Pengertian Kebijakan Kebijakan Rehabilitasi Terhadap Penyalahguna Narkotika Pada Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

53 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEBIJAKAN, NARKOTIKA, REHABILITASI DAN PENYALAHGUNA NARKOTIKA

2.1 Pengertian Kebijakan

Istilah “kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah “policy” inggris atau “politiek” Belanda. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum Pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah antara lain “Penal Policy,Criminal Law Policy, atau Strafrechtpolitiek ”. 81 Upaya melakukan segala bentuk pencegahan dan penanggulangan kejahatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba adalah termasuk bidang kebijakan kriminal criminal policy - yang oleh G. Peter Hoefnagels diartikan sebagai: ... the rational organization of the social reaction to crime . Dan kebijakan kriminal ini juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan sosial social policy, yang terdiri dari upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat social defence dan upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial social welfare. James E. Anderson memberikan pengertian kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu. 82 81 Ibid hal. 24 82 James E. Anderson, 1984, Public Policy Making, Holt, Rinehart and Winston, cet. ke-3, New York, hal.3 54 Pengertian serupa juga dikemukakan oleh Thomas R. Dye. Ia menyatakan bahwa “kebijakan merupakan apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. ” 83 Pengertian kebijakan menurut kamus besar Bahasa Indonesia diartikan “rangkaian konsep pokok dan asas yang menjadi garis dalam menjalankan suatu pekerjaan”, diartikan juga sebagai pedoman dasar yang dijadikan acuan dalam menjalankan kepemimpinan, Kebijakan atau kajian kebijakan dapat pula merujuk pada proses pembuatan keputusan-keputusan penting organisasi, termasuk identifikasi berbagai alternatif seperti prioritas program atau pengeluaran, dan pemilihannya berdasarkan dampaknya. Kebijakan juga dapat diartikan sebagai mekanisme politis, manajemen, finansial, atau administratif untuk mencapai suatu tujuan eksplisit. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan merupakan serangkaian tindakan yang menjadi keputusan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertujuan untuk memecahkan masalah demi kepentingan masyarakat. Menurut A. Mulder 84 , “straafrecht politiek” mempunyai garis tuntunan sebagai berikut: a seberapa jauh kebijakan hukum pidana yang berlaku perlu diubahdiperbaharui; b apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; 83 Thomas R. Dye, 2005, Understanding Public Policy, Pearson Education Inc., New Jersey, hal.1 84 Ibid,hal.26 55 c cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan. Pengertian Mulder di atas berdasarkan pada pendapat “sistem hukum pidana dari Marc Ancel yang menyatakan bahwa setiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum pidana” yang terdiri dari: 85 a peraturan hukum pidana dan sanksinya; b suatu tata cara hukum pidana; c suatu mekanisme pelaksanaan pidana. Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi, kebijakan pidana juga merupakan bagian dari ”criminal policy” dengan pengertian sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum. Oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian dari bagian kebijakan penegakan hukum Law Enforcement Policy . Dengan demikian, dilihat dalam arti luas, kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana materil, di bidang hukum pidana resmi dan di bidang hukum pelaksanaan pidana. Sebagaimana telah diuraikan di atas, kebijakan pidana adalah sebagai suatu bagian dari upaya menanggulangi kejahatan dalam rangka mensejahterakan masyarakat, tindakan untuk mengatur masyarakat dengan sarana hukum pidana sangat erat kaitannya dengan berbagai bentuk kebijakan dalam suatu proses kebijakan sosial yang mengacu pada suatu tujuan yang luas. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa: 85 ibid 56 ”apabila perwujudan suatu sanksi pidana hendak dilihat sebagai suatu kesatuan proses dari perwujudan kebijakan melalui tahap-tahap yang direncanakan sebelumnya, maka tahap-tahapnya yaitu tahap formulasi oleh pembuat undang-undang, tahap aplikasi oleh pengadilan dan tahap eksekusi o leh aparat pelaksana pidana”, Apabila dilihat dari suatu kesatuan proses, maka tahap kebijakan legislatif merupakan tahap yang paling strategis. Dari tahap inilah diharapkan adanya suatu garis pedoman untuk tahap-tahap berikutnya. 86 Politik hukum berkaitan dengan hukum positif, hal ini karena menyangkut diberlakukannya suatu hukum di suatu negara. Dengan demikian, politik hukum ialah kebijakan hukum untuk mencapai tujuan. Perspektif Politik Hukum Nasional yang dikemukakan oleh Sunaryati Hartono, bahwa hukum itu bukan merupakan tujuan, akan tetapi hanya merupakan jembatan yang harus akan membawa kita kepada ide yang dicita-citakan. 87 Pemikiran politik kriminal menurut Sudarto dapat diartikan dalam 3 tiga pengertian yaitu Sudarto, 1986:113-114: 1. Dalam pengertian yang sempit ialah politik kriminal itu digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. 2. Dalam arti yang lebih Iuas ialah politik kriminal itu merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, : termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. 3. Dalam arti yang paling Iuas ialah politik kriminal itu v merupakan keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui peraturan perundang- undangan dan badan-badan, resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat . 86 ibid 87 Sunaryati Hartono. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Alumni, Bandung, hal.1. 57 Sedangkan dalam pengertian yang praktis, politik kriminal itu adalah segala usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Usaha ini meliputi aktivitas dari pembentukan undang-undang, kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan aparat eksekusi pemidanaan. Aktivitas badan-badan tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan satu sama lain sesuai dengan fungsinya masing-masing. Oleh karena itu, wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial social policy. Kebijakan sosial social policy dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup per-lindungan masyarakat. Dilihat dalam arti Iuas, kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana materiil, di bidang hukum pidana formal dan di bidang hukum pelaksanaan pidana. Sedangkan dengan menggunakan upaya nonpenal ini dapat meliputi bidang yang sangat Iuas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial. Tujuan utama dari usaha-usaha nonpenal ini ialah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Usaha-usaha nonpenal ini misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat. Penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama, dan sebagainya; peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja; kegiatan Karang Taruna, Pramuka, kegiatan-kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara kontinu oleh polisi dan aparat keamanan lainnya, dan sebagainya. Sebagai contoh keterpaduan ini ialah, dalam menanggulangi masalah preman yang dilakukan aparat terkait selama ini. Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal 58 dengan menggunakan sarana penal hukum pidana ialah masalah penentuan: 88 a perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana itu, dan b sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Penganalisisan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan nasional. Ini berarti pemecahan masalah-masalah di atas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial politik yang telah ditetapkan. Dengan demikian, kebijakan hukum pidana termasuk pula kebijakan dalam menangani kedua masalah sentral di atas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan policy oriented approach. Sudah barang tentu pendekatan kebijakan yang integral ini tidak hanya dalam bidang hukum pidana, tapi juga pada pembangunan hukum pada umumnya Berdasarkan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial itulah kiranya, Sudarto berpendapat bahvva dalam menghadapi masalah sentral yang pertama di