Latar Belakang Masalah Kebijakan Rehabilitasi Terhadap Penyalahguna Narkotika Pada Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Di dunia Internasional, perkembangan konvensi pengaturan masalah narkotika secara Internasional telah dimulai dari The Haque Convention atau yang lebih dikenal dengan sebutan Konvensi Candu 1912. Selanjutnya, telah muncul berbagai konvensi yang mengatur masalah narkotika seperti Konvensi Jenewa tahun 1925 atau The International Opium Convention of 1925 , The 1936 Convention of the Suppression of the Illicit Traffic in Dangerous Drugs , The Single Convention on Narcotic Drugs 1961, the Psychotropic Substances Convention 1971, Convention Againts Illict Traffic in Narcotic Drugs an Psycotropic Substances 1988 . Perkembangan konvensi-konvensi Internasional tentang narkotika tersebut, apabila dilihat lebih jauh membawa implikasi adanya perubahan, baik yang mengatur masalah tujuan, maupun lingkup masalah obat- obatan berbahaya. Aturan-aturan ini patutnya disepakati menjadi kebiasaan Internasional sehingga dipatuhi oleh semua negara untuk kepentingan bangsa-bangsa yang beradab. Sebagai suatu perangkat hukum Internasional, konvensi tersebut mengatur kerjasama Internasional dalam pengendalian dan pengawasan produksi, peredaran dan penggunaan narkotika, serta pemberantasan penyalahgunaannya yang dibatasi penggunaanya bagi kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan. Salah satu Konvensi Internasional yaitu Convention Againts Illict Traffic in Narcotic Drugs an Psycotropic Substances 1988 menyatakan “Deeply concerned by the magnitude of and rising trend in the illicit production of, demand for and traffic in 2 narcotic drugs and psychotropic substances, which pose a serious threat to the health and welfare of human beings and adversely affect the economic, cultural and political foundations of society ”. Terjemahan bebas penulis, bahwa Sangat memperihatinkan dengan besar dan tren kenaikan dalam produksi gelap, permintaan dan lalu lintas narkotika dan psikotropika, yang menimbulkan ancaman serius bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia dan mempengaruhi dasar-dasar ekonomi, budaya dan politik masyarakat. Perkembangan penting dari konvensi-konvensi tersebut adalah adanya paradigma dari Perserikatan Bangsa Bangsa PBB yang sebelumnya hanya sebagai pengatur ataupun dalam pengawasan masalah narkotika, menjadi suatu langkah konkrit dan hendak menunjukkan serta mempertegas perlunya tindakan konkrit dalam masalah penanganan narkotika. Tindakan-tindakan PBB antara lain ditunjukan dengan melakukan perubahan-perubahan badan internasional yang menangani masalah narkotika. Perkembangan kualitas tindak pidana atau kejahatan, menunjukkan bahwa batas – batas territorial antara salah satu Negara dengan Negara lain di dunia, baik dalam satu kawasan maupun berbeda kawasan sudah semakin menghilang, beberapa tindak pidana yang mengancam dan merugikan serta merusak tatanan kehidupan masyarakat internasional, adapun beberapa diantaranya adalah agresi aggression, kejahatan perang war crime, pembasmian etnis tertentu genocide, pembajakan piracy, penculikan kidnapping dan narkotika narcotic crime. 1 1 Anonim, Aspek Sosiologis dan Yuridis tentang Narkotika, Kanwil dep.Hukum dan HAM, Jakarta, hal. 1 3 Perkembangan modernisasi sosial ekonomi dan peradaban terbukti dapat membawa kepada kondisi yang kurang menentu seperti adanya persaingan hidup yang lebih ketat, hilangnya norma-norma ikatan keluarga, menipisnya kepercayaan agama, adanya benturan-benturan sosial merupakan kesulitan zaman yang memberikan peluang tumbuhnya kecondongan penyalahgunaan obat narkotika, psikotropika dan alkohol, Masalah penyalahgunaan narkoba merupakan masalah yang menjadi keprihatinan secara nasional dan internasional di samping masalah HIVAIDS, kekerasanviolence, kemiskinan, pencemaran lingkungan, pemanasan global dan kelangkaan pangan, yang dianggap sebagai penyakit-penyakit yang menjadi beban dunia. 2 Generasi muda merupakan generasi penerus bangsa Indonesia yang diharapkan dapat mewujudkan cita-cita bangsa. Cita-cita bangsa Indonesia telah tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alenia ke –4 yaitu “… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”. Sehingga kemerdekaan bangsa Indonesia diharapkan dapat diisi dengan melakukan pembangunan guna mencapai masyarakat adil dan makmur. Untuk mewujudkan cita –cita yang diinginkan oleh bangsa melalui tangan generasi mudanya pastilah banyak tantangan yang mesti dilalui. Tantangan –tantangan tersebut timbul dikarenakan banyaknya pengaruh budaya luar yang mulai masuk ke Negara Indonesia. Hal ini disebabkan oleh era globalisasi yang sepatutnya generasi muda dapat menyaring budaya –budaya yang masuk tersebut. Pada kenyataannya terdapat beberapa 2 Badan Narkotika Nasional, 2010,Himpunan Hasil Penelitian Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika Tahun 2009, Jakarta, hal. 111 4 budaya luar yang sekarang mulai merusak generasi muda seperti seks bebas, budaya minuman beralkohol dan penggunaan obat –obatan terlarang seperti narkotika. Salah satu penyebab rusaknya generasi muda adalah dengan adanya penyalahgunaan terhadap narkotika. Narkotika berdasarkan Americana Ensyclopedia No. 19, halaman 705 : “narcotic = a drug that dulls the senses, relieves pains, induces sleep and can produse