Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999

(1)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, 2009.

UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999

T E S I S

Oleh

FRANSISKA DELIMA SILITONGA

077011078/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

ANALISIS KEKUATAN SURAT PERJANJIAN

PERDAMAIAN DIBAWAH TANGAN DALAM KASUS

PENYELESAIAN SENGKETA PERS BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

FRANSISKA DELIMA SILITONGA 077011078/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

Judul Tesis : ANALISIS KEKUATAN SURAT PERJANJIAN

PERDAMAIAN DIBAWAH TANGAN DALAM KASUS PENYELESAIAN SENGKETA PERS BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999

Nama Mahasiswa : Fransiska Delima Silitonga

Nomor Pokok : 077011078

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) Ketua

(Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, MHum) (Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (

Tanggal lulus : 07 Agustus 2009


(4)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

Telah diuji pada

Tanggal : 07 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

Anggota : 1. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, MHum

2. Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn

3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum


(5)

(6)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

ABSTRAK

Sengketa pers yang lahir dari pemberitaan itu tidak dengan tegas dijelaskan serta ditetapkan dalam Undang-undang Pers bagaimana penyelesaiannya. Sehingga tafsir yang berkembang adalah mengikuti kehendak korban. Hal ini bukanlah suatu kesalahan apabila korban mengacu pada Pasal 19, Ketentuan Peralihan, Undang- undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, yang mengatakan ; Dengan berlakunya Undang-undang ini segala peraturan perundang-undangan di bidang pers yang berlaku serta badan atau lembaga yang ada tetap berlaku atau tetap menjalankan fungsinya sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif, artinya penelitian ini bertujuan untuk menggunakan menggambarkan secara karakteristik dari fakta-fakta untuk menentukan frekuensi sesuatu yang terjadi di dalam menganalisa Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian di Bawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999.

Surat Perdamaian di bawah tangan adalah istilah yang dipergunakan untuk pembuatan suatu perjanjian perdamaian antara para pihak tanpa dihadiri atau bukan dihadapan seorang Notaris sebagaimana dalam pembuatan akta otentik. Perjanjian perdamaian yang dibuat dibawah tangan adalah perjanjian yang dibuat sendiri oleh para pihak yang berjanji, tanpa suatu standar baku tertentu dan hanya disesuaikan dengan kebutuhan para pihak tersebut. Faktor-faktor penyebab terjadinya pelanggaran sengketa pers atau trial by the press, di sebabkan kurangnya pemahaman wartawan terhadap kode etik jurnalistik, kurangnya pembekalan dari perusahaan pers terhadap wartawan, dan tidak adanya standarisasi program pers. Sementara itu, faktor yang memengaruhi terjadinya sengketa pers dalam dunia jurnalistik berasal dari wartawan, pemilik modal. Sengketa pers harus diselesaikan dengan mempergunakan dan mengacu pada Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 yang sudah jelas mengatur mekanisme/prosedur penyelesaian sengketa akibat pemberitaan pers, yakni hak jawab dan penyelesaian melalui Pengadilan atau Hakim merupakan benteng terakhir dari keadilan.


(7)

(8)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus ABSTRACT

Dispute, who was born from the press coverage was not the decisive set and described in the law of how the settlement, so that the interpreter is developed to follow the will of the victim. This is not a mistake when referring to victims of Article 19, Terms of Switching, Law Number 40 Year 1999 About Press, which says; With the introduction of this Law all the laws that apply in the press and the agency or institution that is still or remain valid throughout the function is not or has not been replaced with a new one based on this Law.

The nature of this .research is descriptive meaning of this research aims to describe the characteristics of the facts to determine the frequency of something happening in analyzing the strength of the Letter Agreement on Peace Hand Down In Case of Dispute Settlement Based on Law Number 40 of 1999.

Letter under the hand of peace is the term used for the making of a peace agreement between the parties without the presence or not before a Notary Public in the making of teaching license as authentic. Peace agreement that is hand made under the agreement made by the parties promised, without a certain basic standard and only the needs of the party. Factors that cause the occurrence of violations of the press disputes or trial by the press, due to a lack of understanding of journalists on the journalism code of ethics, lack of supply company press against journalists, and the absence of a standardization program of the press. Meanwhile, the factors that influence the occurrence of disputes in the world of journalism of the press comes from the journalist, owner of capital. Disputes must be settled with the press and practice to the Law Number 40 Year 1999 is already clearly set the mechanisms / procedures for dispute resolution as a result of the press coverage, that is, the right and responsibility through the court or judge is the last fortress of justice.


(9)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, maka tesis ini telah dapat diselesaikan dengan judul : "ANALISIS KEKUATAN SURAT PERJANJIAN PERDAMAIAN DIBAWAH TANGAN DALAM KASUS PENYELESAIAN SENGKETA PERS BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999".

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam penyusunan tesis ini telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihakTerima kasih yang mendalam dan Lulus saya ucapkan secara khusus kepada Bapak Prof Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Komisi Pembimbing serta Bapak Dr. Faisal Akbar, SH, MHum dan Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn masing-masing selaku anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan pengarahan, nasehat beserta bimbingan kepada saya, dalam penulisan tesis ini.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih secara khusus kepada Ibu Dr. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum dan Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, MHum selaku dosen yang selama ini telah membimbing dan membina penulis dan pada kesempatan ini dipercayakan menjadi dosen penguji sekaligus sebagai panitia


(10)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

penguji tesis.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih secara khusus kepada dan selaku dosen yang selama ini telah membimbing dan membina penulis dan pada kesempatan ini dipercayakan menjadi dosen penguji sekaligus sebagai panitia penguji tesis.

Selanjutnya ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang dibeikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Konotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir.T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, dan lbu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Magister Konotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar diantaranya Bapak Prof. Dr. M. Solly Lubis, SH, Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS, Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS, Prof Dr. Budiman Ginting, SH, MHum, Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn, Notaris Syafnil Gani, SH, MHum dan lain-lain serta para karyawan pada Program Magister Konotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera


(11)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

Utara diantaranya Ibu Fatimah, SH, Mbak Sari, Mbak Lisa, Mbak Afni, Mas Adi, Mas Rizal dan lain-lain yang telah banyak membantu dalam penulisan ini dari awal hingga selesai.

5. Rekan-rekan serta teman-temanku tercinta di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara di Program Magister Kenotariatan yang selalu memberikan semangat, memberikan dorongan, bantuan pikiran serta mengingatkan dikala lupa kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini dalam rangka untuk menyelesaikan studi.

Secara khusus, penulis menghaturkan sembah dan sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga, kepada yang tercinta Ayahanda Alm. Manaor Silitonga dan lbunda Nurbayam Damanik yang telah bersusah payah melahirkan, membesarkan dengan penuh pengorbanan, kesabaran, ketulusan dan kasih sayang, dan memberikan doa restu, sehingga penulis dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Secara khusus kusampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada suamiku tercinta dan anak-anakku tersayang, atas pengertian dan pengorbanan yang diberikan selama ini.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, mendapat rahmat dari Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang serta diberikan dan dilimpahkan kebaikan kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.


(12)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama kepada penulis dan kalangan yang mengembangkan ilmu hukum, khususnya dalam bidang ilmu Kenotariatan.

