28
Kasus di Pengadilan Negeri Medan”. Penelitian dalam tesis ini mengangkat permasalahan mengenai dampak positif dan negatif dari disparitas penjatuhan
sanksi pidana terhadap penyalahgunaan narkotika oleh hakim khususnya pada Pengadilan Negeri Medan.
3. Penelitian yang dilakukan Bambang Hariono,
34
tentang “Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika di Indonesia”.
Penelitian dalam tesis ini menyoroti tentang kebijakan pemidanaan khususnya pidana mati dalam Undang-undang Narkotika di Indonesia yang belum
mengedepankan gagasan monodualistik sebagai nilai dasar masyarakat Indonesia.
Penelitian yang berkaitan dengan penerapan kebijakan pemidanaan khususnya dalam rehabilitasi pada Undang
– Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika belum ada, sehingga masih relevan untuk dilakukan penelitian,
1.6 Landasan Teori
Definisi tentang teori diberikan oleh Snellbecker yang mengartikan teori sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara simbolis dan berfungsi sebagai wahana untuk
meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati, sedangkan Kerlinger mendefinisikan teori sebagai
“A theory is a set of interrelated connstructs concepts, definitions, and propositions that present a systematic view of phenomena by specifying
34
Bambang Hariono,2010, “Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika di I
ndonesia” Tesis, Universitas Diponogoro, Semarang available from URL: eprints.undip.ac.id166981BAMBANG_HARIYONO.pdf
diakses tanggal 18 Juli 2011
29
relations among variables, with the purpose of explaining and predicting the phenomena
”.
35
Sebuah Undang-undang dapat dikaji dari aspek normatif maupun aspek Empiris, secara garis besar ilmu hukum dapat dikaji melalui studi law in books dan study law in
action.
36
Bertolak dari hal tersebut, untuk mengkaji suatu permasalahan hukum secara lebih mendalam, diperlukan teori yang berupa serangkaian asumsi, konsep, definisi dan
proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep .
37
Sebelum seorang peneliti sampai pada usaha penemuan hukum in concreto atau sampai pada usaha menemukan asas dan doktrinnya, atau sampai pula pada usaha
menemukan teori-teori tentang law in proses dan law in action, maka mereka harus mengetahui terlebih dahulu apa saja yang termasuk hukum positif yang tengah berlaku.
38
Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan suatu yang
dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris, oleh sebab itu dalam
35
Nasution Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal140
36
Amiruddin dan Zaenal Asikin, 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum ,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.196
37
Burhan Ashshofa, 2004, Metoda Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal.19
38
Bambang Sunggono, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 81
30
bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya.
39
Menurut Sudarto, perkataan Narkotika berasal dari kata Yunani “narke” yang
berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa.
40
Sedangkan menurut Soedjono Dirjosisworo, dalam bukunya yang berjudul Hukum Narkotika Indonesia memberikan pengertian Narkotika yaitu zat yang bisa menimbulkan
pengaruh – pengaruh tertentu mereka yang menggunakan dengan memasukan kedalam
tubuh, pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan.
41
Pengertian narkotika di atas memberikan arti bahwa narkotika dapat menimbulkan beberapa efek samping. Akan tetapi walaupun narkotika menimbulkan banyak efek
samping bahkan sampai menimbulkan kematian, masih banyak masyarakat yang terjerumus kedalamnya. Para pengguna narkotika yang merupakan korban dari
penyalahgunaan terhadap narkotika harus dipidana guna mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut. Penulisan tesis ini akan mengkaji mengenai teori-teori yang
relevan dengan permasalahan yang akan dibahas di sini terutama hal-hal yang terkait dengan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika, dengan melihat hal tersebut untuk
menentukan kebijakan pidana yang akan diterapkan di masa yang akan datang.
