saja tetapi juga sehat mental dan hubungan sosial yang optimal di dalam lingkungannya Mawardi, 1992.
Dalam penanggulangan kecacingan, pengawasan sanitasi air dan makanan sangat penting, karena penularan cacing terjadi melalui air dan makanan yang
terkontaminasi oleh telur dan larva cacing Riyadi, 1994. Paragdima Blum tentang kesehatan dari lima faktor dimana lingkungan
mempunyai pengaruh dominan. Faktor lingkungan yang memengaruhi status kesehatan seseorang itu dapat berasal dari lingkungan pemukiman, lingkungan sosial,
lingkungan rekreasi, lingkungan kerja.
1. Lingkungan Rumah
Darmayanti 2000, dalam Hidayat 2002 menunjukan adanya hubungan yang erat antara faktor lingkungan tempat tinggal dengan prevalensi cacing pada anak
sekolah dasar. Tinggi angka prevalensi A.lumbricoides pada anak sekolah dasar di desa dibandingkan dengan di kota menunjukan adanya perbedaan higiene dan sanitasi
lingkungan. Penelitian tersebut juga menggambarkan bahwa adanya infeksi ganda A.lumbricoides di desa lebih tinggi dibandingkan di kota. Hal ini menunjukan bahwa
lingkungan pedesaan merupakan faktor predisposisi untuk anak-anak sekolah dasar di desa.
2. Lingkungan Sekolah
Di samping lingkungan rumah tempat tinggal, lingkungan sekolah secara tidak langsung mempunyai sumbangan terhadap terjadinya penularan penyakit infeksi
cacingan. Sebagian besar waktu anak sekolah dasar dihabiskan dengan bermain baik
Universitas Sumatera Utara
dirumah maupun di sekolah sehingga anak sekolah dasar mempunyai potensial untuk terjangkit penyakit infeksi kecacingan Poespoprodjo dan Sadjimin, 2002.
b. Faktor Manusia 1. Higiene Perorangan
Higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit
karena pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan Azwar, 1993.
Entjang 2001 usaha kesehatan pribadi Higiene perorangan adalah upaya dari seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya sendiri
meliputi: a.
Memelihara kebersihan b.
Makanan yang sehat c.
Cara hidup yang teratur d.
Meningkatkan daya tahan tubuh dan kesehatan jasmani e.
Menghindari terjadinya penyakit f.
Meningkatkan taraf kecerdasan dan rohaniah g.
Melengkapi rumah dengan fasilitas-fasilitas yang menjamin hidup sehat h.
Pemeriksaan kesehatan
Universitas Sumatera Utara
Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan pada umumnya adalah dengan pemutusan rantai penularan, yang antara lain dilakukan dengan pengobatan
masal, perbaikan sanitasi lingkungan dan higiene perorangan serta pendidikan kesehatan Soedarto, 1991.
Azwar 1993 pada prakteknya upaya higiene antara lain meminum air yang sudah direbus sampai mendidih dengan suhu 100
°C selama 5 menit, mandi dua kali sehari agar badan selalu bersih dan segar, mencuci tangan dengan sabun sebelum
memegang makanan, mengambil makanan dengan memakai alat seperti sendok atau penjepit dan menjaga kebersihan kuku serta memotongnya apabila panjang.
Onggowaluyo 2002 kuku yang terawat dan bersih juga merupakan cerminan kepribadian seseorang, kuku yang panjang dan tidak terawat akan menjadi tempat
melekatnya berbagai kotoran yang mengandung berbagai bahan dan mikro organisme diantaranya bakteri dan telur cacing. Penularan kecacingan diantaranya melalui
tangan yang kotor, kuku yang kotor yang kemungkinan terselip telur cacing akan tertelan ketika makan, hal ini diperparah lagi apabila tidak terbiasa mencuci tangan
memakai sabun sebelum makan. Higiene perorangan sangat berhubungan dengan sanitasi lingkungan, artinya
apabila melakukan higiene perorangan harus diikuti atau didukung oleh sanitasi lingkungan yang baik, kaitan keduanya dapat dilihat misalnya pada saat mencuci
tangan sebelum makan dibutuhkan air bersih, yang harus memenuhi syarat kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
2. Perilaku
Notoatmodjo 2003 menyatakan perilaku manusia dapat dilihat dari 3 tiga aspek, yaitu aspek fisik, psikis dan sosial yang secara rinci merupakan refleksi dari
gejolak kejiwaan seperti : pengetahuan, motivasi, persepsi, sikap dan sebagian yang ditentukan dan dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman, keyakinan, sarana fisik
dan sosial budaya masyarakat. Perilaku dapat diukur dengan cara mengukur unsur-unsur perilaku dimana
salah satu adalah pengetahuan, dengan cara memperoleh data atau informasi tentang indikator-indikator pengetahuan tersebut. Untuk dapat menentukan tingkat
pengetahuan terhadap sanitasi lingkungan dilakukan melalui wawancara Notoatmodjo, 2003.