atas, yang sering disebut masalah kriminalisasi. Politik hukum itu tidak terlepas dari realita sosial dan tradisional yang terdapat di negara kita dan di lain pihak, sebagai salah satu anggota masyarakat dunia, politik hukum Indonesia tidak terlepas pula dari realita politik hukum internasional. Dengan demikian, faktor-faktor yang akan , menentukan politik hukum nasional itu tidaklah semata-mata ditentukan oleh apa yang kita cita-citakan atau tergantung pada kehendak pembentuk hukum, praktisi atau para teoretisi belaka, akan tetapi ikut ditentukan oleh perkembangan 88 Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1984. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni, Bandung, hal. 160 59 hukum di lam-lain negara, serta perkembangan hukum internasional. Dengan lain perkataan, ada faktor-faktor di luar jangkauan bangsa kita yang ikut menentukan politik hukum masa kini, dan di masa yang akan datang. Sunaryati Hartono, selanjutnya dalam melihat perspektif hukum nasional, bahwa proses pembentukan Hukum Nasional bukanlah merupakan proses yang mudah. Perspektif Hukum Nasional, dikatakan bahwa: 1. Hukum Nasional Indonesia akan lebih berupa hukum kebiasaan yang bersumber pada perjanjian-perjanjian kontrak-kontrak dan hukum tertulis perundang- undangan, termasuk keputusan-keputusan pemerintah, sedang hukum adatjadi pelengkap. 2. Hukum Internasional akan secara lebih langsung mempengaruhi hukum nasional daripada di masa-masa yang lampau, sehingga timbul bidang hukum internasional 89 . Hubungan politik dan hukum menurut Teguh Prasatyo, yang mengambil pendapat Mahfud MD, menjelaskan bahwa hukum merupakan produk politik. Hukum dipandang sebagai dependent variable dan politik sebagai independent variable. Dengan asumsi demikian itu, Mahfud MD merumuskan politik hukum sebagai kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasioaal olch pemerintah, mencakup pula pengertian tcntang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Di sini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai Pasal-Pasal yang bersifat imperatif atau keharusan- keharusan, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan Pasal- 89 Ibid, hal. 22. 60 Pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.Berdasarkan pandangan terhadap politik hukum, Mahfud MD melihat dari sudut pembuatan undang-undang di badan Legislatif bahwa hukum merupakan proses dari politik. Hal ini, sesuai dengan pandangan HC Bredemeir bahwa hukum dipengaruhi oleh politik, sosial, dan ekonomi. Menurut Solly Lubis 90 politik hukum ialah kebijakan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku untuk mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan dasar itu, Sudarto menyatakan: 91 . politik hukum merupakan kebijakan negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menerapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Selanjutnya menurut Sudarto, politik hukum pidana dalam tataran mikro sebagai bagian dari politik hukum dalam tataran makro, dalam pembentukan undang- undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan itu dengan cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan dapat dihormati. 92 Jika demikian halnya, maka menurut Sudarto, 93 melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu vvaktu dan untuk masa-masa yang akan datang. 90 Solly Lubis. 1989. Serba Serbi Politik dan Hukum. Mandar Maju, Bandung, hal. 49. 91 Sudarto. 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat; Kajian terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, hal. 1 selanjutnya disebut Sudarto III 92 Ibid, hal. 23. 93 Ibid, hal. 93-94. 61 Lebih lanjut, Sudarto menyatakan bahwa pembentukan undang-undang merupakan proses sosial dan proses politik yang sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh luas, karena ia akan memberi bentuk dan mengatur atau mengendalikan masyarakat. Undang-undang ini digunakan olehpenguasa untuk mencapai dan mevvujudkan tujuan- tujuan tertentu. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa undang-undang itu mempunyai dua fungsi untuk meng-ekspresikan nilai-nilai dan fungsi instrumental. Menurut Sahetapy, 94 peranan hukum dengan pendekatan fungsional tidak sama dengan hukum yang berperan sebagai suatu alat instrumen belaka. Pendekatan secara fungsional, hukum dalam penerapannya harus diarahkan untuk mencapai tujuan dari mana hukum itu berasal. Jika hukum di Indonesia bersumber pada Pancasila maka setiap produk perundang-undangan tidak mungkin terlepas dari sumbernya, yakni dari mana hukum dijiwai, dipersepsikan, dan dalam penjabarannya atau diwujudkan dalam bentuk manifestasinya harus selalu bernafaskan Pancasila. Jika tidak, hukum itu tidak lagi berfungsi dalam arti sebenarnya sehingga lebih tepat disebut sebagai instrumen. Hukum dalam pengertian ini, hanya denii kepentingan tertentu yang sama sekali tidak dijiwai oleh semangat dan idealisme Pancasila. Dalam sistem politik para pengambil keputusan selalu mempertimbangkan masukan berupa tuntutan dari kelompok-kelompok kepentingan dan dukungan masyarakat yang percaya pada legitimasinya. Setelah melewati proses konversi, mereka merumuskan keluaran berupa keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan antara lain dalam bentuknya yang utama yaitu berupa pelbagai produk hukum dan kebijakan umum. Apalagi ingin berkembang maka sebuah sistem politik harus memiliki mekanisme untuk 94 Sahetapy. 1993. Hukum dalam Konteks Politik dan Budaya, dalam Kebijakan Pembangunan Sistem Hukum. Analisis CSIS Januari-Pebruari, XXII No. 1, hal. 55-56. 62 menyerap umpan balik. Ditegaskan bahwa hukum dan politik hukum pada dasarnya merupakan produk dari sistem hukum. Dengan demikian tampak bahwa warna dan kualitas hukum yang berlaku dalam masyarakat akan tergantung pada warna dan kualitas sistem politik yang berlaku. Politisasi hukum terjadi di semua lini aktivitas hukum, baik proses pembuatan hukum, proses penegakan hukum, dan proses penciptaan kesadaran hukum. 95 Hukum sebagai kebijakan merupakan pilihan dari sekian alternatif yang mungkin terjadi, setelah melalui proses interaksi dalam sistem perjuangan politik. Langkah-langkah untuk menghasilkan kebijakan merupakan perjuangan politik yang berat, betapa kuatnya aroma politik dalam kehidupan hukum terlihat dalam proses pembuatan undang-undang dan pelembagaan sistem checks and balances dalam pemerintahan yang demokratis serta praktik penerapan kekuasaan birokrasi. Politik hukum legal policy dalam arti kebijakan negara public policy di bidang hukum harus dipahami sebagai bagian kebijakan sosial, yaitu usaha setiap masyarakatpemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan warganya di segala aspek kehidupan. Hal ini bisa mengandung dua dimensi yang terkait satu sama lain, yaitu kebijakan kesejahteraan sosial social welfare policy dan kebijakan perlindungan sosial social defence policy. 96 Dengan demikian tidak mungkin merumuskan politik hukum yang tepat tanpa mengkaji secara akurat kebijakan sosial, sebab justru akar permasalahan yang akan diatasi dengan politik hukum terdapat dalam masyarakat, berupa kebutuhan-kebutuhan 95 Muladi. 2002. Demokratisasi, Hak A.tasi Manusia. dan Reformasi Hukum di Indonesia. The Habibie Center, hal. 258-260. 96 Ibid., hal. 269. 63 strategis masyarakat yang memerlukan perlindungan dan pengaturan hukum dalam kerangka menciptakan keselamatan masyarakat. Kebijaksanaan atau kebijakan policy dapat diartikan, baik secara teoritik maupun praktikal. Secara teoritikal kebijakan policy dapat diartikan secara luas board maupun secara sempit narrow. Dari kepustakaan kita dapat mengetaui bahwa policy dalam arti luas board merupakan, “…a general pattern of decision and action by governmental authorities that are tied together by a common and general goal to which all of the decisions and action are directed ”. Sedangkan “policy“ dalam arti sempit “narrow” merupakan, “…is a body of principles to guide action. It consists of decisions about the future. It is an authoritative declarations of prescription consisting of: Statutes, An appropriation, A set of rule, An executive order, or A judicial decision reacted by political process ”. Di samping itu, kebijaksanaan atau kebijakan policy secara praktikal erat kaitannya dengan hukum positif, yaitu teori hukum positif yang mempunyai objek berupa gejala-gejala dari hukum yang berlaku dalam masyarakat pada waktu tertentu, mengenai masalah tertentu, dan dalam lingkungan masyarakat Negara tertentu yang memberikan dasar pemikiran tentang jiwa dalam hukum tersebut. 