16 negeri tahun 2001 diperkirakan sekitar 4,6 juta ton dengan konsumsi rata-rata
21,71 kgkaptahun. Sementara itu konsumsi ikan yang direkomendasikan dalam Lokakarya Nasional Widya Karya Pangan dan Gizi untuk mencukupi kebutuhan
gizi sekitar 26,55 kgkaptahun. Jadi masih jauh dari yang direkomendasikan Pusat Riset Perikanan Tangkap, 2001.
Pemanfaatan sumberdaya pelagis kecil salah satunya adalah dengan menggunakan alat tangkap bagan rambo yang merupakan perkembangan terakhir
dari bagan apung di Indonesia. Jumlah tangkapan dan keragaman spesies dengan menggunakan bagan rambo pada bulan terang dan bulan gelap menunjukkan
perbedaan yang signifikan Baskoro, et.al., 2002. Untuk mengefektifkan penangkapan ikan pelagis besar nelayan sekarang
cenderung untuk menggunakan rumpon sebagai alat bantu dalam penangkapan ikan agar lebih mudah, efektif dan lebih efisien. Dalam pengoperasian pole and
line dan tonda di sekitar rumpon perlu diperhatikan mengenai pola waktu makan ikan dan jenis umpan yang disenangi cakalang. Sedangkan dalam pengoperasian
purse seine, drift gill net perlu memperhatikan faktor jalar ruaya dan tingkah laku
schooling cakalang terhadap rumpon Simbolon, 2004.
2.5 Permasalahan dalam Pengembangan Perikanan Tangkap
Pengembangan dapat diartikan sebagai suatu usaha perubahan dari suatu yang dinilai kurang baik nenjadi sesuatu yang lebih baik ataupun dari suatu yang
sudah baik menjadi lebih baik. Dengan kata lain pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan. Menurut Bahari 1989, pengembangan
usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi dibidang perikanan dan sekaligus meningkatkan
pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Prioritas kebijakan pengembangan perikanan khususnya untuk komoditas
sumberdaya ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dimasing-masing daerah akan berbeda-beda. Simbolon dan Mustaruddin 2006 menyatakan bahwa
prioritas pengembangan perikanan cakalang di perairan Sorong diarahkan pada peroduk sesuai permintaan pasar, pengembangan usaha penangkapan
berkelanjutan, dan peningkatan produktivitas usaha penangkapan. Lebih lanjut dinyatakan pula bahwa pengembangan produk dilakukan dengan urutan prioritas
17 sebagai berikut : melakukan diversifikasi produk; 2 pengembangan pemasaran
yang berorietasi pada kebutuhan pasar; dan 3 meningkatkan kualitas hasil tangkapan.
Permasalahan dalam implementasi pengembangan armada perikanan tangkap dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu: 1 Masalah mikro-
teknis , yakni masalah yang muncul dan disebabkan oleh kondisi internal
pengembangan armada perikanan tangkap, dan 2 Makro-struktural kebijakan ekonomi makro yang kurang kondusif yakni masalah yang muncul dan
disebabkan oleh kondisi eksternal, baik ekonomi-makro, politik, hukum, maupun kelembagaan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2001
Masalah Mikro-Teknis meliputi : 1 Tingkat Kemiskinan Nelayan yang Tinggi
Masalah utama dalam bidang perikanan tangkap adalah tingkat kemiskinan nelayan. Hal ini terlihat dari kondisi wilayah pesisir yang identik
dengan kekumuhan dan ketertinggalan. Kemiskinan struktural masyarakat pesisir yang terjadi, merupakan resultante dari berbagai masalah lainnya.
2 Rendahnya Produktivitas Dalam perikanan tangkap, rendahnya produktivitas nelayan disebabkan
karena tiga faktor utama, yakni sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan tradisional dengan teknologi penangkapan yang tradisional pula, sehingga
kapasitas tangkapnya rendah. Mereka memiliki berbagai keterbatasan, antara lain dalam hal pengetahuan keterampilan, akses permodalan dan pasar serta telah
terjadinya kerusakan lingkungan ekosistem laut, seperti kerusakan hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun seagrass beds, yang merupakan
habitat ikan dan organisme laut lainnya berpijah, mencari makan, atau membesarkan diri nursery ground. Kerusakan lingkungan laut ini juga
disebabkan oleh pencemaran, baik yang berasal dari kegiatan manusia di darat maupun di laut.
3 Gejala Tangkap Lebih Berkaitan dengan gejala tangkap lebih di beberapa kawasan, jenis stok
sumberdaya perikanan yang telah mengalami tangkap lebih adalah udang hampir
18 mengalami tangkap lebih di seluruh perairan Indonesia, kecuali Laut Seram
sampai Teluk Tomini, Laut Sulawesi, Samudera Pasifik, dan Samudera Hindia. Kondisi tersebut menjadi permasalahan tersendiri bagi pengelolaan sumberdaya
perikanan Indonesia. Mengingat kemampuan nelayan-nelayan kita masih sangat terbatas sehingga sulit melakukan ekspansi penangkapan pada perairan ZEEI.
