1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Perkembangan perusahaan di suatu negara sejalan dengan berkembangnya profesi akuntan publik di negara tersebut. Profesi ini
merupakan profesi kepercayaan masyarakat, dari profesi akuntan publik inilah masyarakat mengharapkan penilaian yang bebas tidak memihak
terhadap informasi yang disajikan oleh manajemen perusahaan dalam laporan keuangan Mulyadi, 2002: 4.
Jasa yang dihasilkan oleh profesi akuntan publik digolongkan ke dalam dua kelompok yaitu jasa assurance dan jasa nonassurance. Jasa
assurance adalah jasa profesional independen yang meningkatkan mutu informasi bagi pengambil keputusan, pengambil keputusan memerlukan
informasi yang andal dan relevan sebagai basis untuk pengambilan keputusan. Jasa nonassurance adalah jasa yang dihasilkan oleh akuntan
publik yang di dalamnya tidak memberikan suatu pendapat, keyakinan negatif, ringkasan temuan, atau bentuk lain kenyakinan Mulyadi, 2002.
Arens, dkk. 2001 mendefinisikan pelayanan assurance sebagai pelayanan atau jasa profesional independen yang dapat meningkatkan kualitas informasi
bagi para pembuat keputusan. Proses audit merupakan bagian dari assurance services, Pengauditan
ini melibatkan usaha peningkatan kualitas informasi bagi pengambil
2
keputusan serta independensi dan kompetensi dari pihak yang melakukan audit, sehingga kesalahan yang terjadi dalam proses pengauditan akan
berakibat pada berkurangnya kualitas informasi yang diterima oleh pengambil keputusan Suryanita et al, 2007. Sehingga profesi akuntan publik hadir
untuk memberikan penilaian atas keandalan reliability informasi akuntansi yang disajikan perusahaan dalam laporan keuangan. Untuk itulah maka
pengujian oleh akuntan publik melalui proses audit diperlukan guna menetralisir bias yang melekat pada informasi tersebut, sehingga laporan
yang telah dinyatakan wajar oleh akuntan publik akan berisi informasi yang reliable.
Pengurangan kualitas dalam audit Reduced Audit Quality merupakan pengurangan mutu dalam pelaksanaan audit yang dilakukan
secara sengaja oleh auditor Coram, Juliana, dan Woodliff, 2004. Pengurangan mutu ini dapat berupa tindakan seperti mengurangi jumlah
sampel audit, melakukan review dangkal terhadap dokumen klien, tidak memperluas pemeriksaan ketika terdapat item yang dipertanyakan dan
pemberian opini saat semua prosedur yang disyaratkan belum dilaksanakan secara lengkap.
Salah satu bentuk perilaku pengurangan kualitas audit reduced audit quality-RAQ behaviors adalah penghentian prematur atas prosedur audit
Coram, Glovovic, Ng, Woodliff 2008; Sososutiksno, 2005. Praktik ini berhubungan dengan pengabaian atau bahkan penghentian terhadap prosedur-
prosedur yang harus dilaksanakan dalam program audit audit program,
3
auditor tidak melakukan prosedur tersebut secara tuntas, tetapi auditor memberikan suatu opini audit sebelum auditor melakukan pekerjaannya
secara tuntas. Penghentian prematur atas prosedur audit tersebut menyebabkan pengurangan kualitas dalam audit yang diartikan sebagai
pengurangan mutu dalam pelaksanaan audit yang dilakukan secara sengaja oleh auditor Coram et al., 2008. Malone, dkk. 1996 mendeskripsikan
penghentian prematur atas prosedur audit sebagai tindakan yang dapat mengurangi ketepatan dan keefektifan pengumpulan bukti audit.
Praktik penghentian prematur atas prosedur audit yang terjadi tentu saja sangat berpengaruh secara langsung terhadap kualitas laporan audit yang
dihasilkan auditor karena apabila salah satu langkah dalam prosedur audit dihilangkan maka kemungkinan auditor membuat judgment yang salah akan
semakin tinggi. Kesalahan pembuatan opini atau judgment yang disebabkan karena auditor tidak melakukan prosedur audit yang mencukupi dapat
menyebabkan auditor dituntut secara hukum Heriningsih, 2001. Graham dalam Shapero et al., 2003 menyimpulkan bahwa
kegagalan audit sering disebabkan karena penghapusan prosedur audit yang penting serta prosedur audit tidak dilakukan secara memadai.
