157
BAB V BUDAYA DAN PELAYAN PEREMPUAN DI GEREJA
Antropologi dalam penerapannya mengkaji persoalan budaya yang terdapat dalam masyarakat. Budaya merupakan ide, gagasan, yang memunculkan perbuatan.
Kebudayaan merujuk pada pengetahuan yang diperoleh, yang digunakan orang untuk meninterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial. James
P. Spradley terjemahan 2007:6. Perilaku yang dimunculkan oleh seseorang merupakan hasil dari apa yang didengar, dipelajari, lalu diterapkan dalam
kehidupan sosialnya. Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti tuliskan dalam BAB IV, bahwa setiap
informan memiliki pengertian yang berbeda-beda tentang pelayanan, namun tetap dalam fokus yang sama. Hal ini disebabkan oleh latar belakang pelayanan dan
motivasi melayani, dan pengalaman spiritual yang berbeda-beda. Disamping itu juga karena mereka melakoni bidang pelayanan yang berbeda-beda sejak awal.
Sistem pengetahuan yang berbeda ini dimunculkan dalam satu bentuk yang sama yakni interpretasi tingkah laku dalam melayani. pengetahuan-pengetahuan dan
kepercayaan informan yang mempengaruhi pelayannan yang dilakukannya. Dalam pelayanan yang dilakukan oleh para informan tersebut tak lepas dari
peluang-peluang yang dibuat oleh gereja. Seperti yang telah diuraikan dalam BAB III bagaimana gereja mengambil andil dalam hal ini. Gereja tidak membatasi
potensi yang dimiliki oleh perempuan. Bahkan gereja memberikan kesempatan bagi perempuan untuk memimpin dan mengajar, hal ini dibuktikan melalui kisah
informan yang tertera dalam BAB IV. Informan dalam penelitian ini melalui
Universitas Sumatera Utara
158 tahap-tahap yang ditetapkan oleh standar perekrutan pada masa itu. Meskipun saat
ini telah mengalami perubahan standar. Berbeda dengan Kak Frisca dimana ia mengikuti perekrutan ketika sedang tidak dalam masa penerimaan pelayan.
Namun karena adanya kebutuhan gereja akan pelayan di bidang tersebut dan melihat potenis dari pada Kak Frisca, maka diputuskan untuk melakukan audisi
khusus. Dari hasil penelitian yang dilakukan, tampak bahwa melayani bagi kaum
perempuan adalah suatu pilihan dimana pilihan tersebut ditetapkan setelah memperoleh pengetahuan-pengetahuan serta pengajaran. Disamping itu,
pengalaman spiritual pribadi informan merupakan hal yang paling berpengaruh dalam melakukan pelayanan-pelayanan di gereja. Dengan melakukan pelayanan
setiap informan merasakan hidupnya lebih berkualitas dan mereka menikmati hal tersebut. Dari hasil wawancara mendalam yang peneliti lakukan dengan keempat
informan, peneliti menemukan suatu hal. Yakni, bahwa pelayanan yang dilakukan tidak hanya kemauan atau kebutuhan pribadi, namun juga karena adanya
keterbukaan pihak gereja untuk melibatkan perempuan dalam pelayanan gereja. Menurut Kak Elisabet ia memaknai pelayanan sebagai bentuk mengasihi, dan
bagaimana cara mengasihi dikembalikan kepada setiap pribadi masing-masing. Ia memilih menjadi WL adalah untuk memuji Tuhan dan membawa jemaat untuk
turut memuji Tuhan yang merupakan bentuk kita mengasihi sesama kita. Selain memiliki „kasih‟ kepada Tuhan yang menciptakan, manusia juga harus mengasihi
sesamanya manusia, itulah bentuk pelayanan yang ia pahami. Sementara Kak Frisca mengartikan pelayan secara harfiah, yakni melayani ialah sebagai hamba,
pembantu, bahkan keset kaki yang artinya membersihkan. Demikian ia
Universitas Sumatera Utara
159 memandang manusia sebagai pelayan atau hamba yang mengerjakan perintah dan
firman Tuhan dalam kehidupannya. Berbeda halnya dengan Ibu Erni, menurut pendapatnya pelayanan merupakan
respon manusia terhadap kasih Kristus di dalam kehidupannya. Mengerjakan apapun di dunia atas dasar kasih yang diterima adalah pelayanan baginya.
