Dinamika Tingkat Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan pada periode Tahun 2005-2012

23 Tabel 4 Luas kerentanan sangat tinggi menurut kecamatan yang ada di Kabupaten Kapuas Nama Tahun Kecamatan 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Luas Ha Luas Ha Luas Ha Luas Ha Luas Ha Luas Ha Luas Ha Luas Ha Basarang 845 5,27 956 0,88 43 0,19 43 0,28 2276 2,29 29 1,35 9590 8,96 312 2,15 Bataguh 56 0,35 2364 10,23 126 0,82 2329 2,35 126 5,78 7660 7,16 379 2,61 Dadahup 864 5,39 6282 5,81 786 3,40 31 0,20 5547 5,59 31 1,41 23301 21,78 307 2,11 Kapuas Barat 598 3,73 4209 3,89 1639 7,09 1463 9,49 1525 1,54 54 2,45 6848 6,40 Kapuas Hilir 7 0,01 514 2,22 73 0,47 73 3,33 240 0,22 Kapuas Kuala 553 0,51 84 0,37 84 0,55 84 3,87 1396 1,31 Kapuas Murung 6420 5,94 56 0,24 90 0,58 56 2,56 12444 11,63 Kapuas Tengah 1215 1,12 701 3,03 9887 64,12 419 19,18 166 0,16 Kapuas Timur 1 0,001 5346 23,13 15 0,10 15 0,71 13 0,01 Kapuas Hulu 12 0,01 49 0,21 158 1,03 72 3,29 17 0,02 MandauTalawang 29 0,03 7 0,03 273 1,77 7 0,32 Mantangai 13666 85,25 77521 71,70 9634 41,69 609 3,95 87511 88,23 176 8,05 35842 33,50 13539 93,13 Pasak Talawang 2692 2,49 50 0,22 958 6,21 74 3,39 8 0,01 Pulau Petak 39 0,04 3 0,00 Selat 17 0,02 610 2,64 1163 7,54 691 21,64 1265 1,18 Tamban Catur 964 4,17 37 0,24 37 1,71 25 0,02 Timpah 8159 7,55 261 1,13 409 2,66 240 10,97 8159 7,63 Jumlah 16031 100 108112 100 23110 100 15419 100 99188 100 2185 100 106976 100 14537 100 Gambar 7 Hubungan penutupanpenggunaan lahan dengan luas kerentanan sangat tinggi di Kabupaten Kapuas Tahun 2005-2012 Gambar 8 Sebaran titik panas di sekitar perkebunan dan perubahan penutupan lahan belukar rawa menjadi perkebunan 100000 200000 300000 400000 500000 A B BR H LKP H LKS H M P H M S H R P H R S HT LT Pk P m k Pt P LK P LKC Rw Sw Tm Tr 306.856 471.536 298.658 L ua s h a Jenis PenutupanPenggunaan Lahan 24

