Analisis rencana pemberlakuan electronic road pricing untuk mengurangi polusi lingkungan (kasus jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat)

(1)

ANALISIS RENCANA PEMBERLAKUAN ELECTRONIC

ROAD PRICING UNTUK MENGURANGI POLUSI

LINGKUNGAN

(Kasus Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat)

DESSY CHRISTIARINI

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(2)

RINGKASAN

DESSY CHRISTIARINI. Analisis Rencana Pemberlakuan Electronic Road Pricing untuk Mengurangi Polusi Lingkungan (Kasus Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat). Dibimbing Oleh RIZAL BAHTIAR.

Electronic Road Pricing (ERP) merupakan skema tol elektronik untuk mengatur lalu lintas melalui road pricing sebagai mekanisme penggunaan berbasis perpajakan. Kebijakan ini bertujuan agar kelancaran lalu lintas dapat dicapai sehingga masalah lingkungan yang berdampak pula pada sosial ekonomi masyarakat dapat diatasi. Tujuan Penelitian ini adalah 1) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai ERP dilihat dari kemampuan pengguna jalan untuk membayar, 2) Mengestimasi besarnya nilai ERP yang sesuai untuk diberlakukan dilihat dari kemampuan pengguna jalan untuk membayar (WTP), 3) Mengestimasi besarnya jumlah kendaraan dan emisi yang dapat berkurang akibat pemberlakuan ERP, 4) Menganalisis dampak lingkungan dari pemberlakuan ERP, dan 5) Menganalisis rekomendasi kebijakan yang tepat dalam mengelola sistem pemanfaatan keuangan yang dihasilkan dari pemberlakuan ERP.

Berdasarkan hasil estimasi pada model regresi linier berganda diketahui bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap besarnya nilai ERP dilihat dari

Willingness To Pay (WTP) pengguna jalan adalah tingkat pendidikan, rata-rata pengeluaran untuk bahan bakar, tingkat pendapatan, dan durasi terkena kemacetan. Sementara variabel yang tidak berpengaruh nyata adalah keinginan untuk memperbaiki kualitas udara, jumlah tanggungan, dan jenis pekerjaan. Nilai rata-rata WTP (EWTP) sebesar Rp 23.100. Nilai tersebut dapat dijadikan acuan dalam penetapan tarif ERP. Nilai total WTP responden pengguna Jalan Jenderal Sudirman sebesar Rp 212.583.756.000/tahun. Tarif ERP yang sesuai untuk diberlakukan adalah sebesar nilai mean WTP yaitu Rp 23.100, sehingga jumlah kendaraan yang dapat berkurang akibat pemberlakuan ERP sebesar 5.429.628 unit kendaraan/tahun atau 59% dari total populasi. Pengurangan jumlah kendaraan bermotor dapat mengurangi konsentrasi emisi di sekitar wilayah Sudirman. Asumsinya apabila ERP diterapkan maka kondisi pengurangan emisinya akan mendekati rata-rata Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB). Estimasi perkiraan jumlah kendaraan yang dapat memasuki zona ERP sebesar 3.773.132 unit kendaraan/tahun. Dengan demikian, perkiraan total dana yang dapat dihasilkan dari pemberlakuan ERP dihitung dengan mengalikan jumlah kendaraan yang dapat memasuki zona ERP dengan nilai ERP yang sesuai untuk diberlakukan, sehingga total dana yang dapat dihasilkan adalah Rp 87.159.349.200/tahun dengan asumsi ERP diberlakukan pada peak pagi, peak siang, dan peak sore. Namun, apabila ERP hanya diberlakukan pada peak pagi dan peak sore saja (ERP tidak berlaku pada peak siang), maka perkiraan total dana yang dapat dihasilkan dari penerapan kebijakan ERP adalah Rp 66.382.428.420/tahun.

Kata Kunci : Electronic Road Pricing (ERP), Willingness To Pay (WTP), Tarif ERP


(3)

ANALISIS RENCANA PEMBERLAKUAN ELECTRONIC

ROAD PRICING UNTUK MENGURANGI POLUSI

LINGKUNGAN

(Kasus Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat)

DESSY CHRISTIARINI H44070026

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(4)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Rencana Pemberlakuan

Electronic Road Pricing untuk Mengurangi Polusi Lingkungan: Kasus Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat adalah karya saya dengan arahan dari komisi

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi

manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2011

Dessy Christiarini H44070026


(5)

Judul Skripsi : Analisis Rencana Pemberlakuan Electronic Road Pricing untuk Mengurangi Polusi Lingkungan (Kasus Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat)

Nama : Dessy Christiarini

NIM : H44070026

Menyetujui

Dosen Pembimbing,

Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si NIP. 19800603 200912 1 006

Mengetahui

Ketua Departemen,

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 19660717 199203 1 003


(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua

pihak yang telah membantu baik moril maupun materil untuk menyelesaikan

skripsi ini, yaitu kepada :

1. Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya skripsi ini dapat

diselesaikan sesuai dengan waktu yang diharapkan.

2. Ayahanda (Yohanes Sumarjo), Ibunda (Brigita Suharsih), Kakakku (Rosa

Maharani), Tanteku (Yanti), dan seluruh keluarga besar saya yang selalu

memberikan semangat, kasih sayang, doa dan dukungannya kepada penulis.

3. Bapak Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah

meluangkan waktunya untuk memberikan semangat, perhatian, bimbingan,

motivasi, saran, dan pengarahan kepada penulis dengan penuh kesabaran

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr dan Bapak Novindra, SP sebagai dosen

penguji yang bersedia meluangkan waktunya untuk menguji dan memberikan

saran demi penyempurnaan skripsi ini.

5. Abdull Balfash dan Sahabat-sahabat terbaikku (Oi, Vita, Ai, Astrid, Echi,

Uut), teman-teman 1 PS, dan seluruh mahasiswa/i ESL yang selalu membantu,

mendoakan, dan memberi semangat/dukungan kepada penulis hingga saat ini.

6. Seluruh staf pengajar dan karyawan/wati di Departemen Ekonomi

Sumberdaya dan Lingkungan, FEM IPB.

7. Seluruh pihak dari Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah dan Dinas

Perhubungan Provinsi DKI Jakarta yang telah membantu dalam pengambilan


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa

atas segala berkat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul “Analisis Rencana Pemberlakuan

Electronic Road Pricing untuk Mengurangi Polusi Lingkungan (Kasus Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat)” disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan,

Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mendapatkan banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak

baik secara moril maupun materil. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk

memperoleh kesempurnaan dalam penulisan berikutnya. Semoga penelitian ini

dapat bermanfaat bagi penulis dan pembacanya serta pihak-pihak yang

membutuhkan.

Bogor, Juni 2011


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Definisi Electronic Road Pricing (ERP) ... 10

2.2. Latar Belakang Penerapan Electronic Road Pricing (ERP) ... 13

2.3. Penerapan Electronic Road Pricing (ERP) di Beberapa Negara ... 15

2.4. Manfaat dan Dampak Electronic Road Pricing (ERP) ... 17

2.5. Dasar Hukum Electronic Road Pricing (ERP) ... 18

2.6. Permasalahan Transportasi Publik ... 21

2.7. Pengertian dan Penyebab Pencemaran Udara ... 22

2.8. Dampak Pencemaran Udara ... 25

2.9. Manajemen Transportasi ... 26

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 30

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 30

3.1.1. Contingent Valuation Method (CVM) ... 30

3.1.1.1. Kelebihan Contingent Valuation Method (CVM) ... 31

3.1.1.2. Kelemahan Contingent Valuation Method (CVM) ... 32

3.1.1.3. Tahap-tahap Contingent Valuation Method (CVM) ... 34

3.1.1.4. Organisasi dalam Pengoperasian Contingent Valuation Method ... 38

3.1.2. Regresi Linier Berganda ... 39

3.1.3. Instrumen Ekonomi ... 41

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 43

IV. METODE PENELITIAN ... 46

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 46

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 46


(9)

ix

4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 47

4.4.1. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Besarnya Nilai ERP Dilihat dari WTP Pengguna Jalan ... 48

4.4.2. Estimasi Nilai WTP Pengguna Jalan untuk Menentukan Besarnya Nilai ERP ... 50

4.4.3. Estimasi Jumlah Kendaraan dan Emisi yang Berkurang ... 54

4.4.4. Analisis Dampak Lingkungan ... 55

4.4.5. Rekomendasi Kebijakan... 55

4.5. Pengujian Parameter... 55

4.5.1. Uji Statistika... 4.5.1.1. Koefisien Determinasi (R2) ... 56

4.5.1.2. Uji Statistik t ... 56

4.5.1.3. Uji Statistik F ... 57

4.5.2. Uji Ekonometrika ... 58

4.5.2.1. Uji Multikolinear ... 58

4.5.2.2. Uji Heteroskedastisitas ... 59

V. GAMBARAN UMUM... 61

5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 61

5.2. Karakteristik Responden ... 65

5.2.1. Jenis Kelamin ... 65

5.2.2. Tingkat Usia ... 66

5.2.3. Tingkat Pendidikan ... 67

5.2.4. Jenis Pekerjaan ... 67

5.2.5. Tingkat Pendapatan ... 68

5.2.6. Jumlah Tanggungan ... 69

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 70

6.1. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Nilai ERP Dilihat dari Willingness To Pay (WTP) Pengguna Jalan .. 70

6.2. Estimasi Nilai WTP Pengguna Jalan untuk Menentukan Besarnya Nilai ERP... 76

6.3. Estimasi Jumlah Kendaraan dan Emisi yang Berkurang ... 81

6.4. Analisis Dampak Lingkungan dari Pemberlakuan ERP ... 84

6.4.1. Kondisi Lingkungan ... 85

6.4.2. Kondisi Sosial ... 87

6.4.3. Kondisi Ekonomi ... 87

6.5. Kebijakan Pengelolaann Sistem Pemanfaatan Keuangan dari Pemberlakuan ERP ... 90

VII. SIMPULAN DAN SARAN ... 94

7.1. Simpulan ... 94

7.2. Saran ... 95

VIII. DAFTAR PUSTAKA ... 97


(10)

x

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Jumlah Kendaraan Bermotor di Wilayah DKI Jakarta Menurut

Jenis Tahun 2005-2010 ... 1

2. Pengelompokan Road Pricing... 11

3. Metode Analisis Data ... 47

4. Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis di Wilayah Jakarta Pusat Tahun 2005-2010 ... 64

5. Hasil Analisis Nilai WTP Responden Pengguna Jalan Jenderal Sudirman ... 70

6. Hasil Estimasi Model Regresi Linier Berganda yang Menunjukkan Tidak Adanya Pelanggaran Asumsi dalam Model... 76

7. Distribusi Nilai WTP Responden ... 78

8. Total WTP Masyarakat Pengguna Jalan Jenderal Sudirman ... 79

9. Total Kendaraan yang Berkurang Akibat Pemberlakuan ERP ... 82

10. Data Car Free Day tahun 2010 ... 84


(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Aplikasi ERP di Beberapa Kota di Dunia ... 16

2. Diagram Alur Kerangka Berfikir ... 45

3. Grafik Volume Lalu Lintas Jalan Sudirman Arah Blok-M ... 63

4. Grafik Volume Lalu Lintas Jalan Sudirman Arah Semanggi ... 64

5. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 66

6. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Usia ... 66

7. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 67

8. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 68

9. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan ... 68

10. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan... 69


(12)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Estimasi Model Regresi Linier Berganda ... 101 2. Perhitungan Perkiraan Total Dana yang Dapat Dihasilkan dari


(13)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Jakarta merupakan ibu kota negara dan sebagai pusat pemerintahan

Indonesia. Menurut Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota

Administrasi (2010), Jakarta mempunyai luas 7.659,02 km2 dengan jumlah

penduduk sebesar 8.525.109 jiwa. Jakarta juga mempunyai kepadatan penduduk

yang tinggi yaitu mencapai 19.537 jiwa/km2. Peningkatan jumlah penduduk dan

pertumbuhan ekonomi masyarakat yang semakin tinggi menyebabkan

pembangunan fisik kota terus melaju dengan pesat.