4 Rendahnya Kemampuan Penanganan dan Pengolahan Hasil Perikanan Diakui bahwa kemampuan teknologi pasca panen penanganan dan
pengolahan produk perikanan sesuai dengan selera konsumen dan standardisasi mutu produk secara internasional seperti HACCP, persyaratan sanitasi, dan
lainnya masih lemah. 5 Lemahnya Kemampuan Pemasaran Produk Perikanan
Pemasaran komoditas perikanan Indonesia di pasar dalam negeri maupun ekspor, sebagian besar masih ditentukan oleh para pembelikonsumen buyer
market . Hal ini mengakibatkan harga jual produk perikanan seringkali kurang
menguntungkan pihak produsen nelayan atau petani ikan. Ada dua faktor utama
yang membuat pemasaran produk perikanan Indonesia masih lemah. Pertama,
karena lemahnya market intelligence yang meliputi penguasaan informasi tentang
pesaing, segmen pasar, dan selera preference para konsumen. Kedua, belum
memadainya prasarana dan sarana sistem transportasi dan komunikasi untuk mendukung distribusi atau penyampaian delivery produk perikanan dari
produsen ke konsumen secara tepat waktu. 6 Tidak Stabilnya Harga-harga Faktor Produksi
Panjangnya rantai pemasaran dalam proses pembelian faktor-faktor produksi berakibat pada besarnya beban harga yang harus dibayar nelayan. Selain
itu, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak BBM yang merupakan 60 biaya operasi penangkapan juga telah meningkatkan harga-harga kebutuhan nelayan.
7 Pengembangan Teknologi, Data, dan Informasi Keterbatasan teknologi informasi menyebabkan sumberdaya yang tersedia
tidak dapat teridentifikasi secara memadai. Data dan informasi tentang perikanan masih tersebar dan belum tertata dengan baik dalam suatu sistem jaringan,
19 sehingga sulit mengaksesnya untuk menetapkan suatu kebijakan. Selain itu tingkat
akurasi dan validasinya juga masih diragukan. Masalah Makro-Struktural yang meliputi :
1 Ekonomi Makro yang Belum Kondusif bagi Kemajuan Perikanan. Sebagai suatu sistem aquabisnis, keberhasilan perikanan tidak hanya
ditentukan oleh tiga sub-sistem utamanya, yakni: 1 produksi, 2 pasca panen penanganan dan pengolahan, dan 3 pemasaran; tetapi juga oleh sub-sistem
penunjangnya yang meliputi: 1 prasarana dan sarana, 2 finansialkeuangan, 3 sumberdaya manusia dan IPTEK, dan 4 hukum dan kelembagaan. Kebijakan
pemerintah di ketujuh sub-sistem bidang aquabisnis perikanan dinilai secara umum belum mendukung kemajuan pembangunan perikanan, seperti kebijakan
tentang kredit murah dan lunak yang belum ada, misalnya bunga sekitar 10 untuk mendukung usaha perikanan tangkap ataupun industri pengolahan dan tidak
terpenuhinya investasi yang seharusnya dibutuhkan di sektor perikanan tangkap dan sulitnya melakukan investasi.
2 Sistem Hukum dan Kelembagaan Perikanan yang Masih Lemah Dari sisi peraturan dan perundang-undangan di bidang perikanan, jika
ditinjau dari segi materi peraturan dan perundang-undangan sudah relatif memadai, namun yang belum memadai adalah implementasinya.
Untuk dapat menerapkan kebijakan pembangunan perikanan diperlukan instrumen hukum dan kelembagaan yang memadai. Kesepakatan pakar dan
pengamat pembangunan perikanan dari dalam maupun luar negeri, bahwa implementasi dan penegakkan hukum law enforcement bidang perikanan di
Indonesia dinilai masih lemah. Sanksi hukum bagi perusak lingkungan masih terlalu ringan, seperti bagi pengguna bahan-bahan peledak, bahan beracun
cyanida, dan juga aktivitas penangkapan ikan secara ilegal, penambangan karang untuk bahan bangunan, reklamasi pantai, kegiatan pariwisata yang kurang
bertanggung jawab, dan seterusnya. Di sisi lain, terjadi juga tumpang tindih over lapping
kebijakan yang seringkali menimbulkan konflik kewenangan. Tidak dapat dimungkiri bahwa pengelolaan wilayah-wilayah tersebut ditangani lebih
dari satu departemen yang tentu saja memiliki kepentingan yang berbeda. Padahal
20 hubungan ekologis-biologis dan ekonomi daerah pesisir, pantai, laut, sungai
maupun danau saling terkait satu dengan lainnya. Adanya tumpang tindih juga dapat dilihat dari pemahaman yang sempit
mengenai otonomi daerah, khususnya yang menyangkut kewenangan dalam pengelolaan wilayah laut, baik oleh sebagian aparat di daerah, nelayan maupun
masyarakat luas. Hal ini menyebabkan terjadinya konflik antar nelayan di beberapa daerah sehubungan dengan perebutan daerah penangkapan, dispute
antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi KabupatenKota, Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah KabupatenKota, maupun antar
Pemerintah KabupatenKota. Apabila kondisi ini berlangsung terus maka pelaksanaan pembangunan perikanan tangkap sangat dimungkinkan akan
mengalami hambatan.
2.6 Memilih Keputusan yang Terbaik