Nilai moral dalam tiga cerpen pada buku paket bahasa Indonesia kelas VII MTs Al Falah Gunungsindur Kabupaten Bogor

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk

Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan(S.Pd.)

Oleh

Maryati

1811013000026

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014


(2)

(3)

(4)

(5)

i

Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pembimbing: Rosida Erowati M. Hum.

Cerita pendek mengandung nilai-nilai kehidupan. Dari sekian banyak nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra, nilai moral menjadi sorotan utama dalam penelitian ini. Cerpen yang terdapat pada buku teks mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk kelas VII SMP/MTs merupakan salah satu karya sastra yang akan ditelaah. Terdapat tiga cerpen yang menjadi objek dalam penelitian ini, yaitu cerpen berjudul Seruling Gembala karya Arsyad Siddik, cerpen berjudul Keysia dan Preman Tua karya Erwin Arianto, dan cerpen berjudul Wajah Dibalik Jendela karya Benny Rhamdani. Skripsi ini bertujuan untuk mengidentifikasi nilai moral yang terkandung dalam ketiga cerpen tersebut, yang diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran di sekolah nantinya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan teknik analisis isi.

Hasil dari penelitian ini berupa nilai-nilai moral dalam cerpen Nilai moral yang dapat diambil dari cerpen Seruling Gembala karya Arsyad Siddik, adalah sikap baik, yaitu senang berbagi ilmu kepada orang lain dan nilai-nilai otentik. Nilai moral yang dapat diambil dari cerpen Keysia dan Preman Tua karya Arianto adalah sikap baik, seperti kepatuhan dan kemandirian. Sedangkan nilai moral yang dapat dipetik dari cerpen Wajah dibalik Jendela karya Benny Ramdani adalah sikap baik, di antaranya sikat tanggung jawab dan keberanian. Selain itu, penelitian ini juga membahas unsur intrinsik sebagai acuan dalam menganalisis nilai moral yang terdapat dalam cerpen.


(6)

ii

of Tarbiyah and Teaching, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Advisor: Rosida Erowati M. Hum.

Short stories containing the values of life. From many values that are contained in the literature, moral values became the main focus in this study. Short stories contained in textbooks Indonesian subjects for grade 7 of JHS/MTs is one of the literary works that will be explored. There are three stories that become the object of this study, the short story entitled The Shepherd Flute (Seruling Gembala) by Arsyad Siddik, short stories entitled Keysia and The Old Thugs (Keysia dan Preman Tua) by Erwin Arianto, and short stories entitled The Face Behind The Window (Wajah dibalik Jendela) by Benny Rhamdani. This thesis aims to identify the moral values contained in the third short story, which is expected to be used as teaching material in schools later. This study uses a qualitative descriptive study of content analysis techniques.

The results of this study in the form of moral values in the short story. Moral values that can be taken from the short story works Arsyad Siddik Shepherd Flute, is a good attitude, which is happy to share his knowledge with others and authentic values. The moral to be drawn from short stories Keysia and The Old Thugs by Arianto is a good attitude, such as compliance and independence. While the moral values that can be learned from The Face Behind The Window by Benny Ramdani is a good attitude, among the brush of responsibility and courage. In addition, this study also discusses the intrinsic elements as a reference in analyzing the moral values contained in the stories.


(7)

iii

skripsi yang berjudul “Nilai Moral Dalam Tiga Cerpen Pada Buku Paket Bahasa Indonesia Kelas VII MTs. Al Falah Gunungsindur Kabupaten Bogor”. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, yang telah menjauhkan kita dari zaman kebodohan.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan dan rintangan. Tanpa bantuan dan peran serta dari berbagai pihak, skripsi ini tidak dapat terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Nurlena Rifa’i, M.A., Ph.D., selaku Dekan FITK UIN Jakarta yang telah mempermudah dan memperlancar penyelesaian skripsi ini;

2. Dra. Mahmudah Fitriyah, ZA, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia merangkap sebagai dosen penasihat akademik; 3. Dra. Hindun, M. Pd., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia, yang telah memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

4. Rosida Erowati, M. Hum., selaku Dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan penuh kesabaran;

5. Bapak dan Ibu Dosen FITK khususnya para Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang selama ini membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan;

6. Madsoleh, S.Pd.I., suami tercinta, yang telah memberikan izin dan selalu memberikan dukungan serta dorongan kepada penulis untuk tidak berputus asa, serta kepada empat orang putra-putriku yang telah banyak penulis abaikan belakangan ini, maafkan mama nak;

7. Sanusi, S.Pd.I., M. M., selaku Kepala Madrasah tempat penulis mengabdi, yang telah memberikan kesempatan belajar kepada penulis;


(8)

iv

9. Teman-teman di Jurusan PBSI DMS, terima kasih atas kekompakkan kalian dan semangat terus.

10.Kepada semua pihak yang telah membantu tersusunnya skripsi ini dan tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Semoga bantuan, dukungan, motivasi, dan partisipasi yang diberikan kepada penulis, mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah Swt. Amin.

Bogor, Desember 2014


(9)

v

LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 2

C. Pembatasan Masalah ... 3

D. Rumusan Penelitian ... 3

E. Tujuan Penelitian ... 3

F. Manfaat Penelitian ... 3

G. Metode Penelitian Penelitian ... 4

BAB II KAJIAN TEORETIS ... 8

A. Cerpen ... 8

1. Pengertian Cerpen ... 8

2. Unsur-Unsur Cerpen ... 8

B. Nilai Moral ... 18

1. Pengertian Nilai Moral ... 18

2. Tahap-tahap Perkembangan Penalaran Moral ... 19

3. Nilai Moral dalam Karya Sastra ... 20

4. Jenis dan Wujud Nilai Moral ... 21

C. Pendekatan Analitis dalam Mengapresiasi Sastra... 23


(10)

vi

1. Tokoh dan Penokohan ... 28

2. Latar ... 33

3. Alur (Plot) ... 35

4. Sudut Pandang ... 36

5. Tema ... 37

B. Analisis Nilai Moral dalam Cerpen Seruling Gembala (C1) . 38 C. Kajian Unsur Instrinsik Cerpen Keysia dan Preman Tua (C2) 40 1. Tokoh dan Penokohan ... 40

2. Latar ... 50

3. Alur (Plot) ... 52

4. Sudut Pandang ... 53

5. Tema ... 54

D. Analisis Nilai Moral pada Cerpen Keysia dan Preman Tua (C2) ... 54

E. Analisis Unsur Instrinsik Cerpen Wajah Dibalik Jendela (C3) ... 57

1. Tokoh dan Penokohan ... 57

2. Latar ... 63

3. Alur (Plot) ... 66

4. Sudut Pandang ... 66

5. Tema ... 67

F. Analisis Nilai Moral dalam Cerpen Wajah Dibalik Jendela (C3) ... 68

G. Implikasi Nilai Moral yang Terkandung dalam Cerpen pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ... 70

BAB IV PENUTUP ... 74


(11)

vii

1. RENCANA PELAKSANAAN PEMBELARAN(RPP) 2. CERPEN

3. LEMBAR UJI REFERENSI 4. BIOGRAFI PENULIS


(12)

1 A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini peneliti sering menyaksikan kejadian-kejadian di sekitar peneliti yang bertentangan dengan moral atau akhlak mulia yang bahkan pelakunya tidak jarang berasal dari kalangan pelajar dan intelektual, padahal usaha memperbaiki dan meningkatkan karakter bangsa terus dilakukan di berbagai kesempatan dan berbagai cara serta berbagai media.

Dalam proses pembelajaran, nilai moral merupakan hal penting yang selalu dikaitkan pada setiap kegiatan, termasuk dalam proses pembelajaran sastra melalui mata pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini di arahkan agar dengan banyaknya nilai moral yang didapatkan siswa, diharapkan siswa akan terbawa pada moral yang baik, yaitu yang sesuai dengan etika dan adat istiadat yang berlaku di masyarakat atau paling tidak mampu memahami nilai moral yang terkandung dalam karya sastra.

Karya sastra merupakan gambaran masyarakat pada zamannya. Hal ini dapat dikatakan juga bahwa karya sastra sebagai suatu keindahan yang tidak dapat dinilai dengan apapun. Selain itu, karya sastra merupakan ide atau gagasan pengarang yang dituangkan dalam suatu karangan. Ide atau gagasan tersebut dapat mencerminkan pikiran, emosi, perasaan, tingkah laku aktivitas bahkan sikap-sikap yang ada dalam diri pengarang tersebut. Sebuah karya sastra sangat berhubungan dengan moralitas. Hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat menghendaki bahwa sastra adalah medium perekonomian keperluan zaman, yang memiliki semangat menggerakkan masyarakat kearah budi pekerti yang terpuji.

Sebuah karya sastra ditulis pengarang untuk menawarkan model kehidupan yang diidealkannya. Sastra mengandung penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku para tokoh sesuai pandangannya tentang moral. Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan atau yang diamanatkan.

Nilai moral dalam cerpen buku paket Bahasa Indonesia Kelas VII digunakan pada judul penelitian ini karena dalam kumpulan cerpen tersebut


(13)

penceritaannya, khususnya tentang pesan moral. Pesan moral menjadi masalah sensorik yang diungkapkan pengarang melalui tokoh dan peristiwa yang diceritakan. Semua itu bermuara dan berpengaruh pada moralitas tokoh cerita dalam sebuah karya sastra.

Pengaruh dari suatu cerpen yang dibaca dapat terlihat dari perubahan sikap, kepribadian, pola hidup, perilaku, dan pandangan hidup. Berkenaan dengan hal tersebut, salah satu nilai yang terkandung dalam cerita pendek adalah nilai moral. Dalam sebuah cerpen terkandung pendidikan moral atau ajaran moral yang diamanatkan oleh pengarang untuk pembaca. Unsur nilai moral tersebut merupakan gagasan yang mendasari sebuah cerpen karena biasanya berkaitan dengan kehidupan manusia.

Moral dalam cerpen biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangan tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Moral dalam cerpen, dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis yang dapat diambil dan ditafsirkan lewat cerita. Moral merupakan petunjuk yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan permasalahan kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Sastra dalam pembelajaran mempunyai peranan yang penting dalam kurikulum pendidikan. Oleh karena itu, pembelajaran sastra yang seharusnya disajikan dalam proses pembelajaran adalah pembelajaran yang dapat melibatkan siswa secara aktif dalam proses-proses berpikir logis (bernalar).

Berdasarkan uraian tersebut peneliti bermaksud melakukan penelitian dengan judul Nilai Moral Dalam Tiga Cerpen Pada Buku Paket Bahasa Indonesia Kelas VII MTs. Al Falah Gunungsindur Kabupaten Bogor.

B. Identifikasi Masalah

Dalam sebuah karya sastra banyak sekali mengandung nilai-nilai yang diamanatkan penulis kepada pembaca, di antaranya adalah nilai religius, nilai pendidikan, nilai psikologis, nilai moral, nilai sosiologis dan lain-lain. Nilai-nilai tersebut bagi pemerhati karya sastra dapat dijadikan sebagai objek penelitian guna


(14)

lain. Demikian juga cerpen yang terdapat dalam buku paket bahasa Indonesia yang peneliti jadikan objek penelitian.