Baginya elayanan tidak hanya di gereja saja, di keluarga juga merupakan pelayanan. Manusia yang sudah mengenal firman haruslah melayani. Melakukan
sesuatu di atas dasar kasih itulah pelayanan. Memuridkan dalam keseharian, seperti memberikan teladan yang baik bagi lingkungan. Melayani itu semangat
sampai akhir, tidak hanya berapi-api di awal saja. Lain halnya lagi dengan Kak Feronika yang pelayanan menurutnya adalah memuji menyembah Tuhan lewat
talenta yang diberikan Tuhan kepada manusia. Ia memuji dan menyembah Tuhan melalui tarian tamborin yang dilakukannya, demikian ia mendeskripsikannya.
Adapun factor-faktor yang membawa informan menjadi seorang pelayan adalah motivasi-motivasinya untuk melakukan hal tersebut. Adapun factor-faktor yang
melatarbelakangi pelayanan mereka ialah : Manusia adalah ciptaan Tuhan yang diciptakan untuk memuliakan nama-
Nya Terdapat anggapan bahwa Tuhan terlebih dahulu melayani manusia
sehingga di masa hidupnyalah manusia memiliki kesempatan untuk membalas kebaikan-Nya melalui pelayanan.
Adanya kebutuhan spiritual pribadi akan perlindungan Tuhan Adanya kerinduan di dalam hati untuk lebih intim lagi bergaul akrab
dengan Tuhan
Universitas Sumatera Utara
160 Adanya kerinduan informan untuk melayani Tuhan bahkan melayani
sesama manusia agar semakin banyak orang yang mengenal kebaikan- kebaikan Tuhan.
Informan merasakan kebaikan Tuhan dan merasa cukup serta diberkati di dalam hidupnya, sehingga melayani merupakan salah satu cara yang ia
lakukan untuk mensyukurinya. Informan mengalami kejadian-kejadian dimana ia merasa Tuhan
menegurnya untuk bertobat dan melayani Awalnya ada perasaan ingin „coba-coba‟ dan akhirnya mengalami
pengenalan yang sesungguhnya dengan Tuhan. Terdapat banyak hal yang membuat seseorang mau melayani yang kemudian
disebut sebagai motivasi melayani. seperti yang diuraikan oleh Pdt. Petrus. F. Setiadarma 2007 bahwa terdapat beberapa motivasi melayani menurut
alkitabiah, di antaranya ialah
31
: 1.
Motivasi ketaatan, yaitu taat untuk melakukan perintah Tuhan yang memerintahkan agar kita melayani, yaitu membuat orang yang kita layani
semakin mengasihi Tuhan dengan segenap hati. 2.
Motivasi kasih, yaitu kasih akan sesama yang dimiliki oelh Tuhan Yesus ketika melihat orang terlantar.
3. Motivasi keteladanan, yaitu keriduan untuk meneladani apa yang Tuhan
Yesus lakukan
31
http:petrusfs.com20070911motivasi-pelayanan
Universitas Sumatera Utara
161 4.
Motivasi regeneratif, yaitu melihat ke depan, dimana masa depan gereja dan kekristenan ada di tangan orang-orang yang kita layani sekarang.
5. Motivasi eskhatologis, yaitu melakukan tindakan preventif agar orang lain
tidak menjadi generasi yang rusak. Dari beberapa informan dalam penelitian ini yang melakukan pelayanan tentunya
memiliki motivasi-motivasi seperti yang diuraikan di atas. Dari aspek religi yang peneliti amati bahwa pelayanan yang dilakukan oleh para informan terdiri dari
berbagai hal. Seperti motivadi yang dimiliki oleh Ibu Erni dimana ia mempunyai visi yang baik untuk menyebarkan kasih kepada sesama manusia melalui
perjalanan misi yang dilakukan. Hal ini berkenaan dengan motivasi kasih yang dimiliki oleh seorang pelayan dalam melakukan pelayanannya.
Keberadaan Wanita Bethel Indonesia WBI juga tak lepas dari pelayanan perempuan di gereja ini, dimana wadah ini dibentuk oleh pemimpin tertinggi
gereja pada masa itu. Adanya WBI merupakan suatu sepak terjang yang baik dalam menyikapi permasalahan dan isu gender dalam gereja ini. WBI cukup
mengambil peranan penting dalam eksistensi pelayanan yang dilakukan oleh kaum perempuan. WBI yang memiliki program pemberdayaan perempuan
merupakan salah sati sarana pendidikan religi bagi kaum perempuan. Budaya sangat berpengaruh dalam memberikan celah ketidaksetaraan di dalam
masyarakat. Dmeikian juga pelayanan yang dilakukan perempuan. Dalam aspek budaya atau latar belakang kesukubangsaan. Informan dalam penelitian ini
memiliki latar belakang budaya yang berbeda, serta memiliki latar belakang dasar gereja yang berbeda awalnya.
