Kriminalisasi Kasus Bersihar Lubis Dalam Sengketa Pers

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, 2009. 63 kemerdekaan pers. Hal ini bukanlah tidak mungkin ketiadaan standar hukum atau setidaknya yurisprudensi yang mampu menjadi rujukan bagi para penegak hukum dalam berhadapan dengan pers. Selain itu secara ekonomis, perkembangan industri media atau pers di masa sekarang tumbuh menjadi basis ekonomi yang penting. Hal ini bukan saja karena semakin banyaknya pers yang tumbuh dan menyerap tidak hanya tenaga profesional tapi juga angkatan kerja pendukung. Tapi juga, industri pers telah melahirkan dan menjadi lahan suburnya industri kreatif, terlihat dengan munculnya media online, industri iklan dan sebagainya. Disisi lain, perlindungan korban tidak dapat diabaikan begitu saja atas narna demokrasi dan kemerdekaan pers. Pers atau media harus bertanggung jawab atas pencemaran yang mereka buat.

H. Kriminalisasi Kasus Bersihar Lubis Dalam Sengketa Pers

Dalam kasus sengketa pers dapat di lihat duduk perkaranya sebagaimana salinan pembelaan perkara tersebut yang akan di analisa secara analisa yuridis, dimana dalam perkara atau sengketa pers tersebut, Bersihar Lubis yang selanjutnya di sebut Terdakwa pada intinya mendalilkan bahwa: Terdakwa tidak melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 207 KUHP karena menurut Terdakwa menulis opini di surat kabar adalah sebuah bentuk dan wujud ekspresi bangsa Indonesia dalam menyatakan pendapat sebagamana dibenarkan dalam Pasal 28 UUD 1945. bahkan merupakan bagian dari Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, 2009. 64 alam demokrasi di Indonesia. 65 Pembelaan Pledooi dari Terdakwa tersebut, maka menurut pendapat kami butir-butir Pembelaan Pledooi yang diajukan oleh Terdakwa tidaklah didasarkan atas keterangan yang akurat dan hanyalah mengada-ada, penuh dengan manipulasi dan terkesan sekali sangat dipaksakan. Namun demi menjunjung tinggi azas peradilan yang objektif dan tidak memihak Berta azas praduga tak bersalah, kami Jaksa Penuntut Umum akan menanggapi Pembelaan Pledooi Terdakwa sebagai berikut: Surat Dakwaan Penuntut Umum tidak lengkap, kabur dan tidak jelas karena hanya mendakwa Terdakwa sendirian saja dan seharusnya Terdakwa diadili berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999. Mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 0 13 -022PUU-IV2006. 66 Berdasarkan keterangan yang terungkap di persidangan, Saksi Joesoef Isak ketika berbicara di Paris pada tahun 2004, ia melakukannya secara spontan tanpa Mengenai butir pertama dalil Terdakwa dalam analisa yuridis Pembelaannya, perlu kami tanggapi bahwa keterangan yang diberikan oleh para Saksi dan Ahli di dalam persidangan sebelum ini adalah keterangan yang diberikan dibawah sumpah. Sehingga semua keterangan tersebut jelas sekali dapat digunakan untuk mendukung pembuktian dan menambah keyakinan Majelis Hakim bahwa Terdakwa memang telah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan kepadanya. Lebih lanjut kami ingin membuktikan sekali lagi mengapa Terdakwa dapat dipersalahkan karena telah melanggar Pasal 207KUHP. 65 Lihat lebih detail salinan pembelaan perkara Bersihar Lubis, Pembelaan Pledooi dari Terdakwa tersebut dalam kasus sengekta pers Koran Tempo edisi dan penerbitan pada tanggal 17 Mafet 2007. 66 Azas praduga tak bersalah, adalah ketika seseorang sebelum di putuskan pengadilan wajiban pendapat perlindungan belum bersalah sampai hakim memutuskan bersalah atau tidak. Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, 2009. 65 teks. Dan dalam Pembelaannya Terdakwa berulangkali mendalilkan bahwa ia dalam opininya di Koran Tempo pada tanggal 17 Maret 2007 hanya mengutip pidato Saksi Joesoef Isak di Paris pada tahun 2004. 