Sikap Bahasa Indonesia Siswa MTs Al-Falah Jakarta
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Salah Satu Syarat untuk Memenuhi Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh
Haiza Hazrina
NIM 1112013000045
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
i
Al-Falah Jakarta, Skripsi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2016.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sikap bahasa siswa MTs. Al-Falah Jakarta terhadap bahasa Indonesia. Permasalahan yang diteliti adalah bagaimana sikap bahasa siswa MTs. Al-Falah terhadap bahasa Indonesia. Subjek penelitian adalah siswa MTs. Al-Falah Jakarta. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu suatu metode yang bertujuan untuk mendeskripsikan keadaan objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang ada. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, angket, dan wawancara dengan mewawancarai guru bahasa Indonesia dan beberapa siswa yang menjadi sampel. Sampel dalam penelitian ini diambil 10% dari jumlah keseluruhan siswa, yakni sebanyak 40 siswa.
Dalam skripsi ini menggunakan teori ciri-ciri sikap bahasa yang dikemukakan oleh Garvin dan Mathiot, yakni (1) kesetiaan bahasa yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya; (2) kebanggaan bahasa yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakan bahasanya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat; (3) kesadaran akan adanya norma bahasa yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap bahasa siswa MTs. Al-Falah terhadap bahasa Indonesia adalah positif. Hasil tersebut berdasarkan persentase angket sebesar 46.75% sangat setuju dan 77.5% setuju atas seluruh pernyataan yang berarti menunjukkan positif. Jawaban ragu-ragu diperoleh sebesar 30%. Sementara itu, hasil negatif dari seluruh pernyataan ditemukan hanya 19.5% tidak setuju dan 4.5% sangat tidak setuju.
(7)
ii
Hidayatullah State Islamic University Jakarta in 2016.
This study aimed to describe the attitude of the language students of MTs Al-Falah Jakarta to Indonesian. Problems that research is how language attitudes MTs students. Al-Falah toward Indonesian. Subject were students of MTs. Al Falah Jakarta. The method used in this research is descriptive qualitative which is a method that aims to describe the state of the research object based on the facts available. Data collection techniques used were observation, questionnaires, and interviews with Indonesian interviewed teachers and some students. The sample in this study were taken 10% of the total number of students, as many as 40 students.
In this thesis uses the theory of the characteristics of language attitude expressed by Garvin and Mathiot, namely (1) loyalty language that encourages people a language maintains the language: (2) pride of language that encourages people to develop language and use language as a symbol of identity and community cohesion , (3) an awareness of the language norms that encourage people to use language carefully and politely.
The results showed that the students' language attitudes MTs. Al-Falah to Indonesian is positive. These results are based on percentage of questionnaires by 46.75% strongly agreed and 77.5% agreed on the entire statement, indicating a positive. Answer hesitation obtained by 30%. Meanwhile, the negative results of the entire statement is found only 19.5% disagreed and 4.5% strongly disagree.
Keywords: attitude, attitude language, Indonesia languages.
(8)
iii
berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Selawat dan salam tidak lupa penulis sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad Saw. yang telah memberikan petunjuk dan menjadi suri tauladan bagi umatnya.
Adapun tujuan penulisan skripsi yang berjudul “Sikap Bahasa Indonesia
Siswa MTs. Al-Falah Jakarta” diajukan untuk mendapatkan gelar sarjana
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Dalam menyusun skripsi ini, tentunya penulis tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang tanpa lelah memberikan dorongan baik moril maupun materiil. Dengan segala kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan pengarahan dan nasihat kepada penulis.
3. Dra. Mahmudah Fitriyah ZA, M.Pd. selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan waktu, arahan, bimbingan, nasihat, dan ilmu yang sangat berarti bagi penulis.
4. Dr. Hindun, M.Pd. dan Dr. Elvi Susanti, M.Pd. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan untuk skripsi penulis, agar menjadi lebih baik lagi.
5. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis selama berada di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Kepala Madrasah Tsanawiyah Al-Falah, Bapak H. Yusri HK, S.Pd.I yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melaksanakan penelitian. Guru bahasa Indonesia, Ibu Dra. Wazdah yang telah meluangkan waktu selama penulis melakukan penelitian.
(9)
iv
nasihat, dan kasih sayang yang tiada bisa dihitung jumlahnya oleh penulis. 8. Kakak-kakak penulis (Salahuddin, Hunainah, Fauzah, Ahmad Tibyan,
Firda, Khoriza, Bayadho, Neni, Zamzami, Novaely, Haitami, dan Adha) dan Kakak-kakak Ipar penulis (Mimi, Lukman, Yusri, Fatiyah, Mulyadi, Harapandi Dahri, Lila, Jauzi, Riri, dan Fatah) yang selalu berada di sisi penulis memberikan motivasi, masukan, nasihat, dukungan moril dan materil serta kasih sayang untuk adik bungsunya ini.
9. Keponakan penulis, terutama Qisthina Amajida, Filza Itqiya, dan Faris Qasmal Hakim yang selalu memberikan semangat dan keceriaan dalam keseharian penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
10.Teman-teman seperjuangan PBSI 2012, terutama untuk Anis Rozanah, Aufalina Husna, Bernika Liana, Hasna Puspita Sari, Sa’adah Abadiyyah, Siti Sarah Ismiani, Titih Sundari yang selalu menularkan semangat belajar kepada penulis.
11.Sahabat “Yesterday 38” yang senantiasa meramaikan kehidupan penulis dengan suka dan duka.
Penulis berharap semoga kebaikan, keikhlasan, dan ketulusan semua pihak yang telah membantu penulis dibalas oleh Allah SWT. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi yang sekiranya jauh dari sempurna ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya, bagi pembaca umumnya dalam dunia pendidikan.
Jakarta, 28 Desember 2016 Penulis
(10)
v
ABSTRACT ... KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR LAMPIRAN ...
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah ... B. Identifikasi Masalah ... C. Batasan Masalah ... D. Rumusan Masalah ... E. Tujuan Penelitian ... F. Manfaat Penelitian ...
BAB II LANDASAN TEORI
A.Sikap ... B. Bahasa ... C. Sikap Bahasa ... 1. Ciri-ciri Sikap Bahasa ... 2. Faktor yang Mempengaruhi Sikap Bahasa ... 3. Komponen Sikap Bahasa ... C. Penelitian yang Relevan ...
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian ... B. Metode Penelitian ... C. Subjek Penelitian ...
ii iii v vii viii 1 4 5 5 5 5 7 9 11 15 18 21 22 25 25 26
(11)
vi
H. Interpretasi Data ...
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 1. Biodata Singkat MTs. Al-Falah ... 2. Visi, Misi, dan Tujuan MTs. Al-Falah ... 3. Guru dan Tenaga Kependidikan ... 4. Keadaan Siswa ... 5. Sarana dan Prasarana ... B. Deskripsi Data ... C. Analisis Data ... 1. Ciri-ciri Sikap Bahasa ... a. Kesetiaan Bahasa ... b. Kebanggaan Bahasa ... c. Kesadaran akan Adanya Norma Bahasa ... d. Sistem Internal Bahasa ... 2. Opini Siswa ... 3. Wawancara ...
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ... B. Saran ... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN-LAMPIRAN
30
31 31 31 34 36 37 37 54 56 56 60 64 66 69 72
74 74 76
(12)
vii Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7 Tabel 4.8 Tabel 4.9 Tabel 4.10 Tabel 4.11 Tabel 4.12 Tabel 4.13 Tabel 4.14 Tabel 4.15 Tabel 4.16 Tabel 4.17 Tabel 4.18 Tabel 4.19 Tabel 4.20 Tabel 4.21 Tabel 4.22 Tabel 4.23 Tabel 4.24
Keadaan Guru dan Tenaga Kependidikan ... Keadaan Siswa MTs. Al-Falah ... Sarana dan Prasarana ... Deskripsi Data 1 ... Deskripsi Data 2 ... Deskripsi data 3 ... Deskripsi data 4 ... Deskripsi data 5 ... Deskripsi data 6 ... Deskripsi data 7 ... Deskripsi data 8 ... Deskripsi data 9 ... Deskripsi data 10 ... Deskripsi data 11 ... Deskripsi data 12 ... Deskripsi data 13 ... Deskripsi data 14 ... Deskripsi data 15 ... Deskripsi data 16 ... Deskripsi data 17 ... Deskripsi data 18 ... Deskripsi data 19 ... Deskripsi data 20 ... Analisis data ...
34 36 37 38 39 40 40 41 42 43 44 44 45 46 47 48 49 50 50 51 52 53 53 54
(13)
viii
Lampiran 1 Uji Referensi
Lampiran 2 Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran 3 Surat Permohonan Izin Penelitian
Lampiran 4 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian Lampiran 5 Angket Siswa
Lampiran 6 Hasil Wawancara Guru Lampiran 7 Hasil Wawancara Siswa Lampiran 8 Hasil Wawancara Wali Kelas Lampiran 9 Opini Siswa
(14)
1
A.
Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai negara yang terdiri dari berbagai suku mempunyai banyak kebudayaan. Hal tersebut menjadikan masyarakat Indonesia kaya akan perbedaan termasuk bahasa. Hal itu membuktikan bahwa masyarakat Indonesia sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dengan makhluk sosial lainnya membutuhkan media untuk memudahkan masyarakat menjalin hubungan sosialnya. Bahasa Indonesia hadir sebagai media untuk mempersatukan bangsa di tengah keanekaragaman masyarakatnya. Bahasa Indonesia menjadi aspek yang paling penting pada seseorang ketika ingin berinteraksi dengan individu lainnya.
Bahasa Indonesia menjadi ciri pemersatu bangsa. Masyarakat yang berbeda latar belakang kebudayaan tidak lagi menggunakan bahasa daerah untuk berkomunikasi dengan masyarakat Indonesia lainnya. Hal ini jelas memudahkan masyarakat Indonesia dalam berinteraksi untuk ikut membangun kemajuan negara. Masyarakat hanya akan berinteraksi dengan mereka yang mempunyai latar belakang kebudayaan yang sama jika tidak ada bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Hal tersebut dapat berdampak pada tidak adanya kecintaan terhadap tanah air Indonesia. Masyarakat hanya ingin membangun daerahnya masing-masing.
Bahasa Indonesia yang digunakan sebagai salah satu alat pemersatu bangsa menjadikan masyarakatnya dapat bergotong-royong membangun negara. Kerjasama yang dilakukan antar masyarakat untuk membangun negara, akan dapat menimbulkan rasa memiliki dan rasa ingin terus menjaga negara Indonesia. Bahasa menjadi salah satu ciri khas dari suatu bangsa apabila dapat menjadi bagian dari pemersatu bangsa.
“Perkembangan suatu bahasa berjalan seirama dengan perkembangan bangsa pemiliknya. Baik bahasa maupun bangsa Indonesia
(15)
masih muda usianya. Tidaklah heran jika dalam sejarah pertumbuhannya mendapat pengaruh dari negara-negara lain yang lebih dulu maju.”1 Apalagi pada era globalisasi ini, perkembangan ilmu di dunia dipegang oleh negara-negara Barat. Hal ini memberikan keharusan bagi mereka yang ingin menuntut ilmu dari dunia barat untuk setidaknya mengerti bahasa yang digunakannya.