addiction in varying degree suatu obat, bahan zat yang merupakan merusak pikiran, menghilangkan rasa sakit, menyebabkan tertidur dan dapat menimbulkan kecanduan dalam berbagai tingkat” 3 . Pada awalnya narkotika digunakan untuk kepentingan manusia, khususnya untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika digunakan untuk hal – hal yang negatif. Di dunia kedokteran, narkotika banyak digunakan khususnya dalam proses pembiusan sebelum pasien dioperasi, mengingat kandungan di dalam narkotika terdapat zat yang mempengaruhi perasaan, pikiran serta kesadaran pasien. Oleh karena itu, agar penggunaan narkotika dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, dengan dosis yang tepat, narkotika dapat sebagai obat penenang karena menimbulkan pengaruh pada susunan sentral syaraf yang membuat perasaan lebih tenang. Selain itu narkotika juga dapat menghalau kegelisahan dan kecemasan. Sehingga narkotika memiliki manfaat sebagai pengobatan, penelitian ilmu pengetahuan, terapi, serta pengobatan medis. Akan tetapi pemakaian narkotika secara tidak wajar dan berlebih dapat merusak hidup seseorang karena dapat menimbulkan lemah baik jasmani maupun rohani, merusak mental dan moral, menimbulkan efek ketergantungan dan bila tidak 3 Algin Moenthe, tanpa tahun, Narkotika Alkohol Dan Masalahnya, CV. Taringan Bukit Mulya Jakarta, hal.57 5 diobati dapat membahayakan jiwa orang tersebut karena dapat menyebabkan kematian. Serta dalam lingkungan masyarakat dapat menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban umum, gangguan dalam pembinaan masa depan bangsa yang baik, merusak dan merugikan dalam bidang sosial dan budaya perekonomian, serta merongrong ketahanan nasional. Narkotika bersifat adiktif, yakni menimbulkan ketagihan serta ketergantungan. Penggunanya cenderung akan menambahkan dosis pemakaian secara terus menerus yang berakhirnya dengan kematian akibat over dosis. Menurut sifatnya narkotika dibedakan menjadi berikut: a. Depresan, yaitu menekan sistem sistem syaraf pusat dan mengurangi aktifitas fungsional tubuh sehingga pemakai merasa tenang, bahkan bisa membuat pemakai tidur dan tak sadarkan diri. Bila kelebihan dosis bisa mengakibatkan kematian. Jenis narkotika depresan antara lain opioda, dan berbagai turunannya seperti morphin dan heroin. Contoh yang populer sekarang adalah Putaw. b. Stimulan, merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan serta kesadaran. Jenis stimulan: Kafein, Kokain, Amphetamin. Contoh yang sekarang sering dipakai adalah Shabu-shabu dan Ekstasi. c. Halusinogen , efek utamanya adalah mengubah daya persepsi atau mengakibatkan halusinasi. Halusinogen kebanyakan berasal dari tanaman seperti mescaline dari kaktus dan psilocybin dari jamur-jamuran. Selain itu ada juga yang diramu di laboratorium seperti LSD. Yang paling banyak dipakai adalah marijuana atau ganja. 4 Peredaran dan penyalahgunaan narkotika di Indonesia mulai muncul sejak tahun 1969 dengan jenis yang pertama kali banyak disalahgunakan adalah morphine dan ganja. Dari tahun ke tahun jenis narkotika yang disalahgunakan semakin banyak, hal ini terlihat 4 Hari Sasangka, 2003, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, C.V. Mandar Maju, Bandung, hal. 28 6 pada data perkembangan peredaran narkotika dan jenis zat atau obat yang banyak beredar di pasaran : 1. Tahun 1969 – 1973 : Jenis yang banyak disalahgunakan adalah morphine dan ganja. 2. Tahun 1973 – 1976 : Jenis yang banyak disalahgunakan adalah morphine, ganja, barbitut , dan beberapa jenis obat tidur lainnya sedativa hipnotika. 3. Tahun 1976 – 1979 : Jenis yang paling banyak disalahgunakan adalah ganja, barbitut , dan jenis sedativa hipnotika. Sedangkan pemakaian morphine menurun. 4. Tahun 1979 – 1985 : Jenis yang banyak disalahgunakan adalah ganja, barbitut, jenis hipnotika lainnya, dan minuman keras alcohol. Pemakaian morphine mulai meningkat dan heroin putaw mulai masuk ke pasaran gelap narkotika. 5. Tahun 1985 – 1990 : Jenis yang banyak disalahgunakan adalah ganja, barbitut, jenis hipnotika lainnya, minuman keras alcohol, pethidin, morphine dan heroin putaw. 6. Tahun 1990 – 1995 : Jenis yang banyak disalahgunakan adalah ganja, barbitut, jenis hipnotika lainnya, minuman keras alcohol, pethidin, morphine dan heroin putaw. Kokain, amphetamine, serta turunannya ecstacy, shabu- shabu mulai masuk kepasaran gelap narkotika. 7. Tahun 1995 – 2000 : Jenis yang banyak disalahgunakan adalah ganja, barbitut, jenis hipnotika golongan psikotropika, minuman keras alcohol, pethidin, morphine, heroin putaw, kokain, amphetamine, serta turunannya ecstacy, shabu-shabu. 5 Indonesia merupakan salah satu negara peserta penandatanganan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan Konvensi 1988. Keikutsertaannya dalam pengaturan narkotika secara Internasional ini merupakan perwujudan suatu kehendak sebagai negara merdeka, serta ikut menjaga ketertiban dunia. Disamping itu, langkah yang dilakukan Indonesia merupakan “political will” pemerintah, khususnya dalam masalah penanggulangan 5 Revolusi Cinta , 2008, “Perkembangan Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia”, available from : URL : http:revolusicinta.wordpress.com20080218perkembangan-penyalahgunaan-narkotika-di- indonesia.htm , diakses tanggal 31 Januari 2011. 