C. Pembatasan Masalah

Mengingat banyak sekali hal-hal yang dapat dikaji dalam penilitian sastra melalui kegiatan analisis sebuah karya sastra, seperti analisis struktur, diksi, gaya bahasa, unsur kebahasaan, atau penggunaan pendekatan interdisipliner yang berkaitan dengan karya sastra yang akan diteliti, Oleh karena itu, peneliti hanya membatasi kajian pada nilai moral baik yang terkandung dalam cerpen pada buku pelajaran Bahasa Indonesia Kelas VII yang digunakan di MTs Al Falah Gunungsindur, Kabupaten Bogor.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah nilai moral dalam tiga cerpen pada buku paket Bahasa Indonesia kelas VII MTs Al Falah Gunungsindur, Kabupaten Bogor?

2. Bagaimana inplikasi nilai moral dalam tiga cerpen pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di MTs. Al Falah Gunungsindur, Kabupaten Bogor?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan nilai moral yang terdapat dalam cerpen pada buku Paket Bahasa Indonesia Kelas VII MTs Al Falah Gunungsindur.

2. Mendeskripsikan implikasi nilai moral pada pembelajaran bahasa dan sastra indonesia di MTs. Al Falah Gunungsindur, Kabupaten Bogor.

F. Manfaat Penelitian


(15)

moralitas, terutama dalam cerpen yang terdapat pada buku paket Bahasa Indonesia Kelas VII

b. dapat digunakan bagi setiap orang dalam mengembangkan dan memantapkan pemahaman tentang moralitas, terutama yang terdapat dalam cerpen pada buku paket Bahasa Indonesia Kelas VII.

2. Sedangkan secara praktis manfaat yang diharapkan adalah:

a. dapat digunakan sebagai referensi dalam memahami nilai-nilai moral. b. dapat memberikan informasi tambahan bagi siapa saja yang

membutuhkan, terutama bagi rekan-rekan yang sedang mengadakan penelitian pada kajian yang sama ataupun sejenis

G. Metode Penelitian

Metode yang dilakukan dalam analisis nilai moral yakni metode dokumentasi. Metode tersebut dipilih karena bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan berupa catatan, transkrip, buku-buku, majalah, dan dokumen lain yang relevan dengan penelitian. Metode ini digunakan untuk mencari teori, perumpamaan masalah atau menyempurnakan perumusan masalah yang telah dibuat sebelumnya.1

Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis isi. Dalam penelitian karya sastra, analisis isi yang dimaksud adalah untuk memecahkan dan mengupas pesan-pesan, yang dengan sendirinya sesuai hakikat sastra. Metode analisis bertujuan untuk memahami unsur yang terkandung di dalamnya. Misalnya terdapat data yang tidak ada relevansinya dihilangkan dan data yang kurang lengkap sehingga dapat diambil kesimpulan yang dipertanggungjawabkan.2

Penelitian ini menganalisis nilai moral dalam cerpen pada buku paket Bahasa Indonesia untuk Kelas VII. Pendekatan moral dipilih karena pendekatan ini bertolak dari asumsi dasar bahwa salah satu tujuan kehadiran karya sastra di tengah-tengah masyarakat pembaca adalah berupaya untuk meningkatkan harkat

1

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT Rhineka Cipta, 2010), h. 274.

2

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 48-49.


(16)

Dengan pendekatan moral ini, peneliti hendak melihat sejauh mana karya sastra memiliki nilai moral.

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan objektif. Pendekatan objektif memandang karya sastra sebagai dunia otonom yang dapat dilepaskan dari siapa pengarang dan lingkungan sosial-budaya zamannya, sehingga karya sastra dapat dianalisis berdasarkan strukturnya sendiri.

Nilai dalam karya sastra itu secara potensial ada pada struktur sastra. Keselarasan organ dalam tubuh karya sastra misalnya dalam prosa berkaitan dengan alur, tokoh, tema, dan latar menentukan nilai karya tersebut. Dalam penelitian ini pendekatan objektif digunakan untuk memahami cerpen pada buku paket Bahasa Indonesia untuk Kelas VII. Peneliti mendekati karya sastra melalui unsur pembangun karya satra tersebut.

2. Sumber Data

Sumber data adalah Subjek dari mana data dapat diperoleh.3 Sumber data dalam penelitian ini ada dua yaitu sumber data primer yaitu sumber data yang diperoleh langsung peneliti dari sumber data, yaitu cerpen pada buku paket Bahasa Indonesia Kelas VII. Sedangkan sumber data sekunder yaitu sumber data yang terlebih dahulu dikumpulkan oleh orang diluar peneliti, walaupun yang dikumpulkan itu merupakan data asli. Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku yang berhubungan dengan cerpen dan moral serta hasil penelitian yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi objek penelitian.

Data dalam penelitian ini adalah data kualitatif berupa kata-kata, frasa, kalimat, dan wacana yang mengandung nilai moral pada cerpen pada buku paket Bahasa Indonesia untuk Kelas VII yang tergolong ke dalam buku teks elektronik (BSE).

3. Teknik Pengumpulan Data

3

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT Rhineka Cipta, 2010), h. 172.


(17)

dalam hal ini nilai moral pada cerpen pada buku paket Bahasa Indonesia untuk Kelas VII. Adapun caranya mendata tokoh-tokoh, karakter dan perilaku atau sikap hidup tokoh cerita serta latar. Data tersebut selengkapnya dianalisis berdasarkan nilai-nilai moral. Kemudian untuk mendukung penelitian ini diusulkan mendapatkan referensi yang berkaitan dengan objek penelitian. Pengumpulan bahan penelitian digunakan sebagai riset kepustakaan dengan cara menghimpun sebanyak-banyaknya sumber tertulis yang berhubungan dengan penelitian sebagai sumber informasi. Baik itu dari buku maupun dari media massa.

4. Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan pemaparan dalam bentuk deskriptif masing-masing data secara fungsional dan relasional.4 Analisis data dilakukan untuk mendapatkan deskripsi nilai moral cerpen pada buku paket Bahasa Indonesia untuk Kelas VII. Analisis data dilakukan melalui tahap-tahap, yaitu: tahap deskriptif, tahap analisis data, dan tahap induktif.

a. Tahap Deskriptif

Unsur-unsur nilai moral yang terdapat dalam cerpen pada buku paket Bahasa Indonesia untuk Kelas VII, kemudian dianalisis untuk menemukan nilai-nilai moralnya dengan menggunakan teknik analisis deskriptif. Teknik ini berpandangan bahwa pemahaman karya sastra harus dimulai dengan memahami karya itu. Yang dimaksud derkriptif adalah penggambaran tentang objek yang ditulis pengarang, yang hendak disampaikan kepada pembaca. Teknik deskriptif berusaha menelaah karya sastra dengan mempelajari setiap unsur yang ada didalamnya tanpa ada yang dianggap tidak penting.

b. Tahap Analisis Data

Tahap yang diperoleh berupa tulisan atau kata tersebut, kemudian dianalisis dengan pendekatan moral, yaitu menghubungkan data dengan nilai moral yang

4Ibid.,


(18)

para ahli, dengan demikian hasil analisis dapat bersifat mendidik. c. Tahap Induktif

Tahap induktif berarti bahwa analisis lebih merupakan pembentukan abstraksi berdasarkan bagian-bagian yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan. 5. Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Setelah diperoleh data, maka dalam penelitian ini data yang disajikan berupa data informal. Menurut Arikunto, metode penyajian informal perumusan dengan menggunakan kata-kata biasa. Jadi, dalam penelitian ini disajikan dengan perumusan kata-kata biasa tanpa menggunakan lambang-lambang. Hasil penelitian akan disajikan analisis data nilai moral yang terkandung dalam cerpen pada buku paket Bahasa Indonesia untuk Kelas VII.

G. Langkah-langkah Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini ada beberapa tahapan kerja yang perlu ditempuh, tahapan–tahapan tersebut adalah sebagai berikut:

a. membaca karya sastra yang akan diteliti, yaitu cerpen pada buku paket Bahasa Indonesia untuk Kelas VII sehingga diperoleh pemahaman isi cerita.

b. menentukan unsur-unsur yang paling dominan dalam cerpen-cerpen pada buku paket Bahasa Indonesia untuk Kelas VII, yaitu unsur moral yang terkandung di dalamnya.

c. mendeskripsikan dan menganalisis unsur moral yang terkandung dalam cerpen pada buku paket Bahasa Indonesia untuk Kelas VII

d. menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam cerpen pada buku paket Bahasa Indonesia untuk Kelas VII dan pembelajaran nilai moral di MTs Al Falah Gunungsindur Kabupaten Bogor.

e. mengambil suatu simpulan dari semua langkah kerja yang telah dilaksanakan pada Bab I sampai Bab III. Sedangkan simpulan akan dituangkan dalam Bab IV, selanjutnya dirangkai dengan saran penulis.


(19)

8 1. Pengertian Cerpen

Semi berpendapat bahwa, cerpen memuat penceritaan yang memusatkan pada satu peristiwa pokok, sedangkan peristiwa pokok itu tidak selalu sendirian, ada peristiwa lain yang sifatnya mendukung peristiwa pokok.1

Menurut Stanton, satu yang terpenting, cerita pendek haruslah

berbentuk „padat‟. Jumlah kata dalam cerpen harus lebih sedikit ketimbang jumlah kata dalam novel.2

Salah satu definisi yang relatif lengkap menyatakan bahwa cerpen adalah kisahan pendek (kurang dari 10.000 kata) yang dimaksudkan memberi kesan tunggal yang dominan.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Poe dalam Nurgiyantoro

menyatakan “cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah atau dua jam”.3

Dari pendapat-pendapat tersebut disimpulkan bahwa pengertian dari cerpen atau cerita pendek yaitu suatu cerita tentang seorang tokoh yang isinya pendek, bersifat fiktif dan merupakan suatu kebulatan ide. Dalam kebulatan ide itu cerpen harus tersusun dengan padat, pendek, dan lengkap.

2. Unsur-unsur Cerpen

Keutuhan atau kelengkapan sebuah cerpen dilihat dari segi-segi unsur yang membentuknya. Adapun unsur-unsur itu dalah peristiwa cerita (alur atau plot), tokoh cerita (karakter), tema cerita, suasana cerita (mood dan atmosfir

1

M. Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1980), h.34. 2

Robert Stanton, Teori Fiksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 76. 3

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), h. 10.


(20)

cerita), latar cerita (setting), sudut pandangan pencerita (point of view), dan gaya (style) pengarangnya.4

Menurut semi, struktur fiksi secara garis besar dibagi atas dua bagian, yaitu: (1) Struktur Luar (ekstrinsik) dan (2) Struktur Dalam (instrinsik). Struktur luar (ekstrinsik) adalah segala macam unsur yang berada di luar suatu karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran karya sastra tersebut, misalnya faktor sosial ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosio-politik, keagamaan, dan tata nilai yang dianut masyarakat. Struktur dalam (instrinsik) adalah unsur-unsur yang membentuk karya sastra tersebut seperti penokohan atau perwatakan, tema, alur (plot), pusat pengisahan, latar, dan gaya bahasa.5

Menurut Nurgiyantoro, unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur yang dimaksud, untuk menyebut sebagian saja, misalnya, peristiwa, cerita, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa.6

Nurgiyantoro berpendapat bahwa, unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Secara lebih khusus unsur ekstrinsik dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangunan cerita sebuah karya sastra, namun ia sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya.7

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur intrinsik merupakan unsur pembangun cerita yang terdapat di dalam cerita. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur pembangun cerita yang berada di luar cerita atau berasal dari lingkungan masyarakat sehingga mempengaruhi cerita itu sendiri.

