Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Goldstein Morris 1998 mengungkapkan istilah moral hazard kembali populer sejak terjadinya krisis keuangan di Asia. Krisis keuangan tersebut dipicu dari pemberian kredit yang kurang berhati-hati dalam memberikan pinjaman. Sejalan dengan itu back up yang disediakan bank sentral membuat bank semakin berani mengambil risiko dalam memberikan pinjaman. Back up yang disediakan bank sentral merupakan solusi dari turunnya tingkat kepercayaan masyarakat karena terdapat beberapa bank yang dilikuidasi akibat krisis moneter yang menghantam Indonesia pada tahun 1998. Dalam pelaksaannya back up tersebut memang dapat menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap bank, tetapi ruang lingkup yang terlalu luas menyebabkan timbulnya moral hazard. Moral hazard dalam dunia perbankan setidaknya dibedakan atas dua tingkatan, yaitu moral hazard pada tingkat bank dan pada tingkat nasabah. Moral hazard pada tingkat bank yaitu moral hazard dalam penyaluran dana pihak ketiga yaitu risky lending behavior yang menyebabkan timbulnya moral hazard dan adverse selection ditingkat nasabah, mengacu dari Vaubel 1983 dalam Dreher 2004 yang menyebutkan bahwa tindakan tersebut termasuk dalam moral hazard tidak langsung. Sedangkan moral hazard ketidakhati-hatian bank dalam menyalurkan kredit karena adanya penjaminan 2 dari pemerintah atau keberadaan lembaga penjamin simpanan dalam hal ini dikategorikan sebagai moral hazard langsung. Moral hazard terjadi akibat persoalan regulasi dan perundang- undangan yang lemah, aspek penjaminan simpanan dan aspek penjaminan kredit. Moral hazard sangatlah mengancam kemajuan usaha dan organisasi, selain itu secara perlahan-lahan dapat menghilangkan responsibility dan akuntabilitas dalam suatu perusahaan, dampaknya produktivitas dan kinerja akan turun dan menjadikan perusahaan tidak memiliki daya saing. Beberapa pendapat ekonom mengatakan bahwa salah satu diantara penyebab krisis ekonomi di berbagai negara adalah karena adanya tindakan moral hazard dari pemilik perbankan maupun pemilik kapital. Krisis ekonomi yang terjadi di tahun 1998 dan krisis global tahun 2008 salah satu penyebabnya adalah karena tindakan moral hazard Ibrahim Taswan dan Ragimun, 2011:7 Salah satu tindakan moral hazard yaitu ketidakhati-hatian bank dalam menyalurkan pembiayaan, yang dimana ketidakhati-hatian tersebut dapat menimbulkan kredit macet. Dani Prabowo 2014 mengatakan adanya kasus kredit macet pada Bank Bukopin senilai Rp 76 miliar akibat fasilitas kredit yang disalurkan itu tidak digunakan sebagaimana mestinya. Kemudian kasus kredit macet sebesar Rp 2,7 triliun di Bank Mandiri, dan masuknya Bank Persyarikatan dalam kategori bank dalam pengawasan khusus dalam sudut pandang moral hazard. Hal tersebut menunjukkan kurangnya kehati-hatian dan monitoring yang dilakukan oleh pihak bank sehingga nasabah melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kontrak. 