+ + : Hifa agak merata dan tipis
+ + + : Hifa agak merata dan agak tebal
+ + + + : Hifa merata dan tebal
b. Tekstur +
: Empuk, ketika diiris kedelai banyak rontok + +
: Empuk, ketika diiris kedelai sedikit rontok + + +
: Empuk, ketika diiris tidak ada kedelai yang rontok Penggunaan laru hasil penelitian ini hampir sebanding dengan penggunaan
laru pasar. Menurut Sarwono 2006, laru pasar biasanya digunakan sebanyak satu sendok makan 12 gram untuk tiap kilogram kedelai. Sedangkan laru hasil
penelitian ini digunakan sebanyak 10 gram untuk tiap kilogram kedelai. Perhitungan total kapang laru pasar dan laru penelitian dapat dilihat pada Tabel
10.
Tabel 10. Perbandingan total kapang laru pasar dan laru penelitian
Jenis Laru Jumlah
Penggunaan gr Total Kapang
CFUgr Total Kapang
kg kedelai Laru Pasar
12 1,8 x 10
7
2,2 x 10
8
Laru Penelitian 10
2,4 x 10
7
2,4 x 10
8
Dari Tabel 10 dapat diketahui bahwa jumlah penggunaan laru penelitian hampir setara dengan laru pasar. Namun, dengan jumlah yang lebih sedikit, yakni
10 gram, laru penelitian memiliki nilai total kapang sedikit lebih besar daripada nilai total kapang laru pasar.
6. PENYIMPANAN LARU TEMPE
Pada tahapan ini, diproduksi laru dari substrat terbaik beras: onggok = 1:3 dengan jumlah spora awal inokulasi 10
5
gram substrat dengan lama pengeringan selama 48 jam. Produksi laru ini ditingkatkan ke skala yang lebih
besar, yaitu 500 gram yang kemudian dikemas dan disimpan dengan metode yang umum digunakan dikalangan pengrajin tempe Indonesia, yakni dikemas dengan
menggunakan plastik polietilen LDPE Low Density Poly Ethylene pada suhu
ruang. Setiap minggu dilakukan analisis terhadap total kapang, TPC, serta kualitas tempe yang dihasilkan. Hasil data penyimpanan selama 6 minggu dapat dilihat
pada Gambar 15.
y = -0,0779x + 7,5057 R
2
= 0,6494 y = -0,0918x + 7,5343
R
2
= 0,7766
6,5 6,6
6,7 6,8
6,9 7
7,1 7,2
7,3 7,4
7,5
1 2
3 4
5 6
Minggu ke- L
o g
CF U
g r
Total kapang TPC
Linear TPC Linear Total kapang
Gambar 14. Total kapang dan TPC laru selama penyimpanan pada suhu ruang
Laru yang dibuat pada dasarnya adalah massa spora kapang yang berada pada keadaan dorman. Spora dorman memiliki sifat yang berbeda dengan sel
vegetatif, antara lain tahan terhadap keadaan ekstrim suhu, kekeringan, dan bahan kimia dan aktivitas metabolismenya rendah Sussman dan Halvorson, 1966.
Spora dorman masih dapat melakukan aktivitas metabolik respirasi dengan laju yang jauh lebih lambat dibandingkan sel vegetatifnya. Spora dorman dapat
menjadi aktif apabila terdapat aktifator, antara lain; suhu, cahaya, air, zat gizi, dan beberapa bahan kimia, misalnya garam amonium Sussman dan Halvorson, 1966.
Berdasarkan hal tersebut, dapat diduga bahwa penurunan viabilitas spora kapang selama masa penyimpanan dapat disebabkan karena adanya perubahan
suhu dan keberadaan air kadar air bahan. Dalam penelitian ini, penurunan viabilitas spora kapang yang terjadi hingga minggu ke-6 penyimpanan dapat
disebabkan oleh faktor kelembaban serta kadar air bahan. Wang
et al. 1975 mengungkapkan bahwa spora kapang dapat disimpan
dalam rentang suhu 4ºC hingga 22ºC. Namun, efektivitas penyimpanan dalam mengurangi penurunan viabilitas spora kapang laru tempe pun sangat beragam.