4

Jakob Sumardjo dan Saini K.M., Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), h. 37.

5

Semi. op. cit., h. 35. 6

Nurgiyantoro. op. cit,. h. 23. 7Ibid.


(21)

a. Unsur Instrinsik

Unsur intrinsik ialah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri yang secara langsung turut serta membangun cerita. Unsur-unsur tersebut terdiri dari tokoh dan penokohan, latar (setting), alur, sudut pandang, gaya bahasa, tema, dan amanat. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

1) Tokoh dan Penokohan

Tokoh adalah salah satu unsur yang sangat penting dalam sebuah novel atau cerita rekaan. Tokoh menurut Sudjiman dalam Sayuti adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga suatu peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita.8 Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Semi, bahwa tokoh adalah pengemban suatu perwatakan tertentu yang diberi bentuk dan isi oleh pengarang.9

Hal serupa dikemukakan oleh Abrams dalam Nurgiyantoro, bahwa tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.10

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah pelaku cerita yang bisa berwujud manusia, benda, maupun binatang yang diasumsikan dengan penggambaran manusia dari segi tingkah laku ataupun ucapannya dalam kehidupan yang sebenarnya yang mengalami berbagai peristiwa dalam suatu cerita.

Tokoh-tokoh dalam sebuah cerita dapat dibedakan menjadi beberapa tergantung dari segi mana pembedaan tersebut dilakukan. Menurut Nurgiyantoro, kategori tokoh dibedakan berdasarkan segi peranan atau tingkat pentingnya dan berdasarkan segi fungsi penampilan tokoh.11 Menurut Sudjiman tokoh dikategorikan menjadi tokoh sentral dan tokoh

8

Suminto A. Sayuti, Cerita Rekaan (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 4.4. 9

Semi. op. cit., h. 37. 10

Nurgiyantoro, op. cit. h. 165-166. 11Ibid.,


(22)

bawahan. Sedangkan berdasarkan cara menampilkan tokoh di dalam cerita dapat dibedakan antara tokoh datar dan tokoh bulat.12

Berdasarkan segi peranan atau penting tidaknya kehadiran tokoh dalam cerita, dibedakan:

a) Tokoh Utama

Nurgiyantoro mengemukakan bahwa, Tokoh utama paling banyak diceritakan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukkan perkembangan plot secara keseluruhan. Ia selalu hadir sebagai pelaku atau yang dikenai kejadian dan konflik penting dalam plot cerita.13 Tokoh utama atau tokoh sentral menurut Sudjiman adalah tokoh yang memegang peran pimpinan.14

Kriteria menentukan tokoh utama berdasarkan fungsi tokoh di dalam cerita adalah: yang pertama, tokoh utama berhubungan dengan semua tokoh yang ada di dalam cerita, sedangkan tokoh-tokoh yang lain tidak saling berhubungan, kedua tokoh utama adalah tokoh yang paling tinggi intensitas keterlibatannya dalam peristiwa yang membangun cerita dan yang ketiga tokoh utama menjadi pusat sorotan dalam cerita.

b) Tokoh Tambahan

Menurut Nurgiyantoro, tokoh tambahan adalah tokoh yang kemunculannya jika ada kaitannya dengan tokoh utama. Secara langsung ataupun tidak langsung, pemunculan tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit dan tidak dipentingkan.15 Grimes dalam Sudjiman mengemukakan mengenai tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama.16

Kriteria menentukan tokoh bawahan atau tokoh tambahan berdasarkan fungsi tokoh di dalam cerita adalah: (1) tokoh bawahan tokoh

12

Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1988), h. 17-20. 13

Nurgiyantoro, op. cit. h. 177. 14

Sudjiman, op. cit. h. 17. 15

Nurgiyantoro, loc. cit. 16


(23)

yang menunjang tokoh utama, (2) tokoh-tokoh yang sering ikut berperan dengan tokoh atasan, (3) tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam sebuah cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama.

Sementara itu berdasarkan segi fungsi penampilan tokoh dalam cerita dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

1. Tokoh protagonis, yaitu tokoh yang dikagumi, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita.

2. Tokoh antagonis, yaitu tokoh yang menjadi penyebab terjadinya konflik dalam cerita.

Penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita.17

Hayati dan Muslich mengemukakan, bahwa perwatakan atau penokohan dalam suatu cerita adalah pemberian sifat baik lahir maupun batin pada seorang pelaku atau tokoh yang terdapat pada cerita. Sifat-sifat yang diberikan pada pelaku cerita akan tercermin pada fikiran dan perbuatannya.18 Sudjiman mengemukakan bahwa penokohan merupakan penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh.19

Dari beberapa pendapat di atas dapat dinyatakan bahwa penokohan adalah cara penyajian tokoh dengan karakter yang ditampilkan dalam cerita. Penokohan atau perwtakan adalah pelukisan mengenai tokoh cerita, baik keadaan lahirnya maupun batinnya yang berupa pandangan hidup, sikap, keyakinan, adat istiadat, dan sebagainya.

17Ibid.,

h. 166. 18

A. Hayati dan Masnur Muslich, Latihan Apresiasi Sastra., (Surabaya: Triana Media, t.t), h. 15.

19


(24)

Ada dua macam cara memperkenalkan tokoh dan perwatakan tokoh dalam fiksi.

a) Analitik

Yaitu pengarang memaparkan tentang watak atau karakter tokoh pengarang menyebutkan bahwa tokoh tersebut keras hati, keras kepala, penyayang, dan sebagainya.

b) Dramatik

Disebut cara dramatik, yaitu penggambar perwatakan yang tidak diceritakan langsung, tetapi hal itu disampaikan melalui: (1) Pilihan nama tokoh; (2) Melalui penggambaran fisik atau postur tubuh, cara berpakaian, tingkah laku terhadap tokoh-tokoh lain, lingkungannya, dan sebagainya; (3) Melalui dialog, baik dialog tokoh yang bersangkutan dalam interaksinya dengan tokoh-tokoh lain.20

2) Latar

Latar cerita menurut Semi adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi. Termasuk di dalam latar ini adalah, tempat atau ruang yang dapat diamati, seperti di kampus, di sebuah kapal yang berlayar ke Hongkong, di kafetaria, di sebuah puskesmas, di dalam penjara, di Paris, dan sebagainya.21

Menurut Nurgiyantoro menyatakan bahwa unsur latar dibedakan menjadi tiga unsur pokok yaitu tema tempat, tema waktu, dan tema sosial yang dijelaskan sebagai berikut:

a) Latar Tempat

Latar tempat berhubungan dengan lokasi terjadinya peristiwa yang menceritakan dalam sebuah karya fiksi. Lokasi yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu harus mencerminkan, tidak sejalan dengan sifat atau keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Latar tempat tanpa nama jelas biasanya hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu,

20

Semi. op. cit., h. 39-40. 21Ibid.


(25)

misalnya desa, sungai, jalan, hutan, kota, kota kecamatan, dan sebagainya.

b) Latar Waktu

Nurgiyantoro mengatakan latar waktu berhubungan dengan

masalah “kapan” terjadinya peristiwa dalam sebuah karya fiksi. Biasanya berhubungan dengan sejarah. Segala sesuatu yang berhubungan dengan waktu baik langsung maupun tidak langsung harus disesuaikan dengan waktu sejarah yang menjadi acuan. Pengangkatan unsur sejarah ke dalam karya fiksi akan menyebabkan waktu yang diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal, dan dapat menjadi sangat fungsional sehingga tak dapat diganti dengan waktu lain tanpa mempengaruhi perkembangan cerita. c) Latar Sosial

Latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial bermasyrakat di suatu tempat yang diceritakan dalam suatu karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial bermasyarakat mencakup berbagai masalah yang cukup kompleks. Permasalahan dengan kehidupan sosial masyrakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi, dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, kenyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, bersikap dan lain-lain. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh.22

3) Alur (Plot)

Salah satu elemen terpenting dalam membentuk sebuah karya fiksi dadalah plot cerita. Dalam analisis cerita, plot sering pula disebut dengan istilah alur. Sundari (1985) dalam Fananie memberikan batasan mengenai plot (alur) dalam pengertiannya yang paling umum, plot atau alur sering diartikan sebagai keseluruhan rangkaian peristiwa yang terdapat dalam cerita. Luxemburg (1984) dalam Fananie menyebut alur atau plot adalah konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang

22


(26)

secara logis dan kronologis saling berkaitan dan mengakibatkan dan diakibatkan atau dialami oleh para pelaku.23

Berdasarkan kriteria urutan waktu, alur dibedakan menjadi alur maju (progresif), alur mundur (flash back), dan alur campuran (progresif-flash back). Alur maju (progresif) adalah alur yang mengisahkan peristiwa-peristiwa dalam cerita secara kronologis. Alur mundur atau sorot-balik (flash back) merupakan alur dengan urutan kejadian dengan tidak dimulai dari tahap awal (yang benar-benar merupakan awal cerita secara logika), melainkan dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita. Alur campuran adalah perpaduan antara alur maju dan mundur (progresif-flash back).24

4) Sudut Pandang

Sebuah cerpen, selain memiliki alur, tokoh, dan latar, juga memiliki pencerita atau narator. Berbicara tentang narator, berarti berbicara tentang sudut pandang, yaitu suatu metode narasi yang menentukan posisi atau sudut pandang dari mana cerita disampaikan.

Sudut pandang terdapat beragam variasi dan kombinasi, namun ada tiga varian mendasar yang berbeda, yaitu sudut pandang impersonal, orang ketiga, dan orang pertama, serta sudut pandang dramatik. Sudut pandang impersonal adalah bila si pencerita berdiri di luar pecerita dan bergerak secara bebas dari satu tokoh ke tokoh lainnya, suatu tempat ke tempat lainnya, suatu episode ke episode lainnya, yang dapat memberikan akses terhadap pikiran dan perasaan tokoh dengan bebasnya. Sudut pandang orang ketiga, si pengarang memilih seorang tokoh dan cerita, dengan demikian si tokoh menyampaikan visinya sendiri. Sedangkan, sudut pandang dengan pencerita orang pertama, cerita disampaikan oleh orang pertama sebagai salah satu tokoh dalam cerita. Sudut pandang dramatik adalah bila cerita tidak disampaikan oleh siapa pun melainkan melalui dialog dan lakuan, ketidakhadiran si pencerita digantikan oleh percakapan, ucapan, dan tingkah laku para tokoh.25

23

Zainuddin Fananie, Telaah Sastra, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, Cet. III, 2002), h. 93.