39
Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.30 selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I
40
Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal.44 Selanjutnya disebut Sudarto I
41
Soedjono, D., 1997, Hukum Narkotika Indonesia, Alumni, Bandung, hal.3 selanjutnya disebut Soedjono I
31
Berdasarkan konsep umum tersebut maka perlu dikaji terlebih dahulu pengertian tentang kebijakan pidana sebagai berikut:
1. Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Secara umum pegertian kebijakan sebagai pengganti dari istilah “policy” atau
“beleid” khususnya dimaksud dalam arti “wijsbeleid”, menurut Robert R.Mayer dan Ernest Greenwood, dapat dirumuskan sebagai suatu keputusan yang menggariskan cara
yang paling efektif dan paling efisien untuk mencapai tujuan yang ditetapkan secara kolektif
42
. David L.Sills menyatakan bahwa pengertian Kebijakan policy adalah suatu perencanaan atau program mengenai apa yag akan dilakukan dalam menghadapi
problematika tertentu dan bagaimana cara melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan.
43
Dalam beberapa tulisan, ada pula yang menterjemahkan “policy” dengan
kebijaksanaan, seperti Muhadjir Darwin menterjemahkan “Publik Policy Analiysis”
karya William N.Dunn dengan “Analisa Kebijaksanaan Publik”
44
. Solichin Abdul Wahab juga menggunakan istilah kebijaksanaan untuk menterjemahkan istilah
“policy”. Akan tetapi
dalam bukunya yang berjudul “Analisa Kebijaksanaan” beliau juga menggunakan istilah kebijaksanaan untuk menterjemahkan istilah
“policy”.
45
42
Sultan Zanti Arbi, dan Wayan Ardana, 1997, Rancangan Penelitian Kebijakan Sosial,Jakarta, CV.Rajawali, Jakarta, hal.63
43
Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legeislatif dalam Penanggulanagan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Disertasi Bandan Penerbit Universitas Diponogoro, Semarang, hal.63 selanjutnya
disingkat Barda Nawawi Arief I
44
William N.Dunn, 2000, Analisa Kebijakan Publik,Penyadur Muhadjur Darwin, PT.Hadindita Graha Widia, Yogyakarta, hal.37
32
Menurut Mark Ancel, pengertian penal policy kebijakan hukum pidana adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberikan pedoman tidak hanya kepada pembuat undang
–undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau
pelaksana putusan pengadilan.
46
Selanjutnya Barda Nawawi Arif menyatakan bahwa pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan
yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik dogmatik, di samping pendekatan yuridis faktual juga dapat pula pendekatan sosiologis, historis dan
komperatif, bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensip dan berbagai disiplin ilmu sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan
nasional pada umumnya.
47
G.Peter Hoefnagels mengemukakan definisi dari kebijakan kriminal sebagai berikut:
a. Criminal policy is the science of responses; b. Criminal policy is the sciences of crime prevention;
c. Criminal policy is a policy if designating human behavior as a crime; d. Criminal policy us a rational total of responses to crime.
45
Solichin Abdul Wahab, 1997, Kebijakan Sosial, Analisis Kebijaksanaan, PT.Bumi Aksara, Jakarta, hal.24
46
Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.23 selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief II
47
Ibid, hal.24
33
Sudarto mengemukakan tiga arti dari kebijakan kriminal yaitu:
1. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dan
reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; 2.
Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi, keseluruhan
kebijakan yang dilaukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral pada masyarakat.
48
Penal Policy dikatakan sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik, dan untuk memberikan pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada
pengadilan yang menerapkan undang-undang, dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.
49
Objek dari hukum pidana bukan hanya meliputi perbuatan dari suatu masyarakat dalam konteks secara umum tetapi hukum pidana juga memeliki sasaran kepada para
penguasa. Menurut
Peters, pernah
menyatakan pembatasan
dan pengawasanpengendalian kekuasaan negara merupakan dimensi yuridis yang
sesungguhnya dari hukum pidana, tugas yuridis dari hukum pidana bukanlah “mengatur
masyarakat” , tetapi “mengatur penguasa” the limitation of, and control over, the powers of the State constitute the real yuridical dimension of criminal law :The Juridical
task of criminal law is not policing society but policing the police.
50
Kebijakan
48
Ibid, hal.24
49
Marc Ancel, 1965, Social Defence A Modern Aproach to Criminal Problems, Routlegde Kegan Paul, London, hal.209
50
G.P. Hoefnagels, 1973, The Other Side of Criminology, KIuwer-Deventer, Holland, hal.139
34
penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri dari tiga tahap kebijakan yaitu :
1. Tahap kebijakan legislatif formulatif yaitu menetapkan atau
merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh badan pembuat undang-undang.