Peningkatan jumlah penduduk juga menyebabkan semakin bertambahnya

pengguna kendaraan bermotor yang melebihi kapasitas jalan. Hal ini didorong

oleh keinginan untuk kemudahan beraktivitas. Badan Pusat Statistik (2010)

memaparkan bahwa produksi kendaraan bermotor untuk kuartal II-2010

mengalami kenaikan hingga 26,15% dibanding periode yang sama tahun lalu.

Sementara untuk produksi alat transportasi selain roda empat atau lebih

mengalami kenaikan 19,23%. Berikut ini merupakan data perkembangan jumlah

kendaraan bermotor di wilayah DKI Jakarta tahun 2005-2010.

Tabel 1. Jumlah Kendaraan Bermotor di Wilayah DKI Jakarta Menurut Jenis Tahun 2005-2010

No Tahun Penumpang Beban Bus Sepeda

Motor Jumlah

1 2005 1.454.286 405.105 255.886 2.908.670 5.023.947

2 2006 1.499.610 405.836 256.207 3.242.090 5.403.743

3 2007 1.547.336 414.278 256.766 3.579.622 5.798.002

4 2008 1.610.915 427.359 257.370 3.968.749 6.264.393

5 2009 1.661.795 435.654 257.905 4.333.559 6.688.913

6 2010 1.789.458 441.886 273.789 4.835.650 7.340.783


(14)

2 Tabel 1 menunjukkan data jumlah kendaraan bermotor menurut jenisnya,

yaitu kendaraan bermotor berjenis penumpang meliputi mobil pribadi dan

angkutan umum, kendaraan bermotor berjenis beban meliputi truk dan

angkutan-angkutan berat, kendaraan bermotor berjenis bus dan sepeda motor. Sejak tahun

2005-2010 jumlah kendaraan bermotor setiap tahunnya cenderung mengalami

peningkatan. Perkembangan Kota Jakarta yang semakin pesat ditandai dengan

semakin pesatnya pertumbuhan industri, perdagangan, bisnis, pertokoan, dan

pemukiman sehingga aktivitas perjalanan menjadi tinggi dan menimbulkan beban

pada ruas-ruas jalan. Hal ini mengakibatkan kemacetan hampir di semua ruas-ruas

jalan utamanya.

Kemacetan lalu lintas di Kota Jakarta semakin hari semakin sulit diatasi.

Setiap hari, kemacetan selalu terjadi di berbagai belahan wilayah ibu kota, mulai

dari jalan protokol. Kemacetan dapat menimbulkan berbagai masalah yang erat

kaitannya dengan sektor lingkungan, sosial, dan ekonomi. Kerugian utama dari

kemacetan adalah menurunnya efisiensi dan efektivitas perekonomian kota yang

sekaligus dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi nasional karena

produktivitas pekerja yang menurun. Selain itu, kemacetan juga meningkatkan

biaya operasi dan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) serta meningkatkan

polusi udara di Kota Jakarta karena jumlah emisi yang dikeluarkan ke udara lebih

tinggi akibat mesin yang menyala lebih lama. Polusi udara yang terus meningkat

akan menjadikan lingkungan kota yang tidak sehat dan dapat menurunkan

kesehatan manusia.

Kebijakan dalam hal sistem transportasi telah banyak dikeluarkan oleh


(15)

3 sehingga inefisiensi bahan bakar dapat ditekan dan polusi udara dapat dikurangi.

Tingkat polusi yang semakin meningkat tidak dapat dipisahkan dengan masalah

perencanaan dan manajemen transportasi. Manajemen transportasi yang baik

harus diterapkan untuk melancarkan arus lalu lintas dan meningkatkan tingkat

mobilitas serta mencapai pembangunan yang berkelanjutan.

Dalam membatasi kendaraan bermotor, Dinas Perhubungan DKI Jakarta

menjalankan aturan three in one, yaitu kebijakan mobil berpenumpang minimal tiga orang pada jam-jam tertentu di jalan-jalan protokol Jakarta. Hal ini

dimaksudkan untuk mengurangi kemacetan dan tingkat polusi udara yang semakin

tinggi. Penerapan jalur three in one telah diberlakukan sejak 23 Desember 2003. Jalur three in one ini meliputi Jalan Jenderal Sudirman, Jalan MH. Thamrin, Jalan Sisimangaraja, Jalan Medan Merdeka Barat, Jalan Majapahit, Jalan Gajah Mada,

Jalan Hayam Wuruk, Jalan Pintu Besar Selatan, Jalan Pintu Besar Utara, dan Jalan

Jenderal Gatot Subroto. Sistem ini sedikit banyak telah mampu menekan

penggunaan kendaraan pribadi pada jalan-jalan utama tersebut, akan tetapi hal ini

tidak berpengaruh banyak terhadap keseluruhan sistem transportasi perkotaan di

Jakarta. Kebijakan three in one ini dinilai tidak efektif dalam mengurangi kemacetan dan menekan penggunaan kendaraan pribadi di kota Jakarta. Hal ini

dikarenakan sistem tersebut memiliki beberapa kelemahan antara lain: (1) tidak

adanya manajemen atau aturan yang melarang penggunaan jalan-jalan lokal,

sehingga pengguna jalan akan mencari jalan-jalan lokal atau biasa disebut ”jalan tikus” yang ada untuk menghindari daerah three in one, ini memindahkan kemacetan ke daerah lain, (2) beroperasinya penyedia jasa illegal yang berperan


(16)

4 jumlah penumpang menjadi tiga, dan (3) daerah cakupan aturan ini terbatas pada

satu koridor dan tidak didukung dengan skema manajamen permintaan yang lain

(seperti manajemen parkir) serta alternatif sistem angkutan umum yang baik.1

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merencanakan salah satu kebijkan baru

di bidang transportasi yaitu Electronic Road Pricing (ERP). Mekanismenya adalah setiap kendaraan yang melintasi suatu ruas jalan diminta untuk membayar

dengan harga tertentu. Kebijakan ini bertujuan untuk menggantikan kebijakan

three in one yang dinilai tidak efektif dalam mengendalikan laju penggunaan mobil pribadi sebagai penyebab kemacetan lalu lintas, inefisiensi BBM, dan

polusi udara di Kota Jakarta. Upaya ini sangat baik dilakukan karena dapat

menurunkan tingkat polusi dan konsumsi bahan bakar minyak. Kebijakan ERP

akan diterapkan di beberapa jalan protokol dan rawan macet yang menjadi pusat

bisnis Jakarta, seperti Jalan Thamrin-Sudirman, Jalan Gajahmada-Hayamwuruk,

dan lain-lain.

Electronic Road Pricing (ERP) merupakan teknologi retribusi yang paling efektif dan efisien untuk segera mengatasi kemacetan di Jakarta karena alat

pendeteksi kendaraan bermotor yang menggunakan on board unit tersebut bisa mengalihkan pengguna kendaraan pribadi ke Trans Jakarta (busway). Efisien, karena sistem ERP bisa sinkron dengan konsep zona (pembagian daerah) parkir,

yaitu zona tengah, zona pinggir dan zona antara. Di Singapura, ERP terbukti

berhasil meningkatkan kesadaran masyarakatnya menggunakan kendaraan umum.

Sistem ERP juga akhirnya memaksa pengguna kendaraan pribadi mengeluarkan

1

ELECTRONIC ROAD PRICING (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta.

http://bulletin.penataanruang.net/upload/data_artikel/ELECTRONIC%20ROAD%20PRICING%2 0UNTUK%20JAKARTA%20REV.pdf. Diakses tanggal 21 November 2010.


(17)

5 biaya yang tidak sedikit. Ketika masuk zona-zona parkir tertentu, kendaraannya

tidak akan bisa masuk tanpa dilengkapi alat pendeteksi (Business News, 2010)2.

Sistem ERP yang dikelola dengan mekanisme yang baik dapat menekan

penggunaan kendaraan pribadi hingga titik minimal dan mengarahkan para

pengguna kendaraan pribadi untuk beralih dan memanfaatkan angkutan umum

yang ada sehingga kemacetan lalu lintas dapat diatasi dan tercapainya efisiensi

bahan bakar dan pengurangan polusi di udara secara signifikan. Dana yang

diperoleh dari penerapan sistem ERP tersebut dapat digunakan untuk

mengembangkan transportasi publik yang lebih aman dan nyaman.

1.2. Perumusan Masalah

Jumlah penduduk di Jakarta setiap tahunnya selalu mengalami

peningkatan. Hal ini diakibatkan selain tingginya tingkat kelahiran, arus

urbanisasi di Jakarta juga cenderung tinggi karena daya tarik kota Jakarta untuk

mencari pekerjaan. Peningkatan jumlah penduduk ini mengakibatkan peningkatan

jumlah kendaraan karena kebutuhan masyarakat terhadap alat transportasi

semakin meningkat. Hal tersebut didorong oleh keinginan untuk kemudahan

beraktivitas karena aktivitas perjalanan atau tingkat mobilitas di Kota Jakarta

cenderung tinggi. Permasalahan transportasi yang dihadapi kota Jakarta sangat

besar. Permasalahan utama yang dapat dilihat adalah kemacetan yang terjadi

hampir di seluruh ruas jalan kota Jakarta dan sekitarnya. Masalah kemacetan ini

merupakan masalah yang selalu timbul di kota-kota besar, khususnya Jakarta.