Medan, 22 Juli 2009 Penulis,

Fransiska Delima Silitonga


(13)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Fransiska Delima Silitonga

Tempat Tanggal Lahir : Medan, 18 Juni 1973

II. ORANG TUA

Nama Ayah : Manaor Silitonga

Nama Ibu : Nurbayam Damanik

III. PEKERJAAN

Wiraswasta

IV. PENDIDIKAN

1. SD : SD Methodist Medan

2. SMP : SMP Methodist Medan

3. SMA : SMA Immanuel Medan

4. S-1 : Fakulas Hukum Universitas Darma Agung Medan


(14)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian ... 11

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi ... 11

1. Kerangka Teori ... 11

2. Kerangka Konsepsi ... 22

G. Metode Penelitian ... 24

BAB II : KEKUATAN SURAT PERDAMAIAN DIBAWAH TANGAN DALAM KASUS PENYELESAIAN SENGKETA PERS ... 29


(15)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

B. Perbedaan Akta Otentik dan Akta Dibawah Tangan ... 33

C. Kedudukan Akta Otentik dalam Sistem Hukum

Pembuktian ... 34 D. Kriminalisasi Sengketa Pers di Indonesia ... 37

E. Pers di Lindungi Dengan Undang-Undang Pokok Pers .... 40

F. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 13

Tahun 2008 ... 42 G. Penyelesaian Sengketa Pers ... 43 H. Kriminalisasi Kasus Bersihar Lubis Dalam


(16)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

BAB III : PENYEBAB TERJADINYA PELANGGARAN DAN

SENGKETA PERS DI INDONESIA ... 59

A. Sejarah Pers di Indonesia ... 59

B. Penyebab Sengketa Pers di Indonesia ... 63

C. Kemerdekaan Pers Dalam KUHP ... 69

BAB IV : UPAYA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PERS DI INDONESIA ... 77

A. Mediasi Dalam Upaya Mencapai Perdamaian Akibat Sengketa Pers ... 77

B. Masyarakat Makin Sadar Menggunakan Undang- undang Pers ... 88

C. Pergunakan Hak Jawab Dalam Sengketa Pers ... 91

D. Kemerdekaan Pers dan Komitmen Elit Politik ... 93

E. Penyelesaian Sengketa Menurut Undang-undang Pers dan Kode Etik ... 95

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

A. Kesimpulan ... 107

B. Saran ... 109


(17)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 1. Kasus Kekerasan Pers di Indonesia Periode Januari s/d

Desember 2008 ... 101 2. Kasus Gugatan Perdata, Pidana dan kasus Kekerasan Fisik


(18)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, 2009.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Era reformasi telah membawa berkah, diantaranya bagi komunitas pers. Batas-batas wilayah pemberitaan yang pada masa orde baru dianggap tabu dan berbahaya secara politik, kini dengan mudah diberitakan media. Tuntutan mundur pejabat berkuasa, termasuk mengritisi kinerja pemerintahan, sekarang dengan mudah diberitakan tanpa rasa takut. Ini suatu kondisi yang tak terbayangkan bisa terjadi pada masa orde baru yang serba tunggal dan serba dibatasi.

Kebebasan pers dan hak publik untuk mengolah informasi kini bahkan dijamin oleh Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Konstitusi. Sekarang, media tidak lagi membutuhkan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang pada zaman orde baru digunakan untuk mengontrol media. Undang-undang Pers juga secara tegas melarang sensor dan bredel. Tak hanya itu, pihak-pihak yang dinilai menghambat tugas wartawan dan kemerdekaan pers bisa dikenai hukuman penjara 2 tahun atau denda Rp 500 juta 1

Pers saat ini dengan dilindungi oleh Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah menjalankan fungsinya menurut Undang-undang Pers yaitu menyampaikan informasi, memberi pencerdasan, memberikan hiburan yang

Pers kini mulai bebas menjalankan fungsinya sebagai alai pengontrol sosial dan juga menjadi forum dialog dalam pertukaran ide. Sehingga pers dapat menjadi cermin dari suara hati bangsa dan peran ini tentunya harus didukung oleh penyelenggara negara, dunia usaha, dan juga masyarakat.

1


(19)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

bermakna, dan melakukan kontrol sosial dalam bentuk pengawasan, kritik, dan saran untuk kepentingan umum.2

Reformasi dalam bidang media itu ternyata tidak diimbangi dengan perlakuan yang diterima komunitas pers. Justru ketika pers mulai terlibat dalam demokratisasi dan pencerdasan bangsa, ancaman terhadap jurnalis dan kebebasan pers makin terasa. Berbagai tindakan dilakukan mulai dari pers diadukan, diancam denda, dituntut penjara, dipukuli, kantornya diduduki, peralatannya dirusak dan tindakan kekerasan lainnya. Berbeda dengan masa sebelumnya, saat negara menjadi pelaku kekerasan, dewasa ini ancaman terhadap kebebasan pers datang melalui aksi premanisme.

Praktis setelah tahun 1998 pers berani untuk mengungkap berbagai kasus korupsi, bandar judi, dan praktek-praktek penyelenggaran pemerintahan yang buruk. Pers juga bertugas untuk mengawasi kinerja pemerintah, parlemen, dan lembaga yudikatif serta mengartikulasikan kepentingan publik yang lebih luas.

3

1. Pasal 28 F Undang Undang Dasar RI Tahun 1945 Perubahan 11

Situasi kebebasan yang dinikmati oleh pers saat ini telah dikuatkan oleh beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebebasan pers. Beberapa peraturan yang menjamin kebebasan pers adalah ;

2. Pasal 20 dan 21 TAP MPR RI XVII/MPR/1998 tentang Piagam Hak Asasi Manusia

3. Pasal 14 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

4. Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

5. Undang Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights. 4

Semua jaminan konstitusionil ini secara teoritik telah sempurna mengakui serta melindungi kemerdekaan pers dari ancaman baik ancaman yang dikenakan secara langsung maupun tidak langsung terhadap kemerdekaan pers.

2

Ibid, halaman 2.

3

Ibid, halaman 2,4

4

Sugondo Praktino, Berbagai Aturan Dalam Menjamin Kebebasan Pers, Sebuah Opini,


(20)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

Kebebasan pers merupakan perwujudan dari hak untuk memperoleh informasi dan menyatakan pendapat tanpa rasa takut dan karena itu merupakan prasyarat mutlak bagi demokrasi modern yang sungguh beradab.

"Kendati demikian, kebebasan ini bukannya tanpa masalah. Karena kebebasan pers beroperasi di tengah rimba raya kepentingan yang begitu beragam, tak mengherankan bahwa semakin besarnya kebebasan pers juga merebaknya sengketa akibat pemberitaan, sebagaimana semakin sering terjadi belakangan ini".5

Pada kenyataannya pemberitaan pers acapkali menimbulkan kontroversi yang oleh pihak-pihak tertentu dirasa merugikan. Pers diharapkan memberikan informasi yang akurat dan objektif, namun pers justru melakukan penghinaan, pencemaran nama baik, menebar fitnah atau permusuhan dalam berita yang dia suguhkan. Karena itu, disadari atau tidak, setiap orang dan setiap institusi, sebenarnya sedang empertaruhkan kepentingannya di dalam-atau berhadapan dengan-pelaksanaan kebebasan pers.6

Dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang selanjutnya disebut juga Undang-undang Pers, sangat terlihat keinginan komunitas pers untuk mengatur dirinya sendiri, hal ini dibuktikan dengan terbentuknya Dewan Pers sebagai lembaga independen yang anggotanya dipilih dari dan oleh komunitas pers sendiri dan juga mempunyai fungsi dan kewenangan legislasi dan sedikit kewenangan yudisial dalam sengketa pers sebagaimana terlihat dalam Pasal 15. Selain itu Undangundang Pers ini juga menegaskan jaminan kemerdekaan pers sebagaimana yang dinyatakan Pasal 2 dan Pasal 4.7

Undang Undang Pers sendiri memuat mekanisme yang mengatur tentang hak masyarakat untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak untuk memperoleh informasi yang diperlukan. Hak ini secara khusus diatur dalam Pasal 17 Pasal 1 angka 11, 12, dan 13, dan Pasal 15 ayat (2) huruf (d ). Pengaturan ini tentang

5

karia Gintano, Op cit, halaman 5.

6

Dita Sari, Apa Itu Kebebasan Pers, (Jakarta, Penerbit : LP3 S, 2007), halaman 1.

7


(21)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

mekanisme penyelesaian sengketa pers menjadi kekhasan dalam Undang Undang ini. Beberapa mekanisme penyelesaian sengketa pers yang diatur dalam Undang Undang Pers adalah:

1. Penggunaan Hak Jawab

Adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya

2. Penggunaan Hak Koreksi

Adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliman informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain

3. Penggunaan Kewajiban Koreksi

Adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.8

"Meskipun Undang-undang Pers tidak mengatur secara kaku tentang bagaimana penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa pers, tetapi kiranya Dewan Pers telah mengambil sikap sebagai forum konsiliasi dimana Dewan Pers bertindak sebagai konsiliator".9

"Undang-undang Pers juga menerapkan asas imunitas bagi penyingkapan sumber informasi dalam pemberitaan pers yang dikenal dengan hak tolak yaitu hak wartawan karena profesinya untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya"10

Hak tolak ini dipergunakan untuk mempertanggung-jawabkan pemberitaan di depan hukum jika keterangan tersebut diminta oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan. Namun hak tolak ini dapat dibatalkan oleh putusan pengadilan

8

Dita Sari, Op cit, halaman 2

9

Ibid, halaman 2.