2. Tahap kebijakan yudikatifaplikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh
aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
3.
Tahap kebijakan eksekutifadministratif yaitu melaksanakan hukum pidana secara konkrit, oleh aparat pelaksana pidana
.
51
Pada tahap kebijakan legislatif merupakan muara dari kebijakan hukum pidana itu sendiri dimana dalam hal ini akan berorientasi kepada pelaksanaan hukum pidana itu
sendiri dimana dalam hal ini akan sangat terkait dengan ditetapkan sistem pemidanaan, maka pada hakekatnya sistem pemidanaan itu merupakan sistem kewenangankekuasaan
menjatuhkan pidana. Pidana tidak hanya dapat dilihat dalam arti sempitformal, tetapi juga dapat dilihat dalam arti luasmaterial.
Bertolak dari hal tersebut dalam konteks arti sempit atau formal, penjatuhan pidana ini berarti kewenangan untuk menjatuhkan sanksi pidana sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang, sedangkan dalam arti luas atau material, penjatuhan pidana merupakan mata rantai proses
tindakan hukum dari pejabat yang berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan, sampai pada putusan pidana dijatuhkan oleh pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat
pelaksana pidana, jadi dalam hal ini merupakan keseluruhan proses dari sistem peradilan pidana itu sendiri, hal ini merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang
51
Barda Nawawi Arief, 1998 Beberapa Aspek Kebiiakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PL Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.30 selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief III
35
integral, dimana keseluruhan proses penegakan hukum itupun harus terwujud dalam satu kesatuan kebijakan legislatif yang integral.
Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat social defence dan upaya mencapai
kesejahteraan masyarakat. Perumusan tujuan politik kriminal yang demikian itu pernah pula dinyatakan dalam salah satu laporan Kursus Latihan ke-34 yang diselenggarakan
oleh UNAFEI di Tokyo tahun 1973 sebagai berikut:
Most of group members agreed some dicussion that protection of the society could be accepted as the final goal of criminal policy, Although
not the ultimate aim of society, which might perhaps be described by terms like happiness of citizens, a wholesome and cultural living,
social welfare or equality.
52
Terkait dengan hal tersebut dapatlah dikatakan bahwa politik kriminal pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial yaitu kebijakan dalam
konteks upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial. Pelaksanaan dalam orientasi politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan
untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.
Menurut Barda Nawawi Arif, usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan
penanggulangan kejahatan, jadi kebijakan hukum pidana merupakan tindakan
52
Summary Report, 1974, Resource Material Series No.7, UNAFEI, hal.95
36
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pidana penal. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari usaha
penegakan hukum, khususnya penegakan hukum pidana, karena itu sering pula dikatakan bahwa kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum
law enforcement policy.
53
Usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan
masyarakat. Dengan demikian seandainya kebijakan penanggulangan kejahatan dilakukan dengan menggunakan sarana hukum pidana penal maka kebijakan hukum
pidana penal policy, khususnya pada tahap formulasi kebijakan legislasi yang merupakan tugas dari aparat pembuat undang-undang legislative harus memperhatikan
dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial berupa “social-welfare” dan “social-defence”.
54
Dapat disimpulkan bahwa kebijakan sosial mengintegrasi kebijakan kriminal di dalamnya, atau dengan kata lain kebijakan kriminal merupakan bagian dari
kebijakan sosial secara keseluruhan. Oleh karena itu setiap usaha untuk melindungi masyarakat harus dipandang secara utuh, antara kebijkan tidak saling bertabrakan dan
bertentangan, hal ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dan kesejahteraan tersebut dapat tercapai.
Kebijakan sosial ini dapat dibuat dalam bentuk suatu skema guna memudahkan pemahamannya.
53
Ibid, hal. 30
54
Muhari Agus Santoso, 2002, Paradigma Baru Hukum Pidana, Averroes Press, Malang, hal.20
37
Skema Kebijakan Sosial
Dari skema diatas, dapat dilihat bahwa criminal policy berhubungan dengan penal policy,
Marc Ancel pernah menyatakan bahwa “Modern Criminal Science” terdiri dari 3
komponen yaitu kriminologi criminology, hukum pidana Criminal Law, dan kebijakan hukum pidana Penal Policy. Lebih jauh Marc Ancel menyatakan bahwa kebijakan
hukum pidana adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan
untuk memberikan pedoman tidak hanya menerapkan undang-undang hukum positif dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.