Globalisasi yang tengah ikut melanda Indonesia menawarkan banyak kemajuan. Kemajuan yang ditawarkan oleh adanya globalisasi membuat dunia seperti tidak berjarak. Siswa sebagai generasi penerus bangsa juga dituntut untuk dapat menguasai bahasa asing dengan baik, agar nantinya dapat maju bersaing dengan baik di kancah dunia. Sebagai remaja yang masih dalam proses pencarian jati diri, siswa biasanya dengan mudah menerima informasi yang masuk tanpa mempertimbangkan baik dan buruknya. Begitupun mengenai bahasa, ia akan menganggap bahwa bahasa asing lebih penting dan mempunyai prestise yang lebih dibanding bahasanya sendiri yaitu bahasa Indonesia. Hal tersebut akan mempengaruhi sikap siswa terhadap bahasa Indonesia.
Globalisasi membuat teknologi komunikasi masuk dengan mudah di Indonesia dan tidak jarang membawa pengaruh negatif bagi siswa, salah satunya adalah bahasa. Teknologi komunikasi mempengaruhi sikap bahasa siswa terhadap bahasa Indonesia. Misalnya dengan adanya telpon genggam yang menawarkan segala macam kecanggihannya, telah membuat siswa cenderung menggunakan bahasa yang praktis dan singkat. Kecenderungan tersebut dibawa oleh siswa ketika berkomunikasi langsung dengan lawan tuturnya. Selain itu, lagu dan film asing dapat dengan mudah diakses oleh siswa. Hal itu jelas juga akan mempengaruhi sikap bahasa siswa.
Siswa merupakan bagian dari dwibahasawan yang menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pertama dan bahasa Indonesia sebagai
1
Minto Rahayu, Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi, (Jakarta: PT Grasindo, 2007), h.11.
(16)
bahasa kedua. Dalam keadaan dan waktu tertentu siswa dapat memilih untuk menggunakan bahasa pertama atau bahasa kedua ketika melakukan komunikasi. Namun dalam kegiatan belajar misalnya, bahasa Indonesia menjadi bahasa yang wajib digunakan oleh siswa. Siswa yang tidak menguasai bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua akan merasa kesulitan untuk menggunakan bahasa Indonesia dan mencampurkan bahasa pertama dengan bahasa kedua.
Siswa yang sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu akan menumbuhkan perasaan sudah mampu berbahasa dengan baik. Siswa hanya berprinsip “asal orang mengerti” saja dan belum memahami bahwa ada kaidah dan aturan yang harus dipatuhi dalam berbahasa, baik lisan maupun tulisan. Hal ini menimbulkan sikap enggan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. Akibatnya dapat berdampak pada turunnya sikap bahasa para generasi muda terhadap bahasa Indonesia.
Ketika berkomunikasi seorang akan patuh pada norma-norma budaya. Tata cara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Tata cara berbahasa seseorang dipengaruhi norma-norma budaya suku bangsa atau keolompok masyarakat tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri seseorang berpengaruh pada pola berbahasanya dan menyikapi bahasa tersebut.
Dalam berkomunikasi yang dilakukan oleh sesama siswa, sering kali menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar. Hal tersebut bukan hanya terjadi di luar kelas, namun juga ketika proses belajar berlangsung di dalam kelas. Misalnya pada kegiatan diskusi di dalam kelas, siswa cenderung tidak menggunakan bahasa Indonesia. Padahal dengan adanya keterampilan berbahasa Indonesia dapat berdampak pada timbulnya kesetiaan dan kebanggaan terhadap Bahasa Indonesia. Keadaan tersebut dapat terjadi karena kebudayaan Betawi yang sudah mendarah daging pada diri siswa.
(17)
Keadaan serupa juga terlihat di MTs. Al-Falah Jakarta. Sebagai sekolah yang berada di kota Jakarta, terdapat siswa yang berasal dari berbagai suku, misalnya Betawi, Sunda, Jawa, dan Sumatra. Namun mayoritas merupakan siswa dengan suku Betawi. Bagi suku Betawi, bahasa Betawi merupakan bahasa ibu dan bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua. Siswa cenderung menggunakan kedua bahasa tersebut ketika berada di sekolah. Dalam berkomunikasi, banyak siswa yang tidak memperhatikan kaidah berbahasa Indonesia. Hal itu disebabkan oleh terbawanya pengaruh kebudayaan Betawi ketika siswa berada di rumah. Namun begitu, siswa menyadari bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar resmi dan harus digunakan pada kondisi-kondisi formal, misalnya pada saat kegiatan belajar.
Sebagai seorang pelajar yang mendapat pendidikan, baik formal maupun nonformal, siswa seharusnya mempunyai sikap bahasa yang baik terhadap Bahasa Indonesia. Sikap tersebut dapat tercermin dalam perkataan dan perbuatannya. Sikap bahasa yang ada pada siswa bukan hadir begitu saja. Melainkan adanya proses pembentukan yang dialami oleh siswa. Pembentukan sikap bahasa dapat dilakukan melalui proses belajar mengajar di sekolah.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis tertarik mengkaji
Sikap Bahasa Indonesia Siswa MTs. Al-Falah Jakarta. Subjek dalam skripsi ini adalah siswa-siswi kelas 7, 8, dan 9 semester ganjil pada tahun pelajaran 2016-2017.
B.
Identifikasi Masalah
1. Kecenderungan siswa memakai bahasa pertama yaitu bahasa daerah.
2. Siswa dituntut untuk menguasai bahasa asing dalam menghadapi arus globalisasi.
3. Dampak globalisasi yang tinggi sehingga memudahkan masuknya teknologi komunikasi kepada siswa.
(18)
C.
Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi di atas, maka kajian dalam penelitian ini hanya mencakup sikap bahasa siswa MTs. Al-Falah Jakarta kelas 7, 8, dan 9 semester ganjil pada tahun ajaran 2016-2017 terhadap bahasa Indonesia.
D.
Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah, bagaimana sikap bahasa siswa MTs. Al-Falah Jakarta terhadap bahasa Indonesia?
E.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sikap bahasa siswa MTs. Al-Falah terhadap bahasa Indonesia.
F.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini bermanfaat untuk peneliti, sebagaimana peneliti memperoleh ilmu baru. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan mengenai sikap bahasa siswa terhadap bahasa Indonesia dan memperluas pengetahuan studi Sosiolinguistik pada umumnya dan sikap bahasa pada khususnya, terutama untuk calon guru Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah.
(19)
2. Manfaat Praktis
a. Bagi guru, penelitian ini dapat menambah wawasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sikap bahasa dan meningkatan pembinaan bahasa Indonesia melalui pembelajaran di sekolah sehingga dapat menghasilkan sikap positif terhadap bahasa Indonesia.
b. Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan sikap bahasa.
(20)
7
A.
Sikap
“Sikap berasal dari kata aptus yang berarti dalam keadaan sehat dan siap melakukan aksi/tindakan. G.W Allport yang dikutip oleh Istiqomah mengemukakan bahwa sikap adalah kesiapan mental dan saraf, menggunakan pengaruh petunjuk atau dinamis atas respons individual terhadap semua objek dan situasi yang terkait”.1 Sementara itu, Chaplin yang dikutip oleh Ikhwan dkk. mengatakan bahwa “sikap adalah satu predispositif atau kecenderungan relatif stabil dan berlangsung terus menerus untuk bertingkah laku atau untuk mereaksi dengan satu cara tertentu terhadap pribadi lain, objek, lembaga, atau persoalan tertentu”.2
Bimo Walgito menyatakan bahwa “sikap adalah organisasi pendapat, keyakinan, mengenai objek sikap atau situasi yang relatif ajeg, yang disertai perasaan tertentu, dan memberikan dasar untuk membuat respons atau berperilaku dalam cara yang tertentu yang dipilih”.3 Relatif ajeg artinya tidak berubah dalam jangka waktu yang lama. Keyakinan yang relatif ajeg itulah yang akan menimbulkan respon yang kemudian disebut dengan sikap. Hal tersebut sejalan dengan definisi sikap yang dikemukakan oleh Chaplin dalam Chaer.
Maio dan Haddock dalam Jenny Mercer dan Debbie Clayton mendefinisikan “sikap sebagai evaluasi menyeluruh terhadap suatu objek berdasarkan informasi kognitif, afektif, dan behavioral”.4 Definisi tersebut menjelaskan bahwa sikap diperoleh dari adanya informasi kognitif yang berupa pengetahuan, afektif yang berupa perasaan, dan behavioral yang
1
Sarlito W. Sarwono (eds), Psikologi Sosial, (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h. 81.
2
Ikhwan Luthfi, Psikologi Sosial, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2009), h. 58.
3
Bimo Walgito, Psikologi Sosial, (Yogyakarta: ANDI, 2003), h. 127.
4
(21)
merupakan tingkah laku. Ketiga komponen tersebut saling berkaitan dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap sikap individu.
Lange yang dikutip oleh Azwar mengungkapkan istilah “sikap tidak hanya merupakan aspek mental semata melainkan mencakup pula aspek respons fisik”.5 Kemudian sejalan dengan pendapat di atas, Umar siregar dkk. menerangkan bahwa “sikap seseorang terhadap suatu obejek atau suatu tindakan dapat diperhitungkan dari sekumpulan kepercayaan yang bersifat evaluatif yang dapat dilihat terhadap objek atau tindakan tersebut”.6 Pendapat tersebut menguatkan definisi sikap sebelumnya, bahwa terdapat adanya aspek respons fisik berupa tindakan atau tingkah laku pada diri individu. Dalam pandangan tersebut sikap tidak hanya mengandung aspek mental saja. Terdapat dua aspek yang sama-sama saling melengkapi. Adanya aspek behavioral atau tingkah laku merupakan wujud dari aspek mental yang sebelumnya ada dalam diri individu.
“Sikap diperlukan untuk memperoleh pengetahuan tentang apa yang ada di sekeliling kita, untuk memakainya sebagai alat yang mendatangkan manfaat bagi kita, dan sekaligus untuk mempertahankan diri kita dari hal-hal yang tidak diinginkan”.7 Seseorang yang mempunyai sikap cenderung memiliki pengetahuan tentang suatu objek. Pengetahuan tersebut menjadi alat yang mendatangkan manfaat, maksudnya adalah ia tahu bagaimana harus bertindak untuk menghindari hal-hal negatif yang mungkin akan terjadi.
Dari beberapa pengertian di atas mengenai sikap, dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan keadaan mental yang disertai keyakinan dan perasaan mengenai objek tertentu secara terus menerus sehingga menimbulkan tingkah laku atau perbuatan terhadap objek.
5
Saifuddin Azwar, Sikap Manusia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 4.
6
Bahren Umar Siregar, dkk, Pemertahanan Bahasa dan Sikap Bahasa, ( Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), h. 87.
7
Basuki Suhardi, Sikap Bahasa, (Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1996), h. 33.
(22)
Terkait dengan adanya aspek tindakan atau perilaku, Azwar memberikan penjelasan bahwa terdapat tiga postulat yang menyangkut konsistensi antara sikap dengan perilaku. Postulat yang pertama mengasumsikan adanya hubungan langsung antara sikap dan perilaku. Hal tersebut dapat dilihat pada pola perilaku individu yang memiliki sikap ekstrim. Postulat kedua mengasumsikan bahwa sikap dan perilaku tidak mempunya hubungan yang konsisten. Sementara itu, postulat yang ketiga mengasumsikan bahwa hubungan antara sikap dan perilaku sangat ditentukan oleh faktor-faktor situasional tertentu. Di antara faktor-faktor situasional adalah norma-peranan, kelompok, dan kebudayaan.8
B.
Bahasa
Harimurti dalam Hidayat memberikan penjelasan bahwa “bahasa sebagai sistem lambang arbitrer yang dipergunakan suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri”.9 Arbitrer
artinya mana suka. Bahasa mempunyai sifat manasuka.
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian bahasa ke dalam tiga batasan, yaitu yang pertama sistem lambang bunyi berartikulasi yang bersifat arbitrer dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Kedua, bahasa adalah perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa. Ketiga, bahasa adalah sebagai percakapan yang baik: sopan santun, tingkah laku yang benar.10 Bahasa dipahami sebagai alat komunikasi antar makhluk sosial. Sistem lambang bunyi dalam bahasa mengarah pada lisan dan tulisan. Jadi, bahasa bukan hanya terkait bahasa lisan, namun juga bahasa tulisan. Sistem dalam bahasa dipengaruhi oleh pengulangan peristiwa yang sama.
Sifatnya yang arbitrer membuat bahasa suatu bangsa berbeda dengan bangsa yang lainnya. Bahasa juga berada dalam sebuah kesepakatan para pemakainya. Adanya kesepakatan dalam bahasa
8
Ibid., h. 16-17.
9
Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 22.
10 Ibid.
(23)
memberikan arti bahwa setiap bahasa mempunyai aturan yang berbeda. Artinya, bahasa tidak mempunyai hubungan sebab akibat dan ditentukan berdasarkan perjanjian di antara pemakainya.
Pada umumnya, bahasa dalam masyarakat banyak dipahami sebagai sistem lambang. Sebagai sistem lambang atau sebagai sistem simbol, entitas bahasa memilki ciri kebermaknaan atau keberartian. Brown dalam Kunaja Rahardi menyebutkan delapan prinsip dasar bahasa. Prinsip-prinsip tersebut adalah, “(1) merupakan kebiasaan, (2) bersifat berubah-ubah, (3) berhubungan dengan budaya, (4) merupakan alat komunikasi, (5) bersifat unik dan khas, (6) lambang arbitrer, (7) bersifat vokal, dan (8) merupakan sistem”.11 Kedelapan prinsip tersebut harus dimiliki oleh suatu bahasa sebagai sistem lambang bunyi.
“Sosok bahasa sering disebut penanda eksistensi budaya dari masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat yang maju budayanya pasti akan berkembang baik entitas bahasanya. Bahasa yang baik juga dapat menunjukkan keberadaan masyarakatnya. Maka, bahasa sering pula disebut cerminan masyarakat”.12 Budaya sebagai salah satu hasil dari kehidupan bermasyarakat tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan bahasa. Bahasa menjadi cerminan suatu budaya.
Sejalan dengan penjelasan di atas, “sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan lambang bangsa Indonesia. Ini berarti, dengan bahasa Indonesia akan dapat diketahui siapa kita, yaitu sifat, perangai, dan watak kita sebagai bangsa Indonesia”.13 Masyarakat sebagai bagian dari bangsa Indonesia harus cermat dalam berbahasa Indonesia. Jangan sampai bahasa Indonesia yang dipakai oleh masyarakatnya tidak mencerminkan bangsa Indonesia yang baik. Sebagai
11
Kunjana Rahardi, Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 4.
12
Ibid., h. 1.
13
Masnur Muslich, Bahasa Pada Era Globalisasi: Kedudukan, Fungsi, Pembinaan, dan Pengembangan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 7.
(24)
salah satu ciri kepribadian bangsa, bahasa Indonesia harus dijaga dan terus dipelihara oleh pemiliknya.
C.
Sikap Bahasa
“Sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain”.14
“Sementara itu menurut Anderson dalam Chaer dan Leonie, sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Namun, perlu diperhatikan karena sikap itu bisa positif (kalau dinilai baik atau disukai) dan bisa negatif (kalau dinilai tidak baik atau tidak disukai), maka sikap terhadap bahasa pun demikian”.15
Keyakinan yang terdapat pada diri seseorang mengenai suatu bahasa akan membuahkan reaksi yang nantinya akan berdampak pada sikap yang positif atau negatif. Hal tersebut tergantung bagaimana keyakinan positif atau negatif yang ada pada seseorang terhadap suatu bahasa. Seperti dijelaskan di atas, jika suatu bahasa disukai maka akan menghasilkan sikap positif dan jika tidak disukai maka akan menghasilkan sikap negatif.
Pada tulisannya yang lain, Anderson dalam Suhardi membedakan pengertian sikap bahasa dalam arti sempit dan luas. “Arti sempit sikap bahasa dipandang sebagai suatu konsep bersifat satu dimensi yakni rasa yang ada dalam diri seseorang terhadap suatu bahasa”.16 Itu berarti, sikap bahasa hanya menyangkut aspek afeksi. Sementara itu, aspek pengetahuan dan perilaku menjadi suatu hal yang terpisah. Maka yang menjadi fokus dalam sikap bahasa dalam arti sempit adalah rasa terhadap suatu bahasa.
14
Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 221.
15
Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2010) h. 151.
16
(25)
“Dalam arti luas, sikap bahasa berkaitan dengan isi makna sikap dan rentangan tanggapan yang mungkin ada, di samping segi evaluatif dari sikap”.17
Mutidah dalam Buha Aritonang mendefinisikan “sikap bahasa merupakan tata kepercayaan yang berhubungan dengan bahasa yang secara relatif berlangsung lama”.18 Karena sifatnya yang berlangsung lama maka tata kepercayaan tentang suatu bahasa tidak dapat berubah begitu saja. Seorang pemakai bahasa, baik itu dwibahasawan maupun multibahawan mempunyai keyakinan yang kuat terkait salah satu dari bahasa yang dikuasai.
“Pada hakikatnya, sikap bahasa adalah kesopanan beraksi terhadap suatu keadaan. Dengan demikian, sikap bahasa menunjukkan pada sikap mental dan sikap perilaku dalam berbahasa. Sikap bahasa dapat diamati antara lain melalui perilaku berbahasa atau perilaku bertutur”.19 Sejalan dengan yang telah dikemukakan oleh Anderson, pada pengertian di atas ini juga menyatakan bahwa sikap bahasa yakni mencakup sikap mental dan sikap berprilaku. Sikap bahasa juga dikaitkan dengan motivasi untuk mempelajari suatu bahasa.
“Pengertian sikap bahasa ditandai dengan sejumlah ciri-ciri yang antara lain meliputi: pemilihan bahasa dalam masyarakat multilingual, distribusi perbendaharaan bahasa, perbedaan dialek dan problem-problem yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antar individu-individu”.20 Penjelasan tersebut memberikan pengertian bahwa sikap bahasa dapat dilihat pada masyarakat yang menggunakan lebih dari satu bahasa dalam berinteraksi.
Sebagai masyarakat yang menggunakan lebih dari satu bahasa, maka akan ada kecenderungan untuk bereaksi terhadap bahasa tertentu. Dari
17 Ibid.
18
Dendy Sugono, dkk., Sikap Bahasa Etnik Minoritas: Penutur Bahasa Kombai dan Walsa, Metalingua, Vol: 8, 2003, h. 131.
19
Aslinda dan Leni Syafyahya, Pengantar Sosiolingusitik, (Bandung: Refika Aditama, 2007), h.10.
20
(26)
kecenderungan itulah dapat diketahui sikap bahasa seseorang, apakah itu positif atau negatif. Misalnya pada masyarakat tertentu terdapat lebih dari dua bahasa yang digunakan dalam berinteraksi satu sama lain. Kita mengetahui bagaimana sikap bahasa seseorang dari kecenderungannya untuk memilih bahasa mana yang ia gunakan dalam berkomunikasi. Hal ini akan berdampak pada sikap positif seseorang terhadap suatu bahasa karena kecenderungannya tersebut di tengah-tengah masyarakat multilingual. Dalam penjelasan yang lebih lanjut, Fasold juga mengatakan bahwa sikap bahasa merupakan sikap mengenai suatu bahasa. Seperti dijelaskan pada kutipan berikut:
“Sikap bahasa dibedakan dari sikap-sikap lainnya berdasarkan kenyataan bahwa sikap bahasa benar-benar tentang bahasa. beberapa pengkajian sikap bahasa secara nyata dihubungkan dengan sikap terhadap bahasa itu sendiri. Para subjek di dalam pengkajian itu dinyatakan apakah mereka menganggap bahwa ragam bahasa yang ditanyakan itu kaya, miskin indah, jelek, merdu, kasar, dan sebagainya”.21
Cooper dan Fishman dalam Suhardi menafsirkan “pengertian sikap bahasa berdasarkan referennya. Referennya meliputi bahasa, perilaku bahasa, dan hal yang berkaitan dengan bahasa atau perilaku bahasa yang menjadi penanda atau lambang”.22 Dalam pengertian tersebut dijelaskan bahwa sikap merujuk kepada hal-hal yang berkaitan dengan bahasa dan perilaku berbahasa yang kemudian menjadi penanda sikap tersebut, baik positif maupun negatif. Jadi sikap bahasa bukan mengenai sikap terhadap orang Indonesia, tetapi terhadap bahasanya.
Terdapat dua kemungkinan terhadap adanya sikap bahasa dalam diri seseorang. Jika seseorang menilai baik tentang suatu bahasa, maka sikap bahasa dinyatakan positif. Sementara itu, jika seseorang menilai tidak baik tentang suatu bahasa, maka sikap bahasanya dinyatakan negatif. Sikap bahasa pada seseorang dapat diamati dengan tingkah laku dan caranya bertutur menggunakan bahasanya.
21
Umar Siregar, op. cit., h. 87.
22
(27)
Janet Holmes memberikan pandangannya tentang sikap bahasa yang dijelaskan sebagai berikut:
“People generally do not hold opinions about languages in a vacuum. They develope attitudes toward languages which reflect their views about those who speak the languages, and the context and functions with wich they are assosiated. When people listen to accents or languages they have never heard before, their assesments are totally random. There is no pattern to them. In other words there is no universal consensus about which languages sounds most beautiful and which most ugly, despite people’s beliefs that some languages are just inherently more beautiful then others”.23
Holmes menjelaskan bahwa orang-orang pada umumnya tidak memegang kekosongan opini mengenai bahasa. Artinya setiap orang pasti mempunyai opini mengenai suatu bahasa. Mereka membangun sikap bahasa dengan merujuk pada pandangan mereka mengenai orang-orang yang membicarakan bahasa dan konteks serta fungsi yang mereka asosiasikan. Ketika mendengar orang berbicara dengan bahasa yang tidak pernah ia dengar, penilaian mereka akan sembarangan karena tidak adanya pengetahuan atau contoh untuk menilainya. Dengan kata lain tidak ada kesepakatan bersama untuk menilai apakah suatu bahasa itu baik atau buruk.
Dalam kaitannya dengan kebijakan bahasa, sikap bahasa lebih menentukan dan memengaruhi efektivitas kebijakan yang diambil, terutama berkaitan dengan pendidikan, dibandingkan dengan fakta penggunaan dan distribusi kebahasaan secara demografis. Sikap bahasa yang menentukan apakah suatu bahasa pantas digunakan untuk bidang sastra, pendidikan, dan kepentingan nasional lainnya.24 Pengukuran sikap bahasa menjadi sangat penting dalam menentukan kebijakan bahasa. Dengan mengukur sikap bahasa suatu kelompok masyarakat, maka dapat membantu memutuskan kebijakan untuk kemajuan suatu bahasa.
23
Janet Holmes, An Introduction to Sociolinguistik, (UK: Longman, 2001), h. 343.
24
Sugiyono, Sikap Bahasa Masyarakat Kota Besar Indonesia Terhadap Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, dan Bahasa Asing, Metalingua, Vol: 8, 2010, h. 183.
(28)
1. Ciri-ciri Sikap Bahasa
Ada tiga ciri sikap bahasa menurut Garvin dan dalam Chaer dan Leonie. Ketiga ciri sikap bahasa yang dikemukakan Garvin dan Mathiot itu adalah:
“(1) kesetiaan bahasa (language loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain; (2) kebanggaan bahasa (language pride) yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat; (3) kesadaran adanya norma bahasa (awareness of thenorm) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun; dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use)”.25
Jika ketiga ciri tersebut tidak dimiliki oleh seorang pengguna bahasa, baik dwibahasawan atau multibahasawan maka dapat dinyatakan bahwa sikap bahasa yang terdapat dalam dirinya adalah negatif. Namun sebaliknya, jika seseorang tidak memiliki ciri-ciri di atas maka sikap bahasa yang terdapat dalam dirinya adalah positif. Kemudian, Mansur Pateda menjelaskan sikap bahasa sebagai berikut:
“Setiap orang mempunyai pandangan tentang bahasanya sendiri. Dia menyadari bahwa bahasa merupakan suatu kebutuhan untuknya. Kesadaran ini menimbulkan sikap, bagaimana ia bertingkah laku dalam menggunakan bahasanya. Sikap itu diwarnai pula dengan sikap menghormati, bertanggung jawab dan ikut memiliki bahasa itu. Sikap bertanggung jawab akan melahirkan kemauan baik secara pribadi maupun kelompok untuk membina dan mengembangkan bahasanya. Dia merasa bahwa tanggung jawab itu tidak saja terletak pada penguasa atau badan yang diserahi tugas itu, tetapi orang yang berkesadaran bahasa merasa bahwa ia pun bertanggung jawab terhadap pembinaan dan pengembangan bahasanya apalagi bahasa nasionalnya”.26
Adanya kesadaran akan tanggung jawab terhadap bahasa merupakan sebuah sikap positif yang dapat ditunjukkan seseorang atau sekelompok orang untuk bahasanya. Sikap bertanggung jawab itu akan
25
Chaer dan Leonie Agustine, Op. Cit., h. 152.
26
(29)
menimbulkan keresahan apabila melihat orang lain tidak memiliki kesetiaan dan kebanggaan terhadap bahasanya. Ia dapat melakukan kegiatan pembinaan dan pengembangan bahasa sebagai wujud adanya sikap bertanggung jawab terhadap bahasanya. Kegiatan tersebut tentunya juga bertujuan agar semakin banyak orang yang sadar akan pentingnya sikap positif terhadap bahasanya.
Chaer dan Leonie menerangkan bahwa “dalam kaitannya dengan kesetiaan bahasa, tiadanya gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya merupakan salah satu penanda bahwa kesetiaan bahasanya mulai melemah, yang bisa berlanjut menjadi hilang sama sekali. Sikap negatif terhadap bahasa bisa terjadi juga bila seseorang atau sekelompok orang tidak mempunyai lagi rasa bangga terhadap bahasanya, dan mengalihkan rasa bangga itu kepada bahasa lain yang bukan miliknya. Memang banyak faktor yang bisa menyebabkan hilangnya rasa bangga terhadap bahasa sendiri, dan menumbuhkan pada bahasa lain, antara lain faktor politik, ras, etnis, gengsi, dan sebagainya”.27
Sebagai contoh adalah faktor gengsi. Seseorang atau sekelompok orang bisa saja merasa gengsi untuk menggunakan bahasanya yang terkesan kaku dan resmi. Kesetiaan dan kebanggaan terhadap bahasanya sangat penting ditanamkan dalam diri seseorang. Meskipun banyak faktor yang dapat menyebabkan lunturnya kesetiaan dan kebanggaan bahasa, hal itu tidak menjadi alasan jika sudah ada sikap untuk menjaga, mempertahankan, dan menggunakan bahasanya.
“Sikap negatif terhadap bahasa akan lebih terasa lagi akibat-akibatnya apabila seseorang atau sekelompok orang tidak mempunyai kesadaran akan adanya norma bahasa. Sikap ini akan tampak dalam keseluruhan tindak tuturnya. Mereka tidak merasa perlu untuk menggunakan bahasa secara cermat dan tertib, mengikuti kaidah yang berlaku. Mereka cukup merasa puas asal bahasanya dimengerti lawan tuturnya”.28
Norma merupakan aturan yang harus dipatuhi. Ketika seseorang tidak mengikuti norma, berarti ia sudah keluar dari aturan yang ada.
27
Chaer dan Leonie Agustina, Op. Cit., h. 152.
28
(30)
Setiap bahasa mempunyai normanya masing-masing. Maka sudah sepantasnya pemakai bahasa mengetahui norma-norma yang berlaku dalam bahasanya. Tentu mengetahui saja tidak cukup, mereka harus mempunyai kesadaran untuk menggunakan bahasa sesuai dengan norma yang berlaku. Kesadaran tersebut tidak dapat terlepas dari kesetiaan dan kebanggaan bahasa. Hasil yang dapat dilihat dari adanya kesadaran tersebut dapat tercermin pada perilakunya dalam menggunakan bahasa.
Jika seseorang atau sekelompok orang sudah memiliki sikap positif terhadap bahasanya, mereka akan mempunyai rasa memiliki yang tinggi. Dari rasa memiliki itu mereka akan senantiasa menjaga dan menggunakan bahasanya dengan sangat hati-hati. Seperti yang telah dikemukakan oleh Mansur Pateda bahwa “sikap positif terhadap bahasa dan berbahasa mengahsilkan perasaan memiliki bahasa. Maksudnya bahasa sudah dianggap kebutuhan pribadi yang esensial, milik pribadi, dijaga dan dipelihara”.29
Terkait dengan kesadaran akan adanya norma bahasa, “sikap positif terhadap distribusi perbendaharaan bahasa nampak antara lain dari kecermatan pemakaian bahasa, bentuk bahasa, dan struktur bahasa serta keterampilan pemilihan kata-kata yang dipergunakan oleh penutur bahasa”.30 Seorang yang mempunyai sikap positif terhadap suatu bahasa ia akan dapat menempatkan diri dengan bagaimana seharusnya menggunakan struktur dan pemilihan kata yang harus digunakan. Misalnya saja ketika seorang yang berpendidikan tinggi berhadapan dengan anak kecil yang masih duduk di sekolah dasar. Orang yang berpendidikan tinggi akan memilih struktur dan pemilihan kata yang mudah dipahami oleh anak kecil tersebut.
“Sikap positif akan mendorong setiap penutur untuk sejauh mungkin mengurangi atau menghilangkan sama sekali warna bahasa
29
Pateda, op. cit., h. 30.
30
(31)
daerah atau dialeknya. Sikap demikian akan sangat menunjang usaha pembakuan bahasa Indonesia”.31 Hal tersebut dapat dilihat misalnya pada bahasa Indonesia yang digunakan ketika proses belajar di sekolah. Siswa yang cenderung berusaha untuk mengurangi warna bahasa pertamanya atau bahasa daerahnya akan berdampak pada sikap yang positif terhadap bahasa Indonesia.
2. Faktor yang Mempengaruhi Sikap Bahasa
a. Kebanggaan dan kekuatan bahasa (The prestige and power of the language)
In many countries around the world an enthusiasm to learning english is not uncommon. Some people assume that learning a foreign language (English, for example) will correlate with declining the national loyalty of the learners. However, scholars have learned that the enthusiasm on learning a foreign in not always correlated with a negative attitude towards the national and cultur feeling of the learners.32
Pada kutipan di atas, Jendra mengungkapkan bahwa banyak negara di seluruh dunia bersemangat untuk mempelajari bahasa Inggris merupakan hal yang lazim. Beberapa masyarakat menganggap bahwa belajar bahasa asing dapat berhubungan dengan merosotnya kesetiaan si pelajar terhadap kebangasaannya. Namun para civitas akademik yang telah mempelajari bahasa asing tidak selalu berhubungan dengan sikap negatif terhadap rasa nasionalisme dan kebudayaan para pelajar bahasa.
Kebanggaan berbahasa merupakan faktor yang sangat penting bagi keberhasilan usaha pemertahanan sebuah bahasa dalam menghadapi tekanan-tekanan eksternal dari masyarakat pemilik bahasa yang lebih dominan yang secara ekonomis dan politis
31
Suwito, op. cit., h. 91.
32
(32)
memiliki pengaruh yang lebih besar.33 Meskipun masyarakat di suatu negara dihadapkan pada bahasa yang mempunyai pengaruh lebih besar, tidak akan menghalangi masyarakat tersebut untuk mempunyai sikap positif terhadap bahasanya. Hal tersebut karena adanya sikap bangga terhadap bahasanya.
b. Latar belakang sejarah negara (Historical background of nations) Some middle east people may not want to study English because they learn from their history that Western people were colonialist. The view is possibly strengthened with some complicated contemporary disputes between the Western and Arabic (Muslim) culturs.34
Dari penjelasan di atas dapat dijelaskan bahwa sebagian orang Timur Tengah tidak mau mempelajari bahasa Inggris karena mereka belajar dari sejarah bahwa orang barat merupakan penjajah. Pandangan tersebut diperkuat dengan beberapa perselisihan kontemporer yang rumit antara kebudayaan Barat dengan Arab.
Pengalaman pernah dijajah oleh bangsa lain membuat beberapa masyarakat Timur Tengah tidak mau mempelajari bahasa negara yang menjajahnya. Hal itu menunjukkan adanya sikap negatif bangsa Timur Tengah terhadap bangsa Barat termasuk pada bahasanya.
c. Faktor-faktor sosial dan tradisional (The social and traditional factors)
In the society where a diglossic situation is found the higher variety of the language is normally considered as a better form than the lower one. The following quotion describes this : where a society has linguistic varieties in diglossic relationship, the usual attitude is that the higher language is a purer and better language than the low language. Of
33
I Dewa Putu Wijana dan Muhammad Rohmadi, Sosiolinguistik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm.90.
34
(33)
course, the untying and separatist functions are most likely to be fulfilled by the low language.35
Jendra menjelaskan bahwa situasi diglosia pada masyarakat ditemukan variasi bahasa lebih tinggi yang biasanya dianggap sebagai bentuk yang lebih baik dari bahasa yang paling rendah. Kutipan berikut mendeskripsikan hal di atas: Pada suatu masyarakat yang mempunyai berbagai variasi bahasa dalam hubungan diglosia, sikap biasanya pada bahasa yang lebih tinggi adalah yang lebih murni dan lebih baik daripada bahasa yang rendah. Tentunya, fungsi-fungsi pemersatu dan pemisah merupakan hal yang paling mungkin terpenuhi oleh bahasa rendah.
d. Sistem internal bahasa (The language internal system)
People often show positive attitude towards learning a language because the grammar, pronunciation, and vocabulary are relatively easy. As the gender-based nominal system of the language is difficult to learn English, students may choose to learn English, instead of French and German. A negative attitude might be also found towards learning Chinese with its complex tonal pronunciation and ortoghraphic system. 36
Dari kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa orang sering menunjukkan sikap positif pada pembelajaran bahasa karena tata bahasa, cara pelafalan, dan kosakata yang secara relatif mudah. Sebagai sistem nominal bahasa yang berbasis gender adalah sulit untuk belajar bahasa Inggris, daripada bahasa Prancis dan Jerman. Sikap negatif mungkin juga dapat ditemukan pada pembelajaran bahasa Cina dengan pelafalan suara yang rumit dan sistem ejaannya. Hal tersebut mengartikan bahwa orang-orang yang mempelajari suatu bahasa dan merasa mudah untuk memahami tata bahasa serta kosakatanya umumnya akan bersikap positif. Namun
35
Ibid.