10


(22)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

atas dasar kepentingan atau keselamatan negara atau ketertiban umum.

"Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan A. Djalil akan membuat surat edaran kepada instansi Pemerintah untuk menerapkan hak jawab terhadap sengketa pers. "Menurut saya, hak jawab tnerupakan cara efektif dalam menyelesaikan sengketa pers," ujar Sofyan kepada wartawan usai menghadiri diskusi penyelesaian sengketa akibat pemberitaan pers di gedung Dewan Pers. 11

Apabila terjadi kesalahan dalam pemberitaan, pers harus meralat, mencabut pemberitaan dan meminta maaf. Kebebasan per bukan berarti bebas untuk melakukan apapun. Seperti yang dikatakan Dewan Pers tadi bahwa. Undang-undang mengatakan wartawan boleh menulis apapun selama itu benar, tetapi kalau itu tidak benar, maka wartawan harus meminta maaf. Pemerintah punya komitmen untuk membu-ad, Undang-undang Pers menjadi lex specialis derogate lex generalis. Tetapi selama belum, maka masyarakat tetap dapat mengajukan sengketa pers kedalam hukum perdata ataupun pidana. Khusus untuk tuntutan pidana, dapat disiasati dengan cara pihaknya akan memberikan surat edaran kepada kejaksaan dan kepolisian mengenai hak jawab. 12

"Sedangkan untuk tuntutan perdata, akan sulit, karena urusan perdata menyangkut hak asasi seseorang untuk menuntut balik apabila is merasa dirugikan. Dengan hak jawab yang dilaksanakan, maka sengketa pers yang terjadi dianggap selesai. la mencontohkan pada beberapa kasus sengketa pers, umumnya media telah memberikan hak jawab. 13

Namun adakalahnya untuk menyelesaikan sengketa pers, di tempuh dengan membuat surat perdamaian dalam upaya mempercepat penyelesaian konflik

11

Kompas, Menteri Komunikasi dan Infor-masi Sofyan A,Dialil akan membuat surat

cda-ran kepada instansi Pemerintah untuk menerapkan hak jawab terhadap sengketa pers, dalam keterangannya kepada wartawan usai menghadiri diskusi penyelesaian sengketa akibat pemberitaan pers di gedung Dewan Pers Jakarta, Rabu, 12 Januari 2007) halaman 2.

12

Ibid, halaman 2.

13


(23)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

dan sengketa antara korban pemberitaan pers dengan perusahaan penerbitan pers, surat perdamaian itu adakalanya hanya di bunt dalam bentuk akta di bawah Langan atau surat perjanjian perdamaian antara korban pemberitaan pers dan perusahaan penerbitan pers serta di lakukan dan disaksikan para. pengacara dan penasehat hukum masing-masing."14

Kemerdekaan pers yang bisa kita nikmati sekarang bukan datang dengan sendirinya namun buah dari pergulatan panjang. Setiap tahap atau tingkat pergulatan itu dapat kita lihat dari peraturan perundang-undangan yang meregulasi pers. Ibaratnya dari kepompong hingga kupu-kupu yang bisa terbang bebas seperti sekarang Namun tafsir atas kebebasan pers sering mengalami distorsi makna dan praktik yang selalu dianggap tidak bertanggung jawab.15

Pers bebas yang dikehendaki sebagaian besar jurnalis sering mendapat tantangan terlebih ketika melihat dari realita. Meningkatnya gugatan terhadap media massa atau para wartawan membuat tanda Tanya makna dari kebebasan pers itu sendiri. Prinsip-prinsip jurnalistik, kode etik jurnalis dan Undang-undang Pers sering kali tidak implemetatif sehingga kasus-kasus pers bermunculan. Dalam situasi demikian adalah benar kemudian Undang-undang Pers menetapkan adanya suatu badan yakni Dewan Pers sebagai institusi penyelesaian sengketa pers. Gugatan terhadap pers juga masih dalam ranah yang sama, misalnya pencemaran nama baik yang lahir dari berbagai sebab berita yang tidak cover both sides atau all sides, premature atau terlalu dini, penghakiman atau trial by the press, dan seterusnya yang selalu dituduhkan kepada pers. 16

Hal ini bukanlah suatu kesalahan apabila korban mengacu pada Pasal 19, Ketentuan Peralihan, Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, yang mengatakan ; Dengan berlakunya undang-undang ini segala peraturan perundang-undangan di bidang pers yang berlaku serta badan atau lembaga yang ada tetap berlaku atau tetap menjalankan fungsinya sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan undang-Sengketa pers yang lahir dari pemberitaan itu tidak dengan tegas di jelaskan serta ditetapkan dalam Undang-undang Pers bagaimana penyelesaiannya. Sehingga tafsir yang berkembang adalah mengikuti kehendak korban.

14

Dita Sari, Op. Cit. halaman.2.

15

Me Chang Liem,Kebebasan Pers di Indonesia, Jakarta, Penerbit : Op ini, 2005) halaman 4

16


(24)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

undang ini. 17

Paham legisme yang diadopsi di republik ini menuntun kits untuk patuh kepada hukum positif dan apa yang diaturnya. Undang-undang Pers pun sejatinya tidak menutup pinto untuk laporan polisi atau gugatan. Disemua negara-negara demokrasi sengketa pers diselesaikan tidak dengan pemidanaan melainkan dengan jalur dengan hukum perdata. Dengan jalan mengkompensasi kerugian korban secara proporsional. Kasus pers di Amerika Serikat selalu telak dengan adanya Amandemen Pertama Konstitusi AS yang jelas menjamin kebebasan pers.

Menurut ayat dalam pasal ini, bila ditafsirkan dalam kepentingan korban dapat menempuh dengan laporan ke polisi untuk pidana dan gugatan bila menyangkut perdata. Pun tidak ada suatu keharusan untuk menempuh penyelesaian sengketa dengan mengajukan ke Dewan Pers atau penggunaan hak jawab.

Korban dengan atau melalui kuasa hukumnya dapat mengirimkan surat teguran, demikian juga permintaan ralat atau hak jawab atau merasa teguran tidak di gubris langsung dapat melaporkan ke polisi atau melakukan gugatan ke pengadilan.

18

Dalam kasus pers di Indonesia, dapat dilihat dari gugatan atas media, tidak dapat atau tidak ada ukuran yang jelas atas kerugian yang dikompensasi atau kadar proporsionalitasnya. Dalam kasus mantan Presiden RI, Haji Muhammad Soeharto melawan majalah Time Magazine, Inc, Majelis Hakim Kasasi menjatuhkan vonis Rp. 1 Trilyun atau setara dengan 100 juta, dengan nilai tukar USD terhadap rupiah di Tahun 2008. Praktik ini dalam Undang-undang Pers hanya dibatasi dengan denda Rp.500 juta. Namun, bagaimana bila asset media atau pers tersebut hanya sebesar 2 atau milyar rupiah.

19

Membayar Rp. 500 juta sama dengan menghabiskan semua keuntungan dan sekian persen asset perusahaan, belum termasuk bila harus di vonis mengiklankan permintamaafan. Bahkan dalam kasus Asian Agri Grup melawan Majalah Tempo, biaya Man permintamaafan diberbagai stasiun televisi dan media cetak hampir 5 kali lipat denda maksimal sebagai mana diatur Undang-undang Pers. Jelas sama dengan yang selalu didengungkan

17

Lihat Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers Pasal 19 Ketentuan Peralihan

18

Dita Sari, Op.Cit, halaman 5.

19


(25)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

kalangan pers "pembangkrutan" atau bredel gays baru.20

Dengan penyelesaian sengketa pers melalui Dewan Pers, di harapkan masyarakat korban pemberitaan pers serta perusahaan yang bergerak di bidang pers lebih terlindungi dari upaya-upaya hukum yang kontra produktif bagi kemerdekaan pres. Hal ini bukanlah hal yang tidak mungkin di lakukan. Mengingat ketiadaan standar hukum atau setidaknya yurisprudensi yang mampu menjadi rujukan bagi para penegak hukum dalam berhadapan dengan pers. Selain itu, secara politis tidak ada sarana lain yang mampu menjaga demokratisasi di Indonesia berjalan selain pers, mengingat peran pers sebagai fourth estate dan kehilangan kepercayaan publik atas kekuatan penekan lainnya. Mahasiswa sebagai kekuatan moral dan pressure group sering kali terlihat perkelahian antar mereka sehingga kridebelitas menjadi pertanyaan dan cenderung menjadi public enemy. Demikian pula, tokoh-tokoh nasional tidak mampu memberikan solusi atas persoalan bangsa dan berkontribusi atas demokratisasi.

Ketiadaan proporsionalitas dalam penghukuman ini yang membuat ketar-ketir kalangan media massa atau pers. Guna menjembatani kepentingan korban dan media massa itu Dewan Pers mengambil peran kunci dalam penyelesaian sengketa pers dan media massa pers tidak pula patut berteriak-teriak kebebasan dan Hak Asasi Manusia telah disingkirkan.

21

Selain itu, secara ekonomis, perkembangan industri media atau pers di masa sekarang tumbuh menjadi basis ekonomi yang penting. Hal ini bukan saja karena semakin banyaknya pers yang tumbuh dan menyerap tidak hanya tenaga profesional tapi juga angkatan kerja pendukung. Tapi juga, industri pers telah melahirkan dan menjadi lahan suburnya industri kreatif, terlihat dengan munculnya media online,

20

Ibid, Halaman 5

21

Anwar Fuadi, Ketika Pers Sebagai Pengawal Demokrasi, Jakarta; Media Indonesia, Edisi 5 Juni 2007, halaman 6.


(26)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

industri Iklan, dan sebagainya.

Disisi lain, perlindungan korban tidak dapat diabaikan begitu saja atas nama demokrasi dan kemerdekaan pers. Pers atau media harus bertanggung jawab atas pencemaran yang mereka boat. Dengan cepat, responsif, profesional, serta bertanggung jawab harus siap memperbaiki kesalahan dan rehabilitatif atas korban. Oleh karenanya, pentingnya profesionalitas dan standar pemberitaan yang setidaknya telah digariskan dalam Undang-undang Pers. Kepatuhan atas rambu yang ditetapkan dalam hukum positif menjadi ukuran yang tidak bisa ditawar oleh kalangan pers termasuk kode etik dan standar-standar profesi serta prinsip jurnalistik dalam pemberitaan. Selain itu, masyarakat juga harus berperan serta mengawasi pers sehingga melahirkan pers yang profesional yang benar-benar enak dibaca dan perlu serta dapat di percaya sebagai pembawa anamah nurani rakyat.22

B. Perumusan Masalah

Berkaitan dengan hal tersebut diatas maka penulis berminat untuk melakukan penelitian sesuai dengan latar belakang tersebut di atas, dimana penulis mempunyai minat untuk meneliti lebih dalam tentang, "Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999", untuk mengkaji keabsahannya secara hukum sehingga dengan demikian, akan terjawab kesimpulan yang sesuai dengan permasalahan yang terdapat di dalam penelitian ini.

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Kekuatan Surat Perdamaian di Bawah Tangan dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers ?

2. Faktor-faktor Apakah yang menyebabkan terjadinya Pelanggaran dan Sengketa Pers ?

22


(27)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

3. Upaya Apakah yang dilakukan dalam menyelesaikan Sengketa Pers di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kekuatan Surat Perdamaian di Bawah Tangan dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers.

2. Untuk mengetahui Apakah yang menyebabkan terjadinya Pelanggaran dan Sengketa Pers.

3. Untuk mengetahui Apakah yang dilakukan dalam menyclesaikan Sengketa Pers di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Secara teoritis, diharapkan dengan adanya pembahasan mengenai Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 dalam penelitian ini, maka pembaca serta talon peneliti lain, akan semakin mengetahui tentang Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999.

2. Secara Praktis

Secara praktis, pembahasan dalam tesis ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi kalangan praktisi yang bergerak dan mempunyai minat dalam bidang hukum Perjanjian yang berkaitan dengan kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers


(28)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

Berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999,

E. Keaslian Penelitian

Guna menghindari terjadinya duplikasi terhadap penelitian di dalam masalah yang sama, maka peneliti melakukan penelitian tentang Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999.

Demikian pula berdasarkan pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan hal diatas, maka ternyata penelitian ini belum pernah dilakukan oleh peneliti lain dalam judul dan permasalahan yang sama.

Sehingga hal ini perlu dibahas dan diteliti lebih lanjut, yang akan bermanfaat bagi keaneka-ragaman hukum perjanjian yang berkaitan dengan Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, sehingga dengan demikian maka penelitian ini adalah asli serta dapat dipertanggung jawabkan secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi

1. Kerangka Teori

Sebagai mahluk sosial manusia selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Interaksi yang tedalin dalam komunikasi tersebut tidak hanya berdimensi kemanusiaan dan sosial budaya, namun juga menyangkut aspek hukum, termasuk perdata. Naluri untuk mempertahankan diri, keluarga dan kepentingannya membuat manusia berfikir untuk mengatur hubungan usaha bisnis mereka ke dalam sebuah


(29)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

perjanjian.

Hukum perjanjian diatur dalam Buku III tentang Perikatan, dimana hal tersebut mengatur dan memuat tentang hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-hak-pihak-hak tertentu. Pengertian yang terdapat dalam Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan di mans satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian ini mengundang kritik dari banyak ahli hukum, karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat sepihak.23

Dua hal yang pertama disebut sebagai syarat subyektif dan dua hal yang terakhir disebut syarat obyektif. Suatu perjanjian yang mengandung carat pada syarat subyektif akan memiliki konsekwensi untuk dapat dibatalkan atau vernietigbaar. Dengan demikian selama perjanjian yang mengandung cacat subyektif ini belum dibatalkan, maka ia tetap mengikat para pihak layaknya perjanjian yang sah. Sedangkan perjanjian yang memiliki cacat pada syarat obyektif (hal dan causa yang

Padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik di kedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itu secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.

Menurut Pasal 1320 KUHPerdata perjanjian harus memenuhi 4 syarat agar dapat memiliki kekuatan hukum dan mengikat para pihak yang membuatnya. Hal tersebut adalah: Kesepakatan para pihak, Kecakapan untuk membuat perikatan, misalnya cukup umur, tidak dibawah pengampuan dan lain lain, menyangkut hat tertentu Berta adanya causa yang halal.

23

Lihat Lebih Lanjut Dalam Burgelijk Wetboek (BW) yang kemudian diterjemahkan oleh Prof R. Subekti, SH dan R. Tjitrosudibio menjadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)


(30)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

halal), maka secara tegas dinyatakan sebagai batal demi hukum.

Akibat timbulnya perjanjian tersebut, maka para pihak terikat didalamnya dituntut untuk melaksanakannya dengan baik layaknya undang-undang bagi mereka. Hal ini dinyatakan Pasal 1338 KUHPerdata, dimana hat tersebut di tegaskan ; Perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, Perjanjian yang telah dibuat tidak dapat ditarik kembali kecuali adanya kesepakatan dari para pihak atau karena adanya alasan yang dibenarkan oleh undang-undang, Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikat baik.

Ketentuan yang ada pada Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata memuat asas-asas dan prinsip kebebasan untuk membuat kontrak atau perjanjian. Dalam hukum perdata pada dasarnya setiap orang diberi kebebasan untuk membuat perjanjian baik dari segi bentuk maupun muatan, selama tidak melanggar ketentuan perundang-undangan, kesusilaan, kepatutan dalam masyarakat sesuai dengan Pasal 1337 KUHPerdata.

Menurut KUHPerdata, bila salah satu pihak tidak menjalankan, tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian atau pun telah memenuhi kewajibannya namun tidak sebagaimana yang ditentukan, maka perbuatannya tersebut dikategorikan sebagai wanprestasi.

Dalam prakteknya untuk menyatakan seseorang telah melanggar perjanjian dan dianggap melakukan wanprestasi, ia harus diberi Surat peringatan terlebih dahulu (somasi). Surat somasi tersebut harus menyatakan dengan jelas bahwa satu pihak telah melanggar ketentuan per anjian, dimana hal ini harus jelas dicantumkan pasal dan ayat yang dilanggar. Disebutkan pula dalam somasi tersebut tentang upaya hukum yang akan diambil jika pihak pelanggar tetap tidak mematuhi somasi yang


(31)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

dilayangkan.

Somasi yang tidak diindahkan biasanya akan diikuti dengan somasi berikutnya (kedua) dan bila hal tersebut tetap diabaikan, maka pihak yang dirugikan dapat langsung melakukan langkah-langkah hukum misalnya berupa pengajuan gugatan kepada pengadilan yang berwenang atau pengadilan yang ditunjuk/ditentukan dalam perjanjian.