7 narkotika baik di dalam negeri maupun dalam percaturan internasional. Langkah Pemerintah Indonesia tersebut apabila dihubungkan dengan posisi Indonesia sebagai daerah yang rawan dijadikan tempat transit narkotika sangatlah beralasan. Dalam usaha untuk menanggulangi masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba pemerintah telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika Tahun 1988 Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988 dan Konvensi Psikotropika Tahun 1971 Covention on Psychotropic Subtances 1971 dengan mengeluarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika dan Undang-undang No. 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika. Kedua konvensi tersebut membuka kesempatan bagi negara-negara yang mengakui dan meratifikasinya untuk melakukan kerja sama penanggulangan penyalahgunaan dan pemberantasan peredaran gelap narkoba baik secara bilateral maupun multilateral. Kasus penyalahgunaan narkoba meningkat dengan cepat di Indonesia, meskipun pemerintah dan masyarakat telah melakukan berbagai upaya, penyalahgunaan narkoba terlihat begitu sulit diberantas. Kemudian tahun 1997 Pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-undang No.22 tahun 1997 tentang Narkotika sebagai pengganti Undang-undang yang lama yaitu Undang-undang No. 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika, dan pada tahun 2009 Pemerintah kembali mengeluarkan Undang –undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan rakyat, peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, serta melakukan pencegahan dan pemberantasan 8 bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, Sehingga diharapkan Undang-undang tersebut dapat berjalan lebih efektif guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dan psikotropika, termasuk untuk menghindarkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dijadikan sebagai ajang transito maupun sasaran peredaran gelap narkoba dan psikotropika. Peredarannya harus diawasi secara ketat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan : a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan danatau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan Bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika; c. Memberantas peredaran gelap narkotika dan Prekusor narkotika;dan d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika. Pengawasan terhadap peredaran narkotika dilakukan secara ketat karena saat ini pemanfaatannya banyak untuk hal-hal yang bersifat negatif. Disamping itu, melalui perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, daerah yang sebelumnya tidak tersentuh oleh peredaran narkotika lambat laun akan berubah menjadi sentral peredaran narkotika. Begitu pula anak-anak yang pada mulanya awam terhadap barang haram ini dapat berubah menjadi sosok pecandu yang sukar dilepas ketergantungannya. 6 Sehingga diharapkan undang-undang tersebut dapat berjalan lebih efektif guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dan psikotropika, termasuk 6 Dikdik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan,,PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 100 9 untuk menghindarkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dijadikan sebagai tempat transit maupun sasaran peredaran gelap narkoba dan psikotropika. Dampak sosial dan ekonomi perdagangan dan penyalahgunaan narkotika sangat mengkhawatirkan dunia. Menurut penelitian Badan Narkotika Nasional bersama Puslitkes UI, mencatat: Kerugian biaya ekonomi dan sosial akibat narkotika di Amerika Serikat mencapai 181 milyar UNDCP, 2004, sedangkan di Canada 8,2 milyar pada tahun 2002 Rehm, 2006. Di Australia kerugian mencapai sekitar 8,190 juta pada tahun 20042005 Collins, 2008. Perbandingan kerugian biaya narkotika terhadap gross domestic product GDP di Amerika Serikat sebesar 1,7, Canada 0,98, Australia 0,88 dan Perancis 0,16 UNDCP, 2004. Di Indonesia, kerugian diperkirakan Rp.23,6 trilyun atau 2,6 milyar pada tahun 2004 BNN Puslitkes UI, 2005. Di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir penyalahgunaan narkotika meningkat pesat, baik dari jumlah sitaan barang bukti maupun jumlah tersangka. Hasil sitaan barang bukti, misalkan ekstasi meningkat dari 90.523 butir 2001 menjadi 1,3 juta butir 2006, Sabu dari 48,8 kg 2001 menjadi 1.241,2 kg 2006. Jumlah tersangka meningkat dari 4.924 orang tahun 2001 menjadi 31.635 orang tahun 2006 Mabes Polri, 2007. Angka-angka yang dilaporkan ini hanya puncak gunung es dari masalah narkotika yang jauh lebih besar 7 . Fenomena penyalahgunaan obat merupakan masalah yang cukup kompleks dan rumit seperti benang kusut, dari bagian mana yang akan ditarik untuk dapat diluruskan, walau dunia telah bersatu padu mengatasi persoalan yang belum terpecahkan dan bahkan meluas itu. Angka kejadian atau jumlah kasus tindak pidana narkotika meningkat secara cepat menjadi 6 kali lipat untuk wilayah Jakarta dalam kurun waktu 1993 sampai 1999. Kasus narkoba memang seperti fenomena gunung es yang mencuat diatas permukaan laut 7 Sumarmo Ma‟sum, 1987, Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Ketergantungan Obat, CV. Haji Masagung, Jakarta, hal. 2. 10 sehingga yang terlihat hanya bagian puncaknya sedangkan bagian terbesar dibawahnya tidak tampak. Angka kekambuhan dari pecandu yang pernah dirawat pada berbagai pusat terapi dan rehabilitasi di Jakarta mencapai 60-802. Angka kematian yang disebabkan oleh narkoba pun semakin meningkat. Data Badan Narkotika Nasional BNN menunjukkan setiap harinya di Jakarta 2-3 orang meninggal per hari karena penyalahgunaan narkoba. Bahaya penyakit menular Hepatitis BC dan HIVAIDS juga meningkat. 