yang bervariasi menurut skala ruang dan waktu Asdak 2002 dalam Sukmawati 2008.
Kecepatan angin dan pergerakan angin mempengaruhi perilaku api. Kecepatan angin berhubungan dengan pola penjalaran api. Menurut Chandler et al.
1983 dalam Siwi R 2013, kecepatan penjalaran api akan menigkat dua kali lipat pada setiap kenaikan angin sebesar 4 mdetik. Pengaruh angin terhadap
perilaku api sangat dipengaruhi oleh topografi. Angin mendorong dan meningkatkan pembakaran serta mensuplai udara secara terus-menerus, sehingga
api dapat menjalar ke bagian bahan bakar yang belum terbakar.
Topografi. Kelerengan mempengaruhi penjalaran api, sifat-sifat nyala api,
dan perilaku api lainnya. Api menjalar lebih cepat ke arah atas lereng daripada ke bawah lereng. Kecepatan penjalaran api menaiki lereng sampai kelerengan 20º
relatif sama. Akan tetapi pada kelerengan 30º, kecepatan penjalaran akan meningkat secara signifikan. Hal ini berbeda pada saat api menuruni lereng,
kecepatan api saat menuruni lereng akan lebih lambat daripada menaiki lereng Syaufina 2008.
2.1.4 Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan
Departemen Kehutanan 2007 menyatakan beberapa dampak kebakaran hutan dan lahan diantaranya :
Dampak Terhadap Bio-fisik. Dampak buruk dari kebakaran hutan dan
lahan sangat banyak. Kerusakan dapat berkisar dari gangguan luka-luka bakar pada
pangkal batang
pohontanaman sampai
dengan hancurnya
pepohonantanaman secara keseluruhan berikut vegetasi lainnya. Dengan hancurnya vegetasi, yang paling dikhawatirkan adalah hilangnya plasma nutfah
sumber daya genetik pembawa sifat keturunan seiring dengan hancurnya vegetasi tersebut. Selain itu, kebakaran dapat melemahkan daya tahan tegakan
terhadap serangan hama dan penyakit. Batang pohon yang menderita luka bakar meskipun tidak mati, seringkali pada akhirnya terkena serangan penyakit.
Kebakaran hutan juga dapat mengurangi kepadatan tegakan dan merusak hijauan yang bermanfaat bagi hewan serta menggangu habitat satwa liar. Rusaknya suatu
generasi tegakan hutan oleh kebakaran, berarti hilangnya pengorbanan dan waktu yang diperlukan untuk mencapai taraf pembentukan tegakan tersebut.
Kebakaran hutan dan lahan dapat merusak sifat fisik tanah akibat hilangnya humus dan bahan-bahan organik tanah, dan pada gilirannya tanah menjadi terbuka
terhadap pengaruh panas matahari dan aliran air permukaan.Tanah menjadi mudah tererosi, perkolasi, dan tingkat air tanah menurun. Kebakaran yang
berulang-ulang di kawasan yang sama dapat menghabiskan lapisan serasah dan mematikan mikroorganismejasad renik yang sangat berguna bagi kesuburan
tanah.
Dampak lainnya dari kebakaran hutan adalah rusaknya permukaan tanah dan meningkatnya erosi. Kawasan yang terbakar di lereng-lereng di daerah hulu
DAS cenderung menurunkan kapasitas penyimpanan air. Penurunan mutu kawasan karena kebakaran yang berulang-ulang menyebabkan erosi tanah dan
banjir, yang menimbulkan dampak lanjutan berupa pendangkalan terhadap saluran air, sungai, danau, dan bendungan.
Dampak Terhadap Sosial Ekonomi. Perubahan bio-fisik terhadap sumber
daya dan lingkungan akibat kebakaran hutan dan lahan, mengakibatkan penurunan daya dukung dan produktivitas hutan, dan lahan. Pada keadaan serupa ini akan
menurunkan pendapatan masyarakat dan negara dari sektor kehutanan, pertanian, perindustrian, perdagangan, jasa wisata, dan lainnya yang terkait dengan
pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungannya.
Dampak Terhadap Lingkungan. Selain dapat menimbulkan kerugian
material, kebakaran hutan dan lahan juga menimbulkan akumulasi asap yang besar. Kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1994 dan tahun 1997 telah menarik
perhatian dunia, karena adanya suatu kondisi cuaca tertentu yaitu asap dari kebakaran hutan dan lahan yang terperangkap di bawah suatu lapisan udara dingin
atmosfir di atas wilayah Indonesia dan negara tetangga, menyebabkan penurunan visibilitas daya tembus pandang sehingga mengganggu kelancaran transportasi
darat, laut, dan udara.
2.2 Titik Panas
Titik panas merupakan suatu istilah yang digunakan untuk mengindikasikan lokasi terjadinya vegetation fire pada suatu daerah tertentu yang dinyatakan dalam
titik koordinat. Pada kenyataannya, tidak semua titik panas mengindikasikan terjadinya kebakaran. Untuk itulah diperkenalkan istilah firespot yang secara
khusus digunakan untuk mengindikasikan titik terjadinya kebakaran. Namun istilah hotspot lebih umum digunakan. Istilah ini muncul bersamaan dengan mulai
beroperasinya satelit meteorologi NOAA yang menghasilkan citra untuk mengindikasikan terjadinya vegetation fire FFPMP2 2007.
Data titik panas dapat diperoleh dari satelit penginderaan jauh yaitu sensor AVHRR Advanced Very High Resolution Radiometer pada satelit NOAA
National Oceanic Atmospheric Administration dan sensor MODIS Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer yang terpasang pada satelit Terra dan
Aqua. Titik panas yang ditangkap oleh satelit akan diproyeksikan menjadi suatu pixel yang juga akan menunjukkan koordinat geografisnya. Pixel merupakan unit
terkecil dari citra satelitfoto. Satu pixel pada citra satelit NOAA, Aqua, dan Terra setara dengan
±1 km
2
. Namun 1 pixel tidak selalu setara dengan 1 km
2
. Jika terjadi kebakaran pada koordinat tertentu, koordinat tersebut akan ditampilkan di
tengah pixel, meskipun kebakaran yang terjadi berada di pinggir pixel, sehingga untuk mengetahui lokasi terjadinya kebakaran harus menelusuri kurang lebih 1
km
2
dari lokasi koordinat titik panas tersebut Purwanto 2012. Oleh sebab itu, titik panas dari lokasi kebakaran di lapang dapat bergeser hingga radius
±1 km di sekeliling koordinat titik panas tersebut.
2.2.1 NOAA-AVHRR
Satelit NOAA merupakan sarana potensial untuk mendeteksi dan memantau terjadinya kebakaran hutan dan lahan, karena selain memiliki sensor yang peka
terhadap panas obyek juga dapat meliput daerah yang sangat luas 2600 x 1500 km² dengan frekuensi perekaman mencapai dua kali dalam sehari Dephut 1989.
NOAA-AVHRR National Oceanic and Atmospheric Administration Advanced Very High Resolution Radiometer adalah satelit cuaca milik Amerika
Serikat yang didesain untuk memperoleh informasi tentang hidrologi, kelautan,