Tindakan Rehabilitasi Kebijakan Rehabilitasi Terhadap Penyalahguna Narkotika Pada Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

105 BAB IV PENEGAKAN HUKUM REHABILITASI TERHADAP KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

4.1 Tindakan Rehabilitasi

Sanksi dalam hukum pidana terdiri atas pidana straf dan tindakan maatregel. Sering dikatakan berbeda dengan pidana; tindakan bertujuan melindungi masyarakat sedangkan pidana bertitik berat pada pengertian sanksi kepada pelaku suatu perbuatan. Akan tetapi secara teori sukar dibedakan dengan cara demikian karena pidana pun sering disebut bertujuan untuk mengamankan dan memperbaiki terpidana. Pidana tercantum secara limitatif di dalam Pasal 10 KUHP, sehingga semua sanksi yang berada di luar Pasal 10 KUHP bukanlah pidana. Hukuman administratif misalnya bukanlah pidana dalam arti hukum pidana. Begitu pula tindakan bukanlah pidana walaupun berada di dalam hukum pidana. Perbedaan tindakan dengan pidana agak samar karena tindakan pun bersifat merampas kemerdekaan, misalnya memasukkan anak di bawah umur ke pendidikan paksa, memasukkan orang tidak waras ke rumah sakit jiwa. Jenis tindakan yang lain ialah mengembalikan terdakwa kepada orang tuanya. Tindakan di dalam KUHP terhadap anak di bawah umur ada dua kemungkinan : a. mengembalikan kepada orang tua atau yang memelihara, b. menyerahkan kepada pendidikan paksa negara. Di Nederland dikenal suatu jenis tindakan baru yang disebut ontrekking aan het verkeer penarikan dari peredaran yang disebut dalam Pasal 35b WvS Netherland. 106 Yang menyatakan bahwa dengan putusan hakim, suatu denda yang telah disita dapat ditarik dari peredaran : a. Dengan putusan hakim yang telah menyatakan seseorang telah melakukan suatu delik, b. Dengan putusan hakim berdasarkan Pasal 9a tidak ada pidana yang dijatuhkan, c. Dengan putusan hakim tidak dengan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan ditentukan, bahwa suatu delik telah dilakukan, d. Dengan penetapan hakim atas penuntut umum tindakan jenis ini mirip sekali dengan pidana tambahan berupa perampasan. Bermuara dari konsepsi-konsepsi aliran hukum pidana, lahirlah ide individualisme pidana yang memiliki karakteristik sebagai berikut : a. Pertanggungjawaban pidana bersifat pribadiperseorangan asas personal; b. Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah asas culpabilitas, tiada pidana tanpa kesalahan; c. Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku; ini berarti harus ada kelonggaranfleksibelitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana jenis maupun berat ringannya sanksi dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana perubahanpenyesuaian dalam pelaksanaannya. 134 Konsekuensi dari ide individualisasi pidana, maka sistem pemidanaan dalam hukum pidana modern pada gilirannya berorientasi pada pelaku dan perbuatan daad- dader strafrecht . Jenis sanksi yang diterapkan tidak hanya meliputi sanksi pidana, tetapi 134 Barda Nawawi Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti. . Bandung, Hal. 43. Selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief VIII 107 juga tindakan. Pengakuan tentang kesetaraan antara sanksi pidana dan tindakan inilah merupakan hakikat asasi atau ide dasar dari konsep double track system. 135 Double track system adalah kedua-duanya yakni sanksi pidana dan tindakan. Double track system tidak sepenuhnya memakai satu di antara dua jenis sanksi itu. Sistem dua jalur ini menempatkan dua jenis sanksi tersebut dalam kedudukan yang setara. Penekanan pada kesetaraan sanksi pidana dan tindakan dalam kerangka double track system sesungguhnya terkait dengan fakta bahwa unsur pencelaanpenderitaan lewat sanksi pidana dan unsur pembinaan lewat tindakan sama-sama penting. 136 Rehabilitasi dan prevensi sebagai tujuan utama dari jenis tindakantreatment meski cara ini memiliki keistimewaan dari segi proses resosialisasi pelaku, sehingga diharapkan mampu memulihkan kualitas sosial dan moral seseorang agar dapat berintegrasi lagi dalam masyarakat, 137 namun terbukti kurang efektif memperbaiki seorang penjahat karena dianggap terlalu memanjakannya. Atas kesadaran itulah maka double track system menghendaki agar unsur pencelaanpendenitaan dan unsur pembinaan sama-sama diakomodasi dalam sistem hukum pidana. Inilah ide dasar double track system dituntut adanya kesetaraan antara sanksi pidana dan saksi tindakan. Kesetaraan kedudukan sanksi pidana dan tindakan sangat bermanfaat untuk memaksimalkan penggunaan kedua jenis sanksi tersebut secara tepat dan proporsional. 135 Sholehuddin, M. 2004. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System Implementasinya. Raja Grafindo Persada, hal. 28 136 Ibid. 137 Yong Ohoitimur. 1997. Teori Etika Tentang Hukuman Legal. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, hal. 41 108 Perbedaan sanksi pidana dengan tindakan sering agak sama, namun di tingkat ide dasar keduanya memiliki perbedaan fundamental. Keduanya bersumber dari ide dasar berbeda. Sanksi pidana bersumber pada ide dasar “mengapa diadakan pemidanaan?”, sedangkan tindakan bertolak d ari ide dasar “untuk apa diadakan pemidanaan itu?” 138 Dengan kata lain, sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Jika fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seorang lewat pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera maka fokus tindakan terarah pada upaya memberi pertolongan agar dia berubah. 139 Jelaslah bahwa sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan, sedangkan tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pembuat. 140 Berdasarkan tujuannya sanksi pidana dan tindakan juga bertolak dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa bijzonder leed kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku. Dengan demikian perbedaan prinsip antara sanksi pidana dengan tindakan terletak pada ada tidaknya unsur pencelaan, bukan pada ada tidaknya unsur penderitaan. 141 Tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik. 142 138 Sholehuddin, M., Op. Cit, hal. 32 139 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit. hal. 4 140 Sudarto II, Op.cit,, hal. 7 141 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal. 5 142 Utrecht, 1987, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hal. 360. 109 Istilah Rehabilitasi sebagai bentuk pemulihan terhadap korban penyalahgunaan narkotika, maka memperhatikan berbagai referensi terkait dengan hak-hak korban terutama yang menyangkut dengan hak pemulihan korban, maka penulis berpendapat untuk tetap mempergunakan istilah Rehabilitasi. Dengan prinsip utama bahwa rehabilitasi tersebut adalah dalam upaya melakukan pemulihan terhadap korban secara komprehensif baik medis mapun sosial dan dalam prinsip untuk memanusiakan-manusia. Hal ini dilatarbelakangi oleh beberapa landasan pemikiran: 1. bahwa setiap korban berhak atas hak-haknya sebagai korban; 2. bahwa hak atas pemulihan korban salah satunya adalah Rehabilitasi; 3. bahwa istilah rehabilitasi adalah istilah yang sudah umum digunakan bila menyangkut pada pemulihanreparasi korban, baik oleh hukum nasional maupun oleh hukum internasional. 4. Bahwa istilah rehabilitasi yang digunakan sebagai salah satu hak pemulihan dari korban baik dalam hukum nasional maupun hukum internsional. dari definisi yang ada, penulis tidak menemukan indikasi pelemahan hak-hak korban ataupun penurunan derajat korban sebagai manusia. Justru sebaliknya pengertian Rehabilitasi yang ada secara substansi adalah dalam upaya menjunjung harkat dan martabat korban sebagai manusia.

4.2 Korban Penyalahgunaan Narkotika