80 pengguna narkoba dengan jarum suntik dipastikan menderita penyakit Hepatitis BC dan 40-50 tertular HIVAIDS. Penyebabnya adalah jarum suntik yang tidak steril dan digunakan secara bergantian. Penyalahgunaan narkoba di Indonesia telah sampai pada titik yang menghawatirkan. Berdasarkan data yang dihimpun Badan Narkotika Nasional, jumlah kasus narkoba meningkat dari sebanyak 3. 478 kasus pada tahun 2000 menjadi 8.401 pada tahun 2004, atau meningkat 28,9 pertahun. Jumlah angka tindak tindak pidana narkoba pun meningkat dari 4.955 pada tahun 2000 menjadi 11.315 kasus pada tahun 2004. Data terbaru sampai juni 2005 saja menunjukkan kasus itu meningkat tajam.3 Sekarang ini terdapat sekitar 3,2 juta pengguna narkoba di Indonesia, secara nasional dari total 111.000 tahanan, 30 karena kasus narkoba, perkara narkoba telah menembus batas gender, kelas ekonomi bahkan usia.4 Dari gambaran di atas penyalahgunaan dan tindak pidana narkoba telah berada pada tingkat yang membahayakan, karena di samping merusak fisik dan mental juga mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat yang pada gilirannya dapat mengganggu sendi-sendi keamanan nasional dalam rangka pembangunan nasional menuju masyarakat yang adil dan makmur seperti yang dicita-citakan dalam tujuan negara yang tercantum pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat. 11 Dengan demikian narkoba dapat menjadi penghambat pembangunan nasional yang beraspek materiel-spiritual. Bahaya pemakaian narkoba sangat besar pengaruhnya terhadap negara, jika sampai terjadi pemakaian narkoba secara besar-besaran di masyarakat, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang sakit, sehingga negara akan rapuh dari dalam karena ketahanan nasional merosot. Sangat beralasan jika kemudian peredaran narkoba harus segera dicarikan solusi yang rasional untuk suatu pemecahannya, karena sudah jelas tindak pidana narkoba merupakan problema sosial yang dapat mengganggu fungsi sosial dari masyarakat. Selain itu, tindak pidana narkoba pada umumnya tidak dilakukan oleh perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisasi secara mantap, rapi dan sangat rahasia. Terhadap para pelaku peredaran gelap narkoba dan penyalah guna narkoba sudah banyak yang dimejahijaukan. Bagi para pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan penuntut umum, hakimpengadilan sudah menjatuhkan pidana. Strafmaat yang sudah dijatuhkan pengadilan berada dalam kisaran pidana penjara di bawah 1 satu tahun hingga pidana mati. Meski kebijakan kriminal - melalui jalur penalnya sudah dijalankan, facta notoir menunjukkan, bahwa penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba masih juga ada, bahkan kurvanya meningkat. Tak pelak, beberapa komentar sumbang disasarkan ke lembaga pengadilan. Antara lain, pengadilan dianggap tidak mendukung dan tidak memberi kontribusi yang signifikan untuk program pemberantasan kejahatan narkoba. 8 8 Andi. BNN-Hukuman Mati Penting untuk Selamatkan Generasi Muda, available from : URL: httpwww.Suara Islam Online.com,diakses tanggal 16 Desember 2009. 12 Penyalahgunaan Narkotika Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan perkembangan meningkat, bahkan sudah sampai pada tingkat yang memprihatinkan. Indonesia bukan hanya menjadi adresat peredaran narkoba, tetapi sudah menjadi tempat produksi narkoba. Dikatakan, Indonesia sebagai “pasar narkoba”, karena eksisnya kegiatan “supply demand”. Penggunanya pun melebar, bukan hanya dari kalangan keluarga broken home - sebagai sarana untuk “eksodus” dari masalah keluarganya, tetapi sudah merambah pada keluarga yang harmonis dan berstatus sosial - sebagai bagian suatu “hiburan”.Tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih dan didukung dengan jaringan organisasi yang luas yang mengancam Indonesia terutama pada kota –kota besar dan metropolitan yang sangat keras terkena imbas globalisasi. Terlebih lagi pemberitaan akhir-akhir ini, terkait dengan penyalahgunaan narkotika secara beruntun membuat masyarakat prihatin, kejadian tabrakan maut xenia yang mengakibatkan Sembilan orang meninggal, tertangkapnya pilot yang menkomsumsi shabu-shabu, serta aparat kepolisian yang juga sebagai pengguna narkoba ditambah lagi dengan publikasi penangkapan- penangkapan terhadap penggunapengedar narkotika. 9 Ada beberapa alasan mengapa bangsa Indonesia harus serius dalam melakukan pemberantasan tindak pidana narkotika yang semakin memprihatinkan, adapun alasannya sebagai berikut : 1. Pemerintah Indonesia belum optimal dalam menanggulangi kasus – kasus penyalagunaan dan peredaran gelap narkotika. Hal ini mengisyaratkan kepada kita untuk lebih peduli dan memperhatikan secara lebih khusus untuk menanggulanginya. 9 Indonesia dalam Bahaya Narkoba,Kompas,Jumat 24 Februari 2012,hal.1 13 Salah satu Provinsi di Indonesia yang rentan dengan peredaran narkotika adalah Provinsi Bali. Bali yang terkenal dengan sebutan the last paradise in the world dan the morning of the world itu dalam perkembangannya, menjadi daerah yang sangat terbuka bagi transaksi dan peredaran berbagai jenis benda haram 10 . Pada awal tahun 1960 di Indonesia terutama di Bali dan Jakarta telah ditemukan penggunaan narkotika di masyarakat dalam jumlah yang kecil, namun seiring dengan perkembangannya, pada awal tahun 1970 penggunaan narkotika kian menyebar ke seluruh pelosok negeri. 11 Beberapa daerah yang terdapat di Bali yang sangat rentan dengan peredaran narkotika adalah Kotamadya Denpasar dan Kabupaten Badung yang berada di wilayah hukum Pengadilan Negeri Denpasar. Kotamadya Denpasar dan Kabupaten Badung merupakan daerah yang rentan dengan peredaran narkotika karena merupakan tempat berkumpulnya komunitas turis- turis, untuk tinggal menetap, mencari pekerjaan atau sebagai tujuan obyek wisata baik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Sehingga banyak terdapat turis –turis yang saling berinteraksi dengan penduduk lokal yang dapat menumbuhkan pertukaran kebudayaan secara besar –besaran. Dengan semakin banyaknya wisatawan yang datang ke Kotamadya Denpasar dan Kabupaten Badung turut menimbulkan perkembangan infrastruktur penunjang lainnya yaitu, hotel dan tempat-tempat hiburan malam seperti diskotik, club, cafe, dan bar. Hal ini terlihat dari jumlah peningkatan hotel dan tempat- tempat hiburan malam dimana terdapat peningkatan pertumbuhan hotel sebesar 11,53 10 O.C Kaligis, dan Soedjono Dirdjosisworo, 2006, Narkotika Dan Peradilannya di Indonesia, O. C. Kaligis Assosiatr, Jakarta, hal282 11 ibid 14 sebelas koma lima puluh tiga persen dari tahun sebelumnya 2009,dengan perhitungan telah terdapat 147 hotel berbintang di Bali. Sebagian besar hotel berbintang dan sarana akomodasi itu tersebar di Kabupaten Badung, Kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar. Selama tahun 2010 sebanyak 2.066.715 wisatawan baik wisatawan asing maupun domestik yang menginap di hotel-hotel tersebut 12 . Menjamurnya tempat-tempat hiburan malam memiliki suatu paradigma antagonis yaitu selain memiliki dampak positif yaitu memberikan lapangan pekerjaan, sebagai sumber pendapatan daerah dan menunjang pengembangan daerah metropolitan, juga memiliki dampak negatif yaitu sebagai tempat untuk mengadakan transaksi narkotika yang dikarenakan menurut para pengelola tempat hiburan, narkotika justru merupakan faktor yang mendatangkan keuntungan usahanya dengan mengesampingkan tanggung jawab menyelamatkan generasi muda, komitmen para pengelola hiburan malam hanya pada hal-hal yang bersifat simbolik belaka 13 . Dengan adanya tempat hiburan malam yang menjamur, memungkinkan tingkat transaksi narkotika menjadi semakin tinggi. Karena pada umumnya disebabkan oleh dua hal yaitu : 1. Bagi para pengedar menjanjikan keuntungan yang besar sedangkan bagi pemakai menjanjikan ketentraman dan ketenangan hidup, sehingga beban psikis yang dialami dapat dihilangkan. 12 Soegeng Sarjadi, 2010 “Map of Local Economy Potency” available from : URL : http:www.cps-sss.orgwebhomepropinsipropBali diakses tanggal 7 Februari 2011 13 Siswanto Sunarso, 2005, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal12. 15 2. Janji yang diberikan oleh penggunaan narkotika tersebut menyebabkan rasa takut terhadap resiko tertangkap menjadi berkurang, dan sebaliknya akan menimbulkan keberanian. 14 Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah saat ini belumlah dapat membawa perubahan yang signifikan, karena kasus-kasus tindak pidana narkotika semakin meningkat, menurut data Badan Narkotika Nasional 15 diterbitkan pada tahun 2009, bahwa: Pada tahun 2005 terdapat 16.252 kasus Narkotika 8.171, Psikotropika 6.733, dan Zat adiktif 1.348, pada tahun 2006 terdapat 17.355 kasus Narkotika 9.422, Psikotropika 5.658, dan Zat Adiktif 2.275, pada tahun 2007 terjadi peningkatan hingga 22.630 kasus Narkotika 11.380, Psikotropika 9.289, dan Zat adiktif 1.961, pada tahun 2008 juga terdapat peningkatan menjadi 29.364 kasus Narkotika 10.008, Psikotropika 9.783, Zat adiktif 9.573 dan pada tahun 2009 masih terjadi peningkatan hingga 30.668 kasus Narkotika 11.132, Psikotropika 8.732, dan Zat adiktif 10.804 . Tindak pidana yang berhubungan dengan narkotika dikualifikasikan menjadi beberapa bentuk tindak pidana, namun yang sering terjadi di masyarakat adalah berhubungan dengan pemakai dan pengedar narkotika. Jika berbicara tentang pengedar narkotika, sudah jelas kiranya telah terjadi interaksi antara pengedar dan pembeli narkotika, keduanya merupakan pelaku tindak pidana narkotika. Akan tetapi, jika kita berbicara tentang pemakai narkotika, sejauh ini masih terdapat perbedaan sudut pandang mengenai pemakai narkotika. Hukum positif menyatakan, pemakai narkotika adalah 14 Moh.Taufik Makaro,dkk, 2005, Tindak Pidana Narkotika, Galia Indonesia, Jakarta hal.6 15 Ibid. hal. 27-28. 16 pelaku tindak pidana karena telah memenuhi kualifikasi dalam undang-undang narkotika. 