Mengenai hal ini Pasal 1238 KUHPerdata menyebutkan: "debitur dinyatakan lalai dengan Surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Sebagai konsekwensi atas perbuatannya, maka pihak yang telah melakukan wanprestasi harus memberikan ganti rugi meliputi biaya-biaya yang telah dikeluarkan berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian, kerugian yang timbul akibat perbuatan wanprestasi tersebut serta bunganya. "Dalam Pasal 1243 KUHPerdata disebutkan bahwa penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui tenggang waktu yang telah ditentukan."

“Selanjutnya ditegaskan kembali oleh Pasal 1244 KUHPerdata bahwa debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam pelaksanaan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tak terduga, yang


(32)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk padanya.” “Berbeda halnya, jika terjadi force majeur yaitu dalam keadaan memaksa atau hal-hal yang secara kebetulan satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka keharusan untuk mengganti segala biaya, kerugian dan bunga sebagaimana dinyatakan diatas tidak perlu dilakukan (Pasal 1245 KUHPerdata).

Keberadaan suatu perjanjian atau yang saat ini lazim dikenal sebagai kontrak, tidak terlepas dari terpenuhinya syarat-syarat mengenai sahnya suatu perjanjian/ kontrak seperti yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata, antara lain sebagai berikut :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.

Istilah hukum perjanjian atau kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu contract law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah overeenscomsrecht. Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.


(33)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Maka hubungan hukum antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan dan Perjanjian adalah sumber perikatan.

Hubungan hukum adalah hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum disebabkan karena timbulnya hak dan kewajiban, dimana hak merupakan suatu kenikmatan, sedangkan kewajiban merupakan beban. Adapun unsur-unsur yang tercantum dalam hukum perjanjian atau kontrak dapat dikemukakan dengan Adanya kaidah hukum.

Kaidah dalam hukum perjanjian dapat terbagi menjadi dua macam, yakni tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum perjanjian tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum perjanjian tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat, seperti jual beli lepas, jual beli tahunan, dan lain sebagainya. Konsep-konsep hukum ini berasal dari hukum adat.

Berdasarkan teori, di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima) asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara lain adalah: asas kebebasan berkontrak atau freedom of contract, asas konsensualisme atau concsensualism, asas kepastian hukum atau pacta sunt servanda, asas itikad baik atau good faith dan asas kepribadian atau personality. Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya per anjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara


(34)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.24 Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensimlisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata yang dalam hukum adat disebut secara kontan. 25

Asas kepastian hukum atau disebut jugs dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah Undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa tedadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dart dikuatkan dengan sumpah.

Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan. Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa tedadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUH Perdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.

26

Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan.

24

Dalam hukum perdata di kenal adanya asas dalam hukum per anjian yaitu; asas kebebasan berkontrak atau freedom of contract, asas konsensualisme atau concsensualism, asas kepastian hukum ataupacta sunt servanda asas itikad baik atau good faith dan asas kepribadian ataupersonality. Asas konsensualisme ini dapat disimpulkan dalam pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata.

25

Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman

26

Muslim Abdurahman, Azas Itikad Baik dalam Hukum Perikatan, (Jakarta, Warta Bangsa, 2006, halaman. 17


(35)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacts sent servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya.

Sedangkan istilah nudes pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja. Asas Itikad Baik atau good faith, yang mana asas itikad baik tersebut tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi; Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik." Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak .27

Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dan subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan Berta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan atau penilaian tidak memihak menurut norma-normsa yang objektif. Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUH Perdata menegaskan. Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri." Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi, Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya." Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku

27

Muslims Abdwahman, &as Itikad Baik Dalam Hukum Perikatan, (Jakarta, Penerbit: Warta Bangsa, 2006), halaman 17.


(36)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

bagi mereka yang membuatnya.

“Ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan, Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu”.28

"Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtperson, dimana pengertian Rechtperson diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Di dalam Pasal. 1320 KUH Perdata ditentukan empat syarat sahnya perjanjian seperti dimaksud diatas, dimana salah satunya adalah kata sepakat (konsensus). Kesepakatan ialah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak. Setiap Perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum, dimana akibat hukum itu adalah timbulnya hak dan kewajiban. Sejak jaman Belanda, memang ada pejabat-pejabat tertentu yang ditugaskan untuk membuat pencatatan-pencatatan serta menerbitkan akta-akta tertentu mengenai keperdataan seseorang, seperti misalnya kelahiran, perkawinan, kematian, wasiat dan perjanjian-perjanjian diantara para pihak, dimana hasil atau kutipan dari catatan-catatan tersebut dianggap sebagai akta yang Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan pejanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPerdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUH Perdata memiliki ruang lingkup yang luas.

28


(37)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

otentik.29

1. Bentuknya yang bebas

Bentuk dari akta notaris, akta perkawinan, akta kelahiran dan lain lain, sudah ditentukan format dan isinya oleh Undang-Undang. Namun ada juga akta-akta yang bersifat perjanjian antara kedua belah pihak yang isinya berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak sesuai dengan azas kebebasan berkontrak.

Akta otentik yang dibuat di hadapan pejabat umum yang berwenang, mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, Kalau disangkal mengenai kebenarannya, maka penyangkal harus membuktikan mengenai ketidak benarannya. Berbeda dengan akta otentik, akta di bawah tangan memiliki ciri dan kekhasan tersendiri, berupa:

2. Pembuatannya tidak harus di hadapan pejabat umum

3. Tetap mempunyai kekuatan pembuktian selama tdk disangkal oleh pembuatnya

4. Dalam hal harus dibuktikan, maka pembuktian tersebut harus dilengkapi juga dengan saksi-saksi dan bukti lainnya.

Oleh karena itu, biasanya dalam akta di bawah tangan, sebaiknya dimasukkan 2 orang saksi yang sudah dewasa untuk memperkuat pembuktian.30

Dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang selanjutnya disebut juga Undang-undang Pers, sangat terlihat keinginan komunitas pers untuk mengatur dirinya sendiri, hal ini dibuktikan dengan terbentuknya Dewan Pers sebagai lembaga independen yang anggotanya dipilih dari dan oleh komunitas pers sendiri dan juga mempunyai fungsi dan kewenangan legislasi dan sedikit kewenangan yudisial dalam sengketa pers sebagaimana terlihat dalam Pasal 15.31

29

Ibid, halaman 8.

30

Budi Ansari, Melihat Kekwan Akta Bawah Tangan, Jakarta., Djendela Masa, 2001, halaman

12

31


(38)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

Undang-undang Pers ini juga menegaskan jaminan kemerdekaan pers sebagaimana yang dinyatakan Pasal 2 dan Pasal 4.

Undang-undang Pers sendiri memuat mekanisme yang mengatur tentang hak masyarakat untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak untuk memperoleh informasi yang diperlukan. Hak ini secara khusus diatur dalam Pasal 17 Pasal 1 angka 11, 12, dan 13, dan Pasal 15 ayat (2) huruf (d ).

Pengaturan ini tentang mekanisme penyelesaian sengketa pers menjadi kekhasan dalam Undang-undang ini. Beberapa mekanisme penyelesaian sengketa pers yang diatur dalam Undang-undang Pers adalah:

1. Penggunaan Hak Jawab

Adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya

2. Penggunaan Hak Koreksi

Adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain

3. Penggunaan Kewajiban Koreksi

Adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.32

Undang-undang Pers juga menerapkan asas imunitas bagi penyingkapan somber informasi dalam pemberitaan pers yang dikenal dengan hak tolak yaitu hak wartawan karena profesinya untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas Meskipun Undang Undang Pers tidak mengatur secara kaku tentang bagaimana penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa pers, tetapi kiranya Dewan Pers telah mengambil sikap sebagai forum konsiliasi dimana Dewan Pers bertindak sebagai konsiliator.

32


(39)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

lainnya dari somber berita yang harus dirahasiakannya.

Hak tolak ini dipergunakan untuk mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum jika keterangan tersebut diminta oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan. Namur hak tolak ini dapat dibatalkan oleh putusan pengadilan atas dasar kepentingan atau keselamatan negara atau ketertiban umum.

2. Kerangka Konsepsi

Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu sebagai berikut :

"Akta bawah tangan adalah akta yang dibuat dan dipersiapkan oleh pihakpihak dalam kontrak secara pribadi, dan bukan dihadapan notaris atau pejabat resmi lainnya (misalnya Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah).Dalam peraturan perundang-undangan disebutkan beberapa jenis kontrak yang harus dilakukan melalui akta otentik dan yang cukup dilakukan melalui akta bawah tangan. 33

Akta otentik adalah akta yang (dibuat) dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya. Arti sesungguhnya dari akta otentik adalah, akta-akta tersebut harus selalu dianggap benar, kecuali jika dibuktikan sebaliknya di muka pengadilan. Mengenai definisi dari akta otentik dituangkan dalam pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mengatakan bahwa,

33

lihat Penjelasan atas Peratum Pemerintah Nomor : 37 TAun 1998 Tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah.


(40)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

sehingga apabila di ambil point-poinnya, maka yang dimaksud sebagai akta otentik harus memenuhi kriteria, dimana bentuknya sesuai Undang undang.

Pejabat umum yang berwenang adalah pejabat yang memang diberikan wewenang dan tugas untuk melakukan pencatatan tersebut, misalnya, Pejabat Kantor Uruan Agama (KUA) atau pejabat catatan sipil yang bertugas untuk mencatat perkawinan, kelahiran dan kematian, PPAT atau Pejabat Pembuat Akta Tanah dan lain sebagainya.

Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan yang mana pihak yang satu berhak menunutut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.

Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.Kantor berita adalah perusahaan pers yang melayani media cetak, media elektronik, atau media lainnya serta masyarakat umum dalam memperoleh informasi.Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.34

Organisasi pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers. Pers nasional adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia. Pers

34


(41)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

asing adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan asing.35

35

Anwar Fuadi, Op.Cit, halaman 12.

Penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik.

Pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum.

Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.

Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan. Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan.


(42)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

1. Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriptif, artinya penelitian ini bertujuan untuk menggunakan menggambarkan secara karakteristik dari fakta-fakta untuk menentukan frekuensi sesuatu yang terjadi36

Dengan penelitian yang bersifat deskriptif dimaksudkan untuk melukiskan keadaan objek atau peristiwanya

di dalam menganalisa Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian di Bawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.

37

2. Jenis Penelitian

, kemudian menelaah dan menjelaskan Berta menganalisa data secara mendalam dengan mengujinya dari berbagai peraturan perundang yang berlaku maupun dan berbagai pendapat ahli hukum sehingga dapat diperoleh gambaran tentang data faktual berhubungan dengan Analisa Kekuatan Surat Per anjian Perdamaian di Bawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.

Jenis Penelitian hukum yang digunakan dalam tesis ini adalah metode pendekatan yuridis normatif yaitu dengan meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan terra penelitian, meliputi penelitian terhadap azas-azas hukum, sumber-sumber hukum. peraturan perundang-Undangan bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisa permasalahan yang dibahas.

Untuk mendukung penelitian normatif, ditlakukan wawancara dengan beberapa informan yang dianggap layak mengetahui proses dan peran di dalam

36

Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Garanit, Jakarta, halaman. 58.

37


(43)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

melakukan Analisis atas Kekuatan Surat Perjanjaian Perdamaian di Bawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Informasi yang didapat dari informan ini dijadikan sebagai data pendukung untuk menambah dan memperkuat data sekunder yaitu bahan-bahan primer, sekunder. dan tertier.

3. Bahan-Bahan Penelitian

Bahan-Bahan Penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan penelusuran kepustakaan yang berupa literatur dan dibantu dengan data yang diperoleh dari lapangan yang berkaitan dengan objek penelitian ini.

Dalam penelitian hukum normatif, data yang diperlukan adalah data sekunder38

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan peraturan. per-Undang-Undangan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Kitab Undang Undang Hukum Perdata dan Peraturan lainnya yang menyangkut dan berkaitan dengan penelitian ini.

Data sekunder dan bahan pustaka tersebut adalah sebagai berikut:

b. Bahan hukum sekunder, antara lain buku-buku rujukan, hasil karya ilmah dari kalangan hukum dan berbagai makalah yang berkaitan dengan penelitian ini. c. Bahan Hukum Terrier. antara lain berupa kamus umum, kamus hukum,

ensiklopedia, majalah, surat kabar, artikel dan jurnal jurnal hukum serta laporan

38

Abdul Kadir Muhammad. Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya, Bati, Bandung, 2004, halaman 121.


(44)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

ilmiah.

4. Alat Pengumpulan Data

Seluruh data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini, dikumpulkan dengan mempergunakan studi dokumen atau studi kepustakaan sebagai alas pengumpul data. Penelitian Pustaka dimaksud merupakan penelitian bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan, khususnya mengenai, Analisa Kekuatan Surat Pedanjian Perdamaian di Bawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.

Tahap awal pengumpulan data, dilakukan inventaris seluruh data dan atau dokumen yang relevan dengan topik pembahasan. Selanjutnya dilakukan pengkategorian data-data tersebut berdasarkan rumusan permasalahan yang telah ditetapkan. Data tersebut selanjutnya dianalisis dengan metode analisis yang sudah dipilih.

5.Analisis Data

Semua data yang diperoleh dari bahan pustaka serta data yang diperoleh di lapangan dianalisa secara kualitatif, Metode analisa yang dipakai adalah metode deduktif.

Melalui metode deduktif, data sekunder yang telah diuraikan dalam tinjauan pustaka secara komparatif akan dijadikan pedoman dan dilihat pelaksanaannya dalam melihat Undang-undang Nomor 40 tahun 1999, Tentang Pers dalam menyelesaikan sengketa para yang ter adi selama ini.


(45)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

selanjutnya dilakukan proses pengolahan data. Setelah selesai pengolahan data baru ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif. 39

39

Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Universitas Erlangga, Surabaya, halaman, 2. Prosedur Deduktif yaitu Bertolak dari Suatu Proposisi Umum yang KebenaranAva telah Diketahui dan Dtvakini dan Berakhirpada Suatu KesinWulan yang Bersifat Lebih Khusus. Pada Prosedur ini Kebenaran Pangkal Merupakan Kebenaran Ideal yang Bersifat Aksiomatik (Self Efident) yang Esensi Kebenarannya, Sudah Tidak Perlu Dipermasalahkan Lagi.

Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul baik melalui wawancara yang dilakukan, inventarisasi karya ilmiah, peraturan Perundang-undangan, yang berkaitan dengan judul penelitian baik media cetak dan laporan-laporan hasil penelitian lainnya untuk mendukung studi kepustakaan.

Kemudian baik data primer maupun data sekunder dilakukan analisis penelitian secara kuantitatif dan untuk membahas lebih mendalam dilakukan secara kualitatif. Sehingga, dengan demikian diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum yang ada dalam tesis ini.


(46)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

BAB II

KEKUATAN SURAT PERDAMAIAN DI BAWAH TANGAN DALAM KASUS PENYELESAIAN SENGKETA PERS

A. Tinjauan Umum Tentang Hukum Perjanjian

Sebagai mahluk sosial manusia selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Interaksi yang ter alin dalam komunikasi tersebut tidak hanya berdimensi kemanusiaan dan sosial budaya, namun juga menyangkut aspek hukum, termasuk perdata. Naluri untuk mempertahankan diri, keluarga dan kepentingannya membuat manusia berfikir untuk mengatur hubungan usaha bisnis mereka ke dalam sebuah perjanjian.

Dilihat dan pengertian yang terdapat dalam Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian ini mengandung kritik dari banyak ahli hukum, karnea menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat sepihak, padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik di


(47)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

kedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itu secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.

"Menurut Pasal 1320 KUHPerdata perjanjian harus memenuhi 4 syarat agar dapat memiliki kekuatan hukum dan mengikat para pihak yang membuatnya. Hal tersebut adalah: Kesepakatan para pihak, kecakapan untuk membuat perikatan (misal: cukup umur, tidak di bawah pengarnpuan dan lain-lain, menyangkut hal tertentu dan adanya causa yang halal.

Sedangkan menurut J, Satrio, dua hal yang pertama disebut sebagai syarat subyektif dan dua hat yang terakhir disebut syarat obyektif.

Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada syarat subyektif akan memiliki konsekwensi untuk dapat dibatalkan atau vernieligbaar. Dengan demikian selama perjanjian yang mengandung cacat subjektif ini belum dibatalkan, maka ia tetap mengikat para pihak layaknya perjanjian yang sah. Sedangkan perjanjian yang memiliki cacat pada syarat objektif atau hal tertentu dan causa yang halal, maka secara tegas dinyatakan sebagai batal demi hukum. Akibat timbulnya perjanjian tersebut, maka para pihak terikat didalamnya dituntut untuk melaksanakannya dengan baik layaknya undang-undang bagi mereka. Hal ini dinyatakan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu:

1. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

2. Perjanjian yang telah dibuat tidak dapat ditarik kembali kecuali adanya kesepakatan dari para pihak atau karma adanya alasan yang dibenarkan oleh undang-undang.

3. Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikat baik.40

"Ketentuan yang ada pada Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata memuat

40

Sumadio Suparlan, Melihat Surat Sebagai Alat Bukti Tertulis, Jakarta ; Harlan Terbit, Sebuah Opini, Edisi 23 Januari 2007, Halaman 8.


(48)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

asas dan prinsip kebebasan untuk membuat kontrak atau perjanjian. Dalam hukum perdata pada dasarnya setiap orang diberi kebebasan untuk membuat perjanjian balk dari segi bentuk maupun muatan, selama tidak melanggar ketentuan perundang-undangan, kesusilaan, kepatutan dalam masyarakat sebagaimana yang diatur dalam pasal 1337 KUHPerdata".41

Menurut KUHPerdata, bila salah satu pihak tidak menjalankan, tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian atau pun telah memenuhi kewajibannya namun tidak sebagaimana yang ditentukan, maka perbuatannya tersebut dikategorikan sebagai wanprestasi.

Setelah perjanjian timbul dan mengikat Para pihak, hal yang menjadi perhatian selanjutnya adalah tentang pelaksanaan pedanjian itu sendiri. Selama ini kerap timbul permasalahan.

42

Surat somasi tersebut harus menyatakan dengan jelas bahwa satu pihak telah melanggar ketentuan pedanjian di mana dalam surat tersebut di cantumkan pasal dan ayat yang dilanggar. Disebutkan pula dalam somasi tersebut tentang upaya hukum Dalam prakteknya untuk menyatakan seseorang telah melanggar pedanjian dan dianggap melakukan wanprestasi, ia harus diberi surat peringatan terlebih dahulu atau surat somasi.

41

Ibid

42


(49)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

yang akan diambil jika pihak pelanggar tetap, tidak mematuhi somasi yang dilayangkan.

Somasi yang tidak diindahkan biasanya akan diikuti dengan somasi berikutnya atau yang kedua dan bila hal tersebut juga tetap diabaikan, maka pihak yang dirugikan dapat langsung melakukan langkah-langkah hukum misalnya berupa pengajuan gugatan kepada pengadilan yang berwenang atau pengadilan yang ditunjuk atau ditentukan dalam perjanjian. Mengenai hal ini Pasal 1238 KUHPerdata menyebutkan, debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

Sebagai konsekwensi atas perbuatannya, maka pihak yang telah melakukan wanprestasi harus memberikan ganti rugi meliputi biaya-biaya yang telah dikeluarkan berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian, kerugian yang timbul akibat perbuatan wanprestasi tersebut serta bunganya.

Dalam pasal 1243 KUHPerdata disebutkan bahwa penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui tenggang waktu yang telah ditentukan.

Selanjutnya ditegaskan kembali oleh Pasal 1244 KUHPerdata bahwa debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu


(50)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tak terduga, yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk padanya.

"Berbeda halnya jika terjadi force majeur yaitu dalam keadaan memaksa atau hal-hal yang secara kebetulan satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka keharusan untuk mengganti segala biaya, kerugian dan bunga sebagaimana dinyatakan di atas tidak perlu dilakukan sebagaimana dalam Pasal 1245 KUHPerdata.

Salah satu inti dari pedanjian atau kontrak sebenarnya adalah itikat baik dari para pihak. Tanpa hal tersebut, sebaik dan sedetail apa pun perjanjian, tidak akan berarti apa pun kecuali hanya secarik kertas tanpa makna.

B. Perbedaan Akta Otentik dan Akta Dibawah Tangan

Akta otentik adalah akta yang dibuat dan dipersiapkan oleh notaris atau pejabat resmi lainnya. Misalnya Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah untuk kepentingan pihak-pihak dalam pembuatan akta jual beli tanah. Dalam peraturan Perundang-Undangan disebutkan beberapa jenis kontrak yang harus dilakukan melalui akta otentik dan yang cukup dilakukan melalui akta bawah tangan.

Surat sebagai alat pernbuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan surat bukan akta. Akta dapat dibedakan dalam akta otentik dan akta di bawah tangan. Sesuatu surat untuk dapat dikatakan sebagai akta harus ditandatangani. harus dibuat dengan sengaja dan harus untuk dipergunakan oteh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat. Sehingga surat yang tidak ditandatangani dapat dikategorikan sebagai surat bukan akta (vide Pasal 1869 KUHPerdata). Contoh surat bukan akta adalah tiket, karcis, dan lain sebagainya. Perbedaan pokok antara akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut. Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh


(51)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru. Sita, Pegawai Pencatatan Sipil), di tempat akta itu dibuat (vide pasal 1868 KUHPerdata, Pasal 165 Herziene Indonesich Reglemen ("THR"), dan Pasal 285 Rechtsreglement Buitengewesten ("RBg”)43

"Akta mempunyai fungsi formil atau formalitas causa dan fungsi sebagai alat bukti atau probationis taus. Akta sebagai fungsi formil artinya bahwa suatu perbuaan hukum akan menjadi lebih lengkap apabila dibuat suatu akta. Sebagai contoh perbuatan hukum yang harus dituangkan dalam bentuk akta sebagai syarat formil adalah perbuatan hukum disebutkan dalam pasal 1767 KUHPerdata mengenai perjanjian hutang piutang”

Akta di bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja (vide Pasal 1874 KUHPerdata da Pasal 286 RBg). Contoh dari akta otentik adalah akta notaris, vinis, surat berita acara sidang, proses verbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian, dan sebagainya, sedangkan akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli, dan sebagainya.

44

Minimal terhadap perbuatan hukum yang disebutkan dalam Pasal 1767 KUHPerdata, disyaratkan adanya akta bawah tangan. Fungsi akta lainnya yang juga merupakan fungsi akta yang paling penting adalah akta sebagai alat pembuktian. Dibuatnya akta oleh para pihak yang terikat dalam suatu perjanjian ditujukan untuk pembuktian di kemudian hari”.45

Akta otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Sebaliknya, akta di bawah tangan dapat menjadi alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya hanya apabila tanda tangan dalam akta di bawah tangan tersebut diakui oleh Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut (vide Pasal 165 HIR, Pasal 285 RBg, dan Pasal 1870 KUHPerdata).

43

Sumadio Suparlan, Op. Cit. halaman 8.

44

Sumadio Suparlan, Op.Cit, halaman 8

45


(52)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai. (vide Pasal 1857 KUHPerdata).46

C. Kedudukan Akta Otentik dalam Sistem Hukum Pembuktian

Alat bukti yang diajukan dalam acara persidangan di Pengadilan dapat dikategorikan sebagai : alat bukti yang mencapai batas minimal yang ditentukan hukum dan alat bukti yang tidak mencapai batas minimal, dimana yang terakhir dapat dikategorikan menjadi 2 bagian lagi yaitu, sebagai alat bukti yang tidak sah atau tidak memenuhi syarat dan sebagai alat bukti permulaan atau begin van bewijs.

Sebagai Batas Minimal Alat Bukti, Menurut M Yahya Harapan, "Secara teknik dan populer dapat diartikan yaitu suatu jumlah alat bukti yang sah yang paling sedikit hum terpenuhi, agar alat bukti itu mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk mendukung kebenaran yang dialilkan atau dikemukakan; apabila alat bukti yang diajukan di persidangan tidak mencapai batas minimal, alai bukti itu tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup untuk membuktikan kebenaran dalil atau peristiwa maupun pernyataan yang dikemukakan. 47

Alat bukti yang sah atau memenuhi syarat adalah alat bukti yang memenuhi syarat formil dan materiil, apabila alat bukti yang diajukan tidak memenuhi ke 2 syarat tersebut, maka alat bukti tersebut tidak sah sebagai alat bukti dan oleh karena itu tidak memenuhi batas minimal pembuktian. Alat bukti permulaan adalah alat bukti yang tidak memenuhi batas minimal pembuktian apabila tidak ditambah paling sedikit satu alat bukti lagi, contohnya sebagaimana tercantum dalam pasal 1905 KUHPerdata juncto pasal 169 HIR atas seorang saksi bukanlah saksi atau emus testis mullus testis; Agar dapat memenuhi ketentuan batas minimal, maka perlu ditambah satu alat bukti lagi.48

Patokan yang dapat digunakan agar alat bukti yang diajukan di persidangan mencapai batas minimal pembuktian adalah tidak tergantung pada jumlah alat bukti

46

Lihat Lebih Lanjut Dalam Pasal 1857 KUlPerdata

47

Teguh Yowono, Pembuktian Akta Otentik Sebagai Alat Bukii, Semarang : FH Univesitas Diponegoro, 2005, Halaman 6

48


(53)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

atau sebagai faktor kuantitas, namun pada faktor Icualitas alat bukti yaitu alat bukti yang memenuhi syarat formil dan materiil.

Setiap alat bukt i mempunyai syarat formil dan materiil yang berbeda-beda, misalnya alat bukti saksi, seperti: Syarat formil, orang yang tidak dilarang menjadi saksi (Pasal 1910 KIJBPerdata, Pasal 145 jo Pasal 172 HIR); mengucapkan sumpah menurut agama atau kepercayaannya sesuai Pasal 1911 KUHPerdata. Syarat materiil; keterangan yang diberikan berisi segala sebab pengetahuan bukan berdasarkan pendapat atau dugaan yang diperoleh dengan menggunakan pikiran sesuai pasal 1907 KUHPerdata jo Pasal 171 HIR, keterangan yang diberikan saling bersesuaian dengan yang lain atau alat bukti lain (Pasal 1906 KUHPerdata jo Pasal 170 HIR).

Tidak seperti di dalam sistem pembuktian dalam Hukum Pidana yang tidak mengenal alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan, maka di dalam sistem pembuktian dalam Hukum Perdata, setiap alat bukti memiliki batas minimal dan nilai kekuatan pembuktian yang berbeda-beda.

Nilai kekuatan pembuktian atau bewijskracht yang melekat pada Akta Otentik diatur dalam Pasal 1870 KUHPerdata jo Pasal 285 RBG adalah sempurna atau volledig bewijskracht, dan mengikat atau bindende bewijskracht, sehingga Akte Otentik dapat berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan atau dukungan alat bukti yang lain, dengan kata lain Akta Otentik yang berdiri sendiri menurut hukum telah memenuhi ketentuan batas minimal pembuktian.


(1)

dan pengkriminalisasian terhadap jurnalis dalam menjalankan profesi jurnalistiknya. Oleh karena itu, pihak yang merasa dirugikan karena pemberitaan pers lebih memilih jalur pintas. Mereka melaporkan jurnalis yang dianggap merugikan tersebut langsung ke kepolisian. Dengan tuduhan penghinaan, pencemaran nama baik dan sebagainya. Sehingga untuk itu, sengketa pers harus diselesaikan dengan mempergunakan dan mengacu pada. Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 yang sudah jelas mengatur mekanisme/prosedur penyelesaian sengketa akibat pemberitaan, pers, yakni hak jawab dan penyelesaian melalui Pengadilan atau Hakim merupakan benteng terakhir dari keadilan.

B. Saran

1. Pemerintah hendaknya membuat sebuah lembaga mediasi dalam menyelesaikan kasus sengketa pers di Indonesia, dimana keputusan lembaga itu harus benarbenar mengikat para pihak secara hukum, apalagi lembaga mediasi penyelesaian kasus sengketa pers ini akan terdiri dari perwakilan lembaga organisasi pers, pemerintah, aparat penegak hukum dan tokoh-tokoh masyarakat. 2. Pemerintah hendaknya membuat standar baku tentang peranan dan kedudukan

wartawan sebagai institusi pers yang profesional dengan membuat standarnisasi sebagai sebuah profesi yang profesional, sehingga untuk kedepan diharapkan peranan wartawan benar-benar dapat menjalankan kode etik dan melaksanakan sepenuhnya ketentuan yang telah diatur di dalam. Undang-undang Pokok Pers dalam menjalankan tugas jumalistik.


(2)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, 2009.

3. Pemerintah hendaknya benar-benar melindungi kepentingan kebebasan pers dimana, kebebasan pers tersebut adalah sebagai pelaksana kontrol sosial dalam upaya menjaga dan mengawal pemerintahan yang bersih di Indonesia yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme serta penyimpangan-penyimpangan lain, oleh karena itu pemerintah hendaknya benar-benar memberikan ruang yang benarbenar bebas kepada institusi pers dalam membuat berita atau opini yang tetap dilaksanakan berdasarkan ketentuan Undang-undang Pokok Pers.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

D. Buku-Buku dan Makalah

Adam, Muhammad, 1985, Asal usul Sejarah Notaris, Sinar Baru, Bandung. ___________, 1985, Notaris dan Bantuan Hukum, Sinar Baru, Bandung Andasasmita, Komar, 1981, Notaris 1, Sumur, Bandung

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987.

Badrulzaman, Mariam Darus, KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, 1983.

Bachtiar, Da'ia, Kedudukan dan Fungsi Akta Otentik Sebagai Alat Bukti dalam Pandangan Polti, Penerbit Renvoi, Jakarta, 2003.

Em Zul Fajri dan Ratu aprilla Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Difa Publisher

Hadi, Sutrisno, 1989, Metodologi Research, Andi Offset, Yogyakarta.

Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung.

Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembulwan, Putusan pengaddan, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

_______, Ruang Lingkkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Edisi Kedua, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2000.

Jaya, Nyoman Serikat Putra, 2008, Beberapa Pemikiran Kearah Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Kie, Tan Thong, 2000, Buku I Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, PT Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta.


(4)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, 2009.

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Kohar, A, 1994, Notarls Berkomunikasi, Alumni, Bandung

Kusumaatmadja, Mochtar, 1967, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung.

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kuantitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung. Nasution, Abdul Karim, 1975, Masalah Hukum Pembuktian Dalam Proses Pidana,

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Lumban Tobing, G.H.S., Peraturan dabatan Pejabat Umum, Cetakan Ke-3, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1996.

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1994.

Moleong, J. Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Edisi Revisi, Remaja Rosdakarya, 2005.

Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penennian Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993.

Muda, Ahmad. A.K. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Penerbit Reality Publisher, 2006.

Notodisoedo. R. Soegondo, Hukum Notariat di Indonesia (Suatu penjelasan), Penerbit Raja Grafindo Persadaan, Jakarta, 1993.

Sembiring. M.U, 1997, Teknik Pembuatan Akta, Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan

Soekanto, Soejono dan Sri Mamudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soemitro, Ronny Hanitijo, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta.

________, 1982, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Subagio, P, Joko, Metodo Penelitian dalam Teori dan Praktek, 1996, Rineka Cipta. Subekti, R, 1983, Hukum Pembuktian, Pradya Paramita, Jakarta.


(5)

Subrata, Purwoto Ganda, 1998, Peranan Notaris Sebagai Pejabat Umum di Dalam Bidang Hukwn, Renungan Hukum IKAHI, Jakarta.

Sunggono, Bambang, 1997, Metode Penelitian Hukum, PT. raja Grafindo Persada, Jakarta.

Suryabrata, Samadi, 1998, Metodologi Penelitian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soemitro, Ronny Hantijo, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Ghalian Indonesia, 1982.

Satrio, J, Hukum Jaminan Kebendaan Fidusia, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.

Sitorus, Oloan dan Darwinsyah Minim, Cara Penyelesaian Karya Ilmiah di Bidang Hukum Cetakan Kedua, Penerbit Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, 2006.

Subekti, R. Dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1985.

Subekti, R., Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989.

Supandi, Kepatuhan Hukum Pejabat dalam Mentaati Putusan Peradilan Tata Usaha Negara di Medan, Disertasi, Program Doktoral (S3) Ilmu Hukum, Sekolah Pasca Sar ana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2005.

Usman, Rachmadi, Pilihan Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan, Bandung Citra Aditya Bakti, 2003.

Waluyo, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 1996.

Wigjosoebroto, Sutandyo, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Surabaya : Kertas Kerja, Universitas Erlangga.

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.


(6)

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, 2009.

B. Perundang-Undangan dan Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.