55
Dengan demikian penerapan hukum pidana dapat diukur, dan keadilan bagi masyarakat lebih dapat
dirasakan sebab penyelenggaraan dan pelaksanaan peradilan akan berpegangan pada pedoman yang lebih baik.
55
Marc Ancel, Op.cit, hal.4
Social Welfare Social Policy
Social Defence Criminal Policy
Non Penal Penal
TUJUAN
38
2 Teori Relatif tujuan Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori social defence
sebab merupakan suatu bentuk perlindungan sosial yang mengintegrasikan pecandu narkotika ke dalam tertib sosial agar dia tidak lagi melakukan
penyalahgunaan narkotika Dalam teori relatif ini, memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan
absolut dari keadilan. Sehingga menurut J. Andenaes, teori ini dapat disebut sebagai ”teori perlindungan masyarakat” the theory of socal defence
56
. Menurut Nigel Walker teori ini disebut sebagai teori atau aliran reduktif
karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini ialah untuk mengurangi frekuensi kejahatan
57
. Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan
kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Tetapi mempunyai tujuan
–tujuan tertentu yang bermanfaat. Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia
peccatum est karena orang membuat jahat melainkan ne peccetur supaya
orang jangan melakukan kejahatan
58
.
56
Muladi, Barda Nawawi Arif, 1984, Teori – teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,
hal.16. selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief IV
57
Ibid
58
Ibid
39
teori Social defence berkembang setelah Perang Dunia ke-2. Tokoh terkenal dari teori ini adalah Filippo Gramatica. Dalam teori ini, terbagi dua
konsepsi yaitu:
59
1. Konsepsi radikal ekstrim, dan
2. Konsepsi yang moderat reformist
Konsepsi radikal dipelopori dan dipertahankan oleh Filippo Gramatica. Menurut Gramatica, “hukum perlindungan sosial” harus menggantikan hukum
pidana yang ada sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu kedalam tertib sosial dan bukan pemidanaan
terhadap perbuatannya. Konsepsi moderat dipertahankan oleh Marc Ancel. Menurut Marc
Ancel, tiap masyarakat memasyarakatkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan
untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi-aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum
pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum. Beberapa konsep pandangan moderat
60
:
1. Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi-
59
Ibid, hal. 35-38
60
Marc Ancel, Op.cit, hal. 35
40
konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana.
2. Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang
pentingnya dari kehidupan masyarakat itu sendiri; 3. Dalam menggunakan sistem hukum pidana, aliran ini menolak
penggunaan fiksi-fiksi dan teknis-teknis yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Ini merupakan reaksi terhadap legisme dari aliran
klasik.
Tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan biasa dibedakan antara prevensi spesial dan prevensi general. Prevensi spesial dimaksudkan pengaruh
pidana terhadap terpidana. Sehingga bertujuan agar terpidana dapat berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat.
61
Sedangkan prevensi general dimaksudkan pengaruh pidana terhadap masyarakat pada umumnya, sehingga dapat mencegah masyarakat untuk tidak
melakukan tindak pidana
62
. Selain itu, terdapat beberapa tujuan pemidanaan menurut teori relatif,
yaitu: a.
Mencegah terjadinya kejahatan, b.
Menakut – nakuti, sehingga orang lain tidak melakukan kejahatan,
61
Ibid, hal18.
62
Ibid.
41
c. Memperbaiki orang yang melakukan tindak pidana,
d. Memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap kejahatan.
Teori ini disebut juga teori tujuan, karena menitik beratkan pada tujuan hukuman. Ancaman hukuman perlu supaya manusia tidak melanggar.
63
Berdasarkan tujuan pemidanaan dari teori relatif tersebut, penjatuhan rehabilitasi terhadap pengguna narkotika memiliki tujuan untuk memperbaiki
orang yang telah melakukan tindak pidana. Hal ini dikarenakan para pengguna narkotika melakukan suatu tindak kejahatan merusak dirinya sendiri dengan
memasukkan zat –zat adiktif yang pada akhirnya menimbulkan efek
ketergantungan dan bila tidak diobati dapat membahayakan jiwa si pemakai.