67 Terdakwa pada saat menuliskan opininya di Koran Tempo pada tanggal 17 Maret 2007 memang tidak pemah mendasarkan opininya tersebut pada ucapan Saksi Joesoef Isak di paris pada tahun 2004, melainkan mempergunakan teks pidato Saksi Joesoef Isak di Fordham University, New York pada tahun 1999 dan kemudian dengan teks tersebut Terdakwa seolah-olah sedang mengutip perkataan Saksi Joesoef Isak di Paris pada tahun 2004. Dalam hal ini Terdakwa jelas sekali memang telah dengan sengaja di muka umum dengan tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia dengan secara sengaja menggunakan kata-kata Saksi Joesoef Isak di Fordham University, New York pada tahun 1999 dan lalu menjadikan kata-kata tersebut sebagai kata-kata Terdakwa sendiri, yang lalu Terdakwa tuliskan dalam opininya di Koran Tempo pada tanggal 17 Maret 2007, namun dengan cara seolah-olah Terdakwa sedang mengutip kata-kata Saksi Joesoef Isak ketika berbicara di Paris pada tahun 2004. Dari pernyataan Terdakwa ini, kami sekali lagi . ingin membuktikan bahwa Terdakwa memang telah dengan sengaja di muka umum dengan tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia. Dalam hal ini jelas sekali bahwa Terdakwa tidak mengutip ucapan Saksi Joesoef Isak ketika berbicara di Paris pada tahun 2004 sebagaimana berulangkali dikatakan oleh Terdakwa dalam Pembelaannya. 68 Hal ini tentunya adalah suatu perbuatan licik yang sangat kejam karena akibat perbuatan Terdakwa ini bisa saja malah Saksi Joesoef Isak yang dituduh telah dengan 67 Bahwa Bersihar Lubis hanyalah mengutip teks pidato Joesoef Isak di Fordham University, New York pada tahun 1999. bahkan Joesoef Isa mengakui adanya istilah kata `idicy dalam pidatonya tersebut dan di tulis oleh Bersihar Lubis dalam opininya di Koran Tempo pada tanggal 17 Maret 2007, sebagaimana keterangan Saksi dalam persidangan yang di kutip Kompas edisi 4 April 2008, halaman 2. 68 Ibid. Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, 2009. 66 sengaja di muka umum dengan tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia. Padahal hal itu sebenarnya dilakukan oleh Terdakwa. Selanjutnya kami juga ingin menanggapi pernyataan Terdakwa yang secara panjang lebar berusaha menjelaskan bahwa ada beberapa istilah dalam bahasa Indonesia yang sebenamya memiliki arti lebih dari satu, bahkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. 69 dungu memiliki arti sangat tumpul otaknya; tidak cerdas; bebal; bodoh. Selain arti tersebut Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak mengartikan kata dungu dengan arti lain. Mengenai hal tersebut, perlu kami informasikan dan tegaskan disini bahwa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagaimana tertera pada halaman 279, kata 70 Oleh karena itu jelas sekali ketika Terdakwa menuliskan opini yang berjudul Kisah Interogator Dungu maka disini Terdakwa jelas sekali menghina dengan menyatakan secara tertulis bahwa Kejaksanaan Republik Indonesi sangat tumpul otaknya; tidak cerdas, bebal, bodoh. Tidak ada makna lain dari kata dungu yang dituliskan oleh Terdakwa selain dari arti sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Lagi pula, apabila Terdakwa, sebagaimana selalu Terdakwa katakan, tidak pernah menghina dengan kata dungu tersebut, maka mengapa Terdakwa harus bersusah payah untuk membuktikan bahwa kata dungu sebagiamana Terdakwa tulis tersebut memiliki arti lain, yaitu ketidaktahuan 71 69 Lihat Pembelaan Terdakwa mulai dari halaman 12-14. 70 Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Balai Pustaka: Jakarta, 2001, halaman 279 71 Lihat Pembelaan Terdakwa pada halaman 13 paragraf 3 Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, 2009. 