16 Tindak pidana narkotika seperti penyalahgunaan narkotika dalam kajian kriminologi dapat digolongkan sebagai kejahatan tanpa korban atau victimless crime. Penggolongan ini merujuk kepada sifat kejahatan tersebut yaitu adanya dua pihak yang melakukan transaksi atau hubungan yang dilarang namun keduanya merasa tidak menderita kerugian atas pihak lain 17 . Pengguna narkotika sesungguhnya merupakan korban dari tindak pidana narkotika, namun pengguna tersebut tidak merasa sebagai korban, karena dia secara sengaja dengan kehendaknya sendiri untuk menggunakan narkotika tersebut, baik itu karena anjuran teman, maupun rasa ingin coba-coba. Narkoba memang menjadi sesuatu yang “menjanjikan”. Kepada produsen dan pengedarnya, ia berhasil menjanjikan keutungan yang besar dalam waktu yang relatif singkat, sedangkan kepada penggunanya, ia juga mampu menjanjikan “kenikmatan”. Pengguna narkotika dapat dimasukkan sebagai korban dari penyalahgunaan narkotika. Hal ini dikarenakan mereka akan mengalami ketergantungan terhadap barang haram narkotika tersebut. Penyalahgunaan narkotika selain berbahaya terhadap diri si pemakai itu sendiri juga berbahaya terhadap lingkungan masyarakat, dimana agar dapat memenuhi hasratnya mendapatkan narkotika, maka si pemakai narkotika tentu saja menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Bagi orang –orang yang tidak berpenghasilan cukup maka dia akan berupaya untuk mencuri, merampok serta melakukan berbagai tindakan 16 Tommy, Korban TIndak Pidana Narkotika,2011 available from : URL : http:www.facebook.comtopic.php?uid=341355375076topic=11176 diakses tanggal 26 Januari 2011 17 Moh. Taufik Makaro,dkk, Op.cit hal.5 17 kriminal lainnya 18 . Berkaitan dengan masalah penyalahgunaan narkotika tersebut, diperlukan suatu kebijakan hukum pidana yang memposisikan pecandu narkotika sebagai korban, bukan pelaku kejahahatan. Berdasarkan tipologi korban yang diidentifikasikan menurut keadaan dan status korban, maka dapat dibedakan menjadi 6 enam,yaitu : a . Unrelated victims, yaitu korban yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pelaku. b. Provocative victims, yaitu seorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban. c. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat, akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban. d. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban. e. Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban. f. Self victizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri. 19 Pecandu narkotika merupakan Self victizing victims karena pecandu narkotika menderita sindroma ketergantungan narkotika akibat dari penyalagunaan narkotika yang dilakukannya sendiri. Bahaya akibat penyalahgunaan narkotika tersebut terhadap diri si pemakai secara umum menimbulkan pengaruh dan efek –efek terhadap tubuh sipemakai dengan gejala– gejala sebagai berikut : 18 Joko Suyono, 1980, Masalah Narkotika dan Bahan Sejenisnya, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, hal. 14 19 Moh Taufik Makarao,Suhasril, dan Moh Zakky A.S., 2003 Tindak Pidana Narkotika, Galia Indonesia, Jakarta, hal.49 18 a. Europhoria, yaitu suatu keadaan rangsangan kegembiraan yang tidak sesuai dengan kondisi si pemakai. b. Dellirium, yaitu suatu keadaaan dimana pemakai narkotika mengalami penurunan kesadaran dan timbulnya kegelisahan yang mengganggu daya gerak anggota tubuh si pemakai. c. Halusinasi, yaitu keadaan dimana si pemakai narkotika mengalami “khayalan” seperti melihat atau mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak ada. d. Weakness, yaitu keadaan dimana tubuh si pemakai narkotika baik secara psikis maupun fisik mengalami kelelahan. e. Drowsines, yaitu keadaan seperti orang mabuk dimana terjadinya penurunan daya ingat dan timbulnya kantuk yang berlebih pada pemakai narkotika tersebut. f. Coma , yaitu suatu keadaan dimana si pemakai narkotika sampai pada puncak penurunan kondisi baik fisik maupun psikis yang pada akhirnya dapat menimbulkan kematian . 20 Cara yang dianggap tepat untuk menyembuhkan ketergantungan tersebut adalah dengan melakukan rehabilitasi terhadap para korban penyalahgunaan narkotika. Karena rehabilitasi dapat melepaskan ketergantungan narkotika sampai dapat menikmati kehidupan bebas tanpa narkotika 21 . Rehabilitasi merupakan salah satu cara untuk menyelamatkan korban pengguna narkotika dari ketergantungan. Karena pengertian dari rehabilitasi adalah usaha untuk memulihkan untuk menjadikan pecandu ketergantungan nakotika dan hidup normal sehat jasmani dan rohani sehingga dapat menyesuaikan dan meningkatkan kembali keterampilannya, pengetahuannya, kepandaiannya, pergaulannya dalam lingkungan 20 Putri Handani Duarsa, 2005, Kebijakan Kriminalisasi dan Penalisasi dalam UU No.22 Tahun 1997 Tentang Tindak Pidana Narkotika thesis, Universitas Udayana, Denpasar 21 Martono, Lydia Harina dan Satya Joewana, 2006, Peran Orang Tua dalam Mencegah dan menanggulangi Penyalahgunaan Narkotika, Balai Pustaka, Jakarta, hal.87. 19 hidup atau dengan keluarganya yang disebut juga resosialisasi 22 . Rehabilitasi terhadap pengguna narkotika tersebut adalah merupakan serangkaian upaya yang terkoordinasi dan terpadu, terdiri atas upaya-upaya medik, bimbingan mental, psikososial, keagamaan, pendidikan dan latihan vokasional untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian diri, kemandirian dan menolong diri sendiri serta mencapai kemampuan fungsional sesuai dengan potensi yang dimiliki, baik fisik, mental, sosial dan ekonomi. Pada akhirnya mereka diharapkan dapat mengatasi masalah penyalahgunaan narkotika dan kembali berinteraksi dengan masyarakat secara wajar 23 . Fungsi sanksi pidana dalam hukum pidana tidaklah semata-mata menakut-nakuti atau mengancam para pelanggar, akan tetapi keberadaan sanksi tersebut harus juga mendidik dan memperbaiki pelaku 24 . Pidana itu pada hakekatnya merupakan nestapa, namun pemidanan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia 25 . Landasan pemikiran