Universitas Sumatera Utara
162 Ibu Erni yang merupakan seorang pendeta gembala tak lepas peranannya dari
latar belakang budayanya. Sebagai bagian dari budaya Batak Toba dimana dalam budaya Batak perempuan selalu menjadi nomor dua. Dalam konstruksi budaya
Batak Toba,yang menjadi prioritas dalam keluarga adalah laki-laki. Laki-laki selalu lebih dihormati dan dihargai peranannya dibandingkan perempuan. Sebagai
ilustrasi, laki-laki biasanya yang lebih didukung untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sementara perempuan memiliki kesempatan yang
terbatas. Dalam realitasnya pelayanan yang dilakukan oleh Ibu Erni tidak mendapatkan pertentangan oleh keluarganya, meskipun ia adalah seorang
perempuan Batak. Demikian juga dengan pelayanan yang dilakukan oleh ketiga informan lainnya, dengan latar belakang kebudayaannya tidak mengalami
tindakan ketidakadilan oleh konstruksi budaya kesukubangsaan. Namun, ada pemahaman atau pandangan religi yang berbeda dengan kisah
pelayanan Kak Frisca. Dimana awalnya ayahnya menentang pelayanan yang dilakukannnya karena ada bias-bias terhadap aliran kepercayaan atau denominasi
gereja yang berbeda, dimana sang ayah memandang gereja beraliran Karismatik adalah tdak benar. Namun lambat laun hal itu memudar setelah melihat kondisi
dan keadaan pelayanan yang dilakukan oleh Kak Frisca. Konstruksi gender tidak menjadi masalah dalam hal ini, melainkan stereotip yang dimiliki yang
menyembabkan hal ini terjadi. Dalam permasalahan gender, kebudayaan terlihat dominan, karena factor
kebudayaan adalah persoalan terbesar. Kebudayaan memiliki instrumen yang lengkap ketika sebuah ideologi dioperasikan. Adanya pandangan negative
Universitas Sumatera Utara
163 terhadap perempuan dalam perspektif tertentu dinyatakan seperti, perempuan
adalah subyek dosa dengan pembuktian jatuhnya manusia ke dalam dosa yang disebabkan oleh Hawa. Perempuan dianggap sebagai kaum yang lemah,
perempuan dikatakan hanya sebagai pelengkap. Namun kabar baiknya setelah menelisik persoalan dari sisi positif yang mengungkapkan bahwa perempuan
adalah penolong yang bijaksana, perempuan mampu menyeimbangkan atau menstabilkan suatu keadaan, perempuan mampu
Memang banyak hal yang mengungkapkan posisi atau kedudukan laki-laki dan perempuan sama. Perempuan memiliki peluang besar dan kebebasan dalam
keterlibatannya di gereja. Dibuktikan dengan banyaknya perempuan yang melayani dalam berbagai bidang di GBI Rayon IV Sumatera Resort. Jumlah atau
kuantitas perempuan juga menyeimbangi laki-laki di dalam gereja ini. Perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam melayani. Perempuan berhak
menerima pengajaran dan mengajar, sama halnya dengan laki-laki, bahkan terdapat juga pendeta atau gembala perempuan di gereja ini. Namun, terdapat satu
celah yang membuatnya berbeda dimana adanya paham atau nilai-nilai Kristen yang dianut oleh GBI Rayon IV, bahwa laki-laki yang merupakan imam besar
gembala Pembina di dalam lingkup gereja yang luas. Di dalam keluarga suami laki-laki yang menjadi imam dan memiliki otoritas tertinggi, seningga istri atau
anak hendaknya patuh pada laki-laki tersebut. Dalam kacamata antropoogi hal ini berkaitan dengan kepemimpinan. Dilihat dari
sudut pandangnya pemimpin terdiri atas beberapa hal di antaranya :
Universitas Sumatera Utara
164 1.
Pemimpin kadangkala, dimana pemimpin ini kadang memimpin kadang tidak tergantung dari pada keadaan.
2. Pemimpin terbatas, pemimpin yang hanya memimpin di bidang tersebut
saja sesuai dengan spesifikasi dan kemampuannya. 3.
Pemimpin yang mencakup semua, pemimpin ini mencakup setiap aspek secara keseluruhan dan yang tertinggi.