2

Business News. 2010. Investasi ERP Sebesar Rp 500 Miliar Mengatasi Kemacetan di Jakarta.


(18)

6 Tingkat kemacetan di Kota Jakarta sudah termasuk dalam kategori yang cukup

parah dan merugikan baik dari segi ekonomi, sosial, maupun lingkungan.

Sistem transportasi di Kota Jakarta yang belum efisien dapat menghambat

aktivitas ekonomi. Hal ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi karena

produktivitas yang menurun akibat kemacetan. Dari total waktu perjalanan pada

beberapa ruas jalan, 40% merupakan waktu bergerak dan 60% merupakan waktu

hambatan. Kecepatan rata-rata lalu lintas adalah 20.21 km/jam (Kedeputian V

Menko Perekonomian, 2007)3.

Selain itu, kemacetan juga berdampak besar bagi lingkungan, yaitu

meningkatnya polusi akibat emisi kendaraan bermotor karena mesin yang

menyala lebih lama sehingga menimbulkan juga inefisiensi dalam hal bahan bakar

minyak (BBM). Tingkat polusi yang semakin tinggi dapat berdampak negatif bagi

kualitas hidup dan kesehatan masyarakat.

Berbagai solusi dan kebijakan telah dilakukan Pemerintah Provinsi DKI

Jakarta untuk mengatasi permasalahan transportasi di kota Jakarta. Namun,

upaya-upaya tersebut belum mampu untuk memberikan hasil yang diharapkan.

Penerapan aturan three in one yang mewajibkan setiap kendaraan berpenumpang minimal tiga orang pada saat melewati jalan-jalan protokol tertentu dinilai belum

efektif dalam mengurangi tingkat kemacetan.

Salah satu rencana kebijakan pemerintah dibidang transpotasi adalah

diterapkannya Electronic Road Pricing (ERP). Electronic Road Pricing (ERP) merupakan skema tol elektronik untuk mengatur lalu lintas melalui road pricing

3

ELECTRONIC ROAD PRICING (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta.http://bulletin.penataanruang.net/upload/data_artikel/ELECTRONIC%20ROAD%20PRICI NG%20UNTUK%20JAKARTA%20REV.pdf. Diakses tanggal 21 November 2010.


(19)

7 sebagai mekanisme penggunaan berbasis perpajakan. ERP adalah bentuk program

pembatasan kendaraan pengganti sistem three in one yang efektif untuk mengurangi kemacetan dan polusi udara, khususnya di wilayah yang terbilang

sempit dengan persentase pertumbuhan penduduk dan mobilitas yang tinggi.

Biaya yang dikenakan dalam mekanisme ERP bertujuan membatasi

volume kendaraan dan memberikan kesadaran kepada para pengguna kendaraan

pribadi bahwa perjalanan mereka berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan

dan kerugian kepada masyarakat yang tidak menggunakan kendaran pribadi.

Pemberlakuan ERP diharapkan mampu mengurangi dampak lingkungan dan

kemacetan, meningkatkan efisiensi penggunaan bahan bakar dan mendorong

penggunaan angkutan massal, seperti busway, kereta api, dan lain-lain. Dengan menggunakan angkutan massal, diharapkan adanya efisiensi ruang jalan. Dana

yang dihasilkan dari pemberlakuan ERP dapat menjadi sumber dana pemerintah

daerah dalam meningkatkan pelayanan di bidang transportasi dan sebagai salah

satu sumber pembiayaan untuk mendukung beroperasinya transportasi yang lebih

efektif dan ramah lingkungan.

Berdasarkan uraian di atas, perumusan masalah yang akan dibahas dalam

penelitian ini adalah :

1) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi nilai ERP dilihat dari

kemampuan pengguna jalan untuk membayar?

2) Berapa besarnya nilai ERP yang sesuai untuk diberlakukan dilihat dari

kemampuan pengguna jalan untuk membayar (WTP)?

3) Berapa besar jumlah kendaraan dan emisi yang dapat berkurang akibat


(20)

8 4) Bagaimana dampak lingkungan dari pemberlakuan ERP?

5) Bagaimana kebijakan yang tepat dalam mengelola sistem pemanfaatan

keuangan yang dihasilkan dari pemberlakuan ERP?

1.3. Tujuan

Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka

penelitian ini bertujuan untuk :

1) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai ERP dilihat dari

kemampuan pengguna jalan untuk membayar.

2) Mengestimasi besarnya nilai ERP yang sesuai untuk diberlakukan dilihat

dari kemampuan pengguna jalan untuk membayar (WTP).

3) Mengestimasi besarnya jumlah kendaraan dan emisi yang dapat berkurang

akibat pemberlakuan ERP.

4) Menganalisis dampak lingkungan dari pemberlakuan ERP.

5) Kebijakan yang tepat dalam mengelola sistem pemanfaatan keuangan yang

dihasilkan dari pemberlakuan ERP.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian mengenai Analisis Lingkungan Pemberlakuan Electronic Road Pricing untuk Mengurangi Polusi diharapkan dapat bermanfaat bagi :

1) Akademisi dan peneliti, khususnya dalam menilai kebijakan pemerintah di

bidang transportasi.

2) Pemerintah Daerah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan

dalam penerapan kebijakan ERP dan membangun sistem transportasi publik


(21)

9 3) Masyarakat, khususnya untuk mendorong penggunaan transportasi massal,

efisiensi bahan bakar dan memperbaiki kualitas lingkungan.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini adalah :

1) Penelitian ini hanya dilakukan terhadap pengguna Jalan Jenderal Sudirman,

Jakarta Pusat.

2) Responden pengguna jalan yang dianalisis merupakan pengendara mobil


(22)

10

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Electronic Road Pricing (ERP)

Electronic road pricing (ERP) adalah kebijakan pemberlakuan jalan berbayar untuk setiap kendaraan yang melewatinya. ERP bertujuan mengurangi

kemacetan di ruas jalan tertentu meski pada simpul jalan yang lain justru

menambah kemacetan (Bisnis Indonesia, 2010)4.

Salah satu strategi dalam kebijakan sistem transportasi yang berkelanjutan

(sustainable transport system policy) adalah manajemen permintaan perjalanan (travel demand management). Secara umum, tujuan dari kebijakan travel demand management adalah untuk mendorong pengguna jalan untuk mengurangi perjalanan yang relatif tidak perlu (terutama pengguna kendaraan pribadi) dan

mendorong penggunaan moda transportasi yang lebih efektif, lebih sehat, dan

ramah lingkungan. Kebijakan travel demand management dapat dikelompokan menjadi tiga grup yaitu: instrumen-instrumen ekonomi (economic instruments), persetujuan-persetujuan kerjasama (cooperative agreements), dan instrumen-instrumen regulasi (regulatory instruments)5.

1) Economic instruments menggunakan insentif dan/atau disinsentif untuk mencapai tujuan transportasi yang berkelanjutan (sustainable transport). Salah satu economic instrument yang sering diaplikasikan di beberapa kota di dunia adalah road pricing. Road pricing adalah pengenaan biaya secara langsung terhadap pengguna jalan karenamelewati ruas jalan tertentu. Pada

4

Bisnis Indonesia. 2010. Pusat Ganjal Penerapan ERP. http://bataviase.co.id/node/390480. Diakses tanggal 21 November 2010.

5

Susantono, DR Bambang. 2010. Electronic Road Pricing (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta. http : // bulletin . penataanruang . net / upload / data _ artikel / ELECTRONIC%20ROAD%20PRICING%20UNTUK%20JAKARTA%20REV.pdf. Diakses : 21 November 2010.


(23)

11 dasarnya terdapat dua tujuan dari pengenaan road pricing yaitu untuk menambah pendapatan suatu daerah atau negara, atau suatu sarana untuk

mengatur penggunaan kendaraan agar tidak terjadi kemacetan. Tujuan

utama dari road pricing, yaitu mengurangi kemacetan, menjadi sumber pendapatan daerah, mengurangi dampak lingkungan, mendorong

penggunaan angkutan massal. Berikut ini merupakan pengelompokan road pricing berdasarkan tujuan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengelompokan Road Pricing

Nama Deskripsi Tujuan

Road toll (fixed rates)

Pengenaan biaya atas penggunaan jalan-jalan tertentu. Untuk meningkatkan pendapatan dan investasi. Congestion pricing (time-variable)

Pengenaan biaya didasarkan atas kepadatan lalu lintas, jika lalu lintas padat maka biaya yang dikenakan akan tinggi, namun sebaliknya jika lalu lintas tidak padat maka biaya yang dikenakan akan rendah.

Untuk meningkatkan pendapatan dan

mengurangi kemacetan.

Cordon fees Pengenaan biaya atas penggunaan jalan-jalan tertentu.

Mengurangi kemacetan di pusat-pusat kota.

HOV lanes Bagi kendaraan yang tidak bisa banyak menampung jumlah penumpang, akan dikenakan pungutan.

Untuk mendorong peralihan penggunaan kendaraan pribadi kepada penggunaan kendaraan yang memilik daya tampung yang banyak, sehingga jumlah kendaraan di jalan raya dapat dikurangi.

Distance-based Fees

Biaya yang dikenakan terhadap kendaraan bergantung pada seberapa jauh kendaraan digunakan.

Untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi berbagai masalah lalu lintas.

Pay-As-You-Drive Insurance

Membagi rata pembayaran berdasarkan jarak sehingga asuransi kendaraan menjadi biaya yang tidak tetap.

Mengurangi berbagai masalah lalu lintas khususnya kecelakaan lalu lintas.


(24)

12 2) Cooperative instruments adalah keterlibatan individu, perusahaan swasta atau institusi pemerintah dalam mengurangi kemacetan lalu lintas, sebagai

contoh carpooling yaitu penggunaan kendaraan yang memiliki daya tampung besar agar dapat mengangkut banyak penumpang, misalnya bus

jemputan pegawai.

3) Regulatory instruments umumnya ditetapkan oleh pemerintah dan berisi standar-standar, larangan-larangan dan prosedur administrasi untuk

mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, sebagai contoh penetapan hari

bebas kendaraan, melarang kendaraan pribadi untuk wilayah tertentu,

batasan jumlah penumpang lebih dari 3, dan lain-lain.

Congestion pricing (pungutan biaya kemacetan) merupakan salah satu

economic instrument yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Electronic Road Pricing (ERP) merupakan salah satu sebutan untuk

congestion pricing. Dengan congestionpricing, pengguna kendaraan pribadi akan dikenakan biaya jika mereka melewati satu area atau koridor yang macet pada

periode waktu tertentu. Pengguna kendaraan pribadi pada akhirnya harus

menentukan apakah akan meneruskan perjalanannya melalui area atau koridor

tersebut dengan membayar sejumlah uang, mencari rute lain, mencari tujuan

perjalanan lain, merubah waktu dalam melakukan perjalanan, tidak jadi

melakukan perjalanan, atau berpindah menggunakan moda lain yang diijinkan

untuk melewati area atau koridor tersebut6.