3 Muhammad Imanuddin 2010 menyebutkan bahwa selain moral hazard juga terdapat adverse selection, yang dimana adanya ketidak seimbangan informasi yang dilakukan oleh salah satu pihak, yang menyebabkan pihak lain tidak mengetahui kondisi yang sebenarnya terhadap suatu usaha. Sehingga pilihan yang ditetapkan hanya menguntungkan satu pihak saja, dan merugikan pihak yang lain. Menurut Anwar Nasution 2003 dalam tulisannya berjudul Masalah- masalah Sistem Keuangan dan Perbankan Indonesia. Adverse Selection merupakan salah satu bentuk asimetri informasi yang terjadi sebelum transaksi keuangan dilakukan karena peminjam dengan kualitas rendah memiliki risiko kredit tinggi biasanya akan mencari pinjaman dengan bunga tinggi. Dari masalah adverse selection inilah sebagian besar dari pinjaman biasanya merupakan kredit bermasalah. Asimetri informasi ini juga menggambarkan dampak lanjutan dari krisis finansial pada perekonomian misalnya dalam kondisi suku bunga naik, mungkin berakibat pada adverse selection sehingga mengakibatkan penurunan penawaran kredit oleh bank. Demikian pula kondisi penurunan nilai agunan yang menyebabkan timbulnya debitur dengan net worth yang rendah. Bank atau pemilik modal dikatakan mengalami masalah adverse selection apabila dalam penyaluran kredit, bank tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk membedakan beberapa projek investasi berdasarkan risiko yang dihadapi. Dari masalah adverse selection inilah sebagian besar dari pinjaman biasanya merupakan kredit bermasalah. Adverse selection 4 dapat terjadi apabila suku bunga pasar meningkat, terkadang peminjam sengaja menyembunyikan informasi yang sebenarnya menyangkut kondisi keuangan serta resiko investasi untuk mendapatkan pinjaman baru setelah kenaikan bunga. Perbankan Syariah IB 2009 mengungkapkan bahwa berkembangnya moral hazard di perbankan konvensional tidak terlepas dari sistem operasionalnya dimana resiko tidak terdistribusi secara proporsional pada pihak-pihak terkait. Resiko tidak tersebar secara merata antara pemilik dana, pengguna dana, serta pihak bank. Dalam pendistribusian resiko, Perbankan berbasis syariah dirasa mampu menjadi jalan keluar dari permasalahan kridit macet, karena menggunakan prinsip bagi hasil dalam menjalankan kegiatan operasionalnya. Bank syariah juga menjalankan kegiatan operasinya dengan sistem transparansi dan kemitraan antara bank dan nasabah serta prinsip keadilan yang diharapkan mampu menjadikan perekonomian Indonesia menjadi lebih baik. Perbankan syariah menggunakan profit and loss sharing PLS sebagai pengganti bunga. Secara teori keberadaan sistem profit and loss sharing berimplikasi kepada risiko serta peluang moral hazard di perbankan sebab risiko menjadi tanggungan kedua pihak. Bank syariah dan nasabah dipaksa untuk menyusun suatu desain kontrak yang optimal bagi kedua belah pihak, sebab keduanya akan berbagi risiko maupun hasil. Bank syariah menawarkan imbalan kepada masyarakat pemilik dana dengan sistem bagi hasil yang ditentukan pada awal perjanjian. Hal inilah yang mendorong masyarakat untuk mepercayakan dananya kepada bank 5 syariah. Peningkatan jumlah dana pihak ketiga pada bank, mendorong pihak bank untuk menyalurkan dana tersebut kepada calon debitur dengan harapan mendapat bagi hasil dari penyaluran pembiayaan tersebut. Seiring dengan perkembangan kegiatan perbankan diiringi pula peningkatan penyelewengan yang terjadi yang merupakan dampak dari tindakan lalai yang mengabaikan prinsip kehati-hatian. Mulya E. Siregar 2015 mengatakan bahwa hingga akhir 2015 perkembangan bisnis perbankan syariah mengalami penurunan yang drastis, pertumbuhan aset yang sempat mencapai 49 persen pada tahun 2013 tidak dapat terulang lagi. Pada tahun 2015 pertumbuhan bank syariah hanya mencapai 7,98 persen pada juli 2015. Turunnya pertumbuhan perbankan syariah tidak hanya terjadi dari sisi aset, namun juga pada pembiayaan dan dana pihak ketiga DPK. Pertumbuhan yang melambat ini diperparah pula oleh meningkatnya