24

Nurgiyantoro, op. cit., h. 153-159. 25

Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 89-90.


(27)

Sudut pandang terdiri dari sudut pandang persona ketiga “dia”, sudut

pandang persona pertama “aku”, dan sudut pandang campuran. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

a) Sudut Pandang Persona Ketiga “Dia” atau “Dia-an”

Pengarang memilih salah satu tokohnya untuk diikuti ceritanya. Lazim

juga disebut gaya “dia”. Pengarang tidak terikat cara memandang seluruh

cerita lewat watak tertentu tokoh “aku‟ lagi, tetapi lebih bebas karena seluruh cerita mengikuti perjalanan tokoh “dia”.

Pengarang dalam cara ini masih dapat melukiskan keadaan jiwa “dia”,

tetapi tak dapat melukiskan keadaan jiwa tokoh-tokoh lain. Namun pengarang juga masih dapat memberi komentar terhadap kelakuan dan

keadaan jiwa tokoh “dia”. Tokoh ini dalam cerita tentu saja selalu dipanggil namanya, berbeda denga gaya “aku” yang jarang disebut

namanya oleh pengarang.26

Dalam sudut pandang orang ketiga “dia”, narator atau pencerita adalah seseorang yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, misalnya Harun, Sri, John, dan sebagainya atau penggunaan kata ganti seperti ia, dia, dan mereka. Dalam adegan percakapan antartokoh banyak

penyebutan “aku‟ dan “engkau”, sebab tokoh-tokoh “dia” oleh si pencerita sedang dibiarkan mengungkapkan diri mereka sendiri.

Sudut pandang “dia” dapat dibedakan ke dalam dua golongan

berdasarkan tingkat kebebasan dan keterkaitan pengarang terhadap bahan

ceritanya, yaitu “dia” mahatahu apabila cerita dikisahkan dari sudut “dia”,

namun pengarang, narator, dapat menceritakan apa saja hal-hal yang

menyangkut tokoh “dia” tersebut, dan “dia” terbatas atau pengamat

apabila pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja, atau terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas.

b) Sudut Pandang Persona Pertama “Aku” atau “Aku-an”

Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona pertama (first person point of view), pengarang memilih seorang tokoh

26

Jakob Sumardjo dan Saini K.M, Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), h.82-85.


(28)

saja yang mengetahui seluruh cerita dan tokoh itu bercerita menurut apa yang diketahui saja. Dalam karya semacam ini, pengarang menggunakan

gaya “aku” untuk bercerita. Sudut pandang persona pertama dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan peran dan kedudukan si

“aku” dalam cerita, yaitu “aku” tokoh utama apabila si “aku” mengisahkan

berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik, hubungannya dengan sesuatu

yang di luar dirinya dan “aku” tokoh tambahan apabila tokoh “aku” hadir

membawakan cerita kepada pembaca, sedang tokoh cerita yang dikisahkan

itu kemudian “dibiarkan” untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya.27

c) Sudut Pandang Campuran

Penggunaan sudut pandang dalam sebuah novel mungkin saja lebih dari satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain untuk sebuah cerita yang dituliskannya. Penggunaan sudut pandang yang bersifat campuran itu di dalam sebuah novel, mungkin berupa penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan teknik “dia”

mahatahu dan “dia” sebagai pengamat, persona pertama dengan teknik

“aku” sebagai tokoh utama dan “aku” tambahan atau sebagai saksi, bahkan dapat berupa campuran antara persona pertama dan ketiga, antara “aku”

dan “dia” sekaligus.28 5) Tema

Tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum pada sebuah karya sastra yang tentunya telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita. Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita.29

27

Minderop. loc. cit.

28

Nurgiyantoro. op. cit., h. 266. 29


(29)

Tidak berbeda halnya dengan uraian di atas, Sudjiman berpendapat bahwa tema adalah gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari sebuah karya sastra.30

Tema dalam karya sastra letaknya tersembunyi dan harus dicari sendiri oleh pembacanya. Pengarang atau sastrawan tidak sematamata menyatakan apa yang menjadi inti permasalahan karyanya, meskipun kadang-kadang memang terdapat kata-kata atau kalimat kunci dalam salah satu bagian karya itu. Dari kalimat kunci tadi sastrawan seolah merumuskan apa yang sebenarnya menjadi inti persoalan yang dibahas oleh karyanya.31

b. Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung ikut mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra.32Ia juga dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangunan cerita sebuah karya sastra, tetapi tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walaupun demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangunan cerita yang dihasilkan. Semi berpendapat bahwa, struktur luar (ekstrinsik) adalah segala macam unsur yang berada di luar suatu karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran karya sastra tersebut, misalnya faktor sosio-politik, keagamaan, dan tata nilai yang dianut masyarakat.33

B. Nilai Moral

1. Pengertian Nilai Moral

Nilai moral . Bertens memberikan definisi moral yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.34

30

Sudjiman, op. cit. h. 50. 31

Stanton. op. cit., h. 36-46 32

Nurgiyantoro. op. cit., h. 23. 33

Semi. op. cit. h. 35. 34


(30)

Nilai moral adalah nilai yang berhubungan dengan konsep baik dan buruk. Nilai moral memiliki tuntunan yang lebih mendesak dan cukup serius. Ciri dari nilai moral adalah timbulnya suara dari hati nurani yang menuduh diri sendiri sebagai hak terbaik sehingga tidak timbul usaha meremehkan orang lain.35

Menurut Kenny melalui Nurgiyantoro, moral dalam cerita biasanya dimasukkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil lewat cerita bersangkutan oleh pembaca.36 Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk, moralitas merupakan salah satu ciri khas manusia yang tidak dapat ditemukan pada makhluk lain, moralitas dalam diri manusia merupakan kesadaran tentang baik dan buruk tentang yang boleh dan dilarang, tentang yang harus dilakukan dan yang tidak pantas dilakukan.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa nilai moral merupakan ukuran atau pedoman perbuatan manusia. Seseorang dikatakan bermoral apabila orang itu bertingkah laku sesuai dengan ukuran moral yang dipakai di masyarakat ia tinggal, dan sebaliknya moral tidak dapat diukur berdasarkan yang berlaku di daerah lain karena masing-masing daerah mempunyai ukuran moral yang berbeda.

2. Tahap-Tahap Perkembangan Penalaran Moral

Kematangan moral menuntut penalaran-penalaran yang matang pula dalam arti moral.Tujuan dari pendidikan moral adalah kematangan moral, dan jika kematangan moral itu adalah sesuatu yang harus dikembangkan, maka para guru dan pendidik seharusnya mengetahui proses perkembangan dan cara-cara membantu perkembangan moral tersebut.

Adapun tahap-tahap penalaran moral menurut Kohlberg adalah sbb: a. Tingkat Pra-Konvensional

Pada tingkat ini seseorang sangat tanggap terhadap aturan-aturan kebudayaan dan penilaian baik dan buruk, tetapi ia menafsirkan baik dan

35 Ibid.,

h. 142-147. 36


(31)

buruk ini dalam rangka menghindari hukuman atau maksimalisasi kenikmatan.

2. Tingkat Konvensional

Pada tingkat ini seseorang menyadari dirinya sebagai seorang individu di tengah-tengah keluarga, masyarakat, dan bangsanya. Pada tahap ini orang mulai cenderung bisa menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang ada di lingkungannya.

3. Tahap Pasca – Konvensioanal atau Tingkat Otonom

Pada tingkat ini orang sadar bahwa hukum merupakan kontrak sosial demi ketertiban dan kesejahteraan umum.

Berdasarkan tahapan di atas dapat disimpulkan menjadi tahapan-tahapan sbb:

1. tahap I : patuh pada aturan untuk menghindari hukuman

2. tahap II : menyesuaikan diiri untuk memperoleh ganjaran atau kebaikannya mendapat balasan.

3. tahap III : menyesuaikan diri untuk menghindari ketidaksetujuan, ketidaksenangan orang lain.

4. tahap IV : menyesauaikan diri untuk menghindari untuk menghindari penilaian oleh otoritas resmi dan rasa diri bersalah.

5. tahap V : menyesuaikan diri untuk memelihara rasa hormat dari orang netral yang menilai dari sudut pandang kesejahteraan masyarakat. 6. tahap VI : menyesuaikan diri untuk menghindari penghukuman atas diri sendiri.

3. Nilai Moral Dalam Karya Sastra

Nilai moral dalam karya sastra biasanya merupakan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca.

Nurgiyantoro menyatakan bahwa, karya sastra senantiasa menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sifat-sifat luhur kemanusiaan


(32)

bersifat universal.37 Artinya, sifat-sifat itu dimiliki dan diyakini kebenarannya oleh manusia sejagad. Sebuah karya sastra yang menawarkan pesan moral yang bersifat universal, biasanya akan diterima kebenarannya secara universal pula.

Moral selain dikaji secara kognitif juga menyangkut sikap batin seseorang, dan norma-norma moral sifatnya lebih subyektif, demikian menurut Budiningsih.38

Dari uraian tersebut maka, moral merupakan norma tentang kehidupan yang telah diberikan kedudukan istimewa dalam kehidupan sebuah masyarakat yang menyangkut tentang pedoman baik dan buruk perilaku manusia yang ditanamkan oleh pengarang di dalam karya sastra.

4. Jenis dan Wujud Nilai Moral

Setiap karya sastra pasti mengandung dan menawarkan pesan moral, karena itu banyak sekali jenis dan wujud pesan moral yang diajarkan. Jenis ajaran moral dapat mencakup masalah, yang bisa dikatakan tak terbatas. Hal itu dapat mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang mencakup harkat dan martabat manusia.

Menurut Nurgiyantoro secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan manusia itu dapat dibedakan ke dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Persoalan manusia dengan dirinya sendiri dapat bermacam-macam jenis dan tingkatannya. Persoalan tersebut yakni: harga diri adalah kesadaran akan berapa besar nilai yang diberikan kepada diri sendiri. Rasa percaya diri adalah tanggapan nilai hati terhadap keyakinan atau memastikan akan kemampuan dirinya sendiri. Takut adalah merasa gentar dan ngeri terhadap sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana. Maut adalah kematian, terutama tentang manusia. Rindu adalah memiliki keinginan yang kuat untuk bertemu. Dendam adalah keinginan keras untuk membalas kejahatan.

37Ibid.

, h. 322. 38


(33)

Keterombang-ambingan terhadap sesuatu yaitu merasa tidak tetap hati dan ragu-ragu.39

Hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungannya dengan lingkungan alam, dapat diartikan bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa manusia yang lainnya. Dalam menjalani hidup tersebut munculah masalah-masalah yang berupa hubungan antarmanusia itu antara lain dapat berwujud: persahabatan yang kokoh ataupun yang rapuh, kesetiaan, pengkhianatan, kekeluargaan: hubungan suami-istri, orang tua-anak, cinta kasih terhadap suami/istri, anak, orang tua, sesama, maupun tanah air, hubungan buruh-majikan, atasan-bawahan dan lain-lain yang melibatkan interaksi antarmanusia.

