1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebijakan pembangunan yang sangat terpusat seperti pada era lalu dianggap tidak akan mampu lagi mengikuti dinamika masyarakat dan perubahan
eksternal yang berkembang semakin cepat, sehingga desentralisasi pembangunan dinilai memiliki makna yang semakin penting. Inti dari desentralisasi ini pada
dasarnya adalah pemberdayaan wilayah dan masyarakat, serta pengembangan prakarsa dan kreativitas lokal. Desentralisasi memungkinkan daerah-daerah
tersebut mempunyai kewenangan dan keleluasaan yang lebih besar untuk melaksanakan kebijakan sesuai dengan prakarsa dan aspirasi masyarakat serta
kondisi daerahnya masing-masing. Salah satu wujud dari implementasi desentralisasi adalah
ditindaklanjutinya gagasan otonomi daerah melalui penetapan UU nomor 322004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal menarik yang patut dicermati adalah adanya
salah satu pasal yang mengatur kewenangan daerah dalam pengelolaan wilayah perairan laut dalam skenario otonomi daerah. Disebutkan dalam Pasal 10, bahwa
daerah provinsi berwenang mengelola wilayah laut maksimum sejauh 12 mil dari garis pantai, sementara daerah tingkat dua Dati II berwenang mengelola wilayah
laut sejauh sepertiga dari batas kewenangan daerah provinsi atau sekitar 4 mil laut dari garis pantai. Jenis kewenangan tersebut mencakup pengaturan kegiatan
kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut. Kewenangan tersebut terwujud dalam bentuk pengaturan kepentingan
administratif, pengaturan tata ruang, serta penegakan hukum. Bahwa implementasi otonomi daerah jelas membawa sejumlah implikasi
terhadap aktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan. Pertama, sudah seharusnya daerah mengetahui potensi perikanan serta batas-batas wilayahnya
sebagai dasar untuk meregulasi pengelolaan sumberdaya, seperti penentuan jenis dan tipe kegiatan perikanan yang sesuai di daerahnya. Kedua, daerah dituntut
bertanggung jawab atas kelestarian sumberdaya perikanan di daerahnya itu.
2 Ketiga, semakin terbuka peluang bagi masyarakat lokal, utamanya nelayan untuk
terlibat dalam proses pengelolaan sumberdaya. Armada perikanan nasional yang didominasi oleh armada skala kecil telah
banyak menimbulkan berbagai persoalan di beberapa daerah. Keterbatasan jangkauan operasi penangkapan jelas menyebabkan adanya penumpukkan operasi
penangkapan di wilayah pantai, yang pada akhirnya menimbulkan gejala terjadinya tangkap lebih di daerah pantai, seperti di pantai Utara Jawa. Kondisi
ini semakin rumit dengan semakin maraknya pelaksanaan otonomi daerah yang cenderung disalah artikan. Akibatnya, semakin sering terdengar terjadinya konflik
antar nelayan dari daerah yang berdekatan karena memperebutkan sumberdaya ikan yang memang terbatas.
Terbatasnya armada perikanan berukuran besar yang mampu beroperasi di perairan lepas pantai dan bahkan ZEEI, telah dimanfaatkan oleh kapal asing untuk
menangkap ikan di perairan tersebut dengan berbagai modus operandi. Oleh karenanya sering terjadi pencurian ikan oleh kapal asing yang menyebabkan
kerugian negara yang tidak kecil, selain itu juga mengganggu terhadap kedaulatan negara.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang dua per tiga wilayahnya merupakan perairan laut dan mempunyai panjang garis pantai sekitar 1.200 km
memiliki sumber daya ekonomi kelautan dan perikanan potensial yang sangat besar dan beragam, serta relatif belum dimanfaatkan secara optimal. Secara
geografis, provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu provinsi yang berkepentingan dalam pengelolaan perikanan tangkap di wilayah
pengelolaan perikanan Laut Cina Selatan dan paparan Sunda. Kabupaten Belitung merupakan salah satu kabupaten di wilayah provinsi
Bangka Belitung dengan wilayah kepulauan yang terdiri dari 98 pulau besar dan kecil. Pulau-pulau tersebut sebagian besar merupakan pulau karang yang
dilengkapi terumbu karang yang masih baik dan keragaman ikan yang indah. Pada beberapa lokasi pantainya dilengkapi dengan batu putih yang muncul dari
permukaaan laut. Letak geografis tersebut di atas merupakan modal alami yang bermanfaat
untuk pengembangan perikanan tangkap, budidaya ikan dan wisata bahari.
3 Berdasarkan hasil pengkajian stok stock assessment yang dilakukan oleh
Pusat Riset Perikanan Tangkap, BRKP DKP pada tahun 2001, untuk Wilayah Pengelolaan Perikanan di beberapa wilayah pengelolaan telah terjadi tangkap
lebih seperti di perairan Selat Malaka 176,29 , Laut Jawa dan Selat Sunda 171,72 serta Laut Banda 102,74 . Sedangkan tingkat pemanfaatan di
wilayah pengelolaan lainnya adalah Laut Flores dan Selat Makassar sebesar 88,12 , Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik 46,84 , Laut Arafura 42,67 dan Laut
Maluku, Teluk Tomini dan Seram 41,83 BRKP – DKP, 2001. Wilayah pengelolaan perairan di wilayah Kepulauan Bangka Belitung menurut penelitian
BRKP masih dapat dimanfaatkan secara optimal. Sumberdaya ikan yang cukup melimpah tidak akan mempunyai arti dari
sisi ekonomi apabila tidak ada upaya yang sungguh-sungguh dan sistematis untuk mendayagunakannya sehingga mampu memberikan manfaat secara berkelanjutan.
Salah satu sarana yang sangat penting dalam rangka memanfaatkan sumberdaya ikan di laut adalah armada penangkapan ikan berupa kapal dan alat penangkap
ikan. Selama ini pengembangan armada perikanan harus diakui belum ditangani secara memadai karena adanya berbagai masalah, terutama yang terkait dengan
kewenangan dalam pembinaannya yang masih menyebar di berbagai institusi. Untuk itu perlu adanya kesamaan persepsi dan langkah-langkah dari seluruh pihak
sehingga armada perikanan Indonesia dapat berkembang sebagaimana yang diharapkan.
Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Belitung 2004, bahwa hasil tangkapan yang dominan diperoleh nelayan adalah dari
kelompok ikan pelagis. Ikan tenggiri merupakan ikan pelagis besar yang dominan tertangkap di Kabupaten Belitung. Keberadaan sumberdaya ikan pelagis sebagai
komoditi perdagangan dari sektor perikanan merupakan salah satu dari sumberdaya yang menempati posisi besar, baik sebagai komoditi ekspor maupun
sebagai komoditi yang dikonsumsi dalam negeri. Sumberdaya perikanan pelagis di Kabupaten Belitung belum termanfaatkan secara optimal oleh armada
perikanan yang ada. Sebagian armada penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Belitung masih didominasi oleh armada perikanan skala kecil dengan ukuran
kapal kurang dari 5 GT, dan ada sebagian kecil menggunakan kapal ukuran
4 5 – 10 GT. Guna meningkatkan pemanfaatan sumberdaya perkanan secara
optimal, maka perlu dilakukan penataan struktur armada perikanan pelagis ke arah armada kapal di atas 10 GT sehingga jangkauan operasional akan lebih jauh.
Berdasarkan hal tersebut di atas, untuk mengembangkan armada penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Belitung diperlukan suatu kajian ilmiah.
Kajian tesebut dilakukan melalui penelitian ini yang menelaah strategi pengembangan armada penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Belitung.
1.2 Perumusan Masalah