4. Pemimpin pucuk, yang merupakan pemimpin sebagai simbol saja, seperti
Tuhan Yesus meruapakan pemimpin tertinggi yang merupakan simbol. Setelah dianalisis bisa diuraikan bahwa perempuan dalam gereja ini dikategorikan
sebagai pemimpin terbatas. Pemimpin yang mampu dan bisa memimpin di bidangnya saja, laki-laki dalamk hal ini dimasukkan ke dalam kategori pemimpin
yang mencakup semuanya. Dari hasil wawancara yang dilakukan juga menjelaskan kepada kita bahwa Pdm.
Darsono Ambarita menjelaskan bahwa sudah jelas pelayanan perempuan tidak menyalahi Alkitab melihat dengan meninjau kembali banyaknya perempuan yang
melayani yang tertulis dalam Alkitab. Dikuatkan dengan keberadaan Firman Tuhan yang tak pernah menyuruh perempuan atau laki-laki saja yang melayani,
namun semua ciptaan-Nya baik laki-laki maupun perempuan diutus untuk melayani dan memberitakan kebenarannya. Dengan asas bahwa hadapan Tuhan
semuanya sama, itulah alasan mengapa ia menyetujui pernyataannya tersebut. GBI memiliki nilai-nilai dan doktrin yang berdasarkan Alkitab. Begitu juga
dengan penerapan dan ide-ide pelayanan yang dilakukan perempuan di gereja ini. Hal ini dilakukan merujuk atas nats-nats Alkitab yang mengisahkan banyaknya
Universitas Sumatera Utara
165 perempuan yang terlibat dalam pelayanan dan namanya tercatat dalam pelayanan.
Di GBI Rayon IV sudah menerima perempuan untuk terlibat dalam pelayanan secara terbuka sejak awal keberadaannya di Sumatera Utara. Bahkan
perkembangan pesat yang dialami oleh gereja ini tidak terlepas dari andil dan campur tangan pelayanan yang dilakukan oleh perempuan.
Keterlibatan perempuan dalam gereja secara umum sudah terjadi sejak dahulu dimana adanya gerakan-gerakan feminism yang menuntut peranan perempuan
dalam menjalankan ideologi gereja. Ini sudah terjadi sejak abad ke 18 di dunia. Meskipun sampai saat ini masih terdapat beberapa gereja yang memberikan
batasan pada potensi yang dimiliki oleh perempuan. Bahkan perempuan tidak dilibatkan dalam penginjilan dan pelayanan serta pengajaran.
Adanya gerakan feminisme karena adanya ketidakadilan pada masa lalu, dimana perempuan cenderung tidak diperhitungkan di dalamnya untuk terlibat menjadi
dampak. Ini menjadi suatu cerminan dimana GBI Rayon IV sudah berhasil mengubah teori-teori feminis teologi yang menyudutkan perempuan. Dalam hal
ini telah terjadi perubahan pada kebudayaan yang dianut. Ini dilakukan oleh GBI sebagai sebuah gereja yang memandang kesetaraan dan hak-hak, meskipun tetap
diakuinya laki-laki adalah imam. Namun hal ini tidak menutup celah atau kesempatan-kesempatan bagi perempuan berkarya di bidang-bidang lainnya untuk
pelayanan gereja. Dari hasil penelitian ini melihat telah terjadinya perubahan dalam GBI Rayon IV
dalam menyikapi peranan perempuan. Gereja ini memberikan peluang serta melibatkan perempuan dalam perkembangan pelayanan gereja yang dilakukan.
Universitas Sumatera Utara
166 Hal ini tidak terlepas dari pernyataan T.O. Ihromi yang mengungkapkan bahwa
bahwa ideologi agama yang merupakan unsur kebudayaan yang mengalami perubahan. Kebudayaan tidak bersifat statis ia selalu berubah. Dalam suatu
kebudayaan selalu ada sesuatu kebebasan tertentu pada para individu memperkenalkan variasi hingga variasi-variasi tersebut diterima dan dapat
menjadi milik masyarakat. T.O Ihromi 1980:32 Budaya dan konstruksinya tentu saja berpengaruh dalam eksistensi yang
diterapkannya. Seperti yang terjadi pada kasus-kasus pelayan perempuan di BAB IV dimana setiap pelayan perempuan tersebut berasal dari gereja yang berbeda.
Kebanyakan informan berasal dari gereja kesukuan. Adanya stigma atau bias terhadap gereja beraliran karismatik salah satunya GBI menjadikan keluarga
atau orang menjadi pihak yang paling menentang. Dengan alasan misalnya adanya anggapan bahwa gereja beraliran Karismatik tidak beradat atau dengan alasan
bahwa tersebar isu-isu ba hwa GBI adalah gereja yang „tidak benar‟ dengan sistem
tata ibadah yang bertepuk tangan dan terkessan „ribut‟ tersebut. Semua hal tersebut merupakan hasil konstruksi masyarakat menggunakan kacamata pribadi.
