Otonomi Daerah URAIAN TEORITIS

2.2 Otonomi Daerah

Pada saat ini negara Indonesia sedang menghadapi perubahan kondisi yang sangat penting dan sekaligus mempengaruhi pola pembangunan nasional dan daerah secara keseluruhan. Salah satunya adalah dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah sejak 1 Januari 2001 sesuai dengan Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Sejak saat itu, pemerintahan dan pembangunan daerah di seluruh nusantara telah memasuki era baru yaitu era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pemerintah daerah diberikan wewenang dan sumber keuangan baru untuk mendorong proses pembangunan di daerahnya masing-masing yang selanjutnya akan mendorong proses pembangunan nasional Indonesia secara keseluruhan. Perubahan sistem pemerintahan dan pengelolaan pembangunan daerah tersebut, tentunya akan menimbulkan perubahan yang cukup drastis dalam pengelolaan pembangunan daerah. Pola pembangunan daerah dan sistem perencanaan yang selama ini cenderung seragam, mulai berubah dan cenderung bervariasi tergantung pada potensi dan permasalahan pokok yang dialami oleh daerah yang bersangkutan. Kebijaksanaan pembangunan yang selama ini hanya merupakan pendukung dari kebijaksanaan nasional mulai sekarang ini mengalami perubahan sesuai dengan keinginan dan aspirasi yang berkembang di daerah. Sementara itu, antara sesama daerah tersebut terjadi pula persaingan untuk memacu pertumbuhan ekonomi ekonomi dan kesejahteraan sosial masing-masing daerah. Dengan demikian, pola dan sistem pembangunan daerah ke depan Universitas Sumatera Utara diperkirakan akan sangat berbeda dibandingkan dengan apa yang telah kita alami dalam era sentralisasi. Perkataan otonomi berasal dari bahasa Yunani, outonomous yang berarti pengaturan sendiri atau pemerintahan sendiri. Menurut Encyclopedia of Social Science, pengertian otonomi adalah the legal self sufficiency of social body and its actual independence. Dengan demikian, otonomi menyangkut dua hal pokok yaitu, kewenangan untuk membuat hukum sendiri own laws dan kebebasan untuk mengatur pemerintahan sendiri self government. Hak atau wewenang tersebut meliputi pengaturan pemerintahan dan pengelolaan pembangunan yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Pada dasarnya ada tiga alasan pokok mengapa diperlukan otonomi daerah tersebut Hidayat Syarief dalam Sjahfrizal, 2008. Pertama, adalah Political Equality yaitu, guna meningkatkan partisipasi politik masyarakat pada tingkat daerah. Hal ini penting artinya untuk meningkatkan demokratisasi dalam pengelolaan negara. Kedua, adalah Local Accountability, yaitu meningkatkan kemampuan dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam mewujudkan hak dan aspirasi masyarakat di daerah. Hal ini penting dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial di masing-masing daerah. Ketiga, adalah Local Responsiveness yaitu meningkatkan tanggung jawab pemerintah daerah terhadap masalah-masalah sosial-ekonomi yang terjadi di daerahnya. Unsur ini sangat penting bagi peningkatan upaya pembangunan dan peningkatan kesejahteraan sosial di daerah. Kebijakan ini dirasakan semakin penting oleh karena Indonesia memiliki 33 propinsi dengan 498 kabupatenkota yang secara sosial dan budaya sangat Universitas Sumatera Utara beragam. Keberagaman ini tentu saja akan menghasilkan perbedaan karakteristik faktor produksi yang dimiliki. Tidak jarang kebijakan nasional pembangunan ekonomi yang telah dirumuskan dan disepakati sulit mencapai tujuan dan sasaran yang diharapkan pada semua daerah dengan karakteristik yang berbeda tersebut. Kebijakan nasional pembangunan ekonomi yang diambil pemerintah pusat tidak menyentuh perekonomian daerah secara menyeluruh. Keinginan untuk mewujudkan otonomi daerah di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama. Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, otonomi daerah sudah sejak semula didambakan oleh bangsa Indonesia ndan diharapkan akan dapat dilaksanakan sesegera mungkin. Walaupun dalam Undang-undang N0., 5 Tahun 1974 secara formal juga dimaksudkan untuk dapat mewujudkan otonomi daerah tersebut, akan tetapi bagaimana sistem untuk melaksanakannya tidaklah tertera begitu jelas. Karena itu, tidaklah mengherankan bilamana pelaksanaan otonomi daerah tersebut dalam masa Orde Baru tidak dapat diwujudkan sebagaimana diharapkan walaupun undang-undang tersebut telah duterapkan selama 25 tahun. Selama lebih dari lima dekade, terhitung sejak diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia, pemerintah pusat berwenang dan bertanggung jawab penuh atas kebijakan dan tugas umum pemerintahan serta implementasi pembangunan di daerah. Termasuk penentuan program-program dan proyek- proyek pembangunan sampai kepada hal-hal yang bersifat teknis. Sentralisasi yang demikian besar ternyata telah menimbulkan permasalahan pembangunan daerah yang sangat serius. Pertama, proses pembangunan secara keseluruhan menjadi kurang efisien dan mendorong terjadinya ketimpangan wilayah. Sebab, Universitas Sumatera Utara sistem pembangunan yang terpusat cenderung mengambil kebijakan yang seragam dan mengabaikan perbedaan potensi daerah yang ada. Dengan demikian banyak potensi daerah, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang tidak termanfaatkan secara maksimal. Wilayah yang potensi daerahnya kebetulan sesuai dengan kebijaksanaan dari pusat akan dapat bertumbuh dengan pesat. Sedangkan daerah yang potensinya tidak sesuai dengan prioritas pusat akan cenderung tertekan. Akibatnya adalah semakin melebarnya tingkat ketimpangan pembangunan antarwilayah, yang selanjutnya mendorong terjadinya keresahan sosial di daerah. Kedua, sistem pembangunan yang terpusat akan menimbulkan ketidakadian dalam alokasi sumber daya nasional, terutama dana pembangunan. Hal ini terlihat dari banyaknya propinsi atau kabupatenkota yang kaya dengan sumber daya alam, akan tetapi tingkat kesejahteraan masyarakatnya ternyata masih sangat rendah dan ketinggalan dibandingkan dengan daerah lainnya. Hal ini mengakibatkan daerah-daerah tidak memiliki peluang atau kesempatan penuh untuk melakukan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi daerah atau Produk Domestik Regional Bruto Gross Domestic Regional Product relatif sangat lamban serta panjangnya birokrasi pelayanan publik karena harus menunggu petunjuk dari pemerintah pusat. Di samping itu, daerah tidak bisa menolak secara langsung kebijakan-kebijakan pusat yang diberlakukan, walaupun pada kenyataannya kebijakan tersebut kurang prioritas dan kurang tepat sasaran untuk diterapkan di daerah Sjahfrizal, 2008. Karena adanya kelemahan tersebut, maka tuntutan untuk mengurangi sentralisasi pembangunan semakin lama smakin besar. Puncaknya terjadi pada era reformasi, dimana masyarakat menuntut untuk dilaksanakannya perubahan secara Universitas Sumatera Utara mendasar dalam sistem pemerintahan dan pembangunan daerah guna memperbaiki proses pembangunan secara keseluruhan. Di samping itu, sebagai salah satu cara untuk mempercepat proses pemulihan ekonomi dari akibat krisis moneter.

2.3 Tipologi Daerah