Adapun salah satu contoh kasus yang diakibatkan oleh praktek penghentian prematur atas prosedur audit yaitu PT Kimia Farma yang
merupakan salah satu produsen obat-obatan milik pemerintah di Indonesia pada tahun 2002 sempat mendapat kasus yang membuat kepercayaan publik
4
pada laporan keuangan yang telah diaudit menurun. Pada pelaksanaan audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan adanya
laba bersih sebesar Rp132 milyar, dan laporan tersebut diaudit oleh Hans Tuanakotta Mustofa HTM. Akan tetapi, Kementerian BUMN dan
Bapepam menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober 2002 laporan
keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali restated, karena telah ditemukan kesalahan yang cukup mendasar. Pada laporan keuangan yang
baru, keuntungan yang disajikan hanya sebesar Rp99,56 miliar, atau lebih rendah sebesar Rp32,6 milyar, atau 24,7 dari laba awal yang dilaporkan.
Kesalahan penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul karena nilai yang ada dalam daftar harga persediaan digelembungkan. PT Kimia Farma,
melalui direktur produksinya, menerbitkan dua buah daftar harga persediaan master prices pada tanggal 1 dan 3 Februari 2002. Daftar harga per 3
Februari ini telah digelembungkan nilainya dan dijadikan dasar penilaian persediaan pada unit distribusi Kimia Farma per 31 Desember 2001.
Sedangkan kesalahan penyajian berkaitan dengan penjualan adalah dengan dilakukannya pencatatan ganda atas penjualan. Pencatatan ganda tersebut
dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh akuntan, sehingga tidak berhasil dideteksi. Berdasarkan penyelidikan Bapepam, disebutkan bahwa
KAP yang mengaudit laporan keuangan PT Kimia Farma telah mengikuti standar audit yang berlaku, namun gagal mendeteksi kecurangan tersebut.
Selain itu, KAP tersebut juga tidak terbukti membantu manajemen melakukan
5
kecurangan tersebut. TEMPO Interaktif, Jakarta: 2002; Oleh Yura Syahrul. Kasus ini terjadi karena kelalaian akuntan publik dalam pelaksanaan audit
yang tidak memadai, sehingga disinyalir bahwa auditor gagal mendeteksi kecurangan maupun kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja, serta
pelanggaran prinsip independensi profesi akuntan publik karena telah gagal mematuhi standar profesi di dalam kinerjanya.
Ada beberapa alasan mengapa auditor melakukan penghentian prematur atas prosedur audit: a terbatasnya jangka waktu pengauditan yang
ditetapkan, b anggapan bahwa prosedur audit yang dilakukan tidak penting, c prosedur audit tidak material, d prosedur audit yang kurang dimengerti,
e terbatasnya waktu penyampaian laporan audit, dan f faktor kebosanan auditor Alderman Deitrick, 1982; Raghunathan, 1991. Berdasarkan
alasan-alasan tersebut dapat disimpulkan penghentian prematur atas prosedur audit disebabkan oleh faktor karakteristik personal auditor, di mana faktor
karakteristik tersebut merupakan faktor internal dan faktor situasional saat melakukan audit yang merupakan faktor eksternal Weningtyas dkk., 2006.