Diperlukan kajian kritis dalam menanggapi masalah gender dalam agama. Seperti yang telah diuraikan dalam struktur organisasi GBI Rayon IV memang jelas
bahwa perempuan terlibat di dalamnya. Namun, tetap saja pihak yang mengambil keputusan tertinggi adalah laki-
laki. Analisis tidak berbicara tentang “siapa dan bekerja apa”, tetapi juga “siapa yang mengambil keputusan apa” Nunuk P.
Murniati 2004:71.
Universitas Sumatera Utara
167 Mansour Fakih 1996:12 Perbedaannya gender sesungguhnya tidaklah menjadi
masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender gender inequalities. Perbedaan ini dapat dilihat dari dibentuknya sebuah wadah yakni WBI Wanita
Bethel Indonesia yang dikhususkan hanya untuk perempuan. Dalam menjalankan perannya para perempuan ini melakukan setiap tugas-tugas pelayanan yang
sebagian kegiatan tersebut merupakan perlakuan ketidakadilan pada perempuan. Dimana para perempuan yang tergabung dalam wadah ini melakukan tugas-tugas
domestik seperti memasak, merangkai bunga, serta tugas lainnya yang merupakan tugas domestik. Jelas ini menjadi sebuah persoalan baru dalam ranah gender, yang
terjadi akibat konstruksi sosial atau pemahaman budaya dan agama yang tidak tepat. Seperti dalam sebuah acara atau perhelatan di GBI, maka perempuanlah
yang bekerja di dapur untuk menyiapkan segala keperluan, jarang sekali terlihat laki-laki terlibat di dalamnya.
Selain itu, tafsir agama mengkonstruksi bahwa perempuan adalah subordinat dengan adanya tafsir bahwa perempuan adalah „penolong‟ bagi laki-laki maupun
keluarganya. Anggapan ini tentunya mengacu pada beban baru yang dimiliki oleh perempuan, yang mana perempuan memiliki kewajiban untuk menjadi penolong
bagi suami maupun anak-anaknya. Hal ini seolah-oleh perempuan tidak bisa menjadi tokoh karakter utama dalam kehidupannya dan perempuan hanya menjadi
pelengkap yang bertugas „menolong dan membantu‟ pihak lain saja.
Konstruksi budaya dan tafsir agama memerlihatkan sisi dimana perempuan menjadi terkungkung secara tak kasat mata. Hal ini dilihat dalam kasus dimana
perempuan dalam melayani di gereja menjadi orang yang tidak lagi memikirkan
Universitas Sumatera Utara
168 kehidupan pribadinya ke depan. Melainkan menjadi terfokus pada pelayanan yang
dilakukannya. Akhirnya beberapa perempuan seperti kisah pelayan di atas masih sendiri dan menganggap pekerjaan pelayanannya adalah yang terutama. Doktrin
dan tafsir inilah yang cukup berpengaruh dalam penerapan-penerapan ideologi agama tersebut.
Dalam kasus ini perempuan menjadi „gamang‟ dimana ia diperbolehkan masuk dalam ranah publik. Namun tetap saja yang diurusi adalah ranah domestic. Hal ini
menjadi jelas ketika adanya syarat-syarat sosial bagi seorang perempuan yang melayani di gereja. Adanya idealisme budaya terhadap perempuan di dalam
gereja. Adanya tuntutan-tuntutan kepada perempuan seperti perempuan harus lemah lembut, perempuan harus berpakaian sopan, perempuan harus melayani
suami dan keluarga terlebih dahul domestik barulah boleh melayani di gereja. Seolah-olah perempuan memiliki banyak syarat dalam kehidupannya barulah ia
dikatakan sebagai perempuan. Dimana ujungnya terlihat bahwa perempuan ternyata memiliki beban kerja yang lebih berat.
Konstruksi sosial dan tafsir agama menjadi harga yang tetap dan telah terkunci. Doktrin dan tafsir agama menjadi pengaruh utama dalam menerapkan ideologi.
Perbedaan, pengasingan, serta bias paternalistic menjadi melekat. Hal ini tidak terlepas dari tafsir agama tersebut, bisa jadi juga dikarenakan penulis dari Kitab-
kitab tersebut adalah laki-lak yang menjadikan penerapannya menjadi bias gender terhadap perempuan dan peranannya.
Universitas Sumatera Utara
169
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN