122
merupakan pelaku tindak pidana yang harus dihukum, namun di sisi lain merupakan korban dari tindak pidana yang dilakukannya itu sendiri, sehingga perlu dilakukan suatu
tindakan berupa rehabilitasi. Penentuan sanksi terhadap pecandu narkotika, apakah akan diterapkan sanksi
pidana atau tindakan, penentuannya berada di tangan hakim. Sebab berdasarkan ketentuan undang-undang narkotika, memberikan kewenangan bagi hakim untuk
menentukan akan menjatuhkan pidana penjara atau tindakan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika tersebut, untuk menentukan apakah dalam menangani perkara pecandu
narkotika, hakim akan menerapkan ketentuan Pasal 127 mengatur mengenai sanksi pidana atau menerapkan ketentuan Pasal 103 mengatur mengenai tindakan
“rehabilitasi” adalah pada akhirnya bermuara kepada keyakinan hakim apakah pelaku penyalahgunaan narkotika tersebut tepat untuk dikatakan sebagai pecandu yang harus
direhabilitasi atau lebih tepat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang harus dipidana penjara adalah dengan berdasarkan hasil keterangan
laboratorium yang menyatakan bahwa pelaku tersebut mengalami ketergantungan terhadap narkotika sehingga memerlukan proses perawatan danatau pengobatan yang
dilakukan melalui fasilitas rehabilitasi dan yang tentunya berdasarkan ketentuan undang- undang.
4.4 Rehabilitasi Terhadap korban Penyalahgunaan Narkotika
Rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika saat ini kian marak terdengar, hal ini merupakan salah satu perjuangan yang dilakukan oleh LSM yaitu ikatan korban
123
NAPZA yang gencar menyuarakan hak para pecandu narkotika untuk dapat mendapatkan perawatan maupun rehabilitasi dan bukannya pemidanaan.
Rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika sendiri sebenarnya telah tercantum dalam Undang
– Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, namun hingga saat ini implementasi penerapannya dirasakan masi sangat minim, dan bahkan hukum pidana
lebih banyak diterapkan daripada perawatan maupun rehabilitasi Masalah pidana dianggap merupakan suatu bidang yang tidak banyak diketahui,
sehingga pembahasan tentang ilmu hukum pidana yang menyoroti pidana pada umumnya dan pidana penajra pada khususnya kurang mendapat perhatian. Selama ini yang banyak
dipersoalkan dalam ilmu hukum pidana terletak pada asas-asas hukum pidana yang menyangkut perbuatan pidana dan pertanggungan pidana. Pada hakekatnya tujuan
penggunaan sarana hukum pidana adalah upaya terakhir, mengenai hukum pidana sebagai upaya terakhir dimaksudkan karena hukum pidana mempunya sanksi negatif
berkaitan dengan itu sudarto berpendapat : ”... Yang membedakan hukum pidana dari hukum yang lain ialah sangki
berupa pidana yang diancamkan kepada pelanggaran normanya. Sanksinya dalam hukum pidana ini adalah sanksi negatif, oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa hukum pidana merupukan sistem sanksi negatif. Disamping itu mengngat sifat dari pidana itu, yang hendaknya baru diterapkan apabila
saran upaya lainnya tidak memadai maka dapt dikatakan pula bahwa hukum pidana mempunyai sanksi subsidair”.
154
Dihubungkan dengan pendapat sudarto di atas, ternyata masalah yang penting dalam hukum pidana itu adalah sanksinya yang berupa pidana, dengan adanya sanksi
154
Sudarto,1977,Hukum dan Hukum Pidana,Alumni, Bandung, hal.30 Selanjutnya disebut Sudarto IV
124
tersebut, hukum pidana sebagai ultimum remidium, dimaksudkan untuk memperbaiki tingkah laku manusia terutama penjahat, dalam hal ini Andi Zainal Abidin berpendapat :
”Bahwa yang membedakan antara hukuman pidana dan bidang hukum lain adalah sanksi pidana yang merupakan pemberian ancaman penderitaan
dengan sengaja dan sering juga pengenaan penderitaan. Hal ini dilakukan juga sekalipun tidak ada korban kejahatan. Perbedaan demikian menjadi
alasan untuk menganggap hukum pidana itu sebagai ultimum remidium, yaitu upaya terakhir untuk memperbaiki tingkah laku manusia terutama
penjahat serta memberikan tekanan psikologis agar orang-orang tidak melakukan kejahatan”.
155
Dengan dikatakannya hukum pidana sebagai ultimum remidium atau upaya terakhir untuk menanggulangi kejahatan maka sudah semestinya ada suatu tindakan lain
yang harus diutamakan dalam menanganiu perkara penyalahguna narkotika yang merupakan korabn dari peredaran gelap narkotika, dimana salah satu upaya yang dapat
dilakukan yaitu dengan pemberian rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika. Hukum pidana sebagai bagian hukum yang lain secara tegas tertulis oleh
moeljatno sebagai berikut,
Hukum pidana adalah bagian dari pada hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar
– dasar dan aturan – aturan untuk: 1. Menentukan perbuatan
– perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang
siapa yang melanggar larangan tersebut; 2. Menentukan kapan dan dalam hal
– hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan tersebut itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan; 3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
156
155
Ibid
156
Moejatno, 2005, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta hal.4
125
Penerapan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dapat dijadikan salah satu upaya untuk memulihkan penyalahguna narkotika dari ketergantungannya walaupun
pemberian sanksi pidana juga dapat dibenarkan. Muladi dan Barda Nawawi Arief memberikan pendapat tentang tujuan
pemidanaan sebagai berikut :
Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai
tujun tertentu yang bermanfaat. Oleh karana itu teori ini juga disebut teori tujuan utilitarian, jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini
adalah terletak pada tujuannya, pidana dijatuhkan bukan quia peccattum est karena orang melakukan kejahatan melainkan ne peccetur supaya orang
jangan melakukan kejahatan.