97 Hukum dan kebijakan publik mengendalikan dan membentuk pola sampai seberapa jauh masyarakat diatur dan diarahkan. Dengan demikian sangat penting untuk menyadarkan para perancang hukum dan kebijakan publik bahkan para pendidik bahwa hukum dan kebijakan publik yang diterbitkan akan mempunyai implikasi yang luas di 97 Hermien Hadiati Koeswadji, 2002. Hukum Untuk Perumahsakitan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 107-108 64 bidang sosial, ekonomi, dan politik. Politik hukum harus dirumuskan secara mendasar dalam kerangka sistem hukum yang mencakup elemen-elemen sebagai berikut: 98  Pertama, elemen struktur hukum yang terdiri atas misalnya jenis-jenis peradilan, yurisdiksinya, proses banding, kasasi, peninjauan kembali, pengorganisasiannya mekanisme hubungan polisi dan kejaksaan, dan sebagainya.  Kedua, elemen substansi hukum yang dapat diartikan sebagai pelbagai peraturan, norma, dan perilaku orang-orang di dalam sistem. Pada intinya merupakan hukum yang mengatur berbagai norma, nilai, dan sanksi dalam bentuk peraturan- peraturan hukum. Termasuk di sini living law yang terjadi dalam praktik hukum yang penuh dengan diskresi.  Ketiga, elemen kultur hukum merupakan bagian dari general culture yang berkaitan dengan sistem hukum. Setiap masyarakat, setiap negara, setiap komunitas mempunyai suatu budaya hukum. Hal ini selalu berupa sikap dan pandangan terhadap hukum. Salah satu subkultur yang penting untuk diperhatikan ialah kultur yang dihayati oleh hakim dan penasihat hukum yang bekerja di dalam sistem hukum itu sendiri. Hal ini akan banyak berarti bagi efektivitas sistem hukum tersebut. Secara operasional, ketiga elemen sistem hukum tersebut sebagai proses pembuatan undang-undang substansi hukum, proses penegakan hukum struktur hukum dan proses penciptaan kesadaran hukum budaya hukum, baik dalam bidang hukum pidana, hukum perdata, maupun hukum administrasi. 98 Ibid, hal. 270-271 65 Hal senada dinyatakan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan yang dituangkan ke dalam peraturan perundangundangan secara garis besar meliputi: a. Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa yang ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau merugikan; b. Perencanaan atau kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku perbuatan terlarang itu baik pidana atau tindakan dan sistem penerapannya; c. Perencanaan atau kebijakan tentang peraturan dan tata cara sistem peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum pidana. 99 Dengan demikian, kebijakan hukum pidana tidak dapat dipisahkan dari sistem hukum pidana. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Marc Ancel bahwa ”tiap-tiap masyarakat yang terorganisir memiliki system hukum pidana yang terdiri dari peraturan- peraturan hukum pidana dan sanksinya, suatu aturan hukum pidana dan suatu tata cara pelaksanaan pidana”. 100 Di sini berarti suatu usaha penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, yang pada hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum khususnya hukum pidana. Dengan demikian, tujuan utama kebijakan kriminal terhadap kejahatan narkoba adalah berkontribusi dalam mewujudkan tujuan dan kebijakan sosial tersebut, yaitu 99 ibid 100 ibid 66 memberikan perlindungan masyarakat dari bahaya narkoba untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Istilah kebijaksanaan atau kebijakan yang diterjemahkan dari kata policy memang biasanya dikaitkan dengan keputusan pemerintah, karena pemerintahlah yang mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat, dan bertanggung jawab melayani kepentingan umum. Ini sejalan dengan pengertian publik itu sendiri dalam bahasa Indonesia yang berarti pemerintah, masyarakat atau umum. 101

2.2. Narkotika