Faktor risiko audit terindikasi sebagai faktor eksternal yang berpengaruh pada penghentian prematur prosedur audit. Risiko yang timbul
karena auditor tanpa disadari tidak melakukan modifikasi pada pendapatnya sebagaimana mestinya atas salah saji sebuah laporan keuangan disebut
sebagai risk audit Kumala, 2013. Di dalam proses perencanaan audit, auditor juga harus mempertimbangkan risiko audit, dalam penelitian ini risiko
yang dimaksud adalah risiko deteksi yang ditentukan oleh efektivitas
6
prosedur audit dan penerapannya oleh auditor Kurniawan, 2008. Ketika risiko deteksi rendah, maka auditor harus lebih banyak melakukan prosedur
audit sehingga kemungkinan melakukan penghentian prematur atas prosedur audit akan semakin rendah Weningtyas, dkk., 2006. Penelitian terhadap
variabel risiko audit yang dilakukan oleh Weningtyas dkk 2006, Puji 2010, Indarto 2011 dan Kusuma 2013 mendukung penelitian
Heriningsih 2002 yang menunjukan hasil berpengaruh positif dan signifikan, penelitian tersebut tidak konsisten dengan penelitian yang
dilakukan Wahyudi dkk 2006 dan Yuliana dkk 2009 yang menunjukan hasil tidak berpengaruh signifikan terhadap penghentian prematur atas
prosedur audit. Penghentian prematur atas prosedur audit juga dimungkinkan terjadi
karena pengaruh tindakan supervisi yang disinyalir sebagai faktor eksternal. Pengendalian atas penghentian pekerjaan lebih dini merupakan hal yang
sangat penting pada setiap Kantor Akuntan Publik. Penghentian pekerjaan lebih dini akan menyebabkan perubahan tidak dapat dipertanggungjawabkan
dalam perencanaan audit, karena akan menghasilkan suatu tingkat risiko audit aktual yang tidak terkontrol dan tidak diketahui. Untuk mengontrol hal ini
maka Kantor Akuntan Publik harus menyediakan tindakan supervisi. Supervisor yang berorientasi pada pekerjaan, ikut menentukan tujuan yang
dicapai, membantu memecahkan masalah, menyediakan dukungan sosial dan material serta memberikan umpan balik atas kinerja bawahan, juga membantu
mengurangi kebingungan peran dan ketidakpastian yang dialami bawahan
7
sehingga kepuasan kerja bawahannya akan meningkat. Tindakan supervisi harus
mempertimbangkan kondisi
yang memungkinkan
terjadinya penghentian pekerjaan lebih dini Maulina, dkk. 2010.
Comstock, 1994 dalam Martamin 2006 mengatakan supervisi merupakan proses yang berkelanjutan untuk mengawasi atau mengarahkan
pekerjaan yang dimulai dengan perencanaan dan diakhiri dengan penyimpulan atas jalannya tugas. Seiring dengan perjalanan waktu, supervisi
dikatakan sebagai proses yang dinamis. Pada awalnya, supervisi bersifat kaku atau otoriter. Jika seorang karyawan tidak bekerja seperti yang diperintahkan
maka ia akan dihukum. Pada masa sekarang ini, supervisi diwarnai dengan gaya kepemimpinan partisipatif. Trempe et al, 1985 dalam Martamin 2006
mengatakan ketika pekerja merasakan bahwa supervisor berlaku adil dan kompeten serta yakin bahwa supervisor mempunyai niat baik dan sepenuh
hati maka kepuasan akan cenderung meningkat atau naik. Sebaliknya, ketika pekerja memandang bahwa supervisor berlaku tidak adil, tidak kompeten atau
mendorong motivasi pribadi maka kepuasan akan cenderung menurun. Penelitian Maulina, dkk 2010 tentang pengaruh tindakan supervisi terhadap
penghentian prematur atas prosedur audit mendukung penelitian yang dilakukan oleh Setya 2008. Berdasarkan hasil analisis data bahwa terdapat
hubungan negatif antara pelatihan dan tindakan supervisi pada penghentian prematur atas prosedur audit.
Self esteem berhubungan dengan depresi, tekanan kerja kecemasan dan motivasi yang terjadi pada setiap individu. Seseorang yang mempunyai
8
self esteem rendah berkemungkinan akan mengalami tekanan dalam lingkungan kerjanya. Seseorang dengan self esteem tinggi merasa yakin akan
kemampuan dan keahlian yang dimilikinya dan diharapkan memiliki tekanan kerja yang rendah. Seorang auditor yang memiliki self esteem rendah
cenderung tidak berkomitmen lebih baik dalam melakukan pekerjaan auditnya. Auditor tersebut merasa mengalami tekanan kerja yang tinggi,
sehingga ada kecenderungan bagi auditor yang memiliki self esteem rendah untuk melakukan penghentian prematur atas prosedur audit Budiman, 2013.
Equity sensitivity merupakan suatu persepsi seseorang terhadap keadilan dengan membandingkan antara inputs dan outcomes yang diperoleh
dari orang lain [Ustadi Utami, 2005], dalam Lucyanda dan Gunardi 2010. Equity sensitivity menjelaskan perbedaan perilaku etis dan tidak etis
yang disebabkan oleh karakter individual Fauzi, 2001. Mowday 1991 dalam Mueller dan Clarke 1998 menjelaskan bahwa equity theory sebagai
teori universal dari human motivation dan behavior harus dapat mengukur perbedaan perilaku seseorang di tempat kerja.