Hubungan manusia dengan Tuhannya, dapat diartikan sebagai cara manusia berkomunikasi dengan Tuhan atau sebagai makhluk ciptaan dengan penciptanya. Seringkali manusia memiliki keinginan yang tidak sejalan dengan apa yang telah direncanakan oleh sang pencipta. Hal ini membuat sesuatu yang tengah dijalankan oleh manusia tersebut menjadi tidak berhasil ataupun mengadapi suatu hambatan. Berbeda halnya jika keinginan kita sesuai dengan kehendak Tuhan sebagai pencipta manusia dan seluruh isi alam raya, tentu akan menjadi lebih baik hal yang dilakukan tersebut.

Menurut Budiningsih pesan moral memiliki tiga macam yaitu. a. Kepercayaan eksistensial (Iman)

Kepercayaan eksistensial atau iman adalah cara manusia mengerti dan memandang berbagai keadaan hidupnya dalam kaitannya dengan gambaran-gambaran yang kurang lebih bersifat sadar tentang suatu lingkaran akhir.

b. Empati

Empati adalah kemampuan untuk memahami perasaan orang lain, menerima sudut pandang mereka, menghargai perbedaan orang terhadap berbagai macam hal, menjadi pendengar dan penanya yang baik.

39


(34)

c. Peran sosial

Peran sosial adalah latar yang memfasilitasi terjadinya perilaku moral, serta sumbangannya terhadap perkembangan moral. Perilaku yang dilakukan seseorang untuk menunjang kegiatan-kegiatan di masyarakat.40 Dari beberapa macam wujud moral yang diungkapkan pakar tersebut, secara lebih jelas dapat disimpulkan bahwa nilai moral yang dianalisis dalam penelitian ini adalah nilai moral yang berupa a) prinsip bersikap baik, b) hormat terhadap diri sendiri, c) kerendahan hati, d) takut, dan e) keadilan. Penjelasan dari macam-macam nilai moral tersebut adalah.

a) Sikap baik

Sikap baik adalah sikap yang mengusahakan untuk sedapat-dapatnya mencegah akibat-akibat buruk dari tindakan yang dilakukan.

b) Hormat terhadap diri sendiri

Hormat terhadap diri sendiri adalah sikap agar mengembangkan diri dan tidak membiarkan diri sengsara.

c) Kerendahan hati

Kerendahan hati adalah sikap tidak sombong yang memandang diri sendiri sesuai pada kenyataan yang ada.

d) Takut

Takut adalah merasa gentar dan ngeri terhadap sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana.

e) Keadilan

Keadilan adalah sikap untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap semua pihak.

C. Pendekatan Analitis dalam Mengapresiasi Sastra

Aminuddin menjelaskan bahwa pendekatan analitis adalah sebagai berikut: suatu pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pengarang menampilkan gagasan atau mengimajikan ide-idenya, sikap pengarang dalam menampilkan gagasannya, elemen instrinsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen instrinsik itu sehingga mampu

40


(35)

membangun adanya keselarasan dan kesatuan dalam rangka membangun totalitas bentuk maupun totalitas maknanya.41

Penerapan pendekatan analitis dalam kegiatan pembelajaran karya sastra dalam hal ini cerpen, akan sangat membantu pembaca dalam upaya mengenal unsur-unsur instrinsik sastra yang secara aktual telah berada dalam suatu karya sastra dan bukan dalam rumusan-rumusan atau definisi seperti yang terdapat dalam kajian teori sastra.

Dalam pelaksanaannya, penerapan pendekatan analitis ini diawali dengan kegiatan membaca teks secara keseluruhan. Setelah itu, pembaca menampilkan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan unsur-unsur instrinsik yang membangun karya sastra yang dibacanya. Kegiatan analitis ini tidak harus meliputi keseluruhan aspek yang terkandung di dalam suatu karya sastra. Dalam hal ini pembaca dapat membatasi diri pada beberapa analitis instrinsik suatu karya sastra.42

Kegiatan mengapresiasi sastra dengan menerapkan pendekatan analitis ini dapat dianggap sebagai suatu kegiatan pembelajaran yang bersifat saintifik, karena dalam menerapkan pendekatan itu pembaca harus berangkat dari landasan teori tertentu, bersikap objektif, dan harus mewujudkan hasil analisis yang tepat, sistematis, dan diakui kebanrannya oleh umum.

D. Hasil Penelitian yang Relevan

Sebuah penelitian agar mempunyai orisinalitas perlu adanya tinjauan dari penelitian terdahulu. Hal ini berfungsi untuk memberikan pemaparan tentang penelitian dan analisis sebelumnya yang telah dilakukan. Tinjauan dari penelitian terdahulu merupakan uraian sistematis tentang hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti lainnya terkait dengan masalah yang diteliti. Tinjauan terhadap hasil penelitian dan analisis sebelumnya akan dipaparkan berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan. Dengan demikian, diperlukan beberapa penelitian yang relevan untuk mengetahui nilai moral yang terkandung dalam cerpen.

41

Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, (Bandung: CV. Sinar Baru, 1987), h. 44.

42Ibid . h. 45.


(36)

Cerpen yang digunakan dalam penelitian ini adalah cerpen yang terdapat dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia Kelas VII berkategori buku sekolah elektronik (BSE) dan belum ada yang meneliti sebagai skripsi. Berikut ini adalah tiga hasil penelitian yang berhubungan dengan topik penelitian ini. Pertama, penelitian yang berjudul “Penggunaan Model Teams Games Tournament Dalam Pembelajaran Nilai Moral Kumpulan Cerpen Orang-Orang Kotagede Karya Darwis Khudori Pada Siswa Kelas X Sman 15 Semarang Tahun Ajaran 2013/2014” yang dilakukan oleh Anik Widiyanti. Kedua, penelitian yang berjudul

“Nilai Moral Pada Novel Faza Faizah Karya Itmam Luthfi” yang dilakukan oleh Diah Rahmawati. Ketiga, penelitian dengan judul “Analisis nilai moral dalam novel pada sebuah kapal karya nh. dini dan implikasinya terhadap pembelajaran

sastra di sma/ma” yang dilakukan oleh Nani Frigiawati.

Anik Widiyanti, IKIP PGRI Semarang, Jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dengan judul skripsi “Penggunaan model teams games tournament dalam pembelajaran nilai moral kumpulan cerpen orang-orang kotagede karya darwis khudori pada siswa kelas x sman 15 semarang tahun ajaran 2013/2014” tahun 2013. Penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang akan peneliti lakukan. Akan tetapi, objek karya sastra dan telaah moral karya sastra yang digunakan sama, yaitu jenis karya sastra cerpen. Perbedaannya terletak pada cerpen dan pengarang yang dijadikan objek penelitian serta teori dalam penelitian berbeda, karena penelitian tersebut lebih mengarah pada metode pengajaran dengan menggunakan Teams Games Tournament. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa nilai moral yang ada dalam kumpulan Orang-orang Kotagede karya Darwis Khudori diantaranya terdapat dalam cerpen Dalam Sakit, Baong, Tangisku Buat Bapak,dan Terimakasih, Bu Tuti!. Dalam cerpen-cerpen tersebut terdapat banyak nilai moral yang dapat dicontoh serta diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai moral tersebut diantaranya: sikap baik, kejujuran, nilai-nilai otentik, kesediaan untuk bertanggungjawab, kemandirian, takut, dan keberanian.43

43Anik Widiyanti, “

Penggunaan Model Teams Games Tournament dalam Pembelajaran Nilai Moral Kumpulan Cerpen Orang-Orang Kotagede Karya Darwis Khudori pada Siswa Kelas X SMAN 15 Semarang Tahun Ajaran 2013/2014”, (Skripsi S1 Fakultas Pendidikan dan Seni, IKIP PGRI Semarang, 2013), h. viii.


(37)

Penelitian Anik Widiyanti tersebut menggunakan pendekatan fiksi sastra dan pendekatan moral.

Diah Rahmawati IKIP PGRI Semarang, Jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dengan judul skripsi berjudul “Nilai Moral Pada Novel Faza Faizah Karya Itmam Luthfi” tahun 2011. Penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang akan peneliti lakukan. Akan tetapi, permasalahan penelitian yang dikaji sama, yaitu nilai moral yang terdapat dalam suatu karya sastra. Perbedaannya terletak pada objek yang diteliti, dimana penelitian yang dilakukan oleh Diah Rahmawati menggunakan karya sastra novel sedangkan pada penelitian yang akan peneliti lakukan menggunakan cerpen. Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi novel Faza Faizah, dapat diketahui bahwa nilai moral pada novel Faza Faizah karya itmam luthfi mencakup: tindak tutur direktif meliputi tidak tutur direktif mengajak, meminta, menyuruh, memohon, menyarankan, dan memerintah.44

Nani Frigiawati Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dengan judul skripsi “Analisis nilai moral dalam novel pada sebuah kapal karya nh. dini dan implikasinya terhadap

pembelajaran sastra di sma/ma” tahun 2013. Penelitian tersebut memiliki banyak persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Hasil dari penelitian ini berupa nilai-nilai moral dalam novel Pada Sebuah Kapal, terdiri atas: 1) hubungan manusia dengan diri sendiri, meliputi: rasa ingin tahu, kerja keras, rendah diri, menjaga kesucian diri, takut, gegabah, dan malu. 2) hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungannya dengan alam, terdiri atas: a) hubungan orang tua dengan anak, meliputi: kasih sayang dan berbakti; b) hubungan suami dengan istri, meliputi: kasih sayang, kesetiaan, keegoisan, kekasaran, pelit, acuh tak acuh, pengkhianatan, dan memaksakan kehendak; c) hubungan atasan dengan bawahan, meliputi: tidak sewenang-wenang dan bijaksana; serta d) hubungan manusia dengan alam, meliputi: mencintai alam dan mencintai seni. 3) hubungan manusia dengan Tuhan, meliputi: sabar dan iri hati. Adapun nilai moral yang dominan digambarkan pengarang ialah hubungan

44Diah Rahmawati, “

Nilai Moral pada Novel Faza Faizah Karya Itmam Luthfi”, (Skripsi S1 Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Semarang, 2011), h. viii.


(38)

manusia dengan manusia lain, yaitu hubungan kasih sayang orang tua dengan anak dan keegoisan dalam hubungan suami dengan istri. Selain itu, penelitian ini juga membahas unsur intrinsik sebagai acuan dalam menganalisis nilai moral yang terdapat dalam novel.45

Peneliti sendiri melakukan penelitian dengan judul “Nilai Moral Dalam Tiga Cerpen Pada Buku Paket Bahasa Indonesia Kelas Vii Mts Al Falah Gunungsindur

Kabupaten Bogor”. Penelitian ini menggunakan gabungan objek dari dua penelitian sebelumnya, yaitu menggabungkan nilai moral dalam cerpen. Penelitian ini berbeda dengan ketiga penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, karena penelitian ini menggunakan objek cerpen yang terdapat dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia Kelas VII. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya.

45 Nani Frigiawati, “

Analisis Nilai Moral dalam Novel Pada Sebuah Kapal karya Nh. Dini dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA/MA”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Unversitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013), h. i.


(39)

28

nilai moral dalam cerpen, serta implikasinya dalam kegiatan pembelajaran Bahasa Indonesia. Cerpen-cerpen yang dianalisis dalam penelitian ini adalah cerpen yang terdapat pada buku teks Bahasa Indonesia Kelas VII yang diterbitkan oleh Pusat Perbukuan Kementrian Pendidikan Nasional.

Sebenarnya masih banyak buku teks Bahasa Indonesia Kelas VII yang diterbitkan oleh Pusat Perbukuan Kementrian Pendidikan Nasional. Akan tetapi, dalam penelitian ini hanya tiga buku teks Bahasa Indonesia Kelas VII yang digunakan, yaitu buku teks yang berjudul Cakap Berbahasa Indonesia untuk Kelas VII SMP/MTS, Berbahasa dan Bersastra Indonesia untuk SMP/MTs Kelas VII, dan Bahasa dan Sastra Indonesia 1 untuk SMP/MTs Kelas VII.

Cerita pendek yang akan dianalisis Pada buku teks Pelajaran Bahasa Indonesia tersebut antara lain berjudul Seruling Gembala yang terdapat pada buku teks Cakap Berbahasa Indonesia untuk Kelas VII SMP/MTS, yang selanjutnya peneliti sebut sebagai C1, Keysia dan Preman Tua yang terdapat dalam buku teks Berbahasa dan Bersastra Indonesia untuk SMP/MTs Kelas VII, selanjutnya peneliti sebut sebagai C2 dan cerpen Wajah Dibalik Jendela yang terdapat pada buku teks Bahasa dan Sastra Indonesia 1 untuk SMP/MTs Kelas VII, yang selanjutnya peneliti sebut sebagai C3.

A. Kajian Unsur Instrinsik Cerpen Seruling Gembala (C1)

1. Tokoh dan Penokohan 1) Tokoh

Tokoh yang terdapat dalam cerpen Seruling Gembala terdiri dari tokoh utama dan tokoh tambahan.


(40)

a) Tokoh Utama

Cara menentukan tokoh utama melalui (1) intensitas keterlibatan tokoh dalam berbagai peristiwa yang membangun sebuah cerita. (2) tokoh yang banyak berhubungan dengan tokoh lain yang ada di dalam cerita.

(1) Intensitas keterlibatan tokoh dalam berbagai peristiwa.

Tokoh yang mempunyai intensitas keterlibatan dalam berbagai peristiwa terdapat dalam kutipan berikut.

Setiap hari Mbawa bermain di sawah kering yang baru dibelinya. Pohon jamblang yang tumbuh di sudut timur tanah itu sangat menarik hati Mbawa. Dahannya yang rendah dan mudah dinaiki. Dari atas pohon itu Mbawa bisa melayangkan pandangan ke segala arah. Ke timur tampak kampung Jala dan Teluk Bima, ke utara tampak semak panjang menyusuri parit pinggir Kawinda, ke barat terlihat kebun jagungnya sendiri, sedang ke selatan membentang Sobali dengan rumput hijaunya sepanjang waktu. Di situlah anak-anak gembala dari Daru, Pali Sambawa, dan Sondo menggembalakan kerbaunya setiap hari.1

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa tokoh yang mengalami keterlibatan dalam membangun cerita adalah tokoh Mbawa. Dari kutipan di atas terlihat bahwa, Mbawa sedang berada pada suatu tempat yang baru dimilikinya dan sedang menikmati pemandangan disekitar tempat yang baru dibelinya tersebut.

Keterlibatan Mbawa pada peristiwa selanjutnya dalam cerita pendek Seruling Gembala dapat dilihat pada kutipan berikut : “Mbawa bangkit dari tempat duduknya pada dahan pohon jamblang. Diperhatikannya baik-baik dari mana suara itu datang”.2

1

Arsyad Siddik, C1, dalam RR. Novi Kussuji Indrastuti dan Diah Erna Triningsih (eds.),

Cakap Berbahasa Indonesia untuk Kelas VII SMP/MTs, (Jakarta: Pusat Perbukuan Kementrian Pendidikan Nasional, 2010), h. 42.

2C1. , h. 43.


(41)

Dari kutipan tersebut mamperlihatkan Mbawa sedang mencari-cari asal suara yang indah mengalun sehingga ia beranjak dari tempat dimana ia sedang duduk menikmati pemandangan alam sekitarnya.

Setelah Mbawa mencari-cari asal suara indah tersebut, akhirnya Mbawa menemukannya. Berikut adalah kutipannya.

”Dari seberang. Oh, itu dia orangnya,” katanya sendirian.

Mbawa menyeberangi sungai yang tidak begitu dalam. Ditujunya anak yang sedang meniup suling. Tetapi begitu anak itu melihat kedatangan Mbawa, ia segera berhenti meniup.3

Kutipan di atas menggambarkan bagaimana Mbawa berusaha untuk menghampiri asal suara indah yang didengarnya, dimana ternyata suara indah itu adalah suara seruling yang ditiup oleh seorang anak yang sedang duduk diseberang sungai.

Mbawa akhirnya menemui anak yang sedang meniup seruling, akan tetapi ketika Mbawa semakin mendekati anak peniup seruling tersebut segera berhenti meniup. Mbawa akhirnya terlibat dalam percakapan bersama anak yang meniup seruling itu yang ternyata bernama Kawi. Berikut adalah percakapan Mbawa dengan Kawi.

”Tiup, Bang,” kata Mbawa memanggil Abang pada Kawi.

”Di mana aku bisa mendapatkannya? Siapa yang membuatkannya?” tanya Mbawa kepada Kawi.

”Kalau engkau mau akan kubuatkan. Di rumahku tersedia buluh perindu seperti ini. Engkau mau ke rumahku sekarang?” tanya Kawi.4 Kutipan di atas menunjukkan bagaimana Mbawa dan Kawi saling bercakap-cakap dan akhirnya mereka pergi bersama-sama menuju ke rumah Kawi untuk membuat seruling.

Berdasarkan kepada beberapa kutipan di atas, cukup jelas membuktikan bahwa Mbawa merupakan tokoh utama dalam cerita karena

3C.1 4C1.


(42)

berdasarkan intensitas keterlibatan tokoh utama dalam peristiwa-peristiwa yang membangun, dan tokoh utama berhubungan dengan tokoh lain.

(2) Tokoh yang banyak berhubungan dengan tokoh lain yang ada di dalam cerita.

Dalam cerita pendek Seruling Gembala Mbawa berhubungan dengan Kawi sebagai tokoh tambahan dalam cerita tersebut. Berikut adalah kutipannya.

Tanpa pikir panjang Mbawa mengikuti ajakan Kawi. Sepanjang jalan ia berpikir tentang seruling yang akan diperolehnya dari Kawi. Mbawa menjuluki Kawi si baik hati. Dipercepat langkahnya agar lekas tiba di rumah Kawi. Mereka memasuki sebuah kebun mangga yang teduh. Mereka menyusuri jalan yang tidak begitu lebar. Tampaklah sebuah kebun. Rumah panggung besar terletak di sisi kiri kebun itu. Dan pada tanah yang luas yang terletak di hadapan rumah itu terdapat deretan lubang-lubang. Teratur sekali lubang itu dibuat. Kawi mengambil sebatang seruling. BBang Agus sekali kelihatannya. Diukir dengan gambar ular yang membelit-belit. Senang sekali Mbawa memperoleh seruling itu.5

Berdasarkan kepada kutipan diatas menunjukkan bahwa Mbawa diajak oleh Kawi ke rumahnya untuk dibuatkan seruling. Tergambar bahwa Mbawa sangat senang sekali dengan ajakan Kawi. Selain itu, kutipan di atas memperlihatkan bagaimana kekaguman Mbawa ketika tiba di rumah Kawi, hal tersebut dikarenakan terdapat seruling buatan Kawi yang memiliki bentuk sangat indah dengan motif ukiran berbentuk ular.

Kutipan lain yang menunjukkan adanya hubungan antara Mbawa dengan Kawi adalah sebagai berikut.

”Di mana aku bisa mendapatkannya? Siapa yang membuatkannya?” tanya Mbawa kepada Kawi.6

5C1.

6C1.


(43)

Dari kutipan di atas menunjukkan Mbawa sedang bertanya kepada Kawi mengenai siapa orang yang membuat seruling. Dari dua kutipan di atas dan beberapa kutipan sebelumnya, terlihat bahwa Mbawa memiliki hubungan dengan Kawi.

b) Tokoh Tambahan

Kawi merupakan tokoh tambahan yang terdapat di dalam cerita pendek Seruling Gembala, di mana Kawi merupakan seseorang yang ditemui Mbawa saat meniup seruling.

”Tiup, Bang,” kata Mbawa memanggil Abang pada Kawi. ”Trilili, lili, li . . .,” suara serulingnya.7

Dari kutipan di atas memperlihatkan bahwa Mbawa meminta kepada Kawi untuk terus meniup serulingnya pada saat Mbawa menghampiri Kawi.

Berdasarkan kepada kutipan tersebut terlihat bahwa, Kawi merupakan tokoh yang kemunculannya memiliki kaitan dengan tokoh utama.

2) Penokohan

Berikut analisis karakter dan sifat tokoh dalam cerpen Seruling Gembala. a) Mbawa

Tokoh Mbawa digambarkan oleh pengarang seperti pada kutipan berikut. Tanpa pikir panjang Mbawa mengikuti ajakan Kawi. Sepanjang jalan ia berpikir tentang seruling yang akan diperolehnya dari Kawi. Mbawa menjuluki Kawi si baik hati. Dipercepat langkahnya agar lekas tiba di rumah Kawi. Mereka memasuki sebuah kebun mangga yang teduh. Mereka menyusuri jalan yang tidak begitu lebar. Tampaklah sebuah kebun. Rumah panggung besar terletak di sisi kiri kebun itu. Dan pada tanah yang luas yang terletak di hadapan rumah itu terdapat deretan lubang-lubang. Teratur sekali lubang itu dibuat. Kawi mengambil sebatang seruling. BBang Agus sekali kelihatannya. Diukir dengan

7C1.


(44)

gambar ular yang membelit-belit. Senang sekali Mbawa memperoleh seruling itu.8

Dari kutipan di atas tokoh Mbawa adalah seorang yang memiliki sifat yang baik, mudah bergaul, dan menyenangi seni. Terlihat dalam kutipan bahwa tokoh Mbawa baik saat menjuluki Kawi si baik hati. Penokohannya dilakukan oleh pengarang secara dramatik.

b) Kawi

Tokoh Kawi digambarkan pengarang seperti pada kutipan berikut.

”Kalau engkau mau akan kubuatkan. Di rumahku tersedia buluh perindu seperti ini. Engkau mau ke rumahku sekarang?” tanya Kawi.9

Dari kutipan di atas tokoh Kawi adalah seorang yang sangat baik, suka menolong, dan terampil. Penokohannya dilakukan secara dramatik.

2. Latar

1) Latar tempat

Latar tempat pada cerpen ini dapat dilihat dari lokasi terjadinya peristiwa. Dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.