6

Susantono, DR Bambang. 2010. Electronic Road Pricing (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta. http : // bulletin . penataanruang . net / upload / data _ artikel / ELECTRONIC%20ROAD%20PRICING%20UNTUK%20JAKARTA%20REV.pdf. Diakses : 21 November 2010.


(25)

13 Biaya yang dikenakan juga bertujuan untuk memberikan kesadaran kepada

pengguna kendaraan pribadi bahwa perjalanan mereka dengan kendaraan pribadi

mempunyai kontribusi terhadap kerusakan lingkungan dan kerugian kepada

masyarakat yang tidak mengunakan kendaraan pribadi. Kondisi ini seringkali

tidak dipikirkan oleh masyarakat dan pengambil kebijakan. Congestion pricing

telah sukses diaplikasikan di beberapa kota seperti Singapore, Stockholm, dan

London. Dana yang terkumpul dapat dijadikan sebagai salah satu sumber

pembiayaan untuk mendukung beroperasinya moda transportasi yang lebih

efektif, sehat, dan ramah lingkungan sepert Bus Rapid Transit, Mass Rapid Transit, dan lain-lain7. Menurut Button dalam Santos (2004), road pricing adalah sebuah konsep sederhana yang menggunakan harga untuk mencerminkan kelangkaan dan untuk mengalokasikan sumber daya untuk individu yang menggunakannya.

2.2. Latar Belakang Penerapan Electronic Road Pricing (ERP)

Latar belakang diterapkannya ERP adalah daya dukung jalan di Jakarta

tidak memadai, kerugian akibat kemacetan sangat tinggi (± 42 trilyun), degradasi

sistem angkutan umum, dan trend pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang

sangat tinggi (Dishub DKI Jakarta, 2011). Berdasarkan informasi dari Dinas

Perhubungan DKI Jakarta, peningkatan jumlah kendaraan pribadi sangat pesat

yaitu mencapai 1.117 per hari atau sekitar 9% per tahun. Peningkatan yang terjadi

saat ini tidak diimbangi dengan pertumbuhan luas jalan. Pertumbuhan jalan relatif

7

Susantono, DR Bambang. 2010. Electronic Road Pricing (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta. http : // bulletin . penataanruang . net / upload / data _ artikel / ELECTRONIC%20ROAD%20PRICING%20UNTUK%20JAKARTA%20REV.pdf. Diakses : 21 November 2010.


(26)

14 tetap, yakni sekitar 0,01% per tahun. Jika pembenahan pola transportasi tidak

dilakukan, maka pada 2014 Jakarta diperkirakan macet total.

Kemacetan akan memberi dampak negatif, baik dalam aspek sosial,

lingkungan, maupun ekonomi. Dampak negatif tersebut diantaranya pemborosan

Bahan Bakar Minyak (BBM), peningkatan polusi udara, dan penurunan mobilitas.

Sebelumnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menerapkan aturan three in one (3 in 1) di beberapa luas jalan ibu kota. Hal ini dimaksudkan untuk membatasi jumlah kendaran pada jam-jam sibuk sehingga kemacetan dapat dikurangi.

Namun, dalam pelaksanaanya aturan tersebut dinilai tidak efektif dalam mengatasi

kemacetan. Kelemahan penerapan sistem three in one, diantaranya inkonsistensi penindakan pelanggaran aturan 3 in 1, jumlah petugas penegak hukum tidak memadai, dan muncul masalah sosial baru yaitu fenomena joki (Dishub DKI

Jakarta, 2010).

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan memberlakukan kebijakan

Electronic Road Pricing (ERP), yaitu kebijakan pembatasan jumlah kendaraan melalui sistem jalan berbayar, dimana setiap kendaraan yang melintasi ruas jalan

tertentu akan dikenakan biaya. Tujuannya adalah untuk mengatasi berbagi

masalah yang ditimbulkan akibat kemacetan. Mekanisme penerapan ERP adalah

setiap kendaraan yang melintasi zona ERP akan dikenakan sejumlah biaya

tertentu. Pintu gerbang zona ERP akan dilengkapi teknologi OBU (on board unit), yaitu alat sensor yang dipasang pada setiap kendaraan yang secara otomatis


(27)

15

2.3. Penerapan Electronic Road Pricing (ERP) di Beberapa Negara

Elektronic Road Pricing telah sukses diterapkan dibeberapa kota di dunia. Kota-kota yang telah mengaplikasikan sistem ERP ini diantaranya8:

1) Singapore

Singapore merupakan kota pertama yang mengaplikasikan ERP (sejak tahun

1998), pada awalnya disebut urban road user charging. Tujuannya adalah untuk membatasi lalu lintas yang masuk pada saat jam puncak untuk

mengurangi kemacetan. Sebelum ERP, Singapore menggunakan Area -Licensing Scheme (ALS), pada tahun 1998, ALS diganti dengan Electronic Road Pricing (ERP). Harga untuk memasuki daerah atau koridor ERP bervariasi berdasarkan rata-rata kecepatan jaringan. Harga yang bervariasi

tersebut ditujukan untuk mempertahankan kecepatan antara 45-65 km/jam

pada expressways dan 20-30 km/jam pada jalan arteri. Dampak diterapkanya

congestion pricing atau ERP di Sangapore cukup signifikan. Prosentase penggunaan carpools dan bus meningkat dari 41% menjadi 62%, dan volume lalu lintas yang menuju daerah diterapkannya congestion pricing

menurun sampai dengan 44%.

2) London

ERP diaplikasikan di London pada 17 Pebruari 2003. Tujuan dari aplikasi ERP di London adalah untuk mengurangi kemacetan, meningkatkan

reliabilitas waktu perjalanan, dan mengurangi polusi udara. Aplikasi ERP di

London memberikan beberapa hasil positif antara lain: a) penurunan volume

8

Susantono, DR Bambang. 2010. Electronic Road Pricing (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta. http : // bulletin . penataanruang . net / upload / data _ artikel / ELECTRONIC%20ROAD%20PRICING%20UNTUK%20JAKARTA%20REV.pdf. Diakses : 21 November 2010.


(28)

16 lalu lintas 15%, b) penurunan kemacetan 30%, c) penurunan polusi 12%

(NOx, PM10), d) perjalanan menjadi lebih reliable, e) reliabilitas bus schedule meningkat signifikan, f) kecelakaan lalu lintas menurun, g) peningkatan kecepatan tidak meningkatkan fatalitas kecelakan, h) tidak

terjadi dampak lalu lintas yang besar di daerah diluar area congestion charging, i) menjadi sumber pendapatan yang sebagian besar dipakai untuk perbaikan pelayanan angkutan umum.

3) Stockholm

ERP diaplikasikan secara resmi mulai 1 Agustus 2007, setelah diuji cobakan

sejak tahun 2006. Tujuannya mengurangi kemacetan, meningkatkan

aksesibilitas, memperbaiki kualitas lingkungan. Beberapa hasil positif yang

bisa dicatat adalah:

a) Meningkatnya aksesibilitas yang ditandai dengan penurunan antrian di

pusat kota dan daerah-daerah dekat pusat kota sebesar 30-50%.

b) Menurunnya total emisi kendaraan bermotor antara 10-14% di pusat

kota, dan antara 2-3% untuk total satu kota.

Sumber : Susantono (2010)


(29)

17

2.4. Manfaat dan Dampak Electronic Road Pricing (ERP)

Menurut Dinas Perhubungan DKI Jakarta (2011), manfaat Electronic Road Pricing (ERP), diantaranya:

1) Pemerintah :

a) Mengurangi kemacetan

b) Sumber pendapatan baru dari lalu lintas

c) Mempermudah penerapan pembatasan lalu lintas

d) Peralihan moda kendaraan pribadi ke angkutan umum

e) Meningkatkan efektifitas dan efisiensi dari manajemen permintaan

2) Pengendara :

a) Kenyamanan berkendara

b) Perjalanan menjadi lebih tepat waktu

c) Kemudahan pembayaran

d) Kemudahan berpindah moda ke angkutan umum

3) Masyarakat :

a) Mengurangi kebisingan yang dihasilkan kendaraan

b) Menurunkan tingkat polusi udara yang berasal dari asap kendaraan

c) Minimalisasi kerugian ekonomi akibat kemacetan lalu lintas

Apabila diterapkan ERP maka pengemudi dihadapkan pada

pilihan-pilihan, yaitu membayar dan menikmati perjalanan, merubah waktu perjalanan

untuk membayar lebih murah, merubah rute perjalanan, merubah moda angkutan

yang digunakan, merubah tujuan perjalanan, atau membatalkan perjalanan.


(30)

18 a) Tercapainya efisiensi dalam aspek transportasi seperti tercapainya

kelancaran lalu lintas yang menyebabkan penghematan waktu tempuh dan

biaya perjalanan.

b) Peningkatan kualitas lingkungan, TDM (Travel Demand Management)

dalam aspek lingkungan diharapkan dapat mengurangi polusi udara, dan

mengurangi polusi bunyi dan getaran.

c) Penataan sistem tata guna lahan, TDM diharapkan dapat merevitalisasi

fasilitas perkotaan sesuai dengan fungsinya.

d) Meningkatkan ekonomi, TDM diharapkan dapat memberikan pendapatan

tambahan bagi pemerintah sehingga mendapat dana tambahan untuk

meningkatkan kualitas angkutan umum.

e) Menjamin persamaan hak pengguna jalan, TDM diharapkan dapat

memberikan keadilan bagi pengguna jalan dengan memberikan kewajiban

yang lebih berat bagi pengguna jalan yang lebih berkontribusi terhadap

kemacetan. Selain itu, jaminan terhadap pejalan kaki dan penghuni daerah

lokal pun diharapkan dapat terealisasi.

2.5. Dasar Hukum Electronic Road Pricing (ERP)

Dasar hukum penerapan Electronic Road Pricing (ERP) adalah sebagai berikut (Dinas Perhubungan DKI Jakarta, 2011):

1) Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan

a) PASAL 133 UU NO. 22/2009

Pasal 133 ayat (3), Pembatasan lalu lintas dapat dilakukan dengan


(31)

19 bagi peningkatan kinerja lalu lintas dan peningkatan pelayanan

angkutan umum. Saat ini Peraturan Pemerintah untuk Undang-Undang

ini sedang dalam proses pembahasan, diharapkan dapat lebih

menegaskan perlunya pelaksanaan ERP.

b) PASAL 472 RPP LLAJ

Pembatasan lalu lintas dapat dilakukan dengan pengenaan retribusi

pengendalian lalu lintas. Retribusi pengendalian lalu lintas adalah biaya

tambahan yang harus dibayar oleh pengguna kendaraan perseorangan

dan kendaraan barang akibat kemacetan yang disebabkannya. Dana

yang diperoleh dari retribusi pengendalian lalu lintas diperuntukkan

bagi peningkatan kinerja lalu lintas dan pelayanan angkutan umum.