pembaharuan bukan hanya menitikberatkan terhadap kepentingan masyarakat, tetapi juga perlindungan individu dari pelaku tindak pidana. Gendering perang dengan peredaran dan penyalahgunaan narkoba telah dilakukan dengan berbagai cara, baik yang berupa preemtif sampai represif, dengan menggunakan 22 Algin Moenthe, Op.cit, hal.66 23 M. Tavip, 2010, “Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan Psikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan”, available from : URL : http: www.ma-ri.go.idinfolapasrehabilitasi , diakses tanggal 2 Februari 2011 24 M.Solehuddin, 2007, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 1 selanjutnya disebut Solehuddin I 25 Niniek Suparni, 1996, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 3 20 seluruh elemen masyarakat, dan dengan revisi regulasi. UU narkotika yang disahkan pada 14 September 2009 merupakan revisi dari UU No. 221997 tentang narkotika. Pemerintah menilai UU No. 221997 tidak lagi dapat mencegah secara efektif tindak pidana narkotika yang semakin lama semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif, serta bentuk kejahatannya yang terorganisir. Secara substansial, perubahan yang signifikan pada UU N0.35 tahun 2009 dibandingkan dengan UU terdahulu, adalah pada penekanan pada ketentuan kewajiban rehabilitasi, penggunaan pidana yang berlebihan, dan kewenangan BNN yang sangat besar. Undang –undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dirancang untuk menekan jumlah peredaran narkotika di Indonesia yang telah bersifat transnasional dan untuk mengurangi jumlah korban penyalahgunaan narkotika terutama di kalangan remaja yang membahayakan kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam konsideran Undang –undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dengan tujuan untuk mengurangi jumlah korban penyalahgunaan narkotika tersebut maka dalam Undang – undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dibuatkan bab khusus yaitu dalam Bab IX yang mencantumkan mengenai hukuman rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika. Pencantuman bab ini dimaksudkan agar korban penyalahgunaan narkotika dapat dikenakan hukuman rehabilitasi dan bukannya hukuman pidana penjara maupun pidana kurungan. Kepala Badan Narkotika Nasional, Gories Mere menyatakan, bahwa : Pada Undang-undang Narkotika yang baru ini, antara lain menerapkan pidana yang berat bahkan pidana mati bagi pengedar, pengimpor, dan produsen narkotika, dibentuknya BNN sebagai Lembaga Pemerintahan Non Kementerian yang merupakan organisasi vertikal dari pusat sampai provinsi dan kabupatenkota, adanya pengaturan putusanpenetapan hakim 21 memberikan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika, Undang-Undang ini telah memperkuat bidang pemberantasanpenegakan hukum dengan memberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan kepada BNN disamping penyidik POLRI, berwenang melakukan perampasan barang bukti yang digunakan untuk kepentingan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika, perluasan teknik penyidikan penyadapan wiretapping, teknik pembelian terselubung under cover buy, dan teknik penyerahan yang diawasi controlled delivery, serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika 26 . Pada tahun 2009 Mahkamah Agung mengeluarkan sebuah surat edaran SEMA RI no 72009 yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi diseluruh Indonesia untuk menempatkan pecandu narkotika di panti rehabilitasi dan yang terbaru adalah dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial yang merupakan revisi dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2009. Untuk mencapai penyembuhan para korban penyalahgunaan narkotika dari ketergantungan tersebut, maka hukuman yang sepatutnya diberikan kepada mereka adalah pembinaan dan rehabilitasi. Hukuman pembinaan dan rehabilitasi ini telah diatur dalam Pasal 54, dan Pasal 103 Undang –undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, serta diatur juga dalam SEMA Nomor 7 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkotika ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi, serta SEMA Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Pasal 54 dan Pasal 103 menyatakan bahwa : 26 Jurnal BNN Aware and Care, edisi 08 tahun 2009. hal. 1 22 Pasal 54 Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pasal 103 1 Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat : a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan danatau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan danatau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika. 2 Masa menjalani pengobatan danatau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a diperhitunngkan sebagai masa menjalani hukuman. Rehabilitasi berdasarkan Pasal 54 Undang –undang Nomor 35 Tahun 2009 dapat dilakukan dengan 2 dua cara, yaitu melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pengertian dari rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial tertuang dalam Pasal 1 angka 16 dan angka 17 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dimana disebutkan rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika dan Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Baik rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial dapat dilakukan oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat Kemudian