Setiap hari Mbawa bermain di sawah kering yang baru dibelinya. Pohon jamblang yang tumbuh di sudut timur tanah itu sangat menarik hati Mbawa. Dahannya yang rendah dan mudah dinaiki. Dari atas pohon itu Mbawa bisa melayangkan pandangan ke segala arah. Ke timur tampak kampung Jala dan Teluk Bima, ke utara tampak semak panjang menyusuri parit pinggir Kawinda, ke barat terlihat kebun jagungnya sendiri, sedang ke selatan membentang Sobali dengan rumput hijaunya sepanjang waktu. Di situlah anak-anak gembala dari Daru, Pali Sambawa, dan Sondo menggembalakan kerbaunya setiap hari.10

8C1.

9C1.

10


(45)

Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa terdapat latar tempat yang digunakan dalam cerpen yaitu di sebuah tanah persawahan yang berada di pinggir suatu kampung.

Latar tempat juga diceritakan oleh pengarang seperti kutipan di bawah ini. …. Mereka memasuki sebuah kebun mangga yang teduh. Mereka menyusuri jalan yang tidak begitu lebar. Tampaklah sebuah kebun. Rumah panggung besar terletak di sisi kiri kebun itu. Dan pada tanah yang luas yang terletak di hadapan rumah itu terdapat deretan lubang-lubang. Teratur sekali lubang itu dibuat….11

Dari kutipan di atas, tampak latar tempat terjadi di sebuah rumah yang terletak pada sebuah kebun.

2) Latar waktu

Latar waktu pada cerpen ini dapat dilihat kapan terjadinya peristiwa seperti pada kutipan di bawah ini.

Hari itu panas menyengat, anak-anak telah lama bermain di dalam air melawan teriknya matahari. Tetapi satu di antara mereka itu ada yang masih duduk-duduk. Tidak mau mandi bersama teman-temannya yang lain. Di tangannya tergenggam sebatang seruling. Ditiupnya seruling itu….12

Dari kutipan tersebut tampak bahwa ada latar waktu yakni pada siang hari. 3) Latar sosial

Latar sosial dapat dilihat dari status sosial tokoh, tingkat pendidikan tokoh, kepercayaan masyarakat terhadap mitos, serta rasa keadilan terhadap laki-laki dan perempuan. Dapat dibuktikan dengan kutipan di bawah ini.

Pada siang hari, anak-anak gembala berkumpul dan berteduh di bawah pohon-pohon sambil menikmati ketupat bekal dari rumahnya. Jika capek anak-anak tersebut bermain, berlompatan dan mandi sepuas-puasnya di lubuk Diwuamarni. Terkadang terdengar anak-anak gembala itu berpantun atau bernyanyi. 13

11C1.

12C1. 13C1.


(46)

Dari kutipan tersebut tampak bahwa latar sosial cerpen dapat diketahui pada kata anak-anak gembala, yang berarti tokoh-tokoh dalam cerpen adalah anak-anak gembala.

3. Alur (Plot)

Alur yang digunakan dalam Cerpen Seruling Gembala adalah alur maju. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam cerita ini berturut-turut menceritakan peristiwa yang dialami oleh tokoh Mbawa dan Kawi. Dalam cerita tersebut pengarang menggambarkan peristiwa mulai dari tokoh Mbawa bertemu dengan tokoh Kawi, kemudian peristiwa pada saat pertemuan yang menjadi sebuah inti cerita atau konflik, kemudian pada bagian akhir pengarang menceritakan peristiwa persahabatan Mbawa dengan Kawi yang menunjukkan adanya penurunan konflik sebagai penyelesaian cerita tersebut.

Pada bagian awal cerita pengarang menggambarkan suasana yang penuh dengan keindahan dan kegembiraan pada suatu tempat di pedesaan.

Setiap hari Mbawa bermain di sawah kering yang baru dibelinya. Pohon jamblang yang tumbuh di sudut timur tanah itu sangat menarik hati Mbawa. Dahannya yang rendah dan mudah dinaiki. Dari atas pohon itu Mbawa bisa melayangkan pandangan ke segala arah. Ke timur tampak kampung Jala dan Teluk Bima, ke utara tampak semak panjang menyusuri parit pinggir Kawinda, ke barat terlihat kebun jagungnya sendiri, sedang ke selatan membentang Sobali dengan rumput hijaunya sepanjang waktu. Di situlah anak-anak gembala dari Daru, Pali Sambawa, dan Sondo menggembalakan kerbaunya setiap hari.

Pada siang hari, anak-anak gembala berkumpul dan berteduh di bawah pohon-pohon sambil menikmati ketupat bekal dari rumahnya. Jika capek anak-anak tersebut bermain, berlompatan dan mandi sepuas-puasnya di lubuk Diwuamarni. Terkadang terdengar anak-anak gembala itu berpantun atau bernyanyi. 14

Selain itu, pengarang juga memperkenalkan tokoh-tokoh dalam cerita, yaitu Mbawa, anak-anak desa, dan Kawi. Cerita kemudian berlanjut sampai kepada pertemuan Mbawa dengan Kawi. Dari pertemuan itulah inti cerita (konflik) dimulai.


(47)

Inti cerita yang menjadi konflik dalam Cerpen Seruling Gembala digambarkan pada kutipan berikut.

Mbawa menyeberangi sungai yang tidak begitu dalam. Ditujunya anak yang sedang meniup suling. Tetapi begitu anak itu melihat kedatangan Mbawa, ia segera berhenti meniup.

”Tiup, Bang,” kata Mbawa memanggil Abang pada Kawi. ”Trilili, lili, li . . .,” suara serulingnya.

”Di mana aku bisa mendapatkannya? Siapa yang membuatkannya?” tanya Mbawa kepada Kawi.

”Kalau engkau mau akan kubuatkan. Di rumahku tersedia buluh perindu seperti ini. Engkau mau ke rumahku sekarang?” tanya Kawi. 15

Dari kutipan di atas, terlihat bahwa tokoh Mbawa sangat antusias untuk mengetahui siapa yang sedang meniup seruling. Tokoh Mbawa memiliki rasa ingin tahu bagaimana seruling itu diperoleh. Tokoh Kawi yang digambarkan sebagai tokoh peniup seruling menawarkan mengajak tokoh Mbawa ke rumahnya untuk membuat seruling.

Penyelesaian cerita terjadi ketika tokoh Mbawa telah mendapatkan seruling yang diberikan oleh tokoh Kawi. Sebagaimana yang digambarkan pada kutipan berikut ini.

…..Senang sekali Mbawa memperoleh seruling itu. ”Coba kautiup, Mbawa,” kata Kawi.

”Li,li,li ….” Suara seruling itu tak menentu.

”Nanti aku ajarkan caranya selesai makan tebu,” kata Kawi.

Mbawa pulang dengan diantar oleh Kawi. Mereka bermain sampai sore. Mbawa belajar meniup seruling kepada Kawi. Terdengar seruling gembala. Menyertai indahnya sore di Tolononto. 16

4. Sudut Pandang

Cerpen Seruling Gembala menggunakan metode pengisahan dengan sudut pandang persona ketiga “Dia” atau “Diaan”. Dalam cerpen ini pengarang menggunakan nama-nama orang, sebagimana terlihat dalam kutipan berikut:

15C1

16C1. , h. 43.


(48)

Mbawa bangkit dari tempat duduknya pada dahan pohon jamblang. Diperhatikannya baik-baik dari mana suara itu datang. 17

Kawi mengambil sebatang seruling. Bagus sekali kelihatannya. Diukir dengan gambar ular yang membelit-belit. 18

Penggunaan sudut pandang dengan persona ketiga “Dia” ini pada dasarnya menggambarkan bahwa pengarang ingin menampilkan berbagai peristiwa dalam ceritanya berdasarkan pengalaman dan pandangan pengarang. Tokoh Mbawa dan Kawi diceritakan berdasarkan sudut pandang pengarang. Pada bagian awal, pengarang menceritakan tokoh Mbawa sedang bermain menikmati pemandangan di suatu pedesaan, sampai bertemu dengan Kawi.

5. Tema

Tema yang terdapat dalam cerpen Seruling Gembala adalah tentang seorang anak yang memiliki keinginan untuk memiliki seruling dan bisa meniupnya. Hal ini dilatarbelakangi oleh peristiwa yang muncul dalam beberapa bagian cerita yang menggambarkan kemunculan konflik pada saat tokoh Mbawa mendengar seruling dan menemui Kawi si peniup seruling.

Mbawa bangkit dari tempat duduknya pada dahan pohon jamblang. Diperhatikannya baik-baik dari mana suara itu datang.

”Dari seberang. Oh, itu dia orangnya,” katanya sendirian.

Mbawa menyeberangi sungai yang tidak begitu dalam. Ditujunya anak yang sedang meniup suling. Tetapi begitu anak itu melihat kedatangan Mbawa, ia segera berhenti meniup. 19

Setelah Mbawa menemui Kawi, tokoh Mbawa sangat antusias dan bertanya tentang bagaimana memperoleh seruling dan siapa pembuatnya.

”Di mana aku bisa mendapatkannya? Siapa yang membuatkannya?” tanya Mbawa kepada Kawi.

”Kalau engkau mau akan kubuatkan. Di rumahku tersedia buluh perindu seperti ini. Engkau mau ke rumahku sekarang?” tanya Kawi. 20

17C1 18C1 19C1. 20C1.


(49)

Dapat dikatakan mengapa cerpen ini diberi judul Seruling Gembala karena permasalahan dalam cerita ini berkutat pada kisah seorang anak gembala yang memiliki rasa ingin tahu tentang cara memainkan dan memperoleh seruling. Mbawa dan Kawi adalah anak pedesaan yang kesehariannya menggembala ternak kerbau di suatu tempat di pinggiran desa mereka. Pada suatu ketika mereka bertemu karena Mbawa mendengar suara tiupan seruling yang dimainkan oleh Kawi. Karena suara seruling tersebut akhirnya Mbawa dan Kawi menjadi sahabat.

B. Analisis Nilai Moral pada Cerpen Seruling Gembala(C1)

Cerpen yang berjudul Seruling Gembala menceritakan tentang seorang anak gembala yang bertemu dengan anak gembala lainnya yang pandai meniup dan membuat seruling. Tokoh Mbawa sangat tertarik dengan suara merdu seruling yang dimainkan oleh tokoh Kawi.

Mbawa sangat mengagumi permainan dan suara merdu seruling yang ditiupkan oleh Kawi, sehingga Mbawa berminat untuk memiliki dan belajar meniup seruling dari Kawi. Sementara Kawi sendiri adalah tokoh yang baik hati dan bijaksana yang dengan senang hati memberikan seruling untuk Mbawa dan mengajarkan cara memainkan seruling tersebut.

Untuk menilai tindakan manusia, moral adalah tolak ukur yang tepat. Nilai moral mempunyai beberapa wujud, dan wujudnya dalam cerpen ini sebagai berikut. a. Sikap baik

Cerpen Seruling Gembala menceritakan kisah tentang seorang anak yang sangat antusias untuk belajar meniup seruling dari salah seorang teman yang baru dikenalnya. Kawi sebagai teman yang baru dikenal Mbawa sangat pandai memainkan seruling dan ia pun sangat senang hati untuk berbagi ilmunya dengan Mbawa, kendatipun Mbawa baru dikenalnya.