Ketentuan lebih lanjut tentang persyaratan penerapan pembatasan lalu

lintas dengan pengenaan retribusi pengendalian lalu lintas diatur lebih

lanjut dalam Peraturan Menteri yang bertanggung jawab dibidang

sarana dan prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan

memperhatikan pendapat Menteri dibidang urusan dalam negeri.

2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan

Retribusi Daerah (PDRD)

Ketentuan tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas / ERP belum dimuat,

walaupun pada saat penyusunannya termasuk materi yang dibahas. Namun

sesuai pasal 150 Undang-Undang ini, jenis retribusi selain yang ditetapkan

dalam pasal 110 ayat (1) (retribusi jasa umum), pasal 127 (retribusi jasa


(32)

20 kriteria-kriteria sebagai retribusi, maka dapat ditetapkan dengan Peraturan

Pemerintah.

ERP dapat memenuhi kriteria sebagai Retribusi Jasa Umum. Retribusi Jasa

Umum merupakan retribusi untuk jasa yang disediakan atau diberikan oleh

Pemda untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat

dinikmati oleh orang pribadi atau badan; (Pasal 1 Ketentuan Umum).

3) Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2003 Tentang LLAJ, Kereta Api, Sungai

Dan Danau, Penyeberangan

4) Peraturan Gubernur Nomor 103 Tahun 2007 Tentang Pola Transportasi

Makro

Strategi Pola Transportasi Makro (PTM) meliputi :

a) Pembangunan infrastruktur

b) Pembangunan angkutan umum massal

c) Pengaturan-pengaturan

Kebijakan pengaturan berupa rencana pembatasan lalu lintas yang terdiri

dari :

a) Pembatasan kepemilikan kendaraan bermotor

b) Pembatasan penggunaan jalan

c) Pembatasan parkir

d) Pengaturan penggunaan jalan tertentu

5) Draft RTRW Provinsi DKI Jakarta 2010 - 2030

Bab IV Pasal 22 ayat (1), Penerapan manajemen lalu lintas terdiri dari


(33)

21 kebijakan pembatasan lalu lintas yang diemplementasikan secara bertahap

pada daerah tertentu.

Electronic Road Pricing (ERP) belum dapat diimplementasikan karena ERP dalam RPP tentang LLAJ masih dalam pembahasan. Selain itu belum ada

RPP tentang PDRD yang mengatur ERP dan belum disusunnya Perda tentang

ERP. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam ERP, yaitu :

1) Apek legal, berupa dasar penerapan ERP, dasar penarikan pembayaran,

dasar penindakan terhadap pelanggar, dasar pengenaan sanksi terhadap

pelanggar, dan mekanisme penggunaan uang hasil ERP

2) Aspek perencanaan

3) Aspek teknis berupa teknologi mana yang paling tepat untuk DKI Jakarta

4) Aspek kelembagaan (institusi)

2.6. Transportasi Publik

Menurut Papageorgiou dalam Hall (2003), transportasi selalu menjadi aspek penting dari peradaban manusia, tetapi fenomena kemacetan lalu lintas telah menjadi dominan karena peningkatan pesat jumlah kendaraan dan permintaan transportasi hampir di semua moda transportasi. Kemacetan lalu lintas terjadi karena kendaraan terlalu banyak sedangkan untuk menggunakan transportasi umum kapasitasnya terbatas sehingga kebutuhan inovasi baru di bidang transportasi sangat diperlukan. Kemacetan lalu lintas menyebabkan fenomena antrian meskipun kapasitas infrastruktur sepenuhnya dimanfaatkan. Dalam kasus yang terburuk, kemacetan lalu lintas mengarah pada terdegradasinya penggunaan infrastruktur yang tersedia, berkurangnya keamanan, dan peningkatan polusi lingkungan.


(34)

22

Menurut Evans dalam Hall (2003), keamanan merupakan pertimbangan penting dalam kegiatan manusia. Setiap jenis sistem transportasi melibatkan beberapa risiko bahaya. Tujuan utama dari transportasi yaitu mengefektifkan pergerakan orang dan barang.

Saat ini telah dikembangkan Sistem Transportasi Cerdas (Transportasi Intelligent Systems). Istilah Transportasi Intelligent Systems (ITS) mengacu pada multimoda transportasi paket inovasi canggih yang menggunakan teknologi dalam

elektronik dan informasi untuk meningkatkan kinerja kendaraan, jalan raya, dan

sistem transit. Pembuat kebijakan telah lama memandang ITS sebagai teknologi

potensial untuk memperbaiki masalah kemacetan dan berkurangnya produktivitas

sistem transportasi negara. Sementara ITS memungkinkan masyarakat untuk

melakukan hal-hal lama yang lebih baik (menekan jumlah kendaraan dan

mengurangi insiden yang dapat terjadi di jalan raya). Selain itu memungkinkan

masyarakat untuk melakukan hal-hal baru, misalnya mengetahui kapan sebuah

bus datang begitu transit dengan ketidakpastian minimal, atau menggunakan

variabel harga untuk mengelola puncak permintaan (Gillen dan Levinson, 2004).

2.7. Pengertian dan Penyebab Pencemaran Udara

Pencemaran udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing

di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari

keadaan normalnya. Kehadiran bahan atau zat asing di dalam udara dalam jumlah

tertentu serta berada di udara dalam waktu yang cukup lama akan mengganggu

kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan. Pembangunan yang berkembang pesat


(35)

23 kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil menyebabkan udara

menjadi tercemar oleh gas-gas buangan hasil pembakaran (Wardhana, 2004).

Menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 41 tahun 1999 tentang

Pengendalian Pencemaran Udara, pencemaran udara adalah masuknya atau

dimasukkannya zat, energi, dari komponen lain ke dalam udara ambien oleh

kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang

menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 1407 tahun 2002

tentang Pedoman Pengendalian Dampak Pencemaran Udara, pencemaran udara

adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke

dalam udara oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat

tertentu yang menyebabkan atau mempengaruhi kesehatan manusia.

Menurut Wardhana (2004), secara umum penyebab pencemaran udara ada

dua macam, yaitu :

a) karena faktor internal (secara alamiah), contohnya debu yang beterbangan

akibat tiupan angin, abu (debu) yang dikeluarkan dari letusan gunung berapi

berikut gas-gas vulkanik, proses pembusukan sampah organik, dan lain-lain.

b) karena faktor eksternal (karena ulah manusia), contohnya hasil pembakaran

bahan bakar fosil, debu/serbuk dari kegiatan industri, dan pemakaian zat-zat

kimia yang disemprotkan ke udara.

Pencemaran udara pada suatu tingkat tertentu dapat merupakan campuran

dari satu atau lebih bahan pencemar, baik berupa padatan, cairan atau gas yang


(36)

24 Kecepatan penyebaran ini akan tergantung pada keadaan geografi dan meteorologi

setempat.

Pemakaian bahan bakar fosil untuk kegiatan ekonomi berkontribusi besar

dalam meningkatkan kadar pencemar di udara. Menurut Wardhana (2004),

dampak pencemaran lingkungan sebenarnya tidak semata-mata disebabkan oleh

karena kegiatan industri dan teknologi saja, namun juga disebabkan oleh faktor

lain yang menunjang kegiatan tersebut. Faktor penunjang kegiatan industri dan

teknologi adalah faktor penyedia daya listrik dan faktor transportasi.

Kegiatan industri dan teknologi membutuhkan tersedianya daya listrik dan

transportasi yang sangat diperlukan untuk kelancaran kegiatan industri dan

teknologi. Faktor penyedia daya listrik dan faktor transportasi merupakan

penyerap terbesar pemakaian bahan bakar fosil, baik berupa batu bara maupun

minyak bumi. Sebagian besar pencemar udara (sekitar 75%) berasal dari gas

buangan hasil pembakaran bahan bakar fosil (Wardhana, 2004).

Menurut Harssema dalam Mulia (2005), pencemaran udara diawali oleh

adanya emisi. Emisi merupakan jumlah polutan atau pencemar yang dikeluarkan

ke udara dalam satuan waktu. Emisi dapat disebabkan oleh proses alam maupun

kegiatan manusia. Emisi akibat proses alam disebut biogenic emissions,

contohnya yaitu dekomposisi bahan organik oleh bakteri pengurai yang

menghasilkan gas metan (CH4). Emisi yang disebabkan kegiatan manusia disebut

anthropogenic emissions. Contoh anthropogenic emissions yaitu hasil pembakaran bahan bakar fosil, pemakaian zat kimia yang disemprotkan ke udara,


(37)

25

2.8. Dampak Pencemaran Udara

Menurut Wardhana (2004), dampak pencemaran udara merupakan

masalah serius yang dihadapi oleh negara-negara industri. Pencemaran tersebut

tidak hanya mempunyai akibat langsung terhadap kesehatan manusia saja, tetapi

juga dapat merusak lingkungan lainnya, seperti hewan, tanaman, bangunan

gedung, dan lain sebagainya.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat pada

tahun 1980, kematian yang disebabkan oleh pencemaran udara mencapai angka

kurang lebih 51.000 orang. Menurut para ahli, pada sekitar tahun 2000-an

kematian yang disebabkan oleh pencemaran udara akan mencapai angka 57.000

orang per tahunnya. Selama 20 tahun angka kematian yang disebabkan oleh

pencemaran udara naik mendekati 14% atau mendekati 0,7% per tahun. Selain itu

kerugian materi yang disebabkan oleh pencemaran udara, apabila diukur dengan

uang, dapat mencapai sekitar 12-16 juta US dollar per tahun (Wardhana, 2004).

Menurut Bank Dunia, estimasi kerugian yang diakibatkan oleh

pencemaran udara di Indonesia sebesar 400 US dollar setahun. Menurut hasil

penelitian yang dilakukan oleh Asian Devolepment Bank (ADB) kerugian tersebut belum termasuk kematian dini dan gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh

PM10 dan SO2 (World Bank, 2003). Perkiraan kerugian ekonomi yang

ditimbulkan pencemaran udara SO2 terhadap kesehatan manusia adalah senilai Rp

92.157.163,- pada tahun 2001. Pencemaran udara menimbulkan kerugian berantai.

Masyarakat kota Jakarta harus menanggung kerugian sekitar 180 juta US dollar

per tahun akibat polusi udara. Biaya tersebut diprediksi akan meningkat dua kali


(38)

26 karena warga kota tidak dapat bekerja karena sakit. Untuk itu penting mengelola

udara bersih agar dampak pencemaran udara tersebut dapat dicegah. Transportasi

perkotaan sangat berkontribusi besar dalam menimbulkan pencemaran udara

karena emisi yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor9.

2.9. Manajemen Transportasi

Tujuan pembangunan sistem transportasi sebagaimana dinyatakan oleh

BAPPEDA DKI Jakarta adalah 1) tersusunnya suatu jaringan sistem transportasi

yang efisien dan efektif; 2) meningkatnya kelancaran lalu lintas dan angkutan; 3)

terselenggaranya pelayanaan angkutan yang aman, tertib, nyaman, teratur, lancar,

dan efisien; 4) terselenggaranya pelayanaan angkutan barang yang sesuai dengan

perkembangan sarana angkutan dan teknologi transportasi angkutan barang; 5)

meningkatnya keterpaduan baik antara sistem angkutan laut, udara, dan darat

maupun antar moda angkutan darat; dan 6) meningkatnya disiplin masyarakat

pengguna jalan dan pengguna angkutan (Nugroho, 2003).

Menurut Duff (1961) dalam Setijadji (2006), manajemen lalu lintas adalah

usaha pengaturan jalan yang ada dalam usaha untuk memanfaatkan secara

optimal, prasarana jalan tersebut untuk kepentingan umum.

Menurut PP Nomor 43 Tahun 1993, Tentang Prasarana dan Lalu Lintas

Jalan, manajemen lalu lintas adalah pengelolaan dan pengendalian arus lalu lintas

dengan melakukan optimasi penggunaan prasarana yang ada. Hal ini menyangkut

kondisi arus lalu lintas dan juga sarana penunjangnya, baik saat sekarang maupun

9

WALHI Jabar. 2007. Udara Bersih : Kenyataan, Harapan dan Tantangan.

http://walhijabar.wordpress.com/2007/12/25/udara-bersih-kenyataan-harapan-dan-tantangan/. Diakses tanggal 10 Juli 2011.


(39)

27 yang direncanakan. Manajemen lalu lintas meliputi kegiatan perencanaan,

pengaturan, pengawasan dan pengendalian lalu lintas.

Manajemen lalu lintas adalah suatu istilah yang biasa digunakan untuk

menjelaskan suatu proses pengaturan lalu lintas, dan sistem prasarana jalan

dengan menggunakan beberapa metode ataupun teknik rekayasa tertentu, tanpa

mengadakan pembangunan jalan baru, dalam usaha untuk mencapai tujuan-tujuan

ataupun sasaran-sasaran tertentu yang berhubungan dengan masalah lalu lintas

(Modul Pelatihan Transportasi ITB, 1997).

Tujuan dari manajemen lalu lintas adalah :

1) Mendapatkan tingkat efisiensi dari pergerakan lalu lintas secara menyeluruh

dengan tingkat aksesibilitas yang tinggi, dengan menyeimbangkan

permintaan dengan sarana penunjang yang tersedia.

2) Meningkatkan tingkat keselamatan dari pengguna yang dapat diterima oleh

semua pihak dan memperbaiki tingkat keselamatan tersebut sebaik

mungkin.

3) Melindungi dan memperbaiki keadaan kondisi lingkungan dimana lalu

lintas tersebut berada.

4) Mempromosikan penggunaan energi secara efisien ataupun penggunaan

energi lain yang dampak negatifnya lebih kecil dari pada energi yang ada.

Sasaran diberlakukannya manajemen lalu lintas adalah :

1) Mengatur dan menyederhanakan lalu lintas dengan melakukan pemisahan

terhadap tipe, kecepatan dan pemakai jalan yang berbeda untuk


(40)

28 2) Mengurangi tingkat kemacetan lalu lintas dengan menaikkan kapasitas atau

mengurangi volume lalu lintas pada suatu jalan.

3) Melakukan optimasi ruas jalan dengan menentukan fungsi dari jalan dan

kontrol terhadap aktivitas-aktivitas yang tidak cocok dengan fungsi jalan

tersebut.

Manfaat pelaksanaan manajemen lalu lintas adalah :

1) Efisiensi pergerakan

Berhubungan dengan tingkat kecepatan dan pergerakannya, biasanya

mereka ingin menyelesaikan perjalanannya secara nyaman dan aman.

Karena perjalanan tanpa adanya keterlambatan adalah hal utama yang

diinginkan dalam pergerakan lalu lintas.

2) Keselamatan pergerakan

Kecelakaan atau bahaya keselamatan, biasanya dihubungkan dengan

tingginya kecepatan kendaraan, namun bertentangan dengan prinsip

efisiensi yang hendak dicapai. Makin tinggi kecepatan kendaraan, akan

makin sulit untuk dikontrolnya, apalagi jika diminta untuk berhenti.

Mengingat bahwa efisiensi pergerakan pada batas tertentu sangat

bertentangan dengan keselamatan pergerakan, adalah penting untuk

menciptakan keseimbangan yang baik, agar kedua hal tersebut dapat

dipertemukan dengan baik tanpa harus bertentangan satu dengan yang lain.

3) Terciptanya lingkungan yang baik dan nyaman

Lingkungan yang baik dan nyaman adalah suatu lingkungan yang tidak

terganggu atau lingkungan yang asli. Untuk itu hal yang perlu dipikirkan


(41)

29 pergerakan dapat diminimalkan dalam usaha menjaga lingkungan yang

nyaman.

Transportasi dikatakan baik, apabila perjalanan cukup cepat, tidak

mengalami kemacetan, frekuensi pelayanan cukup, aman, bebas dari

kemungkinan kecelakaan dan kondisi pelayanan yang nyaman. Oleh

karena itu untuk mencapai kondisi yang ideal tersebut sangat ditentukan

oleh berbagai faktor yang menjadi komponen transportasi ini, yaitu kondisi

prasarana (jalan), sistem jaringan jalan, kondisi sarana (kendaraan) dan


(42)

30

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis terdiri dari beberapa teori yang digunakan

dalam penelitian. Penelitian ini menggunakan teori-teori yang sesuai dengan

tujuan penelitian yang hendak dicapai yaitu Contingent Valuation Method (CVM), regresi linier berganda, dan instrumen ekonomi.

3.1.1. Contingent Valuation Method (CVM)

Penilaian ekonomi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan (non-market valuation) dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu: 1) revealed preference approach merupakan teknik penilaian yang mengandalkan harga implisit di mana Willingness to Pay terungkap melalui model yang dikembangkan, meliputi: Travel Cost, Hedonic Pricing, dan Random Utility Model. 2) stated preference approach merupakan teknik penilaian yang didasarkan pada survei di mana keinginan membayar atau Willingness to Pay

diperoleh dari responden, meliputi: Contingent Valuation, RandomUtility Model, dan Contingent Choice. Menurut Yakin (1997), Contingent Valuation Method

(CVM) merupakan metode yang popular digunakan saat ini, karena CVM dapat

mengukur nilai penggunaan (use value) dan nilai non pengguna (non use values) dengan baik.

Metode CVM ini sangat tergantung pada hipotesis yang akan dibangun.

Misalnya, seberapa besar biaya yang harus ditanggung, bagaimana

pembayarannya, dan sebagainya. Metode CVM ini secara teknis dapat dilakukan


(43)

31 Metode CVM sering digunakan untuk mengukur nilai pasif sumber daya alam

atau sering juga dikenal dengan nilai keberadaaan. Metode CVM pada dasarnya

bertujuan untuk mengetahui keinginan membayar (Willingness To Pay) dari masyarakat terhadap perbaikan lingkungan dan keinginan menerima kompensasi

(Willingness To Accept) dari kerusakan lingkungan (Fauzi, 2006).

3.1.1.1 Kelebihan Contingent Valuation Method (CVM)

Menurut Hanley dan Spash (1993) kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh

pendekatan CVM dalam memperkirakan nilai ekonomi suatu lingkungan adalah

sebagai berikut :

1) Dapat diaplikasikan pada semua kondisi dan memiliki dua hal penting, yaitu

seringkali menjadi satu-satunya teknik untuk mengestimasi manfaat dan

dapat diaplikasikan pada berbagai konteks kebijakan lingkungan.

2) Dapat digunakan dalam berbagai macam penelitian barang-barang

lingkungan di sekitar masyarakat.

3) Dibandingkan dengan teknik penilaian lingkungan lainnya, CVM memiliki

kemampuan untuk mengestimasi nilai non pengguna. Dengan CVM,

seseorang mungkin dapat mengukur utilitas dari penggunaan barang

lingkungan bahkan jika tidak digunakan secara langsung. Meskipun teknik

dalam CVM membutuhkan analis yang kompeten, namun hasil penelitian

dari peneliti yang menggunakan metode ini tidak sulit untuk dianalisis dan


(44)

32

3.1.1.2 Kelemahan Contingent Valuation Method (CVM)

Menurut Fauzi (2006), meskipun CVM diakui sebagai pendekatan yang

cukup baik untuk mengukur WTP, namun terdapat beberapa kelemahan yang

perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya. Kelemahan yang utama dari

pendekatan ini adalah timbulnya bias.

Bias dalam pengumpulan data dengan mengunakan teknik CVM menurut

Hanley dan Spash (1993) terdiri dari :

1) Bias Strategi (Strategic Bias)

Adanya responden yang memberikan suatu nilai WTP yang relatif kecil

karena alasan bahwa ada responden lain yang akan membayar upaya

peningkatan kualitas lingkungan dengan harga yang lebih tinggi

kemungkinan dapat terjadi. Alternatif untuk mengurangi bias strategi ini

adalah melalui penjelasan bahwa semua orang akan membayar nilai tawaran

rata-rata atau penekanan sifat hipotetis dari perlakuan. Hal ini akan

mendorong responden untuk memberikan nilai WTP yang benar. Mitchell

dan Carson (1989) dalam Hanley dan Spash (1993) menyarankan empat

langkah untuk meminimalkan bias strategi yaitu :

a) Menghilangkan seluruh pencilan (outliner)

b) Penekanan bahwa pembayaran oleh responden adalah dapat dijamin

c) Menyembunyikan nilai tawaran responden lain

d) Membuat perubahan lingkungan bergantung pada nilai tawaran

Sedangkan Hoehn dan Randall (1987) dalam Hanley dan Spash (1993)

menyarankan bahwa bias strategi dapat dihilangkan dengan menggunakan


(45)

33 2) Bias Rancangan (Design Bias)

Beberapa hal dalam rencangan survei yang dapat mempengaruhi responden

adalah :

a) Pemilihan jenis tawaran (bid vehicle). Jenis tawaran yang diberikan dapat mempengaruhi nilai-nilai rata-rata tawaran.

b) Bias titik awal (starting point bias). Pada metode bidding game, titik awal yang diberikan kepada responden dapat mempengaruhi nilai

tawaran (bid) yang ditawarkan. Hal ini dapat dikarenakan responden yang ditanyai merasa kurang sabar atau karena titik awal yang

mengemukakan besarnya nilai tawaran adalah tepat dengan selera

responden (disukai responden karena responden tidak memiliki

pengalaman tentang nilai perdagangan benda lingkungan yang

dipermasalahkan).

c) Sifat informasi yang ditawarkan (nature of information provided). Dalam sebuah pasar hipotesis, responden mengkombinasikan informasi benda

lingkungan yang diberikan kepadanya dan bagaimana pasar akan bekerja.