67 Apabila memang bukan Terdakwa yang menghina dengan kata dungu tersebut, maka Terdakwa tidak perlu takut dihukum karena memang bukan Terdakwa yang melakukan penghinaan tersebut, meskipun. kata dungu itu memiliki arti yang menghina. Hal ini tentunya merupakan suatu petunjuk bagi Majelis Hakim bahwa Terdakwa memang dengan sengaja menyatakan secara tertulis di Koran Tempo tanggal. 17 Maret 2007, bahwa Kejaksaan Republik Indonesia dungu. Lebih lanjut, Terdakwapun mengakui dalam Pembelaannya bahwa is memang sengaja menuliskan kata dungu tersebut dalam opininya di Koran Tempo tanggal 17 Maret 2007. 72 Apa yang Terdakwa kemukakan dalam Pembelaannya, yaitu kasus gugatan Meskipun Terdakwa mengatakan bahwa hal itu tidak dimaksudkan untuk menghina siapapun, yang jelas akibat tindakan Terdakwa tersebut Kejaksanaan Republik Indonesia telah terhina dan ketika menuliskan penghinaan tersebut Terdakwa lakukan dengan sengaja, yang mana Terdakwa maksudkan sebagai sebuah kritik. Dari pernyataan-pernyataan. Terdakwa dalam. Pembelaannya tersebut, maka jelas sekali perbuatan yang Terdakwa lakukan telah memenuhi semua rumusan unsur- unsur yang terdapat dalam Pasal 207 KUHP, sehingga dengan demikian jelas sekali Terdakwa dapat dipersalahkan karena telah melanggar ketentuan Pasal 207 KUHP. Mengenai butir kedua Pembelaan Terdakwa, pertama-tama perlu kami jelaskan kepada Terdakwa bahwa ada perbedaan antara acara persidangan dalam suatu perkara perdata dengan acara persidangan dalam suatu perkara pidana. 72 Lihat Pembelaan Terdakwa pads halaman 20 paragraf 2-4 dan pads halaman 21 paragraf 5 baris 7-8. Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, 2009. 68 Wiranto berbeda sekali dengan perkara dimana Terdakwa diadili sekarang ini. Pada kasus gugatan Wiranto, acara yang diperugnakan adalah hukum acara perdata, sehingga memang dikenal istilah gugatan tidak dapat diterima karena tergugat kurang lengkap. Namun dalam kasus Terdakwa pads saat ini hukum acara pidana, sehingga tidak dikenal istilah gugatan tidak dapat diterima karena tergugat kurang lengkap. Alasannya adalah pertama, istilah yang dipergunakan dalam hukum acara pidana bukanlah gugatan melainkan dakwaan sehingga pihak yang berperkara dikenal dengan istilah Penuntut Urnum dan Terdakwa bukanlah Penggugat dan Tergugat. Kedua, apabila memang tern y ata selain Terdakwa ada juga pihak lain yang juga dengan sengaja di muka umum dengan tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada, di Indonesia, maka pihak tersebut dapat juga disidik oleh Kepolisian dan kemudian didakwa oleh Penuntut Umum di kemudian hari dalam perkara yang terpisah dari perkara Terdakwa ini baik itu sebagai pelaku ataupun dalam kapasitasnya sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP ataupun Pasal 56 KUHP. Sehingga semua yang Terdakwa katakan perihal ini dalam Pembelaannya jelas sekali merupakan suatu hal yang berbeda sama sekali dengan perkara Terdakwa dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan perkara Terdakwa ini dan sudah selayaknya tidak perlu dipertimbangkan oleh Majelis Hakim. Mengenai Pembelaan Terdakwa yang menyatakan bahwa seharusnya Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, 2009. 69 Terdakwa, diadili berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, maka dapat kami katakan bahwa, pernyataan Terdakwa tersebut sangatlah tidak beralasan dan karenanya tidak perlu dipertimbangkan oleh Majelis Hakim. Alasan kami menyatakan hal tersebut adalah karena yang diadili dalam perkara ini adalah Terdakwa Bersihar Lubis sebagai ornag yang telah melakukan tindak pidana dengan sengaja di muka umurn dengan tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, dan bukannya perusahaan yang menerbitkan Koran Tempo. Apa yang Terdakwa kemukakan dalam Pembelaannya pada halaman 23 paragraf 4-6 dan pada halama 24 paragraf 1-2 sama sekali tidak ada hubungannya dengan perkara dimana Terdakwa diadili saat ini. Apabila Terdakwa mendalilkan Pasal 12 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 untuk juga meminta pertanggung jawaban Koran Tempo atas perbuatan yang telah Terdakwa lakukan, maka hal tersebut jelas sekali tidak ada hubungannya dengan apa yang telah Terdakwa lakukan. Pasal 12 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 berikut penjelasannya hanya menyatakan kewajiban sebuah perusahaan pers untuk mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan, khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan. Dan hal tersebut dilakukan dengan cara media cetak memuat kolom nama, alamat, dan penanggung jawab penerbitan serta nama dan alamat percetakan. Tujuan dari ketentuan tersebut sebenarnya bukanlah seperti apa yang Terdakwa dalilkan dalam Pembelaannya. Tujuan dari ketentuan Pasal 12 Undang- Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, 2009. 70 undang Nomor 40 Tahun 1999 tersebut sebenarnya dimaksudkan agar tidak ada media cetak yang diterbitkan tanpa adanya nama, alamat dan penanggung jawab serta nama dan alamat percetakan media cetak tersebut. Ketentuan ini dibuat oleh pembuat undang-undang dengan tujuan agar apabila ada pihak yang keberatan atas berita dan opini pada suatu media cetak, maka pihak yang berkeberatan tersebut tabu kemana is harus melayangkan keberatannya tersebut. Jadi jelas sekali ketentuan Pasal 12 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers sebagaimana didalilkan Terdakwa tersebut tidak ada hubungannya sama sekali dengan tindak pidana yang Terdakwa lakukan, sehingga memang Terdakwa tidak akan diadili dengan menggunakan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, melainkan dengan menggunakan KUHP, karena Terdakwa memang telah melanggar Pasal 207 KUHP. 73 Putusan Mahkamah Agung Nomor 013-022PUU-IV2006 sebagaimana dimaksudkan oleh Terdakwa hanyalah memutuskan perihal status Pasal 134, 136 dan 137 KUHP. Putusan tersebut sama sekali tidak memberikan putusan perihal status pasal 207 KUHP. Dengan demikian maka apa yang dikemukakan oleh Terdakwa dalam Pembelaannya tersebut menjadi sangatlah tidak relevan. Selain itu Terdakwa juga telah melakukan kebohongan publik dengan mengatakan bahwa, dengan kata lain, Mahkamah Konstitusi menempatkan Pasal 207 ini sebagai delik aduan. Mengenai butir ketiga Pembelaan Terdakwa, maka dapat kami kemukakan sekali lagi bahwa apa yang Terdakwa kemukakan dalam Pembelaannya ini sama sekali tidak berdasar, hanya mengada-ada dan cenderung merupakan sebuah kebohongan public. 74 73 Lihat Ketentuan Pasal 12 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. 74 Lihat Pembelaan Terdakwa pads halaman 25 paragraf 5 baris 4-5. Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, 2009. 71 Pada kenyataan Mahkamah Agung sama sekali tidak pernah mengatakan hal sebagaimana Terdakwa nyatakan dalam Pembelaannya, karena selain Putusan yang menjadi rujukan Terdakwa ketika Terdakwa menyatakan dalilnya tersebut memang tidak membahas mengenai Pasal 207 KUHP, Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya tersebut sebenamya hanya menyatakan sebagai berikut: Menimbang bahwa dalam kaftan pemberlakuan Pasal 207 KUHPidana bagi delik penghinaan terhadap Presiden danatau Wakil Presiden sebagaimana hainya dengan penghinaan terhadap penguasa atau badan publik gestelde macht of openbaar lichaam lainnya, memang seharusnya penuntutan terhadap dilakukan atas dasar pengaduan bij klacht. Di beberapa negara antara lain Jepang, penghinaan terhadap Kaisar, Ratu, Nenek Suri, Ibu Suri, atau ahli waris kekaisaran hanya dapat dituntut atas dasar pengaduan. Article 232 2 The Penal Code of Japan menentukan bahwa Perdata Menteri akan membuatkan pengaduan atas nama Kaidsar, Ratu, Nenek Suri, Ibu Suri guna pengajuan penuntutan, dan apabila penghinaan dimaksud dilakukan terhadap seorang raja atau presiden suatu negeri asing, maka wakil negeri yang berkepentingan itu yang akan membuat pengaduan atas namanya. 