Moral merupakan salah satu ciri khas manusia yang tidak dapat ditemukan pada makhluk lain. Moral dalam diri manusia merupakan kesadaran tentang baik dan buruk, tentang yang boleh dan dilarang, tentang yang harus dilakukan dan


(50)

yang tidak pantas dilakukan. Untuk menentukan tindakan manusia secara moral, diperlukan tolak ukur yang tepat dan tolak ukur ini merupakan salah satu wujud dari moral yakni sikap baik. Sikap baik pada cerpen ini dapat dilihat dari perbuatan baik, seperti pada kutipan di bawah ini.

”Kalau engkau mau akan kubuatkan. Di rumahku tersedia buluh perindu seperti ini. Engkau mau ke rumahku sekarang?” tanya Kawi.21

Pada kutipan tersebut tampak adanya wujud moral sikap baik yaitu saat Kawi menawarkan untuk membuatkan seruling dan mengajak Mbawa ke rumahnya. Tentu tak semudah itu untuk memberikan penawaran kepada seseorang yang baru dikenal.

Pada waktu itu pasti manusia sudah memiliki moral karena moral merupakan hal yang universal, moral adalah perbuatan atau tingkah laku atau ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima masyarakat maka orang itu dinilai memiliki sikap baik. Selain itu sikap baik juga terdapat dalam kutipan di bawah ini.

”Coba kautiup, Mbawa,” kata Kawi.

”Li,li,li ….” Suara seruling itu tak menentu.

”Nanti aku ajarkan caranya selesai makan tebu,” kata Kawi.22

Pada kutipan tersebut tampak adanya wujud moral sikap baik yaitu saat Kawi menyatakan niatnya untuk mengajarkan Mbawa memainkan seruling. Selain itu, kutipan di atas juga menunjukkan sikap baik Kawi yang secara tidak langsung mengajak Mbawa untuk bersama-sama makan tebu.

Selain itu sikap baik juga terdapat dalam kutipan di bawah ini.

Mbawa pulang dengan diantar oleh Kawi. Mereka bermain sampai sore. Mbawa belajar meniup seruling kepada Kawi. Terdengar seruling gembala. Menyertai indahnya sore di Tolononto.23

21C1.

22C1 23C1.


(1)

1

Wajah di Balik Jendela Karya: Benny Ramdani

Odi tengah menyelesaikan tugas menggambarnya ketika merasa ada yang tak beres di kamarnya. Ia segera meletakkan pensil gambarnya dan mengamati keadaan kamar. Semua seperti biasanya. Tetapi, ketika Odi melihat ke jendela kamar, ia baru sadar, kaca nako belum tertutup sempurna. Angin yang bertiup masuk itulah yang membuat perasaannya taktenteram.Sambil merapatkan kaca nako, Odi mengamati keadaandi luar. Ia merasa heran melihat daunpalem yang tumbuhbelum seberapa tinggi itu bergoyang.

“Tidak mungkin digoyang angin. Ah, pasti ada kucing yanglewat tadi,” pikir Odi

menenteramkan hati.

Odi kembali ke meja belajar, meneruskan pekerjaannya yang belum tuntas. Tetapi beberapa menit kemudian, ia merasa ingin menoleh sekali lagi ke jendela kamar.Odi berpekik kaget. Secara spontan, ia langsung menghamburkan langkahnya keluar kamar menuju kamarbang Agus di sebelah kamarnya

.“Ada apa dengan kamu, Di?” tanya bang Agus ketikamelihat Odi yang tiba-tiba

masuk ke kamarnya dengan wajahpucat pasi.

“Ada hantu ... ah, atau mungkin ...” Odi gugup. “Di mana?”

Di balik jendela kamar. Aku baru sajamelihatnya,” jawab Odi.

Bang Agus langsung menuju kamar Odi,diikuti Odi di belakang. Ia segera menuju jendela dan mengamati keadaan di luar. Sepi dan tidakada benda apapun yang aneh.

“Sebenarnya, apa yang kamu lihat tadi, Di?”tanya Bang Agus sekali lagi.

“Ada muka yang menempel di kaca jendela ini. Tetapi, aku tidak begitu jelas

melihatnya. Sepertinya, ia memakai mantel bertopi yang ia tutupkan ke kepalanya,” Odi mencoba mengingat apa yang dilihatnya.

Bang Agus mendengus, “Buktinya di luar tidak ada apa-apa. Sudahlah, kamu pasti

lagi ngelamun yang tidak-tidakbarusan,” ujar Bang Agus

.Odi ingin protes. Tetapi, dipikir-pikir percuma saja. Bang Agus pasti akan tetap mengiranya mengada-ada.

“Tirai jendelanya ditutup saja. Terus, pintu kamarnya dibuka. Nanti, kalau kamu lihat

yang aneh-aneh lagi, teriaksaja,” kata Bang Agus sambil meninggalkan Odi sendirian.Odi menurut apa yang dipesan kakaknya. Kemudian, ia berusaha melupakan kejadian yang baru dialaminya danmeneruskan pekerjaannya. Setelah tugas sekolahnya selesai, seperti biasa, Odi merapikan kamarnya dahulu. Beberapa mainan yangtergeletak di lantai, dikembalikan ke


(2)

2

tempatnya. dua hari yanglalu, Odi baru saja merayakan pesta ulang tahunnya. Banyak hadiah mainan, buku, dan benda pajangan diterimanya, yangkini memenuhi kamarnya.Ketika kantuk mulai menyerang, Odi langsung merebahkan diri di tempat tidurnya. Matanya tak mau sedikit pun melirikke jendela kamar. Ia ingin segera menceritakan semuanyakepada Ibek, temannya yang senang memecahkan kejadian-kejadian aneh.

Esok harinya, ketika bertemu Ibek di sekolah, Odi langsung menceritakan tentang wajah di balik jendela semalam.Saat istirahat tiba, Ibek mulai beraksi menanyakan teman teman sekelas seputar kado yang diberikan mereka pada ulang tahun Odi. Tetapi, jawabannya tidak memberikan hal yang berarti bagi Ibek.

Malamnya, Ibek sengaja belajar bersama di rumah Odi.Sesekali, mereka memandang ke jendela. Tetapi, yang mereka harapkan tidak muncul juga.

“Rupanya, hantu itu takut terhadapku,” bisik Ibek. Tak berapa lama kemudian, ia pamit

pulang meninggalkan rumah Odi. Sepeninggal Ibek, Odi kembali gelisah. Apalagi, Ibek berpesan agar tirai jendela kamarnya dibiarkan terbuka. Sementara, Odi pura-pura mencari kesibukan di meja belajarnya. Akhirnya, ia tidak bisa menahan keinginan untuk menoleh ke jendela kamarnya.

“Wajah itu lagi!” Odi langsung berteriak.Ia lari keluar kamar menuju kamar Bang Agus.

Buru-buru,diseretnya Bang Agus keluar rumah. Di halaman rumah, tepatdi depan kamar Odi, terlihat Ibek tengah bergumul seru mencekal seorang anak sebayanya yang terus meronta.

“Hentikan! Dia itu Husen. Aku mengenalnya,” seru BangAgus kemudian.

Ibek melepaskan cekalanya. Husen langsung berlari menghampiri Bang Agus. Ibek dan Odi sama-sama terngangaketika melihat Husen sibuk menggerak-gerakkan tangannya dan anggota tubuh lainnya di depan Bang Agus. Anak itu rupanya tak dapat bicara.

“Beberapa hari yang lalu, aku membeli patung kayu yang dijual Husen di pasar untuk

kado ulang tahun Odi. Rupanya Husen ingin meminjam sebentar patung kayu itu, tetapi sulit menemui aku. Makanya, dua malam ini, ia terus melihat kamarmu untuk memastikan patung kayu itu masih ada.

Sekarang, coba kamu ambilkan patung itu,” pinta Bang Agus.

Odi berlari ke kamar dan kembali dengan patung kayu berbentuk kuda di tangannya. Begitu Husen diserahi patung itu, ia buru-buru merogoh bagian dasar patung. Ada rongga kecil di sana. Dan, dari dalamnya ia mengambil sebentuk cincin.

“Itu cincin peninggalan ibunya,” jelas Bang Agus setelahHusen mengembalikan

patung kuda kepada Odi. Bang Agussegera meminta mereka saling bersalaman, berkenalan, dansaling memaafkan. Tak lama kemudian, Husen langsungpulang, disusul Ibek yang bajunya sedikit terkoyak.

“Malam itu, Odi tidur nyenyak tanpa dibayangi ketakutan.Besok, ia ingin Bang Agus


(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

KOHERENSI WACANA PADA BUKU BAHASA INDONESIA WAHANA PENGETAHUAN SMP/MTs KELAS VII TAHUN 2014

0 14 24

Sikap Bahasa Indonesia Siswa MTs Al-Falah Jakarta

0 26 136

IDENTIFIKASI KATA SERAPAN DALAM BUKU PAKET KURIKULUM 2013 BAHASA INDONESIA WAHANA PENGETAHUAN SMP KELAS VII Identifikasi Kata Serapan Dala Buku Paket Kurikulum 2013 Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan Smp Kelas Vii.

0 3 11

ARTIKEL PUBLIKASI KETIDAKEFEKTIFAN KALIMAT PADA WACANA DALAM BUKU PAKET Ketidakefektifan Kalimat Pada Wacana Dalam Buku Paket Mandiri Bahasa Indonesia Untuk Smp/Mts Kelas Vii.

0 5 18

KETIDAKEFEKTIFAN KALIMAT PADA WACANA DALAM BUKU PAKET MANDIRI BAHASA INDONESIA UNTUK SMP/MTS KELAS VII Ketidakefektifan Kalimat Pada Wacana Dalam Buku Paket Mandiri Bahasa Indonesia Untuk Smp/Mts Kelas Vii.

0 2 14

BAB 1 PENDAHULUAN Ketidakefektifan Kalimat Pada Wacana Dalam Buku Paket Mandiri Bahasa Indonesia Untuk Smp/Mts Kelas Vii.

0 2 4

PENGGUNAAN KALIMAT EFEKTIF PADA SOAL LATIHAN DALAM BUKU PAKET BAHASA INDONESIA SMP KELAS VII KARYA MARIATI Penggunaan Kalimat Efektif Pada Soal Latihan dalam Buku Paket Bahasa Indonesia SMP Kelas VII Karya Mariati Nugroho dan Sutopo.

0 2 17

PENGGUNAAN KALIMAT EFEKTIF PADA SOAL LATIHAN DALAM BUKU PAKET BAHASA INDONESIA SMP KELAS VII KARYA MARIATI Penggunaan Kalimat Efektif Pada Soal Latihan dalam Buku Paket Bahasa Indonesia SMP Kelas VII Karya Mariati Nugroho dan Sutopo.

0 3 17

ANALISIS NILAI MORAL PADA LIMA CERPEN KARYA KUNTOWIJOYO DALAM BUKU DILARANG MENCINTAI BUNGA-BUNGA

0 0 16

ANALISIS NILAI KARAKTER TEKS DESKRIPSI DALAM BUKU BAHASA INDONESIA PADA SISWA MTS

0 2 8