Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

cara mediasi karena pengintegrasian mediasi kedalam proses beracara di Pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi penumpukan perkara yang di ajukan ke pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan kinerja atau fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian perkara. 3 Sedangkan prosedur mediasi atau upaya perdamaian telah lebih dahulu dilakukan oleh negara-negara yang lain seperti Amerika Serikat, Srilanka, Philippina, China, Korea Selatan, Hongkong, Australia, Singapura, dan Jepang. Di negara Amerika Serikat kedudukan dan keberadaan mediasi sebagai lembaga penyelesaian sengketa telah didukung secara formal oleh Hukum positif, berupa Dispute Resolution Act yang dikeluarkan pada saat Presiden Jimmy Carter pada tanggal 12 Februari tahun 1980, berbagai macam sengketa dapat di mediasikan baik jenis sengketa yang bersifat umum maupun jenis sengketa yang bersifat khusus seperti sengketa bisnis dan sengketa perceraian. 4 Sedangkan di negara Srilanka telah diundangkan Mediation Board Act Komisi Badan Mediasi pada tahun 1988 yang meletakan pengawasan terhadap para penyedia jasa dibawah komisi khusus yang ditunjuk oleh presiden dan Komisi ini terdiri atas lima orang tiga diantaranya harus berpengalaman di dunia Pengadilan setingkat Mahkamah Agung atau Peradilan Tinggi, diberlakukan pula mediasi sebagai upaya wajib yang harus ditempuh para pencari keadilan sebelum 3 Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT.raja Grafindo Persada,2002, h.34. 4 Atja Sandjaya, Perkembangan Mediasi di berbagai Negara Pelatihan Mediator Hakim Agama Pusdiklat MARI, Mega mendung, Ciawi, Bogor, h.2. menempuh upaya Pengadilan Compulsory Mediation atau Primary Iurisdiction. 5 Lain halnya di negara Philippina secara tradisional Mediasi telah dikenal melalui tradisi penyelesaian sengketa secara kekeluargaan dan kooperatif di tingkat pedesaan Barangay atau Barrio pelembagaannya didorong oleh keinginan untuk mengatasi penumpukan serta kemacetan administrasi perkara di Pengadilan yang menimbulkan penurunan kualitas keadilan, dan pelembagaan tersebut dilakukan oleh pemerintah Philippina melalui Presidential Decree Philippina Nomor 1508 tanggal 11 juni 1978, yang dikenal dengan”Katarungang Pambarangay Law atau Barangay Justice law”. Adapun kewenangan yang dimilikinya adalah menyelesaiakan seluruh jenis sengketa perdata dan pidana dengan ancaman hukuman ringan. 6 Sedangkan Di negara China sejak tahun 1949 sistem mediasi China telah diformalkan dalam berbagai bentuk pedoman dan instruksi. Pada tahun 1982 konstitusi China secara tegas menyebutkan pendirian Komisi Mediasi Rakyat People Mediation Committees di wilayah perkotaan maupun di pedesaan,dan salah satu fungsi mediasi rakyat disebutkan melaksanakan upaya-upaya penengahan to Mediate sengketa Perdata Civil Dispute. Lain halnya di Negara Australia di negara ini pengembangan mediasi baru muncul belakangan bila dibandingkan dengan negara Amerika Serikat atau Korea Selatan, akan tetapi 5 Ibid. h.3. 6 Ibid h.4. dalam waktu singkat dapat menandingi kemajuan yang dicapai negara lain bahkan sekarang sudah hampir sampai tahap konsolidasi. Mediasi dikelola dalam satu wadah yang dinamakan Centre for Dispute Resolution yang didirikan pada tahun 1988 yang bernaung dibawah University of Technology, Sidney bekerja sama dengan faculty of Law and Legal practice and Bussines. Pada prinsipnya lingkup mediasi yang dikembangkan di negara Australia tidak jauh berbeda dengan mediasi yang duikembangkan oleh negara Amerika Serikat, akan tetapi bila perbandingannya termasuk dengan mediasi di Jepang dan Korea Selatan maka Australia mengatur sisitem mediasi yang berkoneksitas dengan Pengadilan mediation Connected to the Court yang pada umumnya bertindak sebagai mediator adalah pejabat Pengadilan, Namun pada dasarnya selain fungsi pelembagaan mediasi sebagai penengahan masalah secara kekeluargaan tapi juga berfungsi sebagai instrumen penyelesaian masalah penumpukan perkara di Pengadilan. 7 Untuk itu di negara Indonesia melakukan studi banding ke negara-negara tersebut untuk memaksimalkan proses mediasi di Indonesia agar tercapai sebuah mediasi yang efektif, sebelum Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 2008 ditetapkan oleh Mahkamah Agung sebelumnya telah ada aturan mengenai dasar hukum mediasi yaitu HIR pasal 130 dan Rbg pasal 154 yang telah dijelaskan diatas kemudian dikeluarkannya SEMA No.1 tahun 2002 Sedangkan pada tahun 2003 Mahkamah Agung mengeluarkan Suatu Peraturan yang mengatur tentang 7 Ibid. h.5. mediasi yaitu Peraturan Mahkamah Agung No.2 tahun 2003 yang mengatur tentang prosedur mediasi yang harus dilakukan oleh lembaga Peradilan. Namun dalam prakteknya di lapangan masih terdapat banyak kendala dalam pelaksanaan PERMA tersebut, oleh karena itu setelah dilakukan evaluasi terhadap prosedur mediasi di pengadilan yang berdasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung No.2 tahun 2003 ternyata ditemukan berbagai kendala atau masalah yang timbul dari peraturan Mahkamah Agung tersebut.sehingga peraturan tersebut harus perlu di revisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi terkait dengan proses berperkara di Pengadilan, maka dari itu Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 2008 tentang prosedur Peraturan Mahkamah Agung mediasi sebagai jawaban pemecahan masalah yang timbul dari No.2 tahun 2003. Dalam tersebut diatur tentang prosedur mediasi dan menjelaskan prosedur sertifikasi bagi calon mediator untuk melakukan mediasi di dalam lembaga peradilan. 8 Mediasi adalah salah satu diantara sekian banyak penyelesaian sengketa Dispute Settlemen yang dikenal di banyak tempat dalam berbagai kurun waktu atu dapat dilihat sebagi salah satu bentuk penyelesaian sengketa diluar Pengadilan non Litigasi yang merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian Alternative Dispute Resolution akan tetapi juga berupa mediasi Peradilan Court 8 Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 2008. h.1. Mediation. Mediasi juga dapat berupa mediasi modern tetapi juga dapat berupa mediasi tradisional Tradisional Mediation. 9 Bentuk-bentuk Penyelesaian sengketa sebagaimana yang diungkapkan diatas seperti yang diungkapkan oleh Veronica Taylor dan Michael Pryles dalam”Dispute Resolution in Asia”mengandung apa yang dinamakan “The Culture of Dispute Resolution in Asia”Taylor pryles,2002:1. Bentuk-bentuk penyelesaian seperti ini didasarkan pada nilai-nilai budaya lokal yang berlaku dalam masyarakat yang dapat disebut dengan prinsip etika yang mendasari penyelesaian sengketa tersebut. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh penulis Jepang Yoshiro Kusano dengan istilah ”Compromise Techniques”atau jalan damai sebagai terjemahan istilah dari Jepang yaitu’WAKAI”. 10 Oleh karena itu berdasarkan studi awal penulis mengenai masalah tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas dan mengkaji lebih dalam bentuk skripsi berjudul ”RESPON PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT TERHADAP PERATURAN MAHKAMAH AGUNG No.1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI” karena PERMA ini merupakan peraturan yang cukup baru di putuskan pada tanggal 1 Juli tahun 2008 maka penulis membahas mengenai respon atau tanggapan Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam melaksanakan aturan ini apakah telah sesuai dengan yang di cita-citakan 9 Abdurrahman, Etika Mediasi dalam Mediasi Syariah dan Mediasi Konvensional,Makalah disampaikan pada acara pelatihan Hakim Agama di Pusdiklat MA, Mega mendung,26 Maret 2009. h.1. 10 Ibid. h.2. dan juga dikarenakan Pengadilan Agama Jakarta Pusat menjadi objek perkara- perkara persidangan internasional yang melibatkan WNI diluar negeri bahkan Pengadilan Agama Jakarta Pusat beberapa kali di jadikan kunjungan Hakim Australia dan Malaysia oleh karena itu penulis mengangkat Pengadilan Agama Jakarta Pusat sebagai objek kajian penelitian karena Pengadilan Agama Jakarta Pusat merupakan tolok ukur dari Pengadilan Agama Di wilayah DKI Jakarta sehingga lebih banyak hal yang bisa penulis kontribusikan dalam penulisan skripsi ini kepada pembacanya. 11

B. Pembatasan Masalah

Mengingat intepretasi hukum merupakan sesuatu yang sangat luas dan kompleks maka untuk mendapatkan pembahasan yang lebih efektif dan objektif penulis batasi permasalahan yang meliputi sebagai berikut: 1. Respon Pengadilan Agama Jakarta Pusat terhadap pelaksanaan PERMA No.1 tahun 2008 2. Peranan mediator non hakim sebagai mediator sesuai Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008. 3. Fungsi Hakim sebagai mediator di Pengadilan Agama Jakarta Pusat. 11 http:www.badilag.netindex.php?option=com_contenttask=viewid=5520Itemid=494 di akses pada tanggal 22 September 2010.

C. Perumusan Masalah

Sesuai keberadaan suatu peraturan mestinya dalam pelaksanaan peraturan Mahkamah Agung no.1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi harusnya dapat lebih di efektifkan dan lebih memudahkan jalur mediasi kasus para pihak. Dalam kenyataannya pelaksanaan mediasi di maksud dalam wilayah pengadilan agama belumlah terlihat efektif. Rumusan masalah di atas penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana respon Pengadilan Agama Jakarta pusat terhadap pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008? 2. Bagaimana peranan Mediator non Hakim dalam proses mediasi di Pengadilan Agama Jakarta pusat? 3. Bagaimana fungsi dan peranan Hakim sebagai Mediator dalam proses mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat telah dilakukan sesuai PERMA No.1 Tahun 2008?

D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah 1. Untuk Mengetahui respon Pengadilan Agama Jakarta Pusat terhadap pelaksanaan Peraturan mahkamah agung No.1 Tahun 2008. 2. Untuk Mengetahui bagaimana peranan Mediator non hakim di Pengadilan Agama Jakarta Pusat. 3. Untuk Mengetahui Bagaimana fungsi dan peranan Hakim sebagai mediator di Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Adapun manfaat dari penulisan masalah ini adalah: 1. Kalangan pribadi untuk menambah khazanah keilmuan dalam bidang hukum dalam wilayah Pengadilan Agama. 2. Kalangan Akademis, untuk menambah perbendaharaan keilmuan dalam masalah mediator dalam Pengadilan Agama Jakarta Pusat. 3. Kalangan umum, untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat dalam masalah hakim sebagai mediator dalam Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

E. Metodologi Penelitian

Dalam menyusun skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bahan-bahan yang berhubungan dengan skripsi ini. Adapun metodologi penelitian yang digunakan yaitu dengan melakukan: 1. Penelitian Kepustakaan library research Dalam penelitian kepustakaan ini penulis melakukan pengumpulan bahan-bahan dan data-data yang berkaitan dengan skripsi ini. Bahan-bahan dan data tersebut penulis mendapatkannya dari bermacam-macam buku, artikel, literatur dan data dari internet yang berhubungan dengan skripsi yang di bahas, lalu penulis mempelajarinya dan menganalisis data tersebut maka didapat data sekunder yang dapat digunakan sebagai bahan penulisan.