5.4 Hubungan Antara Tingkat Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan dengan Sebaran Titik Panas

Kesesuaian sebaran tingkat kerentanan kebakaran dengan pola sebaran titik panas kerapatan titik panas perlu dilakukan identifikasi. Hal ini bertujuan untuk melihat sejauh mana tingkat kesamaan dan keakuratan model pemetaan zona kerentanan yang terbangun dengan pola sebaran titik panas di lapangan. Identifikasi kesesuaian tingkat kerentanan dengan pola sebaran titik panas bisa dilakukan berdasarkan dua aspek, yaitu dengan membandingkan luasan tingkat kerentanan terhadap jumlah titik panas pada masing-masing tahun, dan aspek kedua adalah dilihat dari nilai hasil uji akurasi model pada setiap tahunnya. Berdasarkan data luas kerentanan kebakaran hutan dan lahan tahun 2005- 2012 pada Tabel 3, dapat diketahui adanya ketidaksesuaian luasan tingkat kerentanan tinggi sampai sangat tinggi pada tahun 2010. Luas tingkat kerentanan tinggi sampai sangat tinggi pada tahun 2010 lebih besar jika dibandingkan dengan tahun 2005 dan 2012, padahal jika dilihat dari jumlah titik panasnya tahun 2010 memiliki jumlah titik panas 39 titik, sedangkan tahun 2005 jumlah titik panasnya 628 titik dan tahun 2012 sejumlah 678 titik. Untuk sebaran titik panas dari kurun waktu 8 tahun juga bisa dilihat pada lampiran 3, dimana terjadi anomali paa tahun 2010. Di samping itu, hasil nilai uji akurasi model Tabel 5 juga menunjukkan bahwa model tahun 2010 memiliki nilai akurasi yang paling kecil 37 jika dibandingkan dengan model pada tahun lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa akurasi model kerentanan tahun 2010 relatif rendah dan ini terjadi karena pemodelan dilakukan dengan jumlah titik panas yang sangat sedikit. Dengan kata lain, pendekatan Composite Mapping Analysis CMA mungkin tidak bisa digunakan untuk memodelkan kerentanan kebakaran hutan dan lahan pada kondisi jumlah titik panas yang sedikit. Tabel 5 Hasil pemodelan tahun 2005-2012 Tahun Urutan variabel Nilai Z Nilai akurasi 2005 X2, X1, X4, X5 1,71 0,88 2006 X2, X3, X4, X5 1,95 0,70 2007 X1, X2, X3, X4, X5 1,78 0,80 2008 X2, X4, X3 1,95 0,68 2009 X1, X2, X3, X4, X5 1,79 0,84 2010 X1, X2, X4 1,75 0,37 2011 X3, X1, X5, X2, X4 1,13 0,62 2012 X1, X2, X3, X4 1,93 0,86 Dimana : X1 adalah Kedalaman Gambut X2 adalah PenutupanPenggunaan Lahan X3 adalah Jarak terhadap Pusat Desa X4 adalah Jarak terhadap Jaringan Jalan X5 adalah Jarak terhadap Jaringan Sungai 5.5 Hubungan Antara Kerapatan Titik Panas dengan Kedalaman Gambut, Jarak dari Jalan, Jarak dari Pusat Desa, dan Jarak dari Sungai Berdasarkan zona kerentanan pada Gambar 6, dapat dilakukan analisis hubungan kerapatan titik panas dengan masing-masing peubah yang berpengaruh. Hasil analisis disajikan pada Gambar 9-16. Gambar 9 menunjukkan bahwa umumnya titik panas jumlahnya lebih besar atau mempunyai kerapatan tinggi terjadi di daerah gambut dibandingkan di non gambut mineral. Hal ini diduga karena pada lahan non-gambut sudah ada kepemilikannya baik digunakan sebagai lahan terbangun maupun pertanian. Kondisi ini mendorong masyarakat beralih ke lahan gambut untuk membuka lahan pertanian. Jika dilihat berdasarkan dinamika setiap tahunnya Gambar 10 diketahui bahwa semakin dalam gambut kerapatan titik panas juga semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena kadar air gambut bersifat irreversible srink pengeringan tak balik yang menyebabkan gambut sangat sulit menjerap air kembali, sehingga gambut lebih mudah terbakar Samsuri 2008. Selain itu menurut Syaufina 2008 kebakaran lahan gambut termasuk jenis kebakaran bawah, api membakar bahan organik di bawah permukaan serasah, sehingga penjalaran api berlangsung secara perlahan, tidak dipengaruhi angin, dan tanpa nyala api. Oleh karena itu, tipe kebakaran ini termasuk sulit untuk dideteksi dan dikontrol. Keterangan Kedalaman : 1 . Non gambut 5. Gambut Dalam 200-400 cm 2 .Gambut Sangat Dangkal 50 cm 6. Gambut Sangat Dalam 400-800 cm 3 .Gambut Dangkal 50-100 cm 7. Gambut Sangat Dalam Sekali 800-1200 cm 4 . Gambut Sedang 100-200 cm Gambar 9 Hubungan kerapatan titik panas kedalaman gambut Kebakaran di kawasan gambut memberikan dampak yang lebih besar terhadap emisi CO 2 dan gas rumah kaca lainnya dibandingkan dengan kebakaran yang terjadi di kawasan non gambut. Selain itu emisi partikel yang terlepas ke udara akibat kebakaran gambut lebih banyak 10 kali lipat Saharjo et.al. 2013. Dengan adanya dampak yang sangat besar dari kebakaran gambut tersebut, maka perlu adanya upaya perlindungan kawasan gambut agar tidak terbakar. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pelaksanaan manajemen air dan hidrologi yang tepat. Gambar 10 Hubungan kerapatan titik panas dengan dinamika kedalaman gambut tiap tahun 2005-2012 Berdasarkan hubungan perubahan penutupanpenggunaan lahan dengan kedalaman gambut pada Gambar 11, dapat diketahui bahwa di tahun 2005, pembukaan lahan lahan terbuka masih dilakukan pada tanah mineral bukan gambut dan lahan gambut sangat dangkal. Pada tahun 2007 kemudian muncul perkebunan baru yang luasannya sudah menyebar sampai pada lahan gambut dalam, dan akhirnya tahun 2009-2011 perkebunan semakin meluas pada lahan gambut yang lebih dalam. Kondisi ini mengindikasikan bahwa pada awalnya masyarakat atau pengusaha lebih memilih membuka lahan perkebunan pada tanah mineral bukan gambut daripada pada tanah gambut. Hal ini disebabkan karena proses pengolahan lahan mineral lebih mudah dan biaya yang murah, dibandingkan pembukaan lahan di lahan gambut. Akan tetapi, akibat dari banyaknya lahan mineral yang sudah dimanfaatkan pada tahun sebelumnya, sehigga mendorong orang untuk membuka lahan perkebunan pada lahan gambut yang lebih dalam. Gambar 11 Hubungan perubahan penutupanpenggunaan lahan dengan kedalaman gambut Hubungan kerapatan titik panas terhadap jarak dari jaringan jalan menunjukkan pola yang jelas yaitu umumnya semakin dekat dengan jalan, maka kerapatannya semakin tinggi Gambar 12. Dengan adanya akses jalan, akan mendorong seseorang untuk mengolah atau membuka lahan baru, karena mudahnya akses jalan menuju lokasi pertanianperkebunan. Dalam hal ini pertimbangan ekonomis menjadi dasar pemikiran seseorang untuk menentukan lokasi pembukaan lahan pertanianperkebunan yang dekat dengan jalan. Akan tetapi, jika dilihat dari dinamika kerapatan titik panas pada setiap tahunnya Gambar 13 menunjukkan bahwa kerapatan atau jumlah titik panas pada jarak yang sama selalu mengalami penurunan. Dengan kata lain setiap pertambahan, tahun maka kecenderungan kerapatan titik panas akan lebih banyak pada lokasi yang lebih jauh dari jaringan jalan. Hal ini diduga karena lahan yang dekat dengan jalan sudah banyak dikelola, sehingga pada tahun berikutnya orang akan membuka lahan baru di lokasi yang jaraknya semakin jauh dari jalan. Gambar 12 Hubungan kerapatan titik panas dengan jarak terhadap jaringan jalan Gambar 13 Hubungan kerapatan titik panas dengan dinamika jarak terhadap jaringan jalan tiap tahun 2005-2012