Tanggapan responden dapat dipengaruhi oleh pasar hipotesis maupun

komoditas spesifik yang diinformasikan pada saat survei.

3) Bias yang Berhubungan dengan Kondisi Kejiwaan Responden (Mental Account Bias)

Bias ini terkait dengan langkah proses pembuatan keputusan seorang

individu dalam memutuskan seberapa besar pendapatan, kekayaan, dan

waktunya yang dapat dihabiskan untuk benda lingkungan tertentu dalam


(46)

34 4) Kesalahan Pasar Hipotetik (Hypotetical Market Error)

Kesalahan pasar hipotetik terjadi jika fakta yang ditanyakan kepada

responden di dalam pasar hipotetik membuat tanggapan responden berbeda

dengan konsep yang diinginkan peneliti sehingga nilai WTP yang dihasilkan

menjadi berbeda dengan nilai yang sesungguhnya. Hal ini dikarenakan studi

CVM tidak berhadapan dengan perdagangan aktual, melainkan suatu

perdagangan atau pasar yang murni hipotetik yang didapatkan dari

pertemuan antara kondisi psikologi dan sosiologi prilaku. Terjadinya bias

pasar hipotetik bergantung pada :

a) Bagaimana pertanyaan disampaikan ketika melaksanakan survei.

b) Seberapa realitistik responden merasakan pasar hipotetik akan terjadi.

c) Bagaimana format WTP yang digunakan.

Solusi untuk menghilangkan bias ini salah satunya yaitu desain dari alat

survei sedemikian rupa sehingga maksimisasi realitas dari situasi yang akan

diuji dan melakukan pengulangan kembali untuk kekonsistenan dari

responden.

3.1.1.3 Tahap-tahap Contingent Valuation Method (CVM)

Menurut Hanley dan Spash (1993), beberapa tahap dalam penerapan

analisis CVM, yaitu :

1) Membuat Pasar Hipotetik

Tahap awal dalam menjalankan CVM adalah membuat pasar hipotetik.

Pasar hipotetik tersebut dibangun untuk memberikan suatu alasan mengapa

masyarakat seharusnya membayar terhadap suatu barang/jasa lingkungan


(47)

35 lingkungan tersebut. Dalam pasar hipotetik harus menggambarkan

bagaimana mekanisme pembayaran yang dilakukan. Skenario kegiatan

harus diuraikan secara jelas dalam kuisioner sehingga responden dapat

memahami barang lingkungan yang dipertanyakan serta keterlibatan

masyarakat dalam rencana kegiatan. Selain itu, di dalam kuisioner juga

perlu dijelaskan perubahan yang akan terjadi jika terdapat keinginan

masyrakat membayar.

2) Mendapatkan Penawaran Besarnya Nilai WTP

Penawaran besarnya nilai WTP dilakukan dengan menggunakan kuesioner.

Setelah itu dilakukan kegiatan pengambilan sampel. Hal ini dapat dilakukan

melalui wawancara dengan tatap muka, dengan perantara telepon, atau surat.

Terdapat empat metode yang dapat digunakan untuk memperoleh

penawaran besarnya nilai WTP responden (Hanley dan Spash, 1993), yaitu:

a) Bidding Game adalah metode tawar-menawar dimana responden ditawarkan sebuah nilai tawaran yang dimulai dari nilai terkecil hingga

nilai terbesar sehingga mencapai nilai WTP maksimum yang sanggup

dibayarkan responden.

b) Open-ended Question adalah metode yang memberikan pertanyaan terbuka kepada responden tentang WTP maksimum yang mampu

mereka bayarkan dengan tidak ada nilai tawaran sebelumnya sehingga

tidak menimbulkan bias titik awal (starting point bias). Kelebihan metode ini yaitu responden tidak perlu diberi petunjuk yang bisa


(48)

36 nilai yang diberikan kurang akurat dan variasi yang dihasilkan terlalu

besar.

c) Payment Card adalah metode yang menawarkan kepada responden nilai tawaran yang disajikan dalam bentuk kisaran nilai dalam sebuah kartu

yang terdiri dari berbagai nilai kemampuan untuk membayar dimana

responden dapat memilih nilai maksimal atau nilai minimal yang sesuai

dengan preferensinya. Metode ini pada awalnya dikembangkan untuk

mengatasi bias titik awal dari metode tawar-menawar.

d) Closed-ended Referendum adalah metode yang memberikan sebuah nilai tawaran tunggal kepada responden, baik responden setuju ataupun

tidak setuju dengan nilai tersebut. Metode ini menawarkan responden

jumlah uang tertentu dan menanyakan apakah respnden mau membayar

atau tidak sejumlah uang untuk memperoleh peningkatan kualitas

lingkungan.

3) Memperkirakan Nilai Tengah dan Nilai Rata-Rata WTP

Setelah data mengenai nilai WTP terkumpul, tahap selanjutnya adalah

menghitung nilai tengah (median) dan nilai rata-rata (mean) dari WTP tersebut. Nilai tengah digunakan apabila terjadi rentang nilai penawaran

yang terlalu jauh. Jika penghitungan nilai penawaran menggunakan

rata-rata, maka akan diperoleh nilai yang lebih tinggi dari yang sebenarnya. Oleh

karena itu, lebih baik menggunakan nilai tengah karena nilai tengah tidak

dipengaruhi oleh rentang penawaran yang cukup besar. Nilai tengah


(49)

37 4) Memperkirakan Kurva WTP

Suatu kurva WTP dapat diperkirakan dengan menggunakan nilai WTP

sebagai variabel dependen dan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai

tersebut sebagai variabel independen. Kurva WTP ini dapat digunakan

untuk memperkirakan perubahan nilai WTP karena perubahan sejumlah

variabel independen yang berhubungan dengan mutu lingkungan. Hubungan

antara variabel bebas dan variabel terikat dapat berkorelasi linier dengan

bentuk persamaan umum sebagai berikut :

WTPi = f(Yi, Ei, Ki, Ai, Qi)

dimana i adalah responden ke-i.

5) Menjumlahkan Data

Penjumlahan data merupakan proses dimana rata-rata penawaran

dikonversikan terhadap total populasi yang dimaksud. Bentuk ini sebaiknya

termasuk seluruh komponen dari nilai relevan yang ditemukan seperti nilai

keberadaan dan nilai penggunaan.

6) Mengevaluasi Penggunaan CVM

Pada tahap ini dilakukan penilaian sejauh mana penerapan CVM telah

berhasil dilakukan. Penilaian tersebut dilakukan dengan memberikan

pertanyaan-pertanyaan seperti apakah responden benar-benar mengerti dan

memahami mengenai pasar hipotetik, berapa banyak kepemilikan responden

terhadap barang/jasa lingkungan yang terdapat dalam pasar hipotetik,

seberapa baik pasar hipotetik yang dibuat dapat mencakup semua aspek


(50)

38 nilai tengah dan menggambarkan nilai tawaran agregat, dan pertanyaan

sejenis lainnya.

3.1.1.4 Organisasi dalam Pengoperasian Contingent Valuation Method

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam organisasi pengoperasian

CVM, yaitu :

1) Pasar hipotetik yang digunakan harus memiliki kredibilitas dan realitas.

2) Alat pembayaran yang digunakan dan atau ukuran kesejahteraan (WTP)

sebaiknya tidak bertentangan dengan aturan-aturan yang terkait di

masyarakat.

3) Responden sebaiknya memiliki informasi yang cukup mengenai barang

publik yang dimaksud dalam kuisioner dan alat pembayaran untuk

penawaran mereka.

4) Jika memungkinkan, ukuran WTP sebaiknya dicari, karena responden

seringkesulitan dengan penentuan nilai nominal yang ingin mereka berikan.

5) Ukuran contoh yang cukup besar sebaiknya dipilih untuk mempermudah

perolehan selang kepercayaan dan reabilitas.

6) Pengujian kebiasaan, sebaiknya dilakukan dan pengadopsian strategi uuntuk

memperkecil strategi bias secara khusus.

7) Penawaran sanggahan sebaiknya diidentifikasi.

8) Diperlukan pengetahuan dengan pasti jika contoh memiliki karakteristik

yangsama dengan populasi dan penyesuaian diperlukan.

9) Tanda parameter sebaiknya dilihat kembali untuk melihat jika mereka setuju


(51)

39 direkomendasikan oleh Mitchell dan Carson (1989) dalam Hanley dan

Spash (1993).

3.1.2. Regresi Linier Berganda

Menurut Gujarati (2003), model ekonometrika yang baik harus memenuhi

tiga kriteria yaitu kiteria ekonometrika, statistika, dan ekonomi. Berdasarkan

kriteria ekonometrika, model harus sesuai dengan asumsi klasik, artinya harus

terbebas dari gejala heteroskedastisitas, autokorelasi, dan multikolinearitas.

Kesesuaian model dengan kriteria statistik dilihat dari hasil uji F, uji t, dan

koefisien determinasi (R2). Berdasarkan kriteria ekonomi, tanda dan besarnya

variabel-variabel eksogen dalam model harus seesuai dengan hipotesis, kecuali

pada kondisi-kondisi tertentu yang bisa dijelaskan. Metode statistik inferensia

yang digunakan yaitu model regresi berganda dengan metode pendugaan kuadrat

terkecil OLS (Ordinary Least Square) yang didasarkan pada asumsi yang ada. Pada regresi berganda (multiple regression model) diasumsikan bahwa peubah tak bebas (respons) Y merupakan fungsi linier dari beberapa peubah bebas X1, X2, ... , Xk dan komponen sisaan ε (error). Persamaan model regresi liner

berganda secara umum adalah sebagai berikut:

Yi = β0 + β1X1i + β2X2i + β3X3i + ... + βkXki + εi

dengan i menunjukkan nomor pengamatan dari 1 sampai N untuk data populasi

atau sampai n untuk data contoh (sample). Xki merupakan pengamatan ke-i untuk

peubah bebas Xk . Koefisien β1 dapat merupakan intersep model regresi berganda.

