Korban Penyalahgunaan Narkotika Kebijakan Rehabilitasi Terhadap Penyalahguna Narkotika Pada Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

109 Istilah Rehabilitasi sebagai bentuk pemulihan terhadap korban penyalahgunaan narkotika, maka memperhatikan berbagai referensi terkait dengan hak-hak korban terutama yang menyangkut dengan hak pemulihan korban, maka penulis berpendapat untuk tetap mempergunakan istilah Rehabilitasi. Dengan prinsip utama bahwa rehabilitasi tersebut adalah dalam upaya melakukan pemulihan terhadap korban secara komprehensif baik medis mapun sosial dan dalam prinsip untuk memanusiakan-manusia. Hal ini dilatarbelakangi oleh beberapa landasan pemikiran: 1. bahwa setiap korban berhak atas hak-haknya sebagai korban; 2. bahwa hak atas pemulihan korban salah satunya adalah Rehabilitasi; 3. bahwa istilah rehabilitasi adalah istilah yang sudah umum digunakan bila menyangkut pada pemulihanreparasi korban, baik oleh hukum nasional maupun oleh hukum internasional. 4. Bahwa istilah rehabilitasi yang digunakan sebagai salah satu hak pemulihan dari korban baik dalam hukum nasional maupun hukum internsional. dari definisi yang ada, penulis tidak menemukan indikasi pelemahan hak-hak korban ataupun penurunan derajat korban sebagai manusia. Justru sebaliknya pengertian Rehabilitasi yang ada secara substansi adalah dalam upaya menjunjung harkat dan martabat korban sebagai manusia.

4.2 Korban Penyalahgunaan Narkotika

Pasal 127 ayat 3 menentukan: Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, Penyalah guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi 110 sosial. Sedangkan yang dimaksud dengan korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, danatau diancam untuk menggunakan narkotika Penjelasan Pasal 54. Pengertian „tidak sengaja” ini memang membingungkan dalam KUHP sendiri terminologi “tidak sengaja” tidak ditemukan yang ada adalah “culpa” atau “lalai”. Culpa atau lalai tentulah berbeda dengan tidak sengaja, karena culpa adalah kurang hati-hati atau tiada penduga-duga. Wirjono Prodjodikoro memandang culpa ialah “kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan. Untuk itu tidak sengaja bukan berarti lawan dari sengaja. Karena tidak tinggi bukan berarti tinggi, karena ada antara tinggi dan tidak tinggi atau sedang. Namun demikian, kalau yang dimaksudkan tidak sengaja merupakan kebalikan dari sengaja, hal ini berarti tidak sengaja haruslah diartikan: 1. tidak sengaja sebagai maksud atau tujuan 2. tidak sengaja sebagai keinsyafan kepastian dan 3. tidak sengaja sebagai keinsyafan kemungkinan. Berkaitan dengan ketiga rumusan di atas, maka yang paling relevan anti tidak sengaja dalam penjelasan Pasal 54 ini adalah tidak sengaja dalam arti maksud atau tujuan, pelaku benar-benar tidak mempunyai maksud menggunakan narkotika, dan penggunaan narkotika semata-mata karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, danatau diancam. Dibujuk tentulah mengacu pada pengertian dalam Pasal 55 KUHP ayat 1 ke-2. Dikatakan membujuk apabila dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan Pasal 55 111 ayat 1 ke-2 KUHP, yaitu adanya pemberian, kesanggupan, penyalahgunaan kekuasaan atau martabat, dengan paksaan, ancaman, atau penipuan, atau dengan memberikan kesempatan, sarana, atau keterangan. Karena membujuk haruslah menggunakan cara- cara di atas, maka dikatakan “dibujuk” apabila cara yang digunakan, sehingga berhasil dibujuk juga sama. Dalam KUHP baik yang membujuk maupun dibujuk dapat dipidana, tetapi ternyata dalam ketentuan ini apabila dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika karena dibujuk maka tidak dipidana namun demikian tetap wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. ”Diperdaya” bermakna dibuat tidak berdaya, sehingga tidak mampu menolak, karena adanya informasi yang menyesatkan, ”Ditipu” berarti menggunakan cara-cara penipuan sehingga tertipu. Cara-cara penipuan di sini adalah adanya rangkaian kebohongan dengan tujuan yang jelas. Rangkaian kebohongan ini sedemikian rupa, sehingga merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan antara kebohongan yang satu dengan kebohongaan lainnya. “dipaksa, danatau diancam” paksaan dapat berupa paksaan fisik maupun psikis, demikian juga ancaman dapat berupa ancaman fisik maupun ancaman psikis. Paksaan fisik dapat berupa dipegang dengan kuat serta disuruh untuk melakukan atau menerima sesuatu, sedangkan paksaan psikis dipandang Wirjono Prodjodikoro sebagai sifat memaksa yang tidak mut lak dimana “sifat memaksa yang tidak mutlak adalah bahwa dari seseorang manusia tidak dapat diharapkan, bahwa ia akan menentang paksaan itu oleh karena jika ia menentang, 112 kepentingannya atau kepentingan orang lain atau kepentingan umum akan dirugikan”. Pertanyaannya adalah siapakah yang membuktikan bahwa seseorang adalah korban penyalahgunaan narkotika. Memang berdasarkan fakta persidangan dapat terungkap apakah seseorang sebagai korban penyalahgunaan narkotika atau tidak. Mengingat tugas Jaksa Penuntut Umum adalah melakukan penuntutan dan dirasa sangat aneh apabila disatu sisi melakukan penuntutan di sisi lain melakukan tugas sebaliknya, untuk itu kalimat. Dalam hal penyalah guna sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, maka sebaiknya di samping sebagai dasar pembelaan terdakwalah yang membuktikan sebagai korban penyalahgunaan narkotika, hal ini sangat logis karena dalam rangka membela kepentingannya. Dengan dapat dibuktikannya korban penyalahgunaan narkotika sesuai dengan ketentuan ini, maka korban penyalahgunaan narkotika tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, untuk itu dapat disimpulkan yang dapat menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial adalah: a. Pecandu narkotika baik terbukti maupun tidak terbukti melakukan tindak pidana narkotika. b. Korban penyalahgunaan narkotika. 113

4.3 Double Track System dalam Perumusan Sanksi terhadap Tindak Pidana