157
Tujuan pidana menutut teori relatif adalah untuk mencaegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu, dengan kata lain pidana yang dijatuhkan kepada si
pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatan, melainkan untuk mempertahankan ketertiban umum, pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan melainkan
supaya orang jangan melakukan kejahatan. Barda Nawawi Arif menyatakan bahwa hubungan antara penetapan sanksi pidana
dan tujuan pemidanaan adalah titik penting dalam menentukan strategi perencanaan politik kriminal, menentukan tujuan pemidanaan dapat menjadi landasan untuk
menentukan cara, sarana, atau tindakan yang akan digunakan. Kebijakan menetapkan sanksi pidana apa yang dianggap paling baik untuk mencapai tujuan, setidak-tidaknya
157
Anonim, “Tujuan
Pemidanaan”, available
from URL:
httpwwwhukumonline.comtujuanpemidanaan, diakses tanggal 17 Agustus 2012
126
mendekati tujuan, tidak dapat dilepaskan dari persoalan pemilihan berbagai alternatif sanksi. Masalah pemilihan berbagai alternatif untuk memperoleh pidana mana yang
dianggap paling baik, paling tepat, paling patut, atau efektif merupakan masalah yang tidak mudah, dilihat dari sudut pandang politik kriminal, maka tidak terkendalikannya
perkembangan kriminalitas yang semakin meningkat justru dapat disebabkan oleh tidak tepatnya jenis sanksi pidana yang dipilih dan diterapkan,dengan demikian kebijakan
hukum pidana haruslah berorientasi pada kebijakan. policy oriented approach
158
Walaupun hukum pidana tetap banyak diterapkan dalam perkara narkotika namun kejahatan akan penyalahgunaan narkotika tidak serta merta menurun, arti pentingnya
penerapan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika adalah pengobatan, perawatan pecandu, dan ketergantungan narkotika. Hal ini disebabkan pelaku penyalahguna
narkotika merupakan korban dari peredaran gelap narkotika. Untuk mencapai penegakan hukum dan mencapai tujuand ari pemidnaan itu
sendiri, maka rehabiltiasi terhadap pencandu narkotika harus diterapkan, karena pecandu sebagai korban akan mendapat penanganan yang layak sehingga dirinya dapat sembuh
dan terbebas dari ketergantungan terhadap narkotika. Barda Nawawi Arif menyatakan bahwa hubungan antara penetapan sanksi pidana
dan tujuan pemidanaan adalah titik penting dalam menentukan strategi perencanaan kebijakan kriminalisasi. Menentukan tujuan pemidanaan dapat menjadi landasan untuk
menentukan cara, sarana atau tindakan yang akan digunakan, kebijakan menetapkan sanksi pidana apa yang dianggap paling baik untuk mencapai tujuan, setidak-tidaknya
mendekati tujuan tidak lepas dari persoalan pemilihan alternatif sanksi, masalah
158
Barda Nawawi Arif II, Op.Cit, hal.27
127
pemilihan berbagai alternatif untuk memperoleh pidana mana yang paling tepat, paling baik, paling patut, paling berhasil, atau paling efektif merupakan masalah yang tidak
mudah, dilihat dari sudut pandang kebijakan pidana maka untuk terkendalinya perkembangan kriminalitas yang semakin meningkat justru dapt disebabkan oleh tidak
tepatnya jenis sanksi pidana yang dipilih atau ditetapkan, dengan demikian kebijakan hukum pidana haruslah berorientasi pada kebijakan policy oriented approach.
159
Walaupun sanksi pidana banyak diterapkan dalam perkara tindak pidana narkotika namun kejahatan akan penyalahgunaan narkotika tidak serta merta menurun.
Untuk mencapai penegakan hukum dan mencapai tujuan dari pemidanaan itu sendiri maka rehabilitiasi terhadap penyalahguna narkotika harus diterapkan karena
penyalahguna sebagai korban dari peredaran gelap narkotika akan mendapatkan penanganan yang layak sehingga dirinya dapat sembuh dan terbebas dari ketergantungan
terhadap narkotika. Rehabilitasi sebagai alternatif pemberian sanksi pemidanaan baki penyalahguna
narkotika sangatlah tepat untuk dipergunakan daripada pendekatan retributif pada sistem pemidanaan di indonesia. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa penerapan
pemidanaan terhadap korban penyalahgunaan narkotika berdasarkan tujuan treatment lebih diarahkan kepada pelaku sebagai korban,bukan kepada perbuatannya sehingga
alternatif pemidanaan ii ditujukan untuk memberikan perawatan dan perbaikan. Alternatif penjatuhan rehabilitasi ini didasarkan pada korban adalah orang yang sakit sehingga
membutuhkan tindakan perawatan.
159
Barda Nawawi Arif III Op.Cit,hal.27
128
4.4 Ketentuan Rehabilitasi dalam Undang