3. Teori Rehabilitasi Menurut teori rehabilitasi yang dikemukakan oleh E. Rotman
Rehabilitation, according to modern standards, can be defined tentatively and broadly as a right to an apportunity to return to or
remain in society with an improved chance of being a useful citizen and staying out of prison;the term may also be used to denote the
actions or the state or private institutions in extending this opportunity
64
.
63
Yulies Tiena Masriani, loc.cit.
64
Duff, Antony David Garland, tanpa tahun, A Reader on Punisment, Oxford University Press, hal286.
42
Terjemahan bebas penulis, rehabilitasi berdasarkan standar modern dapat didefinisikan secara tentative dan luas, yaitu sebagai hak terhadap suatu
kesempatan untuk kembali ke masyarakat dengan kemungkinan yang lebih baik sehingga dapat menjadi warga Negara yang berguna sehingga dapat
menjauhi penjara. Istilah tersebut juga dapat digunakan untuk menunjuk tindakan
–tindakan dari pemerintah atau institusi – institusi dalam memperluas kesempatan ini.
Teori rehabilitasi dalam pembinaan narapidana yang masih banyak diterapkan dewasa ini berawal dari pemikiran klasik abad 17-18 dalam
hukum pidana
yang dilandasi
oleh pemikiran
rasionalisme dan
humanitarianisme harus ditujukan menghasilkan dampak jera dan bukan
pembalasan dendam. Tokoh-tokoh terkemuka aliran klasik tersebut adalah Beccaria 1764 dan Bentham. Dengan demikian apabila pada masa ini orang
masih memikirkan bahwa kita perlu melakukan pembalasan dendam terhadap pelaku kejahatan, maka artinya pemikiran tersebut telah mundur ke alam
pemikiran abad 16, masa kegelapan di kawasan Eropa. Ciri dari penerapan teori rehabilitasi adalah adanya usaha untuk membatasi penerapan hukuman
penjara dengan pemberian hukuman percobaan, mempercepat masa penghukuman dengan pemberian remisi, pembebasan bersyarat, dan amnesti,
serta penghapusan hukuman mati.
65
Sehingga berdasarkan teori tersebut, penjatuhan rehabilitasi dimaksudkan agar nantinya seorang yang telah melakukan suatu tindak penyalahgunaan
65
Muhammad Mustofa, 2009 “Dari Retribusi dan Rehabilitasi ke Restorasi” available from : URL :
http:www.prakarsa-rakyat.orgartikelartikel.php?aid=32186 , diakses tanggal 7 Februari 2011
43
narkotika dapat menjadi seorang yang berguna bagi bangsa dan negara dan tidak mengulangi perbuatan yang sama untuk yang kedua kalinya.
Dengan demikian penjatuhan suatu pidana harus memberikan rasa kepuasan, baik bagi hakim maupun kepada penjahat itu sendiri di samping
kepada masyarakat.
66
Berdasarkan teori –teori pemidanaan yang timbul dari tujuan adanya
pemidanaan, maka penjatuhan rehabilitasi merupakan suatu penjatuhan pidana yang sesuai dengan maksud dan tujuan dari teori relatif tujuan. Karena tujuan
dari rehabilitasi dan tujuan pemidanaan menurut teori relatif memiliki kesamaan yaitu bertujuan untuk mengembalikan atau memperbaiki orang yang
telah melakukan suatu tindak pidana seperti pengguna narkotika yang pada mulanya memiliki rasa ketergantungan menjadi orang yang terbebas dari rasa
ketergantungan narkotika tersebut,
4. Teori Double Track system Pemidanaan Dua Jalur.
Hukum pidana modern menyatakan bahwa pemidanaan yang diterima oleh seorang penyalahguna narkotika yang melakukan perbuatan itu tidak hanya
berupa pidana, akan tetapi juga tindakan yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang merugikannya yang sering disebut
dengan double track system, namun dilihat dari latar belakang kemunculan dapat disimpulkan bahwa ide dasar sistem tersebut adalah kesetaraan antara
66
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, 1982, Asas – asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan
Penerapannya, Alumni, Jakarta, hal.62
44
sanksi pidana dan tindakan.