75 Oleh karena itu, hingga detik ini, Pasal 207 KUHP jelas sekali masih tetap berlaku bukanlah merupakan suatu delik aduan. Dengan demikian, Saksi Pudin Saprudin juga tidak perlu dipertanyakan legal standingnya, karena pasal 207 KUHP merupakan delik laporan dan suatu delik laporan sama sekali tidak memerlukan adanya suatu pengaduan, sehingga semua orang tanpa adanya kuasa dari siapapun berhak, bahkan berkewajiban untuk melaporkan adanya 75 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022PULJ-IV2006 tanggal 6 Desember 2006, halaman 60-61. Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, 2009. 72 suatu tindak pidana yang terjadi. 76 Dalam Surat dengan panjang lebar menguraikan mengapa Terdakwa Bersihar Lubis dapat dan karenanya hares dipersalahkan karena telah melakukan tindak pidana yang melanggar Pasal 207 KUHP. Dalam uraian kami tersebut jelas sekali dan tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Terdakwa memang telah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaannya. Dengan demikian maka segala apa yang dikemukakan oleh Terdakwa dalam Pembelaannya tersebut menjadi sangat tidak relevan dan tidak perlu dipertimbangkan oleh Majelis Hakim. 77 Sebuah demokrasi yang tanpa aturan dapat dipastikan akan berujung pada Oleh karena itu dalam menaggapi Pembelaan yang dilakukan oleh Terdakwa kami tetap dengan pendapat kami sebagaimana kami nyatakan melalui Surat Tuntutan kami, karena apa yang dikemukakan oleh Terdakwa dalam Pembelaannya sama sekali tidak berdasar, hanya mengada-ngada saja dan karenanya harus ditolak. Ketika Terdakwa merindukan hukurn Indonesia yang demokratis, namun hal itu tidak berarti bahwa Terdakwa ketika dalam mempraktekkan dan menikmati demokrasi tersebut dapat melakukannya dengan sekehendak hatinya dan bahkan dengan cara. menghina. Satu hal yang perlu diingat bahwa demokrasi juga memerlukan norma- norma dan aturan-aturan dalam, pelaksanaannya. 76 Pasal 207 KUHP jelas sekali masih tetap berlaku bukanlah merupakan suaut delik aduan atas terjadinya tindak pidana yang terjadi. 77 Jaksa Penuntut Umum mendalilkan bahwa Bersihar Lubis berdasarkan Pasal 207 KUHP tidak perlu mendapat pengaduan atas tindakannya dalam kasus sengketa pers tersebut. Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, 2009. 73 anarki. Penulis opini di media cetak juga Manusia, dan karenanya bahkan Terdakwa pun tidak akan dapat lolos dari hukum apabila ia telah melakukan suatu tindak pidana, dan ternyata Terdakwa ketika mempraktekkan demokrasinya memang telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam pawl 207 KUHP. 78 Sayangnya saat ini seorang yang bernama Bersihar Lubis telah melanggar aturan tersebut, Terdakwa ketika menyampaikan ketidak setujuannya terhadap tindakan Kejaksaan Republik Indonesia yang melakukan pelarangan peredaran buku Sejarah SMP dan SMU telah melakukannya dengan menghina Kejaksaan Republik Indonesia dengan menyebutnya sebagai interogator yang dungu. Dan karenanya telah melanggar Pasal 207 KUHP. Penyampaian aspirasi telah ada aturannya, bahkan tindakan manusia pun dalam kehidupan sehari-hari dan dalam hubungannya dengan orang, Penguasa ataupun Badan Umum dan lingkungan sekitarnya telah pula ada aturannya, salah