36
(34)
sebaliknya, sikap negatif terhadap bahasa dapat ditemukan pada orang yang merasa bahwa bahasa lain mempunyai tata bahasa dan kosakata yang sulit, seperti bahasa Cina dan Mandarin.
3. Komponen Sikap Bahasa
Ada tiga komponen sikap bahasa, yaitu komponen kognitif yang berhubungan dengan persepsi seseorang terhadap suatu objek sehingga melahirkan suatu kepercayaan atau keyakinan (belief). Komponen afektif, yang berhubungan dengan keadaan emosional seseorang, serta komponen konatif yaitu kecenderungan untuk bertindak.
Komponen kognitif berhubungan dengan pengetahuan mengenai alam sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan kategori yang dipergunakan dalam proses berpikir. Komponen afektif menyangkut masalah penilaian baik, suka atau tidak suka, terhadap sesuatu atau suatu keadaan. Jika seseorang memiliki nilai rasa baik atau suka terhadap suatu keadaan, maka orang itu dikatakan memiliki sikap positif. Jika sebaliknya, disebut memiliki sikap negatif.
Chaer dan Leonie menjelaskan bahwa komponen konatif menyangkut perilaku atau perbuatan sebagai “putusan akhir” kesiapan reaktif terhadap suatu keadaan. Melalui komponen ketiga inilah orang biasanya mencoba menduga bagaimana sikap seseorang terhadap suatu keadaan yang sedang dihadapinya. Ketiga komponen sikap ini (kognitif, afektif, konatif) pada umumnya berhubungan dengan erat.37
Apabila seseorang menghadapi suatu objek, maka melalui kognisinya akan terjadi proses pengamatan. Hasil pengamatan itu menimbulkan keyakinan-keyakinan terhadap objek tersebut (berarti/tidak berarti). Selanjutnya akan berkembang afektif yang menyatakan penilaian baik yang bersifat positif (merasa senang atau menerima) maupun sifat negatif (merasa tidak senang atau menolak)
37
(35)
terhadap objek sikap. Akhirnya keyakinan dan perasaan itu diikuti oleh kehendak untuk bertindak yang merupakan komponen konatif.38
Dalam kaitannya dengan sikap bahasa yakni komponen kognitif akan menghasilkan keyakinan seseorang terhadap suatu bahasa, apakah itu baik atau buruk. Setelah itu komponen afektif muncul sebagai respon dari kognitif yang berupa perasaan senang atau tidak senang terhadap suatu bahasa. Kemudian pada komponen konatif jika seseorang memiliki sikap positif terhadap bahasanya, ia akan cenderung menunjukkan bahwa ia bisa menggunakan bahasanya dengan baik.
Tidak jauh berbeda dari tiga komponen di atas, Sugiyono memperluas komponen tersebut menjadi empat komponen, yaitu 1) kemampuan berbahasa, berkaitan dengan kemampuan atau kemahiran berbahasa yang dimiliki atau diakui oleh responden; 2) impresi atau kesan, berkaitan dengan penilaian terhadap bahasa dan fakta kebahasaan; 3) penggunaan bahasa, berkaitan dengan penggunaan bahasa di ranah-ranah tertentu dengan tujuan dan frekuensi yang tertentu pula; dan 4) transmisi bahasa, berkaitan dengan keinginan dan tindakan responden untuk menyebarluaskan dan mengajarkan bahasa kepada orang lain dengan berbagai motif dan tujuan.39
D.
Penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian terdahulu mengenai sikap bahasa, adalah: Pada tahun 2013, Afrita Sidabariba membuat jurnal yang berjudul “Sikap Bahasa Siswa SMPN 2 Simanindo di Simarmata Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir Terhadap Bahasa Indonesia”. Penelitian tersebut bertujuan untuk menentukan sikap bahasa siswa di SMP 2 Simanindo Simarmata, kecamatan Simanindo kabupaten Samosir terhadap bahasa Indonesia. Metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini adalah siswa di SMP 2 Simanindo
38
Rokhman, Op. Cit., h. 44-45.
39
(36)
Kabupaten Simarmata Kecamatan Simanindo Samosir, sebanyak 60 siswa. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa sikap bahasa siswa SMP 2 Simanindon adalah positif. Hasil tersebut dijelaskan dari jawaban siswa mengenai angket sebagai teknik pengumpulan data. Angket dibuat berdasarkan faktor yang mempengaruhi sikap bahasa, yakni: (1) Latar belakang sosial-ekonomi, pendidikan dan pekerjaan, (2) emigrasi, dan (3) identitas etnik. Hasil 92,5% menunjukkan sikap positif dan hanya 3 pertanyaan/pernyataan yang menunjukkan sikap negatif 7,5%.40
Pada tahun yang sama yakni 2013, K. Devi Kalvika Anggria Wardani, M. Gosong, dan G. Artawan dari pasca sarjana Universitas Pendidikan Ganesha membuat jurnal mengenai sikap bahasa dengan judul “Sikap Bahasa Siswa Terhadap Bahasa Indonesia: Studi Kasus Di SMA Negeri 1 Singaraja”. Penelitian tersebut mendeskripsikan sikap bahasa yang dimiliki siswa terhadap bahasa Indonesia yang dilihat dari tiga aspek, yakni konatif, afektif, dan kognitif. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah observasi, samaran terbanding, angket, dan wawancara. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sikap bahasa siswa terhadap bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Singaraja dibagi menjadi 3 aspek, konatif: berada pada kategori negatif, afektif: berada pada kategori positif, dan kognitif: berada pada kategori netral. Kemudian terdapat 2 faktor yang menyebabkan kecenderungan sikap bahasa, yakni faktor eksternal dan faktor internal.41
Tahun 2015 N.W. Wistari, I N Suandi, dan I Wyn. Wendra dari Universitas Pendidikan Ganesha membuat jurnal dengan judul “Sikap Bahasa Siswa Program Cambridge Dyatmika School Terhadap Bahasa Indonesia”. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, angket, dan wawancara. Data dianalisis dengan menggunakan teknik
40
Afrita Sidabariba, Sikap Bahasa Siswa SMPN 2 Simanindo di Simarmata Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir Terhadap Bahasa Indonesia, Portal Garuda, Vol: 3, 2013.
41
K. Devi Kalfika Anggria Wardani dkk, Sikap Bahasa Siswa Terhadap Bahasa
Indonesia: Studi Kasus di SMA Negeri 1 Singaraja, e-Journal Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha, Vol: 2, 2013.
(37)
deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Penelitian mendeskripsikan sikap bahasa merujuk pada empat aspek yakni konatif, afektif, kognitif, dan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap bahasa siswa program Cambridge Dyatmika School. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan negatif pada aspek konatif, positif pada aspek afektif, positif pada aspek kognitif, dan faktor yang disebabkan negatifnya aspek konatif adalah kurangnya pemahaman siswa terhadap kosakata, faktor aspek konatif disebabkan oleh emosional siswa untuk mempertahankan bahasa Indonesia, dan faktor kognitif siswa disebabkan oleh faktor lingkungan dan rasa percaya diri siswa.42
Berdasarkan tinjauan yang telah dilakukan pada tiga penelitian di atas, penelitian ini mempunya persamaan yakni mendeskripsikan sikap bahasa siswa. Metode yang digunakan sama dengan penelitian pertama dan kedua, yakni deskriptif kualitatif. Pada jurnal yang pertama hanya dilakukan teknik pengumpulan data berupa angket. Jurnal yang kedua menggunakan teknik observasi, samaran terbanding, angket, dan wawancara. Kemudian pada jurnal yang ketiga menggunakan teknik observasi, angket, dan wawancara. Berbeda dengan jurnal pertama dan kedua, penelitian ini menggunakan teknik observasi, angket, dan wawancara untuk mengumpulkan data terkait dengan sikap bahasa. Perbedaan selanjutnya adalah terdapat pada teori yang digunakan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori Garvin dan Mathiot yang menjelaskan terdapat tiga ciri sikap bahasa, yaitu (1) kesetiaan bahasa (2) kebanggaan bahasa (3) kesadaran akan adanya norma bahasa.
42
Wistari, N. W. Dkk., Sikap Bahasa Siswa Program Cambridge Dyatmika School Terhadap Bahasa Indonesia, e-Journal JJPBS Universitas Pendidikan Ganesha, Vol: 3, 2015.
(38)
25
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Madrasah Tsanawiyah Al-Falah Jakarta yang berlokasi di Jalan Masjid An-Nur Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Waktu pelaksanaan penelitian adalah bulan Januari sampai November 2016 dari mulai observasi sampai selesai untuk pengumpulan data dan informasi yang diperlukan untuk penyusunan skripsi ini. Adapun pengumpulan data dilakukan sejak 01 Maret 2016 sampai 06 Oktober 2016.
B.
Metode Penelitian
“Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif adalah upaya untuk menyajikan dunia sosial, dan perspektifnya di dalam dunia, dari segi konsep, perilaku, persepsi, dan persoalan tentang manusia yang diteliti.”1
“Sementara itu, definisi lainnya dikemukakan bahwa penelitian kualitatif memanfaatkan wawancara terbuka untuk menelaah dan memahami sikap, pandangan, perasaan, dan perilaku individu atau sekelompok orang.”2 Penelitian deskriptif kualitatif memungkinkan menggunakan populasi yang luas. Karena keluasan populasi maka penelitian akan menggunakan sampel. Kaitannya dengan penelitian ini, penggunaan metode deskriptif kualititatif dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana sikap bahasa siswa MTs. Al-Falah Jakarta terhadap bahasa Indonesia.
1
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualititatif, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya 2011), h. 6.
2
(39)
C.
Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah seluruh siswa MTs. Al-Falah Jakarta. 1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.3 Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah seluruh siswa MTs. Al-Falah Jakarta yang berjumlah 392 Siswa. 2. Sampel
“Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu.”4 “Dalam penelitian bahasa sampel yang besar tidak diperlukan, karena perilaku linguistik cenderung lebih homogen dibandingkan dengan perilaku-perilaku yang lain.”5
Terdapat metode sampling yang digunakan dalam sebuah penelitian. Dalam metode ini peneliti menggunakan metode penarikan random sampling yang berarti pengambilan anggota sampel yang dilakukan secara acak. Sampel yang diambil adalah siswa kelas 7, 8, dan 9 MTs. Al-Falah Jakarta. Adapun kelas yang dijadikan sampel adalah kelas 7C, 8B, dan 9A.
Arikunto menjelaskan bahwa jika jumlah subjek melebihi jumlah 100, maka dapat diambil antara 10-15% sampel.6 Berdasarkan penjelasan di atas maka peneliti mengambil jumlah
3
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, (Bandung: Alfabeta, 2013), h. 117.
4
Ibid.
5
Mahsun, Metode Penelitian Bahasa, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h.234.
6
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006), h.134.
(40)
sampel sebesar 10% dari keseluruhan jumlah populasi yang dibulatkan menjadi 40 sampel.
D.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data bermacam-macam jenisnya. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Pengamatan (Observasi)
Pengamatan dapat diklasifikasikan atas pengamatan melalui cara berperanserta dan yang tidak berperanserta. Pada pengamatan tanpa peran serta pengamat hanya melakukan satu fungsi, yaitu mengadakan pengamatan. Pengamatan berperan serta melakukan dua peran sekaligus, yaitu sebagai pengamat dan sekaligus menjadi anggota resmi dari kelompok yang diamati.7 Dalam penelitian ini, penulis menjadi pengamat tanpa peran serta. Penulis hanya melakukan satu fungsi yakni hanya mengamati, tidak menjadi anggota resmi dari kelompok yang diamati.
2. Kuesioner (Angket)
“Kuesioner ialah daftar pernyataan atau pertanyaan yang dikirim kepada responden, baik secara langsung atau tidak langsung.”8 Pada penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan memberikan daftar pernyataan, kemudian responden diminta untuk memberikan jawaban terhadap pernyataan tersebut. Terdapat lima jawaban yang tersedia untuk masing-masing pernyataan, apakah sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, atau sangat tidak setuju. Dalam penelitian ini yang menjadi responden adalah siswa MTs. Al-Falah Jakarta kelas 7A, 8A, dan 9B semesterganjil pada tahun pelajaran 2016-2017.
7
Moleong, op. cit., h. 176.
8
Husaini Usman dan Purnomo Setiadi Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011), h. 57.
(41)
3. Wawancara
“Wawancara yaitu sebuah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancarai.”9 Wawancara bisa dilakukan baik dengan cara langsung maupun tidak langsung. Dalam penelitian ini, peneliti memilih menggunakan wawancara dengan cara langsung. Peneliti mengambil data wawancara pada siswa dan guru. Untuk siswa tidak semua sampel yang peneliti wawancarai. Peneliti hanya mewawancarai sembilan siswa yang diambil secara random. Kemudian siswa juga diminta untuk memberikan opini mengenai bahasa Indonesia. Sementara itu, guru yang peneliti wawancarai adalah guru bidang studi bahasa Indonesia dan wali kelas dari ketiga kelas yang peneliti jadikan sampel.
E.
Instrumen Penelitian
Angka pada instrumen di bawa ini menunjukkan penomoran pada pernyataan yang peneliti buat dalam angket. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1
Kisi-kisi Instrumen Penelitian Angket Siswa
9
Ibid.,h. 126.
No. Dimensi Instrumen Jumlah
1. Kesetiaan bahasa 4,5,9,12,13,15 6
2. Kebanggaan bahasa 6,7, 8, 10,14,16 6
3. Kesadaran norma bahasa 1, 2, 17, 19, 20 5
4. Sistem internal bahasa 3, 11, 18 3
(42)
F.
Teknik Pengolahan Data
Untuk mengolah data angket yang telah penulis berikan kepada responden, penulis menggunakan teknik sebagai berikut:
1. Editing, setelah angket diisi oleh responden dan dikembalikan oleh peneliti, peneliti segera meneliti kelengkapan data pengisian angket. bila ada jawaban yang tidak dijawab, penulis menghubungi yang bersangkutan untuk disempurnakan jawabannya agar angket tersebut sah.
2. Koding, yaitu usaha mengklasifikasikan jawaban-jawaban para responden menurut macam-macamnya. Dalam penelitian ini ada 5 macam alternatif jawaban, yaitu: sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, sangat tidak setuju.
3. Skoring, skala yang digunakan dalam variabel sikap bahasa siswa terhadap bahasa Indonesia dengan menggunakan skala Likert. Penskoran atau kuesioner skala yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan pada alternatif jawaban, yakni:
a. Sangat setuju : 5
b. Setuju : 4
c. Ragu : 3
d. Tidak setuju : 2 e. Tidak setuju : 1
G.
Teknik Analisis Data
Berdasarkan teknik pengumpulan data dengan menggunakan angket, penulis mengambil perhitungan statistik dalam bentuk persentase. Setiap data ditabulasikan dalam bentuk frekuensi setelah itu dipersentasekan. Dari persentase masing-masing pernyataan, akan diketahui kecenderungan dari setiap jawaban. Maka penulis melakukan teknik analisis data dengan rumus sebagai berikut:
(43)
P = F X 100 N Keterangan: P= Persentase (%)
F = Frekuensi (jawaban responden terhadap salah satu alternatif jawaban)
N = Number of case (Jumlah responden)10
H.
Interpretasi Data
Data yang telah dikumpulkan melalui angket kemudian dilakukan penghitungan dengan mengetahui jumlah persentase dari masing-masing pernyataan. Setelah itu peneliti melakukan interpretasi data atas masing-masing pernyataan yang telah diketahui persentasenya. Data yang didapatkan melalui wawancara, baik siswa maupun guru, juga dianalisis oleh penulis sebagai data pendukung yang diperoleh dari angket mengenai sikap bahasa siswa MTs. Al-Falah Jakarta.
10
Anas Sudijono, Pengaantar Statistik Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2010), h. 43.
(44)
31
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A.
Gambaran Umum Objek Penelitian
1. Biodata Singkat MTs. Al-Falah Jakarta
a) Nama Madrasah : Al-Falah
b) Alamat : Jl. Masjid An-Nur Grogol
Utara Kebayoran Lama Jakarta-Selatan. c) No. Telp : (021) 5490178 - 5303263
Fax. (021) 5490178
d) Nama Yayasan/Pengelola : Yayasan Tarbiyah Islamiyah Al-Falah e) Status Madrasah : Swasta
f) Jenjang Akreditasi : Akreditasi “ A “ g) Status tanah & bangunan : Tanah Wakaf
h) Waktu Belajar : Pagi, Pukul 06.30 s/d 15.00 WIB
i) Jenis Muatan Lokal : Tafsir, Nahwu, Ushul Fiqh, PLKJ, Shorof. j) Jenis kegiatan pengembangan diri/ekstrakurikuler :
Pramuka, PMR, Sayco- G (Bahasa Inggris), Basket, Futsal, Hadroh, Marawis, Marching Band, Pengajian/ Lembaga Dakwah Siswa, Pencak Silat, Seni Baca Al-Qur’an, dan Paskibra.
2. Visi, Misi dan Tujuan MTs. Al-Falah
a) Visi Madrasah
Menjadikan Madrasah Al-Falah Jakarta Selatan sebagai lembaga pendidikan dasar yang unggul dan terkemuka dalam pembinaan
(45)
keislaman, keilmuan dan keindonesiaan, dengan mengapresiasi potensi peserta didik serta perkembangan era globalisasi.
Sebagai indikator visi MTs Al-Falah Jakarta:
1) Terwujudnya lulusan yang beriman dan bertaqwa,
2) Terwujudnya peningkatan implementasi IMTAQ sebagai landasan hidup,
3) Tercapainya keunggulan prestasi akademik maupun non akademik,
4) Terbentuknya lulusan yang memiliki kemampuan kompetitif dan keunggulan komparatif.
5) Tersedianya tenaga pendidik yang berkualitas,
6) Terwujudnya fasilitas pendidikan yang relevan dan mutakhir, 7) Terwujudnya team work yang kompak, cerdas, dan kreatif, 8) Terbetuknya lulusan yang mandiri,
b) Misi Madrasah
Berdasarkan indikator visi di atas, maka misi MTs Al-Falah Jakarta adalah:
1) Menyelenggarakan pendidikan dasar yang akan melahirkan lulusan beriman dan bertaqwa serta memiliki kemampuan kompetitif dan keunggulan komparatif;
2) Melakukan pembinaan kesehatan fisik sehingga terbentuk
keseimbangan antara kekuatan keilmuan dengan
perkembangan jasmani peserta didik serta dapat melahirkan lulusan yang cerdas, kuat, dan sehat;
3) Melakukan inovasi kurikulum dengan aksentuasi pada pembinaan keislaman, sains dan teknologi serta apresiatif terhadap kecenderungan globalisasi dengan tetap berpijak pada kepribadian Indonesia;
4) Melakukan pembinaan tenaga pendidik sebagai tenaga profesional yang menguasai aspek keilmuan, ketrampilan
(46)
mengajar, kepribadian pedagogis serta komunikasi global yang dijiwai akhlak mulia;
5) Melakukan pembinaan tenaga kependidikan yang profesional yang menguasai bidang ilmu yang mendukung tugasnya, etoskerja yang tinggi, sertak pribadian yang Islami;
6) Mengupayakan tersedianya sarana prasarana dan fasilitas belaja rmengajar yang dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk dapat mengikuti kegiatan belajar seluas-luasnya, sehingga madrasah benar-benar berfungsi sebagai pusat pembelajaran;
7) Melakukan pembinaan kemandirian dan teamwork melalui berbagai aktivitas belajar baik intra maupun ekstrakurikuler. Motto MTs Al-Falah Jakarta: Islami, berwawasan, berprestasi dan berkebangsaan.
c) Tujuan Madrasah
1) Terselenggaranya pendidikan dasar dan menengah yang akan melahirkan lulusan beriman dan bertaqwa serta memiliki kemampuan kompetitif dan keunggulan komparatif;
2) Terwujudnya peserta didik yang memiliki keseimbangan antara kekuatan jasmani dan rohani serta kepekaan dan kepedulian sosial;
3) Terwujudnya kurikulum yang memiliki kekuatan pada pembinaan keislaman, sains dan teknologi serta apresiatif terhadap kecenderungan globalisasi dengan tetap berpijak pada kepribadian Indonesia dan kemampuan potensi anak. 4) Tersedianya pendidik sebagai tenaga profesional yang
menguasai bidang keilmuan yang diasuhnya secara luas, mendalam, dan komprehensif serta memiliki kemampuan untuk mengajarkannya (teaching skill), berkepribadian pedagogis, dan berakhlak mulia.
(47)
5) Tersedianya tenaga kependidikan profesional yang dalam melaksanakan tugasnya didukung oleh ilmu pengetahuan yang relevan, memiliki etos kerja, loyalitas, dan dedikasi yang tinggi yang dilandasi akhlak mulia;
6) Tersedianya sarana prasarana dan fasilitas sumber belajar yang dapat memberikan kesempatan kepada para peserta didik untuk dapat belajar seluas-luasnya, sehingga madrasah benar-benar berfungsi sebagai pusat pembelajaran.
7) Terwujudnya peserta didik yang mandiri yang mampu melakukan teamwork melalui berbagai aktivitas belajar baik intra maupun ekstrakurikuler.
3. Guru dan Tenaga Kependidikan
Madrasah Tsanawiyah Al-Falah Jakarta memiliki guru dan tenaga kependidikan yang bervariatif dilihat dari jenis kelamin, jabatan maupun pendidikan seperti pada tabel berikut:
Tabel 4.1
Keadaan Guru dan Tenaga Kependidikan dilihat dari Jenjang Pendidikan, Jabatan dan Bidang Studi
No Nama Guru Jenjang Jabatan
1 H. Yusri, S. Pd. I. S1 Kepala Madrasah
2 Ichwan Rasyid, M.M. S1 WK Kepala Bidang
Kesiswaan
3 E. Moch. Sofyan, S. IP. S1 WK Kepala Bidang
Kurikulum
5 Moh. Yasin, S.Pd.I. S1 Guru
6 Anis Saidah, S. Ag. S1 Guru BK
(48)
8 Fakhrul Rozi, S. Pd S1 Guru
9 Drs. H. Hozin S1 Guru
10 Dra. Hanipah S1 Guru/ Wali Kelas VII-A
11 Dra. Wardah MK S1 Guru/ Wali Kelas VIII-A
13 Drs. A. Sofyan HZ S1 Guru/ Wali Kelas IX-B
14 H. Syahril, S. Pd. I. S1 Guru/ Wali Kelas IX-C
15 Khurasani, S. Pd. I. S1 Guru
16 Ma'rifah, S. Pd. S1 Guru
17 Fitriah, S. Pd. I. S1 Guru/Bendahara II
18 Ahmad Syarifuddin, S.
Pd.I. S1 Guru, Pustakawan
19 Amalia, S. Sos. I. S1 Guru BK
20 H. M. Hakim Aliyah Guru
21 Rusli Sahal, S. Pd. I. S1 Guru
22 Asmat, S. Pd. I. S1 Guru/ Wali Kelas VII-B
23 Ridlo, S. Pd. I. S1 Guru/ Wali Kelas VII-D
24 Dra. Siti Fatimah S1 Guru
25 Dra. Wazdah S1 Guru/ Wali Kelas VIII-B
26 Fadhliah, S. Pd. S1 Guru/ Wali Kelas VIII-C
27 Ahmad Fadil, S. Ag. S1 Guru/ Pembina IPMA
28 Lu'lu'ul Khusna, S. Pd. S1 Guru/ Wali Kelas VIII-D
29 Iwan Anshori Aliyah Guru
30 Hasan Fad'ak, S. Ag. S1 Guru/ Wali Kelas VII-C
31 Ulin Nadhroh, S.Pd. S1 Guru
32 Fahrurozi Hasyim MA Staff TU
(49)
34 Jasmani Aliyah Guru/ Bendahara I
35 Ahmad Fauzi Aliyah Staff TU/ Guru/
36 Selly Salimah, S.E. S1 Staff TU
37 Irna Suryani, S.Pd. S1 Staff TU
38 Sachrul Mts Karyawan
39 Zainal Arifin Aliyah Karyawan
40 Sanusi - Karyawan
41 Rohali - Karyawan
4. Keadaan Siswa
Keadaan siswa-siswi yang ada di Madrasah Tsanawiyah Al-Falah Jakarta sangat bervariatif artinya sekolah tersebut memiliki beberapa kelas yang cukup dari kelas 7 A, 7 B, 7 C dan 7 D kelas 8 A, 8 B, 8 C, dan 8 D dan kelas 9 A, 9 B, 9 C seperti terlihat pada tabel berikut:
Tabel 4.2
Keadaan siswa-siswi MTs. Al-Falah
Kelas L P JML Kelas L P JML
7-A 18 17 35 8-A 16 17 33
7-B 10 20 30 8-B 16 18 34
7-C 16 16 32 8-C 14 18 32
7-D 14 18 32 8-D 16 16 32
(50)
Kelas L P JML
Rekapitulasi
L P JML
9-A 14 20 34 177 215 392
9-B 14 20 34
9-C 16 16 32
9-D 13 19 32
Jumlah 57 75 132
5.
Sarana dan Prasarana
Tabel 4.3
Sarana dan Prasarana
NO. SARANA PENDUKUNG KET.
1 Masjid/Mushola Ada
2 Perpustakaan Ada
3 Lapangan Olahraga Ada
4 Alat-alat Kesenian Ada
5 Alat-alat Keterampilan Ada
6 Laboratorium M-IPA Ada
7 LaboratoriumKomputer Ada
B.
Deskripsi Data
Penulis menggunakan teknik angket dan wawancara dalam pengumpulan data. Angket terdiri dari 20 pernyataan dan dibagikan kepada responden. Penulis mengambil 40 orang responden dari keseluruhan siswa MTs. Al-Falah Jakarta. Data yang didapat dari setiap item pertanyaan dibuat persentase. Setelah itu penulis menginterpretasikan data tersebut.
(51)
Dalam proses wawancara yang dilakukan oleh penulis, pertanyaan ditujukan kepada guru bidang studi bahasa Indonesia dan wali kelas. Guru bidang studi bahasa Indonesia adalah orang yang paling mengetahui bagaimana proses pembelajaran bahasa Indonesia di kelas. Wali kelas adalah guru yang paling dekat dengan siswa dan mengetahui keadaannya. Wawancara tersebut dapat mendukung data yang diperoleh dari angket mengenai sikap bahasa siswa MTs. Al-Falah. Kemudian, wawancara siswa juga dilakukan untuk memperkuat data yang diperoleh melalui angket.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka diperoleh hasil jawaban responden mengenai sikap bahasa sebagai berikut:
Tabel 4.4
Jika berbicara dengan orang yang lebih tua, Anda menggunakana bahasa Indonesia yang baik
No. Jawaban Frekuensi Persentase
1 Sangat Setuju
Setuju Ragu-Ragu Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
6 17 16 1
-
15 42.5
40 2.5 -
Jumlah 40 100%
Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa responden menggunakan bahasa Indonesia yang benar ketika berbicara dengan orang yang lebih tua. Hasil angket responden menunjukkan jawaban setuju sebanyak 42.5% dan sangat setuju sebanyak 15%. Sementara itu, responden yang memilih jawaban ragu-ragu sebanyak 40% dan tidak setuju hanya 2.5% atau satu responden.
Responden yang menjawab ragu-ragu mengakui bahwa dalam berkomunikasi dengan orang yang lebih tua tidak hanya menggunakan bahasa Indonesia tetapi juga bahasa daerah yaitu Betawi. Kemudian responden yang
(52)
menjawab tidak setuju merasa bahwa bahasa Indonesia sulit dan terkesan kaku dibandingkan dengan bahasa daerah. Bersumber pada persentase jawaban yang dipilih responden, maka data tersebut menunjukkan jawaban positif yakni banyak responden yang menggunakan bahasa Indonesia yang benar ketika berbicara dengan orang yang lebih tua.
Tabel 4.5
Jika berbicara dengan guru di sekolah, anda menggunakan bahasa Indonesia
No. Jawaban Frekuensi Persentase
2 Sangat Setuju
Setuju Ragu-Ragu Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
17 20 2 1 -
42.5 50
5 2.5
-
Jumlah 40 100%
Berlandaskan data di atas dapat diketahui bahwa pada saat berkomunikasi dengan guru di sekolah, responden menggunakan bahasa Indonesia. Sebanyak 92.5% responden menyatakan persetujuannya dengan pernyataan di atas. Namun begitu masih ada responden yang tidak menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan guru. Sebanyak 5% menyatakan ragu-ragu yang berarti responden kadang menggunakan bahasa Indonesia dan juga menggunakan bahasa lain seperti bahasa daerah yaitu Betawi. Sementara itu, sebanyak 2.5% menjawab tidak setuju yang berarti responden memang tidak menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan guru di sekolah. Hasil pernyataan ke-2 di atas memperoleh jawaban positif.
(53)
Tabel 4.6
Anda memperhatikan pola kalimat ketika menulis
No. Jawaban Frekuensi Persentase
3 Sangat Setuju
Setuju Ragu-Ragu Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
6 16 17 1 - 15 40 42.5 2.5 -
Jumlah 40 100%
Sebanyak 55% dari jumlah 40 responden menyatakan jawaban setuju atas pernyataan bahwa responden memperhatikan pola kalimat dalam menulis. Jumlah persentase tersebut merupakan jumlah dari pilihan jawaban sangat setuju 15% dan setuju 40%. Hal tersebut menunjukkan bahwa responden merasa bahwa memperhatikan pola kalimat dalam menulis adalah salah satu terciptanya tulisan yang baik. Sementara itu jawaban ragu-ragu diperoleh sebesar 42.5%. Responden yang memilih jawaban ragu-ragu merasa dalam menulis terkadang memperhatikan pola kalimat namun terkadang tidak. Kemudian 2.5% responden memilih tidak setuju. Responden merasa bahwa tidak menguasai cara-cara penulisan bahasa Indonesia yang baik. Hasil pernyataan ke-3 menunjukkan sikap positif.
Tabel 4.7
Anda menggunakan bahasa Indonesia dalam proses belajar di kelas
No. Jawaban Frekuensi Persentase
4 Sangat Setuju
Setuju Ragu-Ragu Tidak Setuju 10 16 13 1 25 40 32.5 2.5
(54)
Sangat Tidak Setuju - -
Jumlah 40 100%
Responden menggunakan bahasa Indonesia dalam proses belajar di dalam kelas. Hal tersebut dapat dilihat dari data di atas. Banyaknya responden yang memberikan jawaban sangat setuju 25% dan setuju 40%. Jika dijumlahkan hasilnya adalah 65%. Sementara itu sebanyak 32.5% responden menyatakan sikap ragu-ragu pada pernyataan di atas. Hasil persentase dari jawaban tidak setuju hanya diperoleh 2.5% menunjukkan ada responden yang tidak menggunakan bahasa Indonesia dalam proses belajar di kelas. Responden tersebut merasa bahwa bahasa Betawi lebih mudah untuk digunakan dalam berkomunikasi. Berdasarkan hasil di atas, maka diperoleh jawaban sikap positif terhadap pernyataan ke-4.
Tabel 4.8
Anda lebih sering menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi dengan teman
No. Jawaban Frekuensi Persentase
5 Sangat Setuju
Setuju Ragu-Ragu Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
1 13 14 11 1
2.5 32.5
35 27.5
2.5
Jumlah 40 100%
Data di atas menunjukkan bahwa sebanyak 30% jawaban responden menggunakan bahasa Indonesia yang dijumlah dalam pilihan tidak setuju 27.5% dan sangat tidak setuju 2.5%. Kemudian sebanyak 35% jawaban responden yang dirangkum dalam pilihan sangat setuju dan setuju. Sementara itu, pada pilihan ragu-ragu ditemukan sebanyak 35% jawaban responden. Data tersebut
(55)
memperlihatkan adanya persentase yang seimbang antara setuju dan netral. Hal tersebut menunjukkan bahwa antara responden yang menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi di antara teman-teman dengan yang memakai 2 bahasa yakni bahasa Indonesia dan Betawi mempunyai persentase yang sama. Responden yang mencampurkan bahasa, baik bahasa Indonesia, bahasa Betawi merasa bahwa ketika sedang berkomunikasi dengan teman terjadi begitu saja. Terkadang mereka melihat keadaan lawan tuturnya. Jika lawan tuturnya menggunakan bahasa Betawi, maka mereka akan mengikutinya menggunakan bahasa Betawi.
Tabel 4.9
Sekolah harus menetapkan pemakaian bahasa Indonesia dalam percakapan di lingkungan sekolah
No. Jawaban Frekuensi Persentase
6 Sangat Setuju
Setuju Ragu-Ragu Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
10 14 11 5
-
25 35 27.5 12.5
-
Jumlah 40 100%
Berdasarkan data diatas, diketahui bahwa sebanyak 60% responden setuju dengan pernyataan sekolah harus menetapkan pemakaian bahasa Indonesia dalam percakapan di lingkungan sekolah. Hal tersebut menunjukkan bahwa jawaban dari jumlah pilihan sangat setuju 25% dan setuju 35% sudah melebihi setengah dari jumlah seluruh responden. Responden menyadari bahwa pentingnya menetapkan penggunaan bahasa Indonesia dalam percakapan di lingkungan sekolah. Responden merasa dengan adanya kebijakan tersebut semakin giat mempelajari bahasa Indonesia dan semakin mencintai bahasa sendiri. Apabila sekolah menetapkan pemakaian bahasa Indonesia dalam percakapan di lingkungan sekolah, maka bahasa Indonesia akan semakin disukai dan dikuasai oleh siswa.
(56)
Terdapat 27.5% responden yang menjawab ragu-ragu dan 12.5% responden menjawab tidak setuju. Responden yang menjawab tidak setuju merasa bahwa bahasa Indonesia boleh saja digunakan dalam kegiatan sehari-hari di lingkungan sekolah, akan tetapi bahasa Inggris sebagai bahasa asing juga boleh menjadi salah satu kebijakan kebahasaan di sekolah. Mereka merasa bahwa bahasa Inggris juga penting untuk dijadikan kebijakaan kebahasaan di sekolah. Mereka menyadari bahwa dalam arus globalisasi ini bahasa Inggris penting untuk dipelajari. Namun tidak menyadari apakah mereka sudah menguasai bahasa Indonesia sebagai bahasa negaranya. Hasil sikap yang positif terlihat pada jawaban pernyataan ke-6.
Tabel 4.10
Berbahasa Indonesia yang baik di sekolah merupakan hal yang penting
No. Jawaban Frekuensi Persentase
7 Sangat Setuju
Setuju Ragu-Ragu Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
16 20 4
- -
40 50 10 - -
Jumlah 40 100%
Data di atas menunjukkan adanya jawaban setuju secara keseluruhan dari responden. Persentase menunjukkan 90% dari rangkuman pilihan jawaban setuju 50% dan sangat setuju 40% pada pernyataan berbahasa Indonesia yang baik di sekolah merupakan hal yang penting. Angka tersebut berada dalam jumlah yang besar, sementara 10% jawaban responden ada pada pilihan ragu-ragu. Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya kesadaran responden untuk memelihara dan menjaga bahasa Indonesia. Dengan adanya kebijakan untuk selalu menggunakan bahasa Indonesia maka responden setuju untuk menjaga bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Berdasarkan pernyataan tersebut maka dapat diperoleh sikap positif.
(57)
Tabel 4.11
Anda suka membaca buku berbahasa Indonesia
No. Jawaban Frekuensi Persentase
8 Sangat Setuju
Setuju Ragu-Ragu Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
9 16 14 1 - 22.5 40 35 2.5 -
Jumlah 40 100%
Sebanyak 40% responden setuju dan 22.5% responden sangat setuju atas pernyataan suka membaca buku berbahasa Indonesia. Hal tersebut menunjukkan jumlah responden yang memberikan jawaban setuju secara keseluruhan mencapai pada 62.5%. Sementara itu 35% responden memilih menjawab ragu-ragu. Kemudian 2.5% responden menyatakan sikap negatif karena lebih senang membaca buku bahasa Inggris, kegiatan tersebut dapat melatihnya menguasai kosakata bahasa Inggris. Berlandaskan data di atas, maka dapat diperoleh hasil positif dari pernyataan ke-8.
Tabel 4.12
Dalam berkomunikasi di jejaring sosial, anda lebih sering menggunakan bahasa asing atau bahasa daerah daripada bahasa Indonesia
No. Jawaban Frekuensi Persentase
9 Sangat Setuju
Setuju Ragu-Ragu Tidak Setuju 4 15 19 1 10 37.5 47.5 2.5
(58)
Sangat Tidak Setuju 1 2.5
Jumlah 40 100%
Bersumber dari data di atas menunjukkan bahwa responden yang menjawab setuju 37.5% dan sangat setuju 10% terhadap pernayataan kesembilan, jika dijumlah akan mencapai persentase sebanyak 47.5%. Kemudian, responden yang memberikan pilihan jawaban ragu-ragu mencapai 47.5%. Hal tersebut menunjukkan adanya keseimbangan persentase antara pilihan jawaban setuju dan ragu-ragu. Sementara itu, responden yang menyatakan tidak setuju melalui pilihan jawaban tidak setuju dan sangat tidak setuju hanya sebanyak 5%.
Keadaan tersebut mengartikan bahwa responden menunjukkan keseimbangan antara yang menggunakan bahasa daerah, atau bahasa asing dalam berkomunikasi di jejaring sosial (diwakili oleh jawaban sangat setuju dan setuju), dengan responden yang juga tidak hanya menggunakan bahasa daerah dan bahasa asing tetapi juga bahasa Indonesia (diwakili oleh jawaban ragu-ragu). Responden yang menjawab tidak setuju dan sangat tidak setuju terhadap pernyataan tersebut merasa bahwa dengan berbahasa Indonesia di media sosial akan membantu menjadikan bahasa Indonesia menjadi terkenal. Dengan berbahasa Indonesia di emdia sosial akan memperbanyak kosakata bahasa Indonesia yang masih belum diketahui responden.
Tabel 4.13
Sebagai putra-putri Indonesia, Anda merasa memiliki Bahasa Indonesia
No Jawaban Frekuensi Persentase
10. Sangat Setuju Setuju Ragu-Ragu Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
17 21 2
- -
42.5 52.5 5
- -
(59)
Data di atas terlihat bahwa responden yang memiliki jawaban positif, yakni setuju 42.5% dan sangat setuju sebesar 52.5% dengan total keduanya mencapai 95%. Angka tersebut menunjukkan persentase yang sangat besar. Sementara itu, hasil atas jawaban ragu-ragu hanya sebesar 5%. Sebagai anak Indonesia, responden merasa memiliki bahasa Indonesia. Mereka menyadari bahwa bahasa Indonesia adalah identitas negara, maka sebagai warga negara yang baik rasa memiliki bahasa Indonesia harus tumbuh dalam diri. Hal tersebut menunjukkan adanya kebanggaan responden terhadap bahasa Indonesia. Berdasarkan data di atas, maka diperoleh hasil positif untuk pernyataan ke-10.
Tabel 4.14
Anda lebih senang belajar bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia
No. Jawaban Frekuensi Persentase
11 Sangat Setuju
Setuju Ragu-Ragu Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
1 4 3 19 13
2.5 10 7.5 47.5 32.5
Jumlah 40 100%
Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa pernyataan responden lebih suka belajar bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia menunjukkan persentase yang cukup kecil, dan pada pernyataan sebaliknya menunjukkan persentase yang besar. Hasil atas jawaban tidak setuju sebesar 47.5% dan sagat tidak setuju 32.5%. Secara keseluruhan responden yang menyatakan tidak setuju terhadap pernyataan tersebut adalah 80%. Sementara itu, hasil dari jawaban sangat setuju 2.5% dan setuju 10%. Maka diperoleh jawaban setuju secara keseluruhan dari responden hanya mencapai persentase 12.5%. Responden yang berada pada pilihan jawaban ragu-ragu yakni sebesar 7.5%.
(60)
Pada data di atas terlihat sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari persentase responden yang menyukai bahasa Indonesia lebih besar dari bahasa Inggris. Responden yang lebih menyukai bahasa Inggris mengakui bahwa mereka lebih tertarik belajar bahasa tersebut, bukan karena lebih mudah dari bahasa Indonesia. Sementara itu jawaban ragu-ragu ada karena kedua bahasa tersebut disenangi oleh responden. Berlandaskan data di atas, maka diperoleh hasil positif terhadap pernyataan ke-11.
Tabel 4.15
Anda takut jika bahasa Indonesia dimiliki oleh bangsa lain
No. Jawaban Frekuensi Persentase
12 Sangat Setuju
Setuju Ragu-Ragu Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
15 13 4 6 2
37.5 32.5 10 15 5
Jumlah 40 100%
Bersumber pada data di atas, dapat diketahui responden yang memberikan jawaban setuju 32.5% dan sangat setuju 37.5% terhadap pernyataan takut jika bahasa Indonesia dimiliki oleh bangsa lain. Keseluruhan dari jawaban positif mempunyai jumlah persentase sebesar 70%. Jawaban ragu-ragu memperoleh persentase sebanyak 10%. Sementara itu jawaban tidak setuju hanya mencapai 15% dan sangat tidak setuju 5%. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa responden mempunyai rasa kepemilikan yang tinggi terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa. Sebagai ciri khas bangsa Indonesia, responden tidak rela jika bahasa Indonesia dimiliki oleh bangsa lain. Secara keseluruhan pada data di atas, diperoleh sikap positif terhadap pernyataan ke-12.
(61)
Tabel 4.16
Anda sering menonton film berbahasa Indonesia
No. Jawaban Frekuensi Persentase
13 Sangat Setuju
Setuju Ragu-Ragu Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
15 22 1 2 -
37.5 55 2.5 5
-
Jumlah 40 100%
Data di atas menunjukkan bahwa dari seluruh responden terdapat 92.5% yang berada pada jawaban positif yakni sering menonton film berbahasa Indonesia. Jawaban sangat setuju memperoleh persentase sebanyak 37.5% dan setuju sebanyak 55%. Persentase yang besar tersebut menunjukkan bahwa responden masih lebih tertarik menonton film berbahasa Indonesia daripada bahasa asing. Padahal pada era globalisasi ini, responden sebagai remaja dapat dengan mudah mengakses film-film berbahasa asing, seperti Inggris dan Korea. Responden yang bersikap positif terhadap pernyataan di atas merasa bahwa film berbahasa Indonesia lebih mudah dimengerti. Sementara itu, 5% responden menjawab lebih suka film berbahasa asing. Mereka merasa dengan menyukai film berbahas Inggris dapat menambah pengetahuan kosakata. Kemudian pilihan jawaban ragu-ragu mendapat persentase 2.5% yang menyatakan bahwa responden sering menonton film baik berbahasa Indonesia maupun berbahasa asing. Berdasarkan hasil data di atas maka terdapat sikap yang positif terhadap pernyataan tersebut.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Haiza Hazrina. Lahir di Jakarta pada tanggal 19 Juni 1993. Putri bungsu dari empat belas bersaudara ini merupakan anak dari pasangan Bapak (Alm.) H. Rusli Nafis dan Ibu Hj. Humairoh Isa. Perempuan yang hobi berwisata ini masih tinggal dengan orang tuanya di Jln. Panjang Kp. Baru Gg. Damai Rt.02/04 No. 36 Sukabumi Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Haiza menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDI Al-Falah 1 Petang lulus pada tahun 2006, MTs. Al-Al-Falah Jakarta lulus pada tahun 2009, MA. Al-Falah lulus pada tahun 2012. Kemudian pada tahun 2012 melanjutkan pendidikan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Semasa sekolah Haiza aktif dalam beberapa organisasi, yakni organisasi intra sekolah yang bernama Ikatan Pelajar Madrasah Al-Falah (IPMA), remaja masjid Al-Falah, dan menjadi anggota paskibra serta pramuka. Sampai saat ini Haiza masih menjadi penggiat paskibra dengan bergabung pada Kelompok Pelatih Paskibra Madrasah Al-Falah (KPPMA). Haiza pernah beberapa kali memenangkan perlombaan, di antaranya adalah lomba MTQ, MTQ Berjama’ah se-DKI Jakarta, dan musikalisasi puisi. Motto hidupnya adalah syukuri, maka ni’matmu akan bertambah. Email: [email protected]