rasio pembiayaan bermasalah non performing financingNPF. Pertumbuhan NPF dapat dilihat dari gambar dibawah ini: Gambar 1.1: Perkembangan NPF Sumber : Statistik Perbankan Syariah Data Diolah Pada gambar diatas menunjukkan bahwa kredit bermasalah pada bank syariah cenderung meningkat setiap tahunnya, pada tahun 2012 kredit 2.22 2.62 4.33 4.50 0.00 2.00 4.00 6.00 2012 2013 2014 Jul-15 NPF NPF 6 bermasalah sebesar 2,22 kemudian meningkat sebesar 2,62. Lalu peningkatan NPF melonjak pada tahun 2014 hingga sebesar 4,33, hingga pada bulan Juli 2015 NPF sebesar 4,50. Di sektor perbankan, perlu diadakan langkah-langkah memperkuat manajemen risiko, seperti screening dan monitoring terhadap kredit-kredit berisiko guna meminimalisir dampak negatif dari adverse selection dan moral hazard dari kreditor serta menerapkan spesialisasi dalam bentuk pinjaman sebagai salah satu upaya menyeleksi kelayakan suatu perusahaan atau perorangan pada saat mengajukan pinjaman. Pembiayaan bermasalah dapat dipicu oleh kondisi ekonomi makro suatu negara yang dapat memberikan pengaruh bagi kelancaran suatu usaha. Di antaranya adalah Inflasi. Inflasi merupakan salah satu variabel ekonomi makro yang digunakan untuk mengukur kondisi perekonomian negara. Jika tingkat inflasi suatu negara tinggi dapat berpengaruh terhadap perekonomian, baik dari segi pendapatan, investasi, suku bunga, nilai tukar dan lain sebagainya. Tingkat inflasi yang tinggi akan berakibat terhadap turunnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi segala kebutuhannya, dan pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan yang diperoleh lembaga perbankan yaitu dari tingkat pengembalian pinjaman atau pembiayaan dan akan meningkatkan rasio dari pembiayaan bermasalah non performing financing Siti Jamiatun Nafiah, 2007: 4. Perkembangan inflasi dapat dilihat pada gambar berikut : 7 Gambar 1.2: Perkembangan Inflasi Sumber : Kebijakan Moneter Bank Indonesia Data Diolah Berdasarkan gambar diatas bahwa dari akhir tahun 2012 hingga akhir tahun 2013 inflasi mengalami peningkatan yang sangat tajam dari 4,30 sampai 8,38, kemudian diakhir tahun 2014 terjadi peningkatan sebesar 0,2 dari akhir tahun 2013 sehingga menjadi 8,36, dan inflasi mengalami penurunan pada Juli 2015 sebesar 7,26. Kemudian selain inflasi terdapat faktor faktor ekonomi makro yang dapat meningkatkan NPF yaitu gross domestic product GDP. Gross domestic product GDP. termasuk faktor yang mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam membayar kredit. Estimasi GDP akan menentukan perkembangan perekonomian. GDP berasal dari jumlah barang konsumsi yang bukan termasuk barang modal. Dengan meningkatnya jumlah barang konsumsi menyebabkan perekonomian bertumbuh, dan meningkatkan skala omset penjualan perusahaan, karena masyarakat yang bersifat konsumtif dan menandakan bahwa kemampuan masyarakat dalam membayar kredit juga akan meningkat. GDP di Indonesia setiap tahunnya mengalami penurunan, berikut merupakan data GDP Indonesia: 4.30 8.38 8.36 7.26 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 2012 2013 2014 Jul-15 Inflasi Inflasi 8 Gambar 1.3: Perkembangan GDP Sumber : Profil Ekonomi Kementrian Perdagangan RI Data Diolah Dapat dilihat dari gambar diatas bahwa GDP mengalami penurunan setiap tahunnya. Pada tahun 2012 GDP sebesar 6,03 , kemudian menurun pada tahun 2013 menjadi 5,56 , dan terus menurun hingga pada tahun 2015 sebesar 4,79. Hal tersebut menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia sedang mengalami penurunan. Peningkatan inflasi serta penurunan GDP membuat masyarakat sulit untuk memenuhi kewajibannya dalam membayar kredit, terlebih lagi hal tersebut dapat mendukung debitur untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai kontrak. Dalam hal ini pihak perbankan harus berhati-hati dalam menyeleksi calon debitur yang akan diberikan pembiayaan. Siti Jamiatun Nafiah 2007 moral hazard dapat diindikasikan dari melihat laju inflasi terhadap rasio NPF. Jika inflasi mengalami penurunan maka diharapkan rasio NPF juga akan menurun, akan tetapi apabila tingkat inflasi menurun dan rasio NPF meningkat berarti adanya ketidak hati-hatian bank dalam menyalurkan Dana Pihak Ketiga DPK atau kurangnya 6.03 5.56 5.02 4.79 2 4 6 8 2012 2013 2014 2015 GDP GDP 9 monitoring maupun screening dalam memilih calon debitur dari pihak bank sehingga mengakibatkan naiknya rasio NPF. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mustofa Edwin dan Ranti Wiliasih 2007 moral hazard dapat diindikasikan apabila NPF meningkat pada saat GDP meningkat. Idealnya, ketika GDP meningkat maka terjadi peningkatan transaksi ekonomi, dunia bisnis lebih menggeliat sehingga jika pada kondisi tersebut NPF meningkat, mengindikasi bank kurang berhati-hati atau kurang melakukan monitoring. Penelitian terkait moral hazard juga dilakukan oleh Desty Setyowati 2008 moral hazard dapat diindikasikan pada saat kondisi pasar real setate yang direpresentasikan oleh perubahan harga rumah meningkat. Idealnya ketika harga rumah meningkat maka permintaan untuk kredit rumah menurun, jumah penyaluran kredit rumah juga akan menurun sehingga jika pada kondisi tersebut NPF meningkat, mengindikasikan bank kurang berhati- hati atau kurang monitoring. Indikasi adverse selection dapat dilihat dari tingkat bagi hasil yang ditetapkan oleh bank, apabila pada kondisi bagi hasil yang ditetapkan untuk nasabah tinggi namun jumlah NPF meningkat maka hal tersebut terindikasi adanya adverse selection. Karena idealnya pada saat bagi hasil yang ditetapkan tinggi maka nasabah akan lebih mampu memenuhi kewajibannya terhadap bank dan apabila dalam kondisi tersebut nasabah justru tidak dapat membayar kewajibannya maka adanya ketidak seimbangan informasi yang dimiliki nasabah dan pihak bank sehingga bank memberikan pembiayaan 10 pada nasabah yang berkualitas buruk. Karena nasabah yang berkualitas buruk akan menyampaikan kepada bank bahwa dirinya memiliki karakteristik yang tinggi sehingga layak untuk mendapatkan bagi hasil yang tinggi pula. Hal ini menunjukkan bahwa shahibul mal dapat menggunakan skema bagi hasil untuk menyeleksi mudharib dan menekan permasalahan adverse selection Misnen Ardiansyah, 2014: 265. Penelitian ini penulis menganalisis bagaimana ketidakhati-hatian pihak bank dalam menyalurkan dana pihak ketiga berdampak pada terjadinya pembiayaan bermasalah Non Performing Financing. Selain itu menganalisis bagaimana ketidak seimbangan informasi yang terjadi sebelum akad disepakati akan berdampak pada terjadinya pembiayaan bermasalah Non Performing Financing. Penelitian ini juga menganalisis penyebab terjadinya resiko moral hazard dan adverse selection pada pembiayaan mudharabah serta cara memitigasi risiko tersebut. Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk meneliti “INDIKASI MORAL HAZARD DAN ADVERSE SELECTION DALAM PENYALURAN DANA PIHAK KETIGA Studi Kasus : Bank Syariah Periode Januari 2012 – Februari 2016”

B. Permasalahan