti Pusat Bahasa dan Balai/Kantor Bahasa (Angkatan I)
di Jakarta (6-13 Juni 2006)
4.
Pelatihan Metodologi Penelitian bagi Tenaga Peneliti Bidang Pendidikan Pusat
dan Daerah di Bogor (28-31 Agustus 2006)
5.
Pelatihan Penyusunan Eksiklopedia Sastra Indonesia Wilayah Barat di Palembang
(7-8 Mei 2007)
6.
Pelatihan Akreditasi Tutor Universitas Terbuka di Medan (2-4 Agustus 2010)
D.
Pengalaman Kerja
I.
Pegawai Negeri Sipil
No. Pangkat
Golongan Ruang Pengujian
Berlaku Terhitung
Mulai Tanggal
Surat Keputusan
Pejabat Nomor Tanggal/ Tahun
1 CPNS III/a 1 Desember
2003
Mendiknas 10380/A2/KP/ 2004
2-4-2004
2 Penata
Muda
III/a 1 Februari
2005
Mendiknas 86/Kep/PB/20 05
27-1-2005
3 Penata
Muda Tk. I
III/b 1 April
2008
Mendiknas 41333/A1/KP/ 2008
(3)
II.
Guru dan Dosen
No. MasaKerja
Jabatan Nama Instansi Tempat
Instansi
1 1996-1998 Guru Tidak
Tetap
Pesantren Ahmad Syarif Medan
2 1996-1999 Asisten
Dosen Luar Biasa
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara
Medan
3 1997-1999 Guru Tidak
Tetap
SMK Swasta Medan Area Medan
4 1998 Kepala Tata
Usaha
SMA Swasta Mayjen Sutoyo Siswomiharjo
Medan
5 Sejak 2002 Dosen Tidak
Tetap
Akademi Teknik Elektro Medik Yayasan Binalita Sudama
Medan Estate
6 2002-2005 Dosen Tidak
Tetap
Akademi Kesehatan Lingkungan, Yayasan Binalita Sudama
Medan Estate
7 Sejak 2003 PNS Balai Bahasa Medan Medan Estate
8 Sejak 2006 Dosen Tidak
Tetap
Akademi Perawat, Yayasan Binalita Sudama
Medan Estate
9 Sejak 2009 Tutor Universitas Terbuka UPBJJ Medan
10 Sejak 2009 Dosen Tidak
Tetap
Universitas Prima Medan
11 2010 Dosen Luar
Biasa
Program Magister Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Medan
12 Sejak 2010 Dosen Tidak
Tetap
STIKES Binalita Sudama-RS Pirngadi
Medan
E.
Organisasi Profesi
No. Nama Organisasi
Kedudukan dalam Organisasi Dari Tahun s/d Tahun
Tempat Nama Pimpinan Organisasi
1 Teater “O” Senat
Mahasiswa Fakultas Sastra USU
Bendahara 1991-1993 Medan Saiful Bahri
(4)
3 KBSI (Keluarga Bahasa dan Sastra Indonesia) Fakultas Sastra USU
Koordinator Pembinaan Anggota
1994-1996 Medan Helmi Fuad
4 FKS (Forum Kreasi
Sastra)
Sekretaris 1997-1999 Medan M. Yunus
Rangkuti
5 HISKI Komda
Sumatera Utara
Seksi Akademik
1998-2003 Medan Syaifuddin
6 FORHATI KAHMI
Medan
Seksi Akademik
2005-2010 Medan Neli
Armayanti
F.
Penulisan Buku, Jurnal, dan Hasil Penelitian
I.
Buku/Prosiding
No. Tahun Judul Artikel Judul Buku Nama dan
Tempat Penerbit
1
2
3
2009
2010
2011
Naskah Drama Dag Dig Dug Karya Putu Wijaya: Pendekatan Psikoanalisis Kajian Poskolonialisme Novel Oeroeg Karya Hella S. Hassae
Motif Migrasi Orang Batak dalam Cerita Rakyat “Asal Usul Orang Batak”, “Si Baroar”, dan “Si Marhala”
Budaya Melayu Serumpun
Prosiding Internasional Seminar Language, Literature, and Culture in Southeast Studies” Mitos Cerita Rakyat
Bartong Jaya Medan. ISBN:979-3647-02-11 Trang, Thailand.
USU Press, Medan. ISBN: 979 458 5564
(5)
II.
Jurnal
No. Tahun Judul Artikel Nama Jurnal dan Tempat
Penerbitan
1 2008 Nilai Budaya dalam Cerita Si Jonaha,
Kecapi Sakti, dan Sumpitan Sakti
Medan Makna: Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan, Medan, Volume IV, No. 1, 2008
2 2009 Fakta Sejarah dalam Novel Rumah
Kaca Karya Pramoedya Ananta Toer
Logat: Jurnal Ilmu-ilmu Bahasa dan Sastra , Medan, Volume V, No. 2, Oktober 2009
3 2010 Novel Karya Bokor Hutasuhut:
Pendekatan Hermeneutika Historis
Medan Makna: Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan, Medan, Volume 7, 2010 4 2010 Budaya Kerja dalam Tradisi Lisan Jawa Logat: Jurnal Ilmu-ilmu
Bahasa dan Sastra , Medan, Volume VI, No. 2, Oktober 2010
5 2011 Metafora Emosi dalam Bahasa Jawa
Dialek Sumatera Utara
Medan Makna: Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan, Medan, Volume 8, 2011 6 2012 Realitas Fiksi dan Realitas Historis
Novel Max Havelaar Karya Multatuli
Medan Makna: Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan, Medan, Volume X, No.1, 2012
(6)