satunya adalah aturan-aturan yang terdapat di dalam KUHP. 79 Perlu kiranya kita mulai menanamkan suatu pemikiran, setidaknya sejak saat ini, bahwa seorang penulis opini, apalagi yang sudah memiliki jam terbang yang luar biasa seperti halnya Terdakwa, seorang yang terpelajar dan memilki pengetahuan yang relatif lebih banyak di antara bangsa Indonesia lainnya pada saat ini, dapat memberi Ketika, kita bertindak dan bahkan dalam bertutur kata, kita hendaknya harus selalu mempergunakan akal sehat kita dan janganlah melakukan tindakan yang melanggar hukum, meskipun awalnya niat kita adalah melakukan suatu tindakan yang baik dalam suatu alarn demokrasi. 78 Mat Perbandingan Pasal 207 dengan Pengaturan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999. 79 Lihat lebih jelas dalam Pasal 207 KUIP Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, 2009. 74 contoh bahwa seorang intelektual dalam berdemokrasi melakukannya dengan penuh kesopanan, kesantunan, kearifan serta penuh tanggung jawab. Oleh karena itu demi tegaknya kepastian hukum dan ketertiban di masyarakat, sangatlah perlu dibuat suatu yurisprudensi ataupun sebuah kasus dan penyelesaiannya yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi seluruh bangsa Indonesia ini, khususnya para intelektual untuk dikemudian hari dapat bertindak lebih arif dan bijaksana dalam kehidupannya. Karena sangatlah berbahaya apabila tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa ini diikuti oleh orang lain yang mungkin tingkat pendidikannya lebih rendah. Orang- orang semacam itu tentu akan dengan mudahnya mengatakan hal-hal yang jauh lebih tidak sopan dan lebih menghina daripada apa yang telah Terdakwa katakan. Sudah saatnya kita sekarang kembali menciptakan sebuah persepsi yang baik dimata masyarakat untuk mewujudkan kepastian hukum dan ketertiban yang selama ini selalu didambakan oleh masyarakat. Marilah kita mulai memperbaiki citra aparat penegak hukum dimasyarakat agar masyarakat melihat bahwa aparat penegak hukum benar-benar menjaga ketertiban, keamanan dan menegakkan hukum secara adil. Salah satu langkah awal untuk melakukan hal tersebut adalah dengan tegas menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa tidaklah dapat dibenarkan dan merupakan tindakan yang melanggar hukum. Oleh karena itu tidak ada kata lain selain menyatakan bahwa Terdakwa memang bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja di muka umum dengan tulisan menghina suatu penguasa atau badan Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, 2009. 75 umum yang ada di Indonesia, dan bahwa tindakan Terdakwa tersebut bukanlah tindakan yang perlu untuk dilaksanakan dalam menyampaikan aspirasinya di alam demokrasi di Indonesia ini. Berdasarkan uraian-uraian diatas, jelas sekali bahwa apa yang didalilkan oleh Terdakwa dalam Pembelaan Pledooinya adalah sangat tidak berdasar, penuh dengan manipulasi fakta dan hanyalah mengada-ada saja. Semua hal yang Jaksa Penuntut Umum nyatakan, baik itu dalam surat dakwaan maupun surat tuntutan sudahlah tepat dan sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Sesuai dengan kenyataan yang ada Jaksa Penuntut Umum juga telah menggambarkan dan membuktikan rangkaian perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa sehingga telah dapat dibuktikan bahwa Terdakwa memang benar telah melakukan tindak pidana dengan sengaja di muka umum dengan tulisan menghina suaut penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 207 KUH. Oleh karena itu sudilah kiranya Majelis Hakim menjatuhkan putusan terhadap Terdakwa Bersihar Lubis, sesuai dengan surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, 2009. 76

BAB III PENYEBAB TERJADINYA PELANGGARAN DAN