67
Sehubungan dengan perbedaan antara sanksi pidana dan tindakan, serta batasan antara keduanya yang dinilai kabur, maka
perlu dipaparkan pendapat para sarjana mengenai dua jenis sanksi tersebut: 1. Sudarto:
Pendapatnya menekankan bahwa sanksi pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu. Sanksi dalam hukum pidana modern, juga meliputi apa yang disebut tindakan tata tertib. Selanjutnya Sudarto juga menjelaskan bahwa
sanksi pidana adalah pembalasan pengimbalan terhadap kesalahan si pembuat, sedangkan tindakan adalah untuk perlindungan masyarakat dan untuk
pembinaan atau perawatan si pembuat.
68
2. Andi Hamzah: Meskipun perbedaan sanksi pidana dan tindakan menurut Andi Hamzah
agak samar, tapi dia memberi penjelasan singkat bahwa sanksi pidana bertitik berat pada pengenaan sanksi pada pelaku suatu perbuatan, sedangkan tindakan
bertujuan melindungi masyarakat.
69
3. Utrecht:
67
M. Solehuddin, 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, PT.Raja Grafindo, Jakarta, hal.24 selanjutnya disebut Solehuddin II
68
Sudarto, 1973, Hukum Pidana Jilid I A, Badan Penyediaan Kuliah FHAL UNDIP, Semarang, hal.7 Selanjutnya disebut Sudarto II
69
Andi Hamzah, 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Dari Retribusi ke Reformasi, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal.53.
45
Secara teoritis, Utrecht melihat perbedaan sanksi pidana dan tindakan dari sudut tujuannya. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa
Bijzonder leed kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Sedangkan tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik. Dengan mengutip
pendapat Pompe, Utrecht menjelaskan lebih lanjut bahwa tindakan itu bila ditinjau dari teori-teori pemidanaan merupakan sanksi yang tidak membalas,
melainkan semata-mata ditujukan pada prevensi khusus. Tindakan itu bertujuan melindungi masyarakat terhadap orang-orang berbahaya yang
mungkin akan melakukan delik-delik yang dapat merugikan masyarakat.
70
4. J.E. Jonkers: Pakar hukum pidana dari Belanda ini juga membedakan jenis sanksi
pidana dan tindakan. Dikatakannya, sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan, sedangkan tindakan
mempunyai tujuan yang bersifat sosial.
71
Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan tindakan lebih bersifat
antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan seseorang melalui pengenaan
70
Utrecht,1987, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hal.360
71
J.E. Jonnkers,1987, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, PT. Bina Aksara, Jakarta, hal. 350
46
penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera. Fokus tindakan lebih terarah pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar ia berubah.
72
Jelaslah, bahwa sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan pengimbalan. Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada
seorang pelanggar yang menitikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan. Sedangkan tindakan bersumber dari ide dasar
perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pembuat yang bersifat sosial
Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan tindakan juga bertolak dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan
istimewa Bijzonder leed kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku,
sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku. Dengan demikian, perbedaan prinsip dengan tindakan terletak pada
ada tidaknya unsur pencelaan, bukan pada ada tidaknya unsur penderitaan, sedangkan tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik.
73
Jika ditinjau dari teori-teori pemidanaan, maka tindakan merupakan sanksi yang tidak membalas. Ia semata-mata ditujukan pada prevensi khusus, yakni
melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan kepentingan masyarakat itu., singkatnya, sanksi pidana berorientasi pada ide pengenaan
72
Barda Nawawi Arief,1992, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hal. 4 selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief V
73
J.E. Jonnkers, Loc.cit
47
sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan, sementara tindakan berorientasi pada ide perlindungan masyarakat.
74
5. Teori Pencegahan Deterrence Teory
Teori deterrence ini tidak berbeda dengan teori retributif, deterrence merupakan suatu bentuk teori pemidanaan yang didominasi oleh pandangan
konsekwensialis. Berbeda dengan pandanga retributif yang memandang penjatuhan sanksi pidana hanya sebagai pembalasan semata, maka dalam teori
deterrece memandang adanya tujuan lain yang lebih bermanfaat dari pada sekedar pembalasan. Pandangan Betham menyatakan bahwa pidana yang berat diterima
karena pengaruh yang bersifat memperbaiki reforming effect.
