2.3 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan merupakan aktivitas manusia pada dan dalam kaitannya dengan lahan, yang biasanya tidak secara langsung tampak dalam citra.
Penggunaan lahan telah dikaji dari beberapa sudut pandang yang berlainan, sehingga tidak ada satu definisi yang benar-benar tepat di dalam keseluruhan
konteks yang berbeda Campbell 1983. Sedangkan Penutupan lahan merupakan gambaran konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan Burley
1961. Konstruksi tersebut seluruhnya tampak secara langsung dari citra pengideraan jauh. Tiga kelas data secara umum yang tercakup dalam penutupan
lahan yaitu : 1 struktur fisik yang dibangun oleh manusia 2 fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian, dan kehidupan binatang 3 tipe
pembangunan.
Perubahan penggunaan lahan dapat diartikan sebagai peralihan fungsi lahan yang semula untuk peruntukan tertentu berubah menjadi peruntukan tertentu pula
yang lain. Perubahan penggunaan lahan juga dapat diartikan sebagai bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan
yang lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun
waktu yang berbeda Martin 1993 dalam Wahyunto et al. 2001. Perubahan penggunaan lahan umumnya bersifat irreversible tidak dapat balik, karena untuk
mengembalikannya dibutuhkan modal yang sangat besar.
Perubahan tersebut akan terus berlangsung sejalan dengan meningkatnya jumlah dan aktifitas penduduk dalam menjalankan kehidupan ekonomi, sosial,
dan budaya, yang pada akhirnya dapat berdampak positif maupun negatif. Perubahan penggunaan lahan dari hutan ke non-hutan misalnya, dapat
mengakibatkan menurunnya daya kemampuan hutan untuk menjalankan fungsi ekologisnya sehingga dapat menimbulkan dampak pada lingkungan yang serius
seperti perubahan iklim, berkurangnya keanekaragaman hayati, dan ketersediaan sumber daya air serta terjadinya erosi tanah Basyar 2009. Pada umumnya
perubahan-perubahan tersebut dapat diamati dengan menggunakan data spasial dari peta penutupanpenggunaan lahan dari titik tahun yang berbeda. Data
penginderaan jauh seperti citra satelit, radar, dan foto udara sangat membantu dalam pengamatan perubahan penutupanpenggunaan lahan.
Pemetaan penutupanpenggunaan lahan sangat berkaitan dengan studi vegetasi, tanaman pertanian, dan tanah. Bagi seorang planner yang harus
membuat keputusan yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya lahan, data penutupanpenggunaan lahan merupakan data yang paling penting, sehingga
biasanya data dipresentasikan dalam bentuk peta dan bersifat ekonomi. Penggunaan citra pengindraan jauh sesuai untuk membuat peta-peta
penutupanpenggunaan lahan. Penafsiran citra visual dapat didefinisikan sebagai aktivitas visual untuk mengkaji citra yang menunjukkan gambaran muka bumi
yang tergambar di dalam citra tersebut untuk tujuan identifikasi obyek dan menilai maknanya Ali dan Tesgaya 2010. Penafsiran citra merupakan kegiatan yang
didasarkan pada deteksi dan identifikasi obyek di permukaan bumi pada citra satelit Landsat dengan mengenali obyek-obyek tersebut melalui unsur-unsur
spektral dan spasial serta kondisi temporalnya.
2.4 Citra Satelit Landsat 7 ETM+
Satelit Landsat 7 sensor Enhanced Thematic MapperPlus ETM+ merupakan satelit observasi permukaan bumi yang masih digunakan hingga
sekarang. Satelit ini diluncurkan pada tanggal 15 April 1999, dengan orbit pada ketinggian 705
± 5 km, dengan siklus 16 hari. Sensor ETM memiliki pengamatan spektral menggunakan 7 band dengan penambahan pankromatik band-8, dan
resolusi radiometrik 8 bit. Dalam beberapa hal, Landsat-7 ETM memiliki karakteristik yang lebih baik dibandingkan citra NOAA AVHRR. Selain memiliki
resolusi spasial yang bagus 30 m x 30 m, juga memiliki resolusi spektral yang mencakup semua gelombang pendek visible light dan infra merah NIR, MIR,
dan TIR, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Karakteristik band Landsat7 ETM+
Band Panjang Gelombang µm
Karakteristik 1
0.45 ~ 0.52 Penetrasi tubuh air, pemetaan pantai, pembeda
vegetasi, tanah, dan analisis penggunaan lahan 2
0.52 ~ 0.60 Mengukur puncak pantulan hijau vegetasi untuk
membedakan vegetasi dan penilaian kesuburan 3
0.63 ~ 0.69 Untuk penyerapan klorofil, memperkuat kontras antara
kenampakan vegetasi dan bukan vegetasi, serta membantu dalam penentuan spesiea tumbuhan
4 0.76 ~ 0.90
Untuk menentukan tipe vegetasi dan biomassa vegetasi, serta memperkuat kontras antara tanaman
tanah dan tubuh air 5
1,04 ~ 1.25 Untuk penentuan jenis tanaman, kandungan air
vegetasi, dan kondisi kelembaban tanah 6
1,55 ~ 1.75 Sensitif terhadap gangguan vegetasi, pemisahan
kelembaban tanah dan untuk klasifikasi vegetasi serta untuk gejala lain yang berhubungan dengan panas
7 2.08 ~ 2.35
Sangat berguna sebagai pembeda tipe mineral dan batuan
Sumber : Lillesand-Kiefer, 1990
2.5 Pemodelan dan Pemetaan Kerentanan Kebakaran
Penerapan SIG dalam pemodelan kerentanan kebakaran hutan telah mempertimbangkan sejumlah faktor penyebab kebakaran, tergantung pada
karakteristik dari kejadian kebakaran pada tempat yang berbeda. Menurut Chuvieco dan Salas 1996, variabel spasial yang digunakan untuk membangun
model kerentanan kebakaran hutan yaitu topografi elevasi, slope, aspek, dan iluminasi, vegetasi tipe bahan bakar dan kadar kelembaban, pola cuaca suhu,
kelembaban relatif, angin dan presipitasi, aksesibilitas terhadap jalan, tipe kepemilikan lahan, jarak dari kotadesa, jenis tanah, sejarah kebakaran, dan
ketersediaan air.
Peta rawan kebakaran merupakan model spasial yang digunakan untuk mempresentasikan kondisi di lapangan terkait dengan resiko terjadinya kebakaran
hutan dan lahan. Model ini dibuat dengan menggunakan aplikasi GIS untuk