Selain suhu, lamanya waktu penyimpanan serta RH kelembaban pun mempengaruhi besarnya penurunan viabilitas spora kapang.
Shurtleff dan Aoyagi 1979 menyatakan beberapa hal yang terkait dengan penyimpanan laru, antara lain; 1 kecepatan spora untuk bergerminasi akan
menurun sekitar 35 setalah 6 minggu penyimpanan pada kondisi suhu dan kelembaban yang rendah, serta akan relatif tetap pada kecepatan tersebut setelah
disimpan selama lebih dari satu tahun, 2 tempe yang dibuat oleh laru yang disimpan pada kondisi tersebut memiliki kualitas yang sama dengan tempe yang
dibuat dengan laru segar, 3 penyimpanan pada suhu kamar dengan tingkat kelembaban mendekati nol akan menghasilkan penurunan germinasi spora yang
relatif kecil. Selain suhu dan kelembaban, faktor lain yang dapat membantu
mengurangi penurunan viabilitas spora kapang selama penyimpanan adalah pengemasan. Umumnya digunakan pengemas polietilen LDPE untuk mengemas
laru tempe bubuk selama penyimpanan. Hal ini dikarenakan kemasan LDPE memiliki sifat yang kuat serta relatif murah dari segi ekonomi. Lebih lanjut
Robertson 1993 menyatakan bahwa plastik LDPE memiliki ketahanan yang paling baik terhadap air dan uap air. Dengan begitu diharapkan penampakan
visual laru akan tetap sama selama kurun waktu penyimpanan dan tidak berubah teksturnya akibat pengaruh uap air lingkungan.
Pada umumnya laru tempe bubuk yang ditemui di pasaran menggunakan bahan pengemas LDPE, baik satu lapisan maupun dua lapisan. Berdasarkan hasil
pengamatan di lapangan, laru tempe pasar tersebut memiliki umur simpan yang lebih lama, yaitu mencapai lebih dari 5 bulan. Hal ini terjadi pada laru tempe
dengan dua lapisan pengemas. Hal ini dapat mempengaruhi umur simpan laru tersebut. Pengemas dua lapisan memungkinkan adanya hambatan yang lebih besar
terhadap oksigen maupun uap air, sehingga dapat membantu memperpanjang umur simpan laru.
Penelitian Yusuf 1985 menyebutkan bahwa penurunan viabilitas spora kapang dapat ditekan dengan penggunaan pengemas dua lapis, yaitu alumunium
foil berlapis polietilen. Hal ini dapat disebabkan oleh sifat kemasan alumunium foil yang dapat mempertahankan bahan yang dikemas dari pengaruh lingkungan.
Kerapatan yang tinggi, permeabilitas yang rendah terhadap uap air dan oksigen menyebabkan alumunium foil dapat memperkecil pengaruh kelembaban suhu dan
lingkungan. Selama penyimpanan laru, dilakukan pula analisis dengan membuat tempe
dari laru setiap akhir minggu. Hasil pengamatan kualitas tempe yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 11, sedangkan pengamatan visual tempe yang dihasilkan
dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 11.
Hasil pengamatan terhadap kualitas tempe selama penyimpanan Penyimpanan minggu ke-
Kekompakan Hifa Tekstur
+ + + + + + + +
1 + + + +
+ + + + 2
+ + + + + + + +
3 + + + +
+ + + + 4
+ + + + + + + +
5 + + +
+ + + 6
+ + + + + +
Keterangan: a. Kekompakan Hifa:
+ + + + : Hifa penuh dan tebal serta merata pada seluruh bagian permukaan + + + : Hifa tidak merata pada seluruh permukaan, pada bagian tengah
terdapat Hifa yang yang kurang tebal.Hifa pada bagian dalam tidak penuh tipis.
b. Tekstur: + + + + : Empuk, saat diiris tidak ada kedelai yang rontok.
+ + + : Empuk, tetapi saat diiris ada sedikit kedelai yang rontok.