Perilaku sehat pada dasarnya adalah respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta
lingkungan Notoatmodjo, 2003. Sebagai contoh perilaku yang berkaitan dengan lingkungan misalnya perilaku seseorang berhubugan dengan pembuangan air kotor
yang menyangkut segi-segi higiene, pemeliharaan teknik dan penggunaannya. Menurut Azwar 1993 perilaku sehat dipengaruhi oleh berbagai hal seperti :
a Latar belakang seseorang yang meliputi norma-norma yang ada, kebiasaan,
nilai budaya dan keadaan sosial ekonomi yang berlaku dimasyarakat. b
Kepercayaan meliputi manfaat yang didapat, hambatan yang ada, kerugian dan kepercayaan bahwa seseorang dapat terserang penyakit.
Universitas Sumatera Utara
c Sarana merupakan tersedia atau tidaknya fasilitas yang dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya penularan infeksi kecacingan
adalah kurangnya pengetahuan tentang infeksi kecacingan. Wachidanijah 2002 menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan makin tinggi pengetahuan seseorang
semakin baik perilaku dalam hubungan dengan penyakit kecacingan. Perilaku masyarakat untuk buang air besar di sembarang tempat dan kebiasaan tidak memakai
alas kaki mempunyai intensitas infeksi cacing tambang pada penduduk di Desa Jagapati Bali, dengan pola transmisi infeksi cacing tersebut pada umumnya terjadi
disekitar rumah Bakta, 1995. Kebiasaan buang air besar di sungai secara menetap ternyata menyebabkan tinggi infeksi oleh ”Soil-Transmited Helminths” pada
masyarakat. Faktor-faktor yang memengaruhi perilaku L.Green 1991 mengidentifikasi
tiga faktor yang memengaruhi perilaku individu atau kelompok, mencakup organization actions dalam hubungan dengan lingkungan, dimana masing-masing
mempunyai tipe yang berbeda dalam memengaruhi perilaku, yaitu faktor predisposisi predisposing factor, faktor pemungkin enabling factor, dan faktor penguat
reinforcing factor.
A. Faktor Predisposisi Predisposing Factor
Faktor Predisposisi adalah faktor-faktor yang mendahului perilaku, dimana faktor tersebut memberikan alasan atau motivasi untuk terjadinya suatu perilaku.
Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan, sikap, tradisi dan kepercayaan, sistem nilai
Universitas Sumatera Utara
yang dianut, kepercayaan pada diri sendiri, dan persepsi terhadap kebutuhan dan kemampuan yang berhubungan dengan motivasi individu atau kelompok untuk
berperilaku. Faktor predisposisi mencakup dimensi kognitif dan efektif dari knowing, feeling, believing, valuing dan having self confidence atau self efficacy. Faktor-faktor
yang berkaitan dengan variasi demografi, seperti status sosial ekonomi, umur, jenis kelamin, dan jumlah keluarga juga termasuk faktor predisposisi. Faktor ini digunakan
untuk menggambarkan fakta bahwa setiap individu mempunyai kecenderungan berbeda dalam kondisi sehat dan sakit.