di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 menghimbau bagi para hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika untuk menerapkan ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang 23 Narkotika yang berisikan mengenai tindakan rehabilitasi yang diperintahkan untuk dijalani oleh pecandu narkotika. Hal tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian besar narapidana dan tahanan kasus narkoba termasuk kategori pemakai atau bahkan sebagai korban yang jika dilihat dari aspek kesehatan mereka sesungguhnya orang-orang yang menderita sakit, oleh karena itu memenjarakan yang bersangkutan bukanlah langkah yang tepat karena telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan. Penggunaan rehabilitasi dianggap lebih dapat membantu para korban penyalahgunaan narkotika daripada penjatuhan pidana penjara atau pidana kurungan. Penjatuhan rehabilitasi ini sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang Menempatkan Pemakai Narkotika kedalam Panti Terapi dan Rehabilitasi yang menyatakan bahwa mereka sebagai tahanan kasus narkotika sesungguhnya orang yang sakit sehingga tindakan rehabilitasi hendaknya lebih tepat dijatuhkan dan kondisi LAPAS Lembaga Pemasyarakatan yang tidak mendukung dikhawatirkan malah mengakibatkan efek yang tidak baik terhadap mereka karena dapat semakin memperburuk kesehatan serta kondisi kejiwaan para penyalah guna narkotika tersebut. Penyalahgunaan narkotika adalah penggunaan yang dilakukan tidak untuk maksud pengobatan, tetapi karena ingin menikmati pengaruhnya, dalam jumlah berlebih, kurang teratur, dan berlangsung cukup lama, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, mental dan kehidupan sosial. 27 27 Badan Narkotika Nasional, 2009, Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Sejak Dini. Jakarta, hal. 36. 24 Denis L. Thom, melihat adiksikecanduan narkoba sebagai penyakit yang harus disembuhkan. Untuk itu pendekatan aspek hukum bila pecandu harus divonis di pengadilan mereka harus dirawat di panti rehabilitasi secara memadai 28 Badan Narkotika Nasional hanya mencatat sebanyak 16 pecandu yang telah divonis hakim berdasarkan rujukan SEMA untuk menjalani rehabilitasi, Pecandu sebanyak 16 orang tersebut merupakan 2 dari 674 residen total residen yang menjalani rehabilitasi di Lido. Sebagian lainnya yakni 398 orang59 atas rujukan keluarga, 248 orang37 atas rujukan BNP, dan 12 orang2 atas rujukan Kepolisian 29 Kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika bahkan menjadi bahan berita yang hampir setiap hari muncul di media massa. Kasus penyalahgunaan narkotika dan peredaran gelap kini sudah terjadi diseluruh pelosok negeri ini. Bahkan Lembaga Pemasyarakatan yang ada diseluruh Indonesia, sebagian besar dipenuhi oleh pelaku tindak pidana narkotika. Menurut data Direktur Bina Khusus Narkotika-Ditjenpas, November 2009: Banyak Lapas atau Rutan yang over kapasitas, yang menyebabkan kerawanan keamanan dan kertertiban dan kerawanan kesehatan. Kelebihan daya tampung di seluruh LapasRutan di Indonesia mencapai 56. Awalnya, LapasRutan di Indonesia mampu menampung 89.549 orang, namun daya tampung membengkak menjadi 140.423 orang hingga September 2009. Dari jumlah itu, 37.295 orang diantaranya adalah kasus narkoba. Jumlah orang dengan kasus narkoba tersebut tersebar di 413 LapasRutan yang ada di Indonesia”. BNN sendiri sebenarnya sudah mengakomodir hak rehabilitasi korban Napza melalui UNITRA Unit Terapi Rehabilitasi di Lido Jabar. Namun tempat rehabilitasi tersebut hanya mampu menampung 500 orang. 28 A. Kadarmanta, “Penegakan Hukum Bagi Pecandu Naroba Paradigma UU.352009”, available from : URL : http:www.A.Kadarmanta.blogspot, diakses tanggal 7 Januari 2011. 29 Data Residen 2010, Unit Terapi dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional, hal. 3. 25 Daya tampung tersebut tentu tidak sebanding dengan perkiraan jumlah korban Napza yang mencapai 3,6 juta orang 30 Dengan kondisi yang semakin meningkatnya penyalahguna narkotika, maka Pemerintah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 diharapkan gencar mengupayakan perehabilitasian bagi para penyalahguna dan pecandu narkotika. Benny J. Mamoto, Direktur Narkotika Alami BNN berpendapat mengenai perubahan yang ada pada Undang- Undang No. 35 Tahun 2009 ini, ia mengatakan, “program-program BNN mengacu pada UU No. 35 Tahun 2009. Jika sebelumnya para penyalahguna diperlakukan sebagai kriminal, hanya tangkap-tahan-proses-masuk Lembaga Pemasyarakatan LP. Namun, UU No. 35 ini justru lebih manusia dan empati terhadap penyalahguna narkoba. Penyalahguna diperlakukan sebagai korban” 31 Penjatuhan rehabilitasi masih jarang dijatuhkan kepada para korban penyalah guna narkotika padahal telah diatur secara tegas dalam Undang –undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang Menempatkan Pemakai Narkotika kedalam Panti Terapi dan Rehabilitasi. atas dasar pertimbangan sebagaimana latar belakang diatas, maka penulis mengangkat hal tersebut sebagai karya ilmiah dengan judul “KEBIJAKAN REHABILITASI TERHADAP PENYALAH GUNA NARKOTIKA PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA .” 30 Ray, “Pasal Karet UU Narkotika Mengebiri Hak-hak Korban Napza”, available from : URL : http:www.satuportal.com , diakses tanggal 26 Oktober 2010. 31 Majalah SINAR Badan Narkotika Nasional, edisi khusus 2010 hal. 54. 26

1.2 Rumusan Masalah