Tabel 12. Hasil pengamatan visual terhadap tempe selama penyimpanan laru
Penyimpan an minggu
ke- Penampilan Visual
Tekstur
1
2
3
4
5
6
Gambar 14 menunjukkan terdapatnya penurunan jumlah total kapang dan TPC laru selama masa penyimpanan. Sebelum dilakukan penyimpanan, laru
memiliki total kapang sebesar 7,34 skala logaritma dengan nilai TPC sebesar 7,3 skala logaritma. Sedangkan pada akhir masa penyimpanan, total kapang
menurun sebanyak 6,68 menjadi 6,85 skala logaritma dan TPC menurun sebanyak 5,75 menjadi 6,88 skala logaritma.
Penurunan jumlah kapang mulai teramati pada minggu ke-5 penyimpanan. Sementara pada periode empat minggu pertama penyimpanan viabilitas kapang
cenderung lebih stabil. Rahayu et al. 1994 mengungkapkan bahwa laru murni tempe yang menggunakan Rhizopus oligosporus mengalami penurunan jumlah
total kapang selama penyimpanan. Selama 6 minggu penyimpanan, total kapang
laru yang memiliki kadar air awal 10 akan mengalami penurunan sebesar 41,39 berdasarkan skala logaritma. Perbedaan persentase penurunan total
kapang tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan kadar air laru. Pada penelitian ini kadar air laru lebih rendah, yakni sebesar 4,44. Hal ini dapat
mempengaruhi pertumbuhan kapang karena kapang akan cenderung lebih stabil pada kondisi yang lebih kering Jay et al., 2005
Analisis dilakukan pula dengan cara menggunakan laru untuk produksi tempe. Pada empat minggu pertama, tempe yang diproduksi dengan laru tersebut
memiliki kualitas yang hampir sama, yakni memiliki kemerataan hifa yang baik serta tebal pada seluruh permukaan tempe. Pada saat diiris, teksturnya terasa
empuk serta kedelainya kompak tidak ada yang rontok. Sedangkan laru hasil penyimpanan 5 dan 6 minggu menghasilkan tempe dengan kemerataan hifa yang
kurang baik serta ketebalan hifa yang juga kurang merata. Pada bagian tengah permukaan tempe pembentukan hifa terlihat tipis. Pada bagian dalam tempe pun
pembentukan hifa tidak terlalu merata, terdapat bagian yang memiliki hifa tipis, sehingga teksturnya menjadi tidak kompak dan terdapat sedikit kedelai yang
rontok ketika dilakukan pengirisan. Namun perbedaan tersebut tidak terlalu signifikan sehingga secara organoleptik masih dapat diterima oleh konsumen.
Dari hasil pengamatan total kapang serta hifa yang terbentuk pada tempe, dapat dilihat bahwa seiring dengan menurunnya jumlah total kapang pada laru
tempe, maka akan berpengaruh pula terhadap kualitas tempe yang dihasilkan. Menurunnya nilai total kapang akan berpengaruh terhadap pembentukan hifa pada
tempe, dengan semakin menurunnya jumlah kapang dalam laru, maka tingkat ketebalan dan kemerataan hifa pun akan berkurang.
Syarief et al
. 1999 mengungkapkan bahwa dalam kondisi pengemasan yang baik kering, umumnya laru tempe bubuk dapat bertahan selama 8 minngu.
Sedangkan dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa laru yang disimpan selama 6 minggu pada suhu ruang masih dapat menghasilkan tempe yang dapat
diterima oleh konsumen. Perbedaan masa simpan laru dapat disebabkan oleh beberapa hal, yakni; jenis pengemas, suhu, serta kelembaban ruang penyimpanan
Yusuf, 1985. Pada kondisi ini, laru masih memiliki kualitas yang relatif stabil serta dapat menghasilkan tempe yang berkualitas baik pula.
Dari seluruh tahapan yang telah dilakukan, maka diperoleh Standar Prosedur pembuatan laru tempe sebagai berikut;
STANDAR PROSEDUR PEMBUATAN LARU TEMPE 1. Persiapan suspensi spora
Suspensi spora disiapkan dengan melarutkan koloni kapang berusia satu minggu pada permukaan PDA miring menggunakan akuades steril.
2. Persiapan substrat