Konsep equity sensitivity theory yang dikembangkan Huseman et al. 1987 dari equity theory Adams 1965 dalam Lee 2007 menyatakan bahwa
orang memiliki persepsi tersendiri terhadap equity adil dan inequity tidak adil. Selanjutnya Huseman et al. 1987 membagi persepsi individu terhadap
equity dan inequity dalam tiga kategori, yaitu 1 benevolents adalah individu
yang merasa adil ketika apa yang diberikan kepada organisasi lebih besar
9
daripada apa yang diterima dari organisasi; 2 equity sensitives adalah individu yang merasa adil ketika apa yang diberikan kepada organisasi sama
dengan apa yang diterima dari organisasi; dan 3 entitleds adalah individu yang merasa adil ketika apa yang diterima dari organisasi lebih besar daripada
apa yang diberikan kepada organisasi. Individu yang berada di tengah-tengah benevolents dan entitleds adalah equity sensitives yang sama-sama
menitikberatkan pada pekerjaan yang maksimal dan mencapai penghargaan yang diinginkannya. Individu yang termasuk kategori benevolents akan
merasa puas ketika dapat memberikan sumbangan kepada organisasi lebih besar dibandingkan dengan apa yang didapatkan dari organisasi. Dengan
demikian, individu benevolents tidak terlalu mengejar penghargaan seperti kecenderungan yang dilakukan oleh individu entitleds yang lebih
mementingkan apa yang didapat dari organisasi daripada apa yang diberikan kepada organisasi. Seorang auditor dengan tipe entitleds cenderung
melakukan hal-hal yang kurang etis untuk mencapai apa yang diinginkannya dibandingkan auditor dengan tipe benevolents. Auditor yang termasuk tipe
entitleds cenderung mengabaikan salah satu prosedur audit atau menghentikan prosedur audit yang sudah ditetapkan hanya untuk mencapai
apa yang diinginkannya tersebut Budiman, 2013. Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian yang telah
dilakukan oleh Maulina, dkk 2010 dan Budiman 2013 yang menguji apakah risiko audit, tindakan supervisi, self esteem dan equity sensitivity
memiliki dampak terhadap keputusan untuk melakukan penghentian prematur
10
atas prosedur audit. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terdapat pada beberapa hal. Pertama, penelitian ini juga menginvestigasi
apakah variabel tindakan supervisi yang dilakukan oleh Maulina, dkk 2010 pada Kantor Akuntan Publik di wilayah DKI Jakarta berpengaruh terhadap
penghentian prematur atas prosedur audit. Kedua, perbedaan penelitian ini dibandingkan dengan penelitian
sebelumnya terletak dalam sampel penelitian. Sampel penelitian ini adalah auditor yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik di wilayah DKI Jakarta.
Dipilihnya sampel pada wilayah ini, berdasarkan direktori daftar Kantor Akuntan Publik tahun 2013 bahwa mayoritas Kantor Akuntan Publik tersebar
di wilayah DKI Jakarta, dari 492 jumlah KAP di Indonesia, sebanyak 236 Kantor Akuntan Publik tersebar luas di wilayah DKI Jakarta. Sementara
penelitian sebelumnya mengambil sampel penelitian pada auditor yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik di Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Surakarta yang masih aktif. Ketiga,
metode pengujian
hipotesis dalam
penelitian ini
menggunakan metode analisis regresi berganda multiple regression analysis untuk mengetahui pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.
Sementara penelitian sebelumnya menggunakan metode analisis SEM Structural Equation Modeling.
Dari alasan-alasan di atas maka peneliti merasa termotivasi untuk melakukan penelitian ini karena pentingnya untuk mengetahui faktor-faktor
11
baik eksternal maupun internal yang mempengaruhi auditor dalam melakukan penghentian prematur atas prosedur audit. Selain itu, yang juga ingin
diketahui dari penelitian ini adalah bagaimana pengaruh variabel-variabel independen terhadap variabel dependen, terkait dengan membahas pengaruh
risiko audit, tindakan supervisi, self esteem dan equity sensitivity terhadap penghentian prematur atas prosedur audit. Maka penulis memilih judul
“Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penghentian Prematur atas Prosedur Audit Ditinjau dari Faktor Eksternal dan Faktor Internal
Auditor ”
1.2 Perumusan Masalah