Usulan Perbaikan Sistem Pencahayaan Pada PT. Pabrik Es Siantar
DAFTAR PUSTAKA
Egan, M. David. 1983. Concepts in Architectural Lighting. New York: McGraw Hill School Education Group.
Flory, Isaac Lynnwood. 2008. High-Intensity Discharge Lighting Design Strategies for the Minimization of Energy Usage and Life-Cycle Cost. Dissertation. Doctor of Philosophy in Electrical Engineering Virginia Polytechnic Institute and State University.
IES Lighting Handbook dalam Flory, Isaac Lynnwood. 2008. High-Intensity Discharge Lighting Design Strategies for the Minimization of Energy Usage and Life-Cycle Cost. Virginia: Virginia Polytechnic Institute and State University. Disertasi.
Kristanto, Luciana. 2004. Penelitian Terhadap Kuat Penerangan dan Hubungannya dengan Angka Reflektansi Warna Dinding: Studi Kasus Ruang Kelas Unika Widya Mandala Surabaya. Jurnal Internet.
Nazir, M. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
Satwiko, Prasasto. 2008. Fisika Bangunan. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Sinulingga, Sukaria. 2011. Metode Penelitian. Medan : USU Press.
Standar Nasional Indonesia. SNI-Kepmenkes No 1405-16-7062-2004: Pengukuran Intensitas Penerangan di Tempat Kerja. Jakarta.
Sutalaksana, Iftikar Z. 2006. Teknik Perancangan Sistem Kerja. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
(2)
BAB III
LANDASAN TEORI
3.1. Lingkungan Kerja yang Mempengaruhi Kegiatan Manusia1
Pencahayaan sangat mempengaruhi kemampuan manusia untuk melihat objek-objek secara jelas, cepat, dan tanpa menimbulkan kesalahan. Kebutuhan akan pencahayaan yang baik akan semakin diperlukan apabila manusia mengerjakan pekerjaan yang memerlukan ketelitian penglihatan. Pencahayaan yang terlalu suram mengakibatkan mata pekerja semakin cepat lelah karena mata akan berusaha untuk bisa melihat. Lelahnya mata mengakibatkan kelelahan mental, lebih jauh lagi keadaan tersebut bisa menimbulkan rusaknya mata karena
Sebagai makhluk yang paling sempurna, manusia tidak luput dari kekurangan. Maksudnya adalah segala kemampuannya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut bisa datang dari pribadinya atau sebagai akibat dari pengaruh luar. Salah satu faktor yang datang dari luar ialah lingkungan kerja saat manusia melaksanakan kegiatannya. Manusia akan mampu melaksanakan kegiatannya dengan baik sehingga dicapai suatu hasil yang optimal apabila di antaranya didukung oleh suatu kondisi lingkungan yang baik. Dapat dikatakan bahwa suatu kondisi lingkungan dikatakan baik apabila di dalamnya manusia dapat melaksanakan kegiatannya dengan aman, sehat, dan nyaman
3.2. Pencahayaan
1
Iftikar Z. Sutalaksana. Teknik Perancangan Sistem Kerja.(Bandung: Institut Teknologi Bandung, 2006), h. 90-96
(3)
bisa menyilaukan. Kemampuan mata untuk dapat melihat objek dengan jelas ditentukan oleh ukuran objek, derajat kontras antara objek dengan sekelilingnya, luminansi, dan lamanya melihat.
3.3. Pencahayaan Buatan dan Pencahayaan Merata2
2
Prasasto Satwiko. Fisika Bangunan. (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2008), h. 180-194
Pencahayaan buatan adalah salah satu jenis pencahayaan yang digunakan dalam kegiatan sehari-hari. Pencahayaan buatan diperlukan karena tidak dapat sepenuhnya tergantung pada ketersediaan pencahayaan alami. Pencahayaan buatan diperlukan dalam beberapa kondisi berikut ini, yaitu:
1. Tidak tersedia cahaya alami siang hari dan saat antara matahari terbenam dan terbit
2. Tidak tersedia cukup cahaya alami dari matahari, saat mendung tebal, dan saat intensitas cahaya bola langit akan berkurang
3. Cahaya alami dari matahari tidak dapat menjangkau tempat tertentu di dalam ruangan yang jauh dari jendela
4. Diperlukan cahaya merata pada ruang lebar, sebab hanya lokasi di sekitar jendela saja yang terang sedangkan bagian tengah akan menjadi redup. Hal ini terutama terjadi pada ruangan lebar, luas, dan terletak di bawah lantai lain sehingga tidak memungkinkan untuk membuat lubang cahaya di ata
5. Diperlukan intensitas cahaya konstan dan pencahayaan dengan warna dan arah penyinaran yang mudah diatur.
(4)
Dalam pencahayaan buatan, dikenal pencahayaan merata. Dinyatakan bahwa perencanaan pencahayaan dalam praktik umumnya bertujuan untuk tercapainya tingkat iluminasi merata pada seluruh bidang kerja. Pencahayaan yang sepenuhnya merata memang tidak mungkin dalam praktik, tetapi standar yang dapat diterima adalah tingkat iluminasi minimum serendah-rendahnya 80% dari tingkat iluminasi rata-rata ruang.
3.4. Istilah dalam Pencahayaan Buatan
Beberapa istilah yang biasa digunakan dalam pencahayaan buatan beserta uraian penjelasannya:
1. Intensitas Cahaya Intensitas cahaya adalah kuat cahaya sumber cahaya dan diukur dengan candela pada sistem internasional. Disepakati bahwa jika sebuah sumber cahaya yang berintensitas cahaya 1 candela diletakkan di titik pusat sebuah bola berjari-jari 1 m, maka arus cahaya datang pada 1 m2 permukaan dalam kulit bola tersebut adalah 1 lumen
2. Iluminan (Tingkat iluminasi)5 Iluminan adalah banyak arus cahaya yang datang pada suatu unit bidang dan memiliki satuan lux (lumen/m2). Iluminasi adalah datangnya cahaya ke suatu objek3
3. Luminan (Tingkat luminan)
Luminan adalah intensitas cahaya yang dipancarkan, dipantulkan, atau diteruskan oleh suatu unit bidang yang diterangi. Luminasi adalah perginya cahaya dari suatu objek
3
D.C. Pritchard. Interior Lighting Design 6th Edition, dalam Luciana Kristanto, Penelitian
Terhadap Kuat Penerangan dan Hubungannya dengan Angka Reflektansi Warna Dinding Studi Kasus Ruang Kelas Unika Widya Mandala Surabaya. Jurnal internet. 2004.
(5)
4. Pencahayaan Umum
Pencahayaan merata untuk seluruh ruangan dan dimaksudkan untuk memberikan terang merata
5. Reflektansi
IES Lighting Handbook (1984) menyatakan bahwa setiap objek memantulkan sebagian dari cahaya yang mengenainya. Tergantung pada susunan geometris, ukuran yang tepat dapat berupa reflektansi cahaya total, reflektansi cahaya reguler, reflektansi cahaya difus, faktor reflektansi cahaya atau faktor luminansi. Skala reflektansi cahaya adalah antara 0 dan 100% dari hitam ke putih.