Untuk berperilaku sehat, misalnya dalam upaya pemberantasan penyakit kecacingan dilakukan pemeriksaan tinja, diperlukan pengetahuan dan kesadaran
individu dan keluarga tentang manfaat pemeriksaan tinja, baik untuk kesehatan anak maupun anggota keluarga. Disamping itu, kadang-kadang kepercayaan, tradisi dan
sistem nilai masyarakata juga dapat mendorong atau menghambat individu untuk melakukan inovasi yang ditawarkan. Misalnya, pemikiran orang-orang di sekitar yang
mengatakan “tinja tidak perlu di periksa-periksa, mengkonsumsi obat cacing tidak merupakan kebutuhan”.
B. Faktor Pemungkin Enabling Factor
Faktor Pemungkin adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi terjadinya sebuah perilaku. Faktor pemungkin digambarkan sebagai
faktor-faktor yang memungkinkan membuat lebih mudah individu untuk merubah perilaku atau lingkungan mereka. Faktor pemungkin meliputi ketersediaan,
keterjangkauan, dan kemampuan, fasilitas pelayanan kesehatan serta sumber daya
Universitas Sumatera Utara
yang tersedia di masyarakat, kondisi kehidupan, dukungan sosial, dan keterampilan- keterampilan yang memudahkan untuk terjadinya suatu perilaku.
Untuk berperilaku sehat, anak SD memerlukan sarana dan prasarana pendukung, misalnya untuk meyakinkan kelompok sasaran anak SD agar mau di
periksa tinjanya guna pencegahan dan pengobatan penyakit kecacingan tidak cukup dengan kelompok sasaran tersebut tahu dan sadar manfaat dari pemeriksaan tinja saja,
melainkan kelompok sasaran tersebut harus dengan mudah menjangkau sarana dan prasarana yang mendukung upaya pencegahan infeksi cacing, misalnya tersedianya
jamban sehat, obat cacing, air bersih, sandal dan hal lain yang mendukung perilaku hidup sehat.
C. Faktor Penguat Reinforcing Factor
Faktor penguat adalah konsekuensi dari perilaku yang ditentukan apakah pelaku menerima umpan balik positif atau negatif dan mendapatkan dukungan
sosial setelah perilaku dilakukan. Faktor penguat mencakup dukungan sosial, pengaruh sebaya, serta advise dan umpan balik dari tenaga kesehatan. Faktor penguat
juga mencakup akibat secara fisik dari perilaku yang dilakukan seperti perasaan bugar, tidak mengantuk di bangku sekolah dan nafsu makan meningkat setelah
minum obat cacing. Keuntungan sosial seperti penghargaan, keuntungan fisik seperti kenyamanan, kebugaran, bebas dari gatal-gatal di dubur, keuntungan
ekonomi tidak mengeluarkan biaya bila terjadi diare dan imagine atau vicarious seperti peningkatan penampilan dan harga diri, semuanya akan memperkuat
perilaku.
Universitas Sumatera Utara
2.1.3. Infeksi Cacing yang ditularkan melalui tanah Soil-Transmited Helminths
Pencemaran tanah dengan tinja manusia merupakan penyebab transmisi telur A.lumbricoides dan T.trichiura dari tanah kepada manusia melalui tangan dan kuku
yang tercemar telur cacing, lalu masuk kemulut melalui makanan Mahfuddin, 1994. Agustina 2000 mendapatkan bahwa ada hubungan yang erat antara tanah dan kuku
yang tercemar telur A.lumbricoides dan kejadian askariasis pada anak balita di Kecamatan Paseh Jawa Barat.
Selain melalui tangan, transmisi telur cacing ini dapat juga melalui makanan dan minuman, terutama makanan jajanan yang tidak dikemas dan tidak tertutup rapat.
Telur cacing yang ada di tanah atau debu akan sampai pada makanan tersebut, jika diterbangkan oleh angin, atau dapat juga melalui lalat media perantara yang
sebelumnya hinggap di tanahselokanair limbah sehingga kaki-kakinya membawa telur cacing tersebut Helmy, 2000.
Transmisi melalui sayuran yang dimakan mentah tidak dimasak dan proses membersihkannya tidak sempurna juga dapat terjadi, terlebih jika sayuran tersebut
diberi pupuk dengan tinja segar. Di beberapa negara penggunaan tinja sebagai pupuk harus diolah dahulu dengan bahan kimia tertentu berupa disinfektan Brown, 1979.
1. Cacing Gelang Ascaris lumbricoides