Metode OLS dilakukan dengan pemilihan parameter yang tidak diketahui


(52)

40 RRS) yaitu Σei2 = minimum (terkecil). Asumsi utama yang mendasari model

regresi berganda dengan metode OLS adalah sebagai berikut (Firdaus, 2004) :

1) Nilai yang diharapkan bersyarat (Conditional Expected Value) dari εi tergantung pada Xi tertentu adalah nol.

2) Tidak ada korelasi berurutan atau tidak ada korelasi (non-autokorelasi)

artinya dengan Xi tertentu simpangan setiap Y yang manapun dari nilai

rata-ratanya tidak menunjukkan adanya korelasi, baik secara positif atau negatif.

3) Varians bersyarat dari € adalah konstan. Asumsi ini dikenal dengan nama asumsi homoskedastisitas.

4) Variabel bebas adalah nonstokastik yaitu tetap dalam penyampelan berulang jika stokastik maka didistribusikan secara independent dari gangguan €. 5) Tidak ada multikolinearitas antara variabel penjelas satu dengan yang

lainnya.

6) € didistibusikan secara normal dengan rata-rata dan varians yang diberikan oleh asumsi 1 dan 2.

Apabila semua asumsi yang mendasari model tersebut terpenuhi maka

suatu fungsi regresi yang diperoleh dari hasil perhitungan pendugaan dengan

metode OLS dari koefisien regresi adalah penduga tak bias linier terbaik (best linier unbiased estimator atau BLUE). Sebaliknya jika ada asumsi dalam model regresi yang tidak terpenuhi oleh fungsi regresi yang diperoleh maka kebenaran

pendugaan model tersebut atau pengujian hipotesis untuk pengambilan keputusan

dapat diragukan. Penyimpangan 2, 3, dan 5 memiliki pengaruh yang serius


(53)

41

3.1.3. Instrumen Ekonomi

Instrumen ekonomi adalah sebagian dari kebijakan lingkungan dalam

mengendalikan dampak negatif yang terjadi pada lingkungan melalui mekanisme

pasar (Fauzi, 2007). James (1997) dalam Fauzi (2007) mendefinisikan instrumen

ekonomi untuk pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan sebagai

mekanisme administratif yang digunakan oleh pemerintah untuk mempengaruhi

perilaku siapapun yang mendapatkan nilai dari sumber daya, memanfaatkannya,

atau menyebabkan dampak sebagai efek lain atau eksternalitas yang disebabkan

aktivitas mereka.

Fungsi instrument ekonomi menurut Panayotou (1994) dalamFauzi (2007)

menyebutkan paling tidak ada empat hal utama menyangkut fungsi instrumen

ekonomi dalam pengelolaan lingkungan, yaitu :

1) Menginternalisasikan eksternalitas dengan cara mengoreksi kegagalan pasar

melalui mekanisme full cost pricing dimana biaya subsidi, biaya lingkungan dan biaya eksternalitas diperhitungkan dalam pengambilan keputusan.

2) Mampu mengurangi konflik pembangunan versus lingkungan, bahkan jika dilakukan secara tepat dapat menjadikan pembangunan ekonomi sebagai

wahana (vehicle) untuk perlindungan lingkungan dan sebaliknya.

3) Instrumen ekonomi berfungsi untuk menganjurkan efisiensi dalam

penggunaan barang dan jasa dari sumber daya alam sehingga tidak

menimbulkan kelebihan konsumsi karena pasar, melalui isntrumen ekonomi

akan memberikan sinyal yang tepat terhadap penggunaan yang tidak efisien.

4) Instrumen ekonomi dapat digunakan sebagai sumber penerimaan (revenue generating).


(54)

42 Instrumen ekonomi dapat dibagi berdasarkan tiga kategori umum menurut

dampaknya terhadap keuangan pemerintah (Fauzi, 2007), yaitu :

1) Instrumen peningkatan revenue, seperti pajak, dan biaya perijinan yang dapat meningkatkan biaya relatif dari teknologi intensif dan produk emisi.

Instrumen ini menciptakan insentif yang terus menerus pada inovasi untuk

meningkatkan efisiensi emisi atau untuk mengganti pada pengganti emisi

yang lebih rendah, serta memberikan penerimaan bagi pemerintah.

2) Instrumen Budget-neutral, yang meningkatkan biaya relatif emisi dan atau teknologi intensif energi dan produk, namun tidak meningkatkan

penerimaan bagi pemerintah. Kategori ini meliputi peraturan yang bersifat

market-based, yang mengharuskan perusahaan memenuhi standar baku mutu tetapi membolehkan mereka untuk menjual belikannya dengan pihak

lain untuk memenuhi komitmen standar ini. Instrumen budget-neutral ini dapat dikhususkan pada teknologi (misalnya renewable portfolio standard

atau emisi kendaraan bermotor), atau dapat juga dikhususkan pada kinerja

(misalnya domestic emission trading program).

3) Instrumen Ekspenditur, seperti subsidi dan insentif lainnya yang

menurunkan biaya relatif dari teknologi dan produk dengan emisi yang lebih

rendah dan atau intensitas energi, membuatnya semakin kompetitif dengan

teknologi yang ada. Instrumen ini dapat ditujukan pada keputusan yang ada

(misalnya melalui akselerasi depresiasi untuk tujuan pajak) atau biaya

kompetitif jangka panjang melalui pembiayaan atau penelitian,


(1)

Lampiran 1. Hasil Estimasi Model Regresi Linear Berganda (Lanjutan…) Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N

WTP 23100,00 9177,817 100

Keinginan memperbaiki udara 3,59 ,570 100

Tingkat pendidikan 2,09 ,605 100

Pengeluaran BBM 1261670,00 577159,363 100

Tingkat pendapatan 7985000,00 4310648,666 100

Jumlah tanggungan 1,85 1,533 100

Jenis pekerjaan ,58 ,496 100

Durasi terkena macet 50,70 32,012 100

Model Summary(b)

Model R R Square Adjusted R

Square

Std. Error of the Estimate

1 ,791(a) ,625 ,597 5828,802

a. Predictors: (Constant), Durasi terkena macet, Jumlah tanggungan, Pengeluaran BBM, Jenis Pekerjaan, Keinginan memperbaiki udara, Tingkat pendidikan, Tingkat pendapatan

b. Dependent Variable: WTP


(2)

Lampiran 1. Hasil Estimasi Model Regresi Linear Berganda (Lanjutan…) ANOVA(b)

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 5213306593,747 7 744758084,821 21,921 ,000(a)

Residual 3125693406,253 92 33974928,329

Total 8339000000,000 99

a. Predictors: (Constant), Durasi terkena macet, Jumlah tanggungan, Pengeluaran BBM, Jenis Pekerjaan, Keinginan memperbaiki udara, Tingkat pendidikan, Tingkat pendapatan

b. Dependent Variable: WTP

Coefficients(a)

Model Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients t Sig. Collinearity Statistics

B Std. Error Beta Tolerance B VIF

1 (Constant) 6319,334 4123,790 1,532 ,129

Keinginan memperbaiki udara 9,044 1272,532 ,001 ,007 ,994 ,652 1,534

Tingkat pendidikan 3502,699 1323,964 ,231 2,646 ,010 ,536 1,867

Pengeluaran BBM -,003 ,001 -,174 -2,357 ,021 ,747 1,339

Tingkat pendapatan ,001 ,000 ,279 3,416 ,001 ,612 1,633

Jumlah tanggungan -304,421 451,147 -,051 -,675 ,502 ,717 1,394

Jenis pekerjaan 1285,909 1442,306 ,070 ,892 ,375 ,670 1,492

Durasi terkena macet 157,797 21,414 ,550 7,369 ,000 ,730 1,369


(3)

104

Lampiran 1. Hasil Estimasi Model Regresi Linear Berganda (Lanjutan…) Residuals Statistics(a)

Minimum Maximum Mean Std. Deviation N Predicted Value 10870,07 42195,82 23100,00 7256,698 100 Std. Predicted Value -1,685 2,631 ,000 1,000 100 Standard Error of Predicted Value 973,666 4304,721 1580,844 470,254 100 Adjusted Predicted Value 10589,38 48148,25 23165,24 7462,512 100 Residual -17999,645 17696,160 ,000 5618,955 100 Std. Residual -3,088 3,036 ,000 ,964 100 Stud. Residual -3,358 3,203 -,005 1,024 100

a Dependent Variable: WTP

Levene's Test of Equality of Error Variances(a)

Dependent Variable: res1

F df1 df2 Sig.

,785 5 94 ,563

Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups.

a Design: Intercept+WTP

Charts

Regression Standardized Residual

4 2 0 -2 -4 Frequency 25 20 15 10 5 0 Histogram

Dependent Variable: WTP

Mean =1.3 Std. Dev. = N =10


(4)

Observed Cum Prob

1.0 0.8

0.6 0.4

0.2 0.0

Ex

pect

ed

C

um

P

rob

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0

Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual


(5)

106

Lampiran 2. Perhitungan Perkiraan Total Dana yang Dapat Dihasilkan dari Pemberlakuan ERP pada Peak Pagi dan Peak Sore

PEAK PAGI PEAK SORE

Total Kendaraan 18.112 12.362

Total kendaraan per tahun

(1 tahun = 230 hari aktif) 4.165.760 2.843.260

Total kendaraan yang berkurang akibat pemberlakuan ERP (59% dari total kendaraan per tahun)

2.457.798 1.677.523

Total kendaraan yang bisa masuk zona ERP per tahun (Total kendaraan per tahun-total kendaraan yang berkurang akibat pemberlakuan ERP)

1.707.962 1.165.737

Perkiraan total dana yang diperoleh per

tahun 39.453.912.960 26.928.515.460

Perkiraan total dana yang diperoleh per


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Bogor pada tanggal 28 Desember 1988. Penulis bernama lengkap Dessy Christiarini yang merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Yohanes Sumarjo dan Brigita Suharsih. Penulis mengawali pendidikan di TK Kartika Chandra Kirana Bogor pada tahun 1993. Tahun 2001 penulis menyelesaikan studi di Sekolah Dasar Negeri Cimandala 1 Bogor. Tahun 2004 penulis lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Bogor. Tahun 2007 penulis lulus Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bogor, lalu pada tahun 2007 penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI dan diterima sebagai mahasiswi Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

Selama menjadi mahasiswi, penulis aktif dalam Resource and Environmental Economics Student Association (REESA) sebagai staf divisi

Coorporate Social Responsibility pada tahun (2008-2009) dan sebagai staf divisi

Study Research and Development pada tahun (2009-2010). Penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan seperti, Biopore on Situgede (BIOS) pada tahun 2008, RESAYCLE tahun 2009 dan Green Base pada tahun 2009.