bawahan. Sedangkan berdasarkan cara menampilkan tokoh di dalam cerita dapat dibedakan antara tokoh datar dan tokoh bulat.
12
Berdasarkan segi peranan atau penting tidaknya kehadiran tokoh dalam cerita, dibedakan:
a Tokoh Utama
Nurgiyantoro mengemukakan bahwa, Tokoh utama paling banyak diceritakan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat
menentukkan perkembangan plot secara keseluruhan. Ia selalu hadir sebagai pelaku atau yang dikenai kejadian dan konflik penting dalam plot
cerita.
13
Tokoh utama atau tokoh sentral menurut Sudjiman adalah tokoh yang memegang peran pimpinan.
14
Kriteria menentukan tokoh utama berdasarkan fungsi tokoh di dalam cerita adalah: yang pertama, tokoh utama berhubungan dengan
semua tokoh yang ada di dalam cerita, sedangkan tokoh-tokoh yang lain tidak saling berhubungan, kedua tokoh utama adalah tokoh yang paling
tinggi intensitas keterlibatannya dalam peristiwa yang membangun cerita dan yang ketiga tokoh utama menjadi pusat sorotan dalam cerita.
b Tokoh Tambahan
Menurut Nurgiyantoro, tokoh tambahan adalah tokoh yang kemunculannya jika ada kaitannya dengan tokoh utama. Secara langsung
ataupun tidak langsung, pemunculan tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit dan tidak dipentingkan.
15
Grimes dalam Sudjiman mengemukakan mengenai tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral
kedudukannya di dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama.
16
Kriteria menentukan tokoh bawahan atau tokoh tambahan berdasarkan fungsi tokoh di dalam cerita adalah: 1 tokoh bawahan tokoh
12
Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1988, h. 17-20.
13
Nurgiyantoro, op. cit. h. 177.
14
Sudjiman, op. cit. h. 17.
15
Nurgiyantoro, loc. cit.
16
Sudjiman, op. cit. h. 19.
yang menunjang tokoh utama, 2 tokoh-tokoh yang sering ikut berperan dengan tokoh atasan, 3 tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral
kedudukannya dalam sebuah cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama.
Sementara itu berdasarkan segi fungsi penampilan tokoh dalam cerita dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Tokoh protagonis, yaitu tokoh yang dikagumi, tokoh yang merupakan
pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita. 2.
Tokoh antagonis, yaitu tokoh yang menjadi penyebab terjadinya konflik dalam cerita.
Penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana
perwatakan dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada
pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita.
17
Hayati dan Muslich mengemukakan, bahwa perwatakan atau penokohan dalam suatu cerita adalah pemberian sifat baik lahir maupun
batin pada seorang pelaku atau tokoh yang terdapat pada cerita. Sifat-sifat yang diberikan pada pelaku cerita akan tercermin pada fikiran dan
perbuatannya.
18
Sudjiman mengemukakan bahwa penokohan merupakan penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh.
19
Dari beberapa pendapat di atas dapat dinyatakan bahwa penokohan adalah cara penyajian tokoh dengan karakter yang ditampilkan dalam
cerita. Penokohan atau perwtakan adalah pelukisan mengenai tokoh cerita, baik keadaan lahirnya maupun batinnya yang berupa pandangan hidup,
sikap, keyakinan, adat istiadat, dan sebagainya.
17
Ibid., h. 166.
18
A. Hayati dan Masnur Muslich, Latihan Apresiasi Sastra., Surabaya: Triana Media, t.t, h. 15.
19
Sudjiman, op. cit. h. 23.
Ada dua macam cara memperkenalkan tokoh dan perwatakan tokoh dalam fiksi.
a Analitik
Yaitu pengarang memaparkan tentang watak atau karakter tokoh pengarang menyebutkan bahwa tokoh tersebut keras hati, keras kepala,
penyayang, dan sebagainya. b
Dramatik Disebut cara dramatik, yaitu penggambar perwatakan yang tidak
diceritakan langsung, tetapi hal itu disampaikan melalui: 1 Pilihan nama tokoh; 2 Melalui penggambaran fisik atau postur tubuh, cara
berpakaian, tingkah laku terhadap tokoh-tokoh lain, lingkungannya, dan sebagainya; 3 Melalui dialog, baik dialog tokoh yang
bersangkutan dalam interaksinya dengan tokoh-tokoh lain.
20
2 Latar
Latar cerita menurut Semi adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi. Termasuk di dalam latar ini adalah, tempat atau ruang yang dapat diamati,
seperti di kampus, di sebuah kapal yang berlayar ke Hongkong, di kafetaria, di sebuah puskesmas, di dalam penjara, di Paris, dan
sebagainya.
21
Menurut Nurgiyantoro menyatakan bahwa unsur latar dibedakan menjadi tiga unsur pokok yaitu tema tempat, tema waktu, dan tema sosial
yang dijelaskan sebagai berikut: a
Latar Tempat Latar tempat berhubungan dengan lokasi terjadinya peristiwa yang
menceritakan dalam sebuah karya fiksi. Lokasi yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu harus
mencerminkan, tidak sejalan dengan sifat atau keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Latar tempat tanpa nama jelas biasanya
hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu,
20
Semi. op. cit., h. 39-40.
21
Ibid., h. 46.
misalnya desa, sungai, jalan, hutan, kota, kota kecamatan, dan sebagainya.
b Latar Waktu
Nurgiyantoro mengatakan latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa dalam sebuah karya fiksi. Biasanya
berhubungan dengan sejarah. Segala sesuatu yang berhubungan dengan waktu baik langsung maupun tidak langsung harus disesuaikan dengan
waktu sejarah yang menjadi acuan. Pengangkatan unsur sejarah ke dalam karya fiksi akan menyebabkan waktu yang diceritakan menjadi bersifat
khas, tipikal, dan dapat menjadi sangat fungsional sehingga tak dapat diganti dengan waktu lain tanpa mempengaruhi perkembangan cerita.
c Latar Sosial
Latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial bermasyrakat di suatu tempat yang diceritakan dalam suatu karya fiksi.
Tata cara kehidupan sosial bermasyarakat mencakup berbagai masalah yang cukup kompleks. Permasalahan dengan kehidupan sosial masyrakat
disuatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi, dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, kenyakinan, pandangan hidup, cara berpikir,
bersikap dan lain-lain. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh.
22
3 Alur Plot
Salah satu elemen terpenting dalam membentuk sebuah karya fiksi dadalah plot cerita. Dalam analisis cerita, plot sering pula disebut dengan
istilah alur. Sundari 1985 dalam Fananie memberikan batasan mengenai plot alur dalam pengertiannya yang paling umum, plot atau alur sering
diartikan sebagai keseluruhan rangkaian peristiwa yang terdapat dalam cerita. Luxemburg 1984 dalam Fananie menyebut alur atau plot adalah
konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang
22
Nurgiyantoro, op. cit., h. 227-234.
secara logis dan kronologis saling berkaitan dan mengakibatkan dan diakibatkan atau dialami oleh para pelaku.
23
Berdasarkan kriteria urutan waktu, alur dibedakan menjadi alur maju progresif, alur mundur flash back, dan alur campuran progresif-flash
back. Alur maju progresif adalah alur yang mengisahkan peristiwa- peristiwa dalam cerita secara kronologis. Alur mundur atau sorot-balik
flash back merupakan alur dengan urutan kejadian dengan tidak dimulai dari tahap awal yang benar-benar merupakan awal cerita secara logika,
melainkan dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita. Alur campuran adalah perpaduan antara alur maju dan mundur
progresif-flash back.
24
4 Sudut Pandang
Sebuah cerpen, selain memiliki alur, tokoh, dan latar, juga memiliki pencerita atau narator. Berbicara tentang narator, berarti berbicara tentang
sudut pandang, yaitu suatu metode narasi yang menentukan posisi atau sudut pandang dari mana cerita disampaikan.
Sudut pandang terdapat beragam variasi dan kombinasi, namun ada tiga varian mendasar yang berbeda, yaitu sudut pandang impersonal,
orang ketiga, dan orang pertama, serta sudut pandang dramatik. Sudut pandang impersonal adalah bila si pencerita berdiri di luar pecerita dan
bergerak secara bebas dari satu tokoh ke tokoh lainnya, suatu tempat ke tempat lainnya, suatu episode ke episode lainnya, yang dapat
memberikan akses terhadap pikiran dan perasaan tokoh dengan bebasnya. Sudut pandang orang ketiga, si pengarang memilih seorang
tokoh dan cerita, dengan demikian si tokoh menyampaikan visinya sendiri. Sedangkan, sudut pandang dengan pencerita orang pertama,
cerita disampaikan oleh orang pertama sebagai salah satu tokoh dalam cerita. Sudut pandang dramatik adalah bila cerita tidak disampaikan
oleh siapa pun melainkan melalui dialog dan lakuan, ketidakhadiran si pencerita digantikan oleh percakapan, ucapan, dan tingkah laku para
tokoh.
25
23
Zainuddin Fananie, Telaah Sastra, Surakarta: Muhammadiyah University Press, Cet. III, 2002, h. 93.
24
Nurgiyantoro, op. cit., h. 153-159.
25
Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, h. 89-90.
Sudut pandang terdiri dari sudut pandang persona ketiga “dia”, sudut pandang pe
rsona pertama “aku”, dan sudut pandang campuran. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
a Sudut Pandang Persona Ketiga “Dia” atau “Dia-an”
Pengarang memilih salah satu tokohnya untuk diikuti ceritanya. Lazim juga disebut gaya “dia”. Pengarang tidak terikat cara memandang seluruh
cerita lewat watak tertentu tokoh “aku‟ lagi, tetapi lebih bebas karena seluruh cerita mengikuti perjalanan tokoh “dia”.
Pengarang dalam cara ini masih dapat melukiskan keadaan jiwa “dia”, tetapi tak dapat melukiskan keadaan jiwa tokoh-tokoh lain. Namun
pengarang juga masih dapat memberi komentar terhadap kelakuan dan keadaan jiwa tokoh “dia”. Tokoh ini dalam cerita tentu saja selalu
dipanggil namanya, berbeda denga gaya “aku” yang jarang disebut namanya oleh pengarang.
26
Dalam sudut pan dang orang ketiga “dia”, narator atau pencerita adalah
seseorang yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, misalnya Harun, Sri, John, dan sebagainya atau penggunaan kata ganti
seperti ia, dia, dan mereka. Dalam adegan percakapan antartokoh banyak penyebutan “aku‟ dan “engkau”, sebab tokoh-tokoh “dia” oleh si pencerita
sedang dibiarkan mengungkapkan diri mereka sendiri. Sudut pandang “dia” dapat dibedakan ke dalam dua golongan
berdasarkan tingkat kebebasan dan keterkaitan pengarang terhadap bahan ceritanya, yaitu “dia” mahatahu apabila cerita dikisahkan dari sudut “dia”,
namun pengarang, narator, dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh “dia” tersebut, dan “dia” terbatas atau pengamat
apabila pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh
saja, atau terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas. b
Sudut Pandang Persona Pertama “Aku” atau “Aku-an” Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona
pertama first person point of view, pengarang memilih seorang tokoh
26
Jakob Sumardjo dan Saini K.M, Apresiasi Kesusastraan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994, h.82-85.
saja yang mengetahui seluruh cerita dan tokoh itu bercerita menurut apa yang diketahui saja. Dalam karya semacam ini, pengarang menggunakan
gaya “aku” untuk bercerita. Sudut pandang persona pertama dapat
dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan peran dan kedudukan si “aku” dalam cerita, yaitu “aku” tokoh utama apabila si “aku” mengisahkan
berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik, hubungannya dengan sesuatu
yang di luar dirinya dan “aku” tokoh tambahan apabila tokoh “aku” hadir membawakan cerita kepada pembaca, sedang tokoh cerita yang dikisahkan
itu kemudian “dibiarkan” untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya.
27
c Sudut Pandang Campuran
Penggunaan sudut pandang dalam sebuah novel mungkin saja lebih dari satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke
teknik yang lain untuk sebuah cerita yang dituliskannya. Penggunaan sudut pandang yang bersifat campuran itu di dalam sebuah novel, mungkin
berupa penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan teknik “dia”
mahatahu dan “dia” sebagai pengamat, persona pertama dengan teknik “aku” sebagai tokoh utama dan “aku” tambahan atau sebagai saksi, bahkan
dapat berupa campuran antara persona pertama dan ketiga, antara “aku”
dan “dia” sekaligus.
28
5 Tema
Tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum pada sebuah karya sastra yang tentunya telah ditentukan sebelumnya oleh
pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita. Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita.
29
27
Minderop. loc. cit.
28
Nurgiyantoro. op. cit., h. 266.
29
Nurgiyantoro. op. cit., h. 70.
Tidak berbeda halnya dengan uraian di atas, Sudjiman berpendapat bahwa tema adalah gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari
sebuah karya sastra.
30
Tema dalam karya sastra letaknya tersembunyi dan harus dicari sendiri oleh pembacanya. Pengarang atau sastrawan tidak sematamata menyatakan
apa yang menjadi inti permasalahan karyanya, meskipun kadang-kadang memang terdapat kata-kata atau kalimat kunci dalam salah satu bagian
karya itu. Dari kalimat kunci tadi sastrawan seolah merumuskan apa yang sebenarnya menjadi inti persoalan yang dibahas oleh karyanya.
31
b. Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung ikut mempengaruhi bangunan atau sistem
organisme karya sastra.
32
Ia juga dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangunan cerita sebuah karya sastra, tetapi tidak ikut
menjadi bagian di dalamnya. Walaupun demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangunan cerita yang dihasilkan. Semi
berpendapat bahwa, struktur luar ekstrinsik adalah segala macam unsur yang berada di luar suatu karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran
karya sastra tersebut, misalnya faktor sosio-politik, keagamaan, dan tata nilai yang dianut masyarakat.
33
B. Nilai Moral
1. Pengertian Nilai Moral
Nilai moral . Bertens memberikan definisi moral yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok
dalam mengatur tingkah lakunya.
34
30
Sudjiman, op. cit. h. 50.
31
Stanton. op. cit., h. 36-46
32
Nurgiyantoro. op. cit., h. 23.
33
Semi. op. cit. h. 35.
34
K. Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2007, h. 7.
Nilai moral adalah nilai yang berhubungan dengan konsep baik dan buruk. Nilai moral memiliki tuntunan yang lebih mendesak dan cukup serius. Ciri
dari nilai moral adalah timbulnya suara dari hati nurani yang menuduh diri sendiri sebagai hak terbaik sehingga tidak timbul usaha meremehkan orang
lain.
35
Menurut Kenny melalui Nurgiyantoro, moral dalam cerita biasanya dimasukkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral
tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil lewat cerita bersangkutan oleh pembaca.
36
Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk, moralitas merupakan salah satu ciri
khas manusia yang tidak dapat ditemukan pada makhluk lain, moralitas dalam diri manusia merupakan kesadaran tentang baik dan buruk tentang yang boleh
dan dilarang, tentang yang harus dilakukan dan yang tidak pantas dilakukan. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa nilai moral
merupakan ukuran atau pedoman perbuatan manusia. Seseorang dikatakan bermoral apabila orang itu bertingkah laku sesuai dengan ukuran moral yang
dipakai di masyarakat ia tinggal, dan sebaliknya moral tidak dapat diukur berdasarkan yang berlaku di daerah lain karena masing-masing daerah
mempunyai ukuran moral yang berbeda.
2. Tahap-Tahap Perkembangan Penalaran Moral
Kematangan moral menuntut penalaran-penalaran yang matang pula dalam arti moral.Tujuan dari pendidikan moral adalah kematangan moral, dan jika
kematangan moral itu adalah sesuatu yang harus dikembangkan, maka para guru dan pendidik seharusnya mengetahui proses perkembangan dan cara-cara
membantu perkembangan moral tersebut. Adapun tahap-tahap penalaran moral menurut Kohlberg adalah sbb:
a. Tingkat Pra-Konvensional Pada tingkat ini seseorang sangat tanggap terhadap aturan-aturan
kebudayaan dan penilaian baik dan buruk, tetapi ia menafsirkan baik dan
35
Ibid., h. 142-147.
36
Nurgiyantoro, op. cit., h. 321.
buruk ini dalam rangka menghindari hukuman atau maksimalisasi kenikmatan.
2. Tingkat Konvensional Pada tingkat ini seseorang menyadari dirinya sebagai seorang individu di
tengah-tengah keluarga, masyarakat, dan bangsanya. Pada tahap ini orang mulai cenderung bisa menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang ada di
lingkungannya. 3. Tahap Pasca
– Konvensioanal atau Tingkat Otonom Pada tingkat ini orang sadar bahwa hukum merupakan kontrak sosial demi
ketertiban dan kesejahteraan umum. Berdasarkan tahapan-tahapan di atas dapat disimpulkan menjadi tahapan-
tahapan sbb: 1. tahap I
: patuh pada aturan untuk menghindari hukuman 2. tahap II
: menyesuaikan diiri untuk memperoleh ganjaran atau kebaikannya mendapat balasan.
3. tahap III : menyesuaikan diri untuk menghindari ketidaksetujuan,
ketidaksenangan orang lain. 4. tahap IV
: menyesauaikan diri untuk menghindari untuk menghindari penilaian oleh otoritas resmi dan rasa diri bersalah.
5. tahap V : menyesuaikan diri untuk memelihara rasa hormat dari
orang netral yang menilai dari sudut pandang kesejahteraan masyarakat. 6. tahap VI
: menyesuaikan diri untuk menghindari penghukuman atas diri sendiri.
3. Nilai Moral Dalam Karya Sastra
Nilai moral dalam karya sastra biasanya merupakan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran,
dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Nurgiyantoro menyatakan bahwa, karya sastra senantiasa menawarkan
pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sifat-sifat luhur kemanusiaan
bersifat universal.
37
Artinya, sifat-sifat itu dimiliki dan diyakini kebenarannya oleh manusia sejagad. Sebuah karya sastra yang menawarkan pesan moral
yang bersifat universal, biasanya akan diterima kebenarannya secara universal pula.
Moral selain dikaji secara kognitif juga menyangkut sikap batin seseorang, dan norma-norma moral sifatnya lebih subyektif, demikian menurut
Budiningsih.
38
Dari uraian tersebut maka, moral merupakan norma tentang kehidupan yang telah diberikan kedudukan istimewa dalam kehidupan sebuah
masyarakat yang menyangkut tentang pedoman baik dan buruk perilaku manusia yang ditanamkan oleh pengarang di dalam karya sastra.
4. Jenis dan Wujud Nilai Moral
Setiap karya sastra pasti mengandung dan menawarkan pesan moral, karena itu banyak sekali jenis dan wujud pesan moral yang diajarkan. Jenis
ajaran moral dapat mencakup masalah, yang bisa dikatakan tak terbatas. Hal itu dapat mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan
yang mencakup harkat dan martabat manusia. Menurut Nurgiyantoro secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan
manusia itu dapat dibedakan ke dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Persoalan manusia dengan dirinya sendiri dapat bermacam-macam
jenis dan tingkatannya. Persoalan tersebut yakni: harga diri adalah kesadaran akan berapa besar nilai yang diberikan kepada diri sendiri. Rasa percaya diri
adalah tanggapan nilai hati terhadap keyakinan atau memastikan akan kemampuan dirinya sendiri. Takut adalah merasa gentar dan ngeri terhadap
sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana. Maut adalah kematian, terutama tentang manusia. Rindu adalah memiliki keinginan yang kuat untuk
bertemu. Dendam adalah keinginan keras untuk membalas kejahatan.
37
Ibid., h. 322.
38
Asri Budiningsih, Pembelajaran Moral, Jakarta: PT Rhineka Cipta, 2008, h. 69.