75
Akan tetapi ia mengakui bahwa pidana yang berat harus diterima oleh rakyat sebelum
diberlakukan atau diefektifkan. Dari pandangan tersebut maka hukum pidana jangan hanya digunakan sebagai sarana pembalasan terhadap penjahat, tetapi
hanya untuk tujuan mencegah terjadinya kejahatan. Jadi dari pandangan tersebut jelas bahwa fungsi pidana adalah sebagai sarana pencegahan. Namun meskipun
secara umum teori deterrence dianggap sebagai teori tujuan pemidanaan yang baik dalam perspektif pencegahan dan penanggulangan kejahatan, tetapi ide utama dari
teori ini sangat berbeda dengan konsep rehabilitatif dan incapacitation yang akan dibahas secara lanjut dalam teori berikutnya.
74
Barda Nawawi Arief I, Op.cit hal. 5
75
Barda Nawawi Arief V, Op.cit. hal. 30
48
Nigel Walker menamakan ini sebagai paham reduktif reduktivism karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan akiran ini adalah untuk
mengurangi frekuensi kejahatan the justification for penalizing offences is that this reduces their frequency
. Penganut reductivism meyakini bahwa pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara berikut ini :
76
1.
Pencegahan terhadap pelaku kejahatan detering the offender, yaitu membujuk si pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan
pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan.
2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial detrring potential imitstors, dalam hal ini memberikan rasa takut kepada orang lain yang potensial
untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana yang telah dijatuhkan kepada si pelaku sehingga mendatangkan rasa takut akan
kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya.
3. Perbaikan si pelaku reforming the offender, yaitu memperbaiki tingkah laku si pelaku sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk cenderung
tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dan ancaman pidana.
4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga dengan cara ini secara tidak langsung dapat
mengurangi frekuensi kejahatan. 5. Melindungi masyarakat protecting the public, melalui pidana penjara
cukup lama.
Secara teori deterrence dapat dibedakan dalam dua bentuk sebagai berikut : 1. General Deterrence
Berangkat dari argumentasi yang dikemukakan betham diatas, maka ia memandang bahwa penjatuhan suatu sanksi pidana adalah suatu proses
pemberian derita dan karenanya harus dihindari. Penjatuhan suatu sanksi
76
Marlina, 2011, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung. Hal. 41
49
pidana dapat dibenarkan manakala memberikan keuntungan. Keuntungan yang dimaksud disini ialah keuntungan yang hanya dapat dicapai melalui
mekanisme penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku dan benar-benar tidak dapat dicapai dengsn cara lain. Atas dasar argumentasi bahwa sebagian
besar jenis kejahatan merupakan hasil dari perhitungan rasional, maka sanksi pidana sebagai sarana pencegah kejahatan secara umum, dalam
perumusan dan penjatuhannya hal ini harus memperhitungkan tujuan akhir yang akan dicapai.
2. Special Deterrence Berbeda dengan pandangan tujuan pencegahan umum yang dijelaskan di
atas, maka spesial deterrence merupakan suatu sarana pencegahan pasca proses pemidanaan. Penjatuhan hukuman merupakan mekanisme yang harus
di buat agar pelaku berpikir dua kali untuk melakukan tindak pidana lagi dikemudian hari. Meskipun dalam pandangan lain suatu penjatuhan
hukuman juga merupakan sarana pencegahan begi mereka yang berpotensi sebagai calon pelaku untuk berpikir sebelum melakukan suatu tindak
pidana, dalam pandangan ini, sanksi pidana memberikan efek penjeraan dan penangkalan sekaligus. Penjeraan bertujuan untuk menjauhkan seseorang
yang telah dijatuhi hukuman dari kemungkinan mengulangi kejahatan yang sama. Sementara tujuan penangkalan merupakan sarana menakut-nakuti
bsgi penjahat-penjahat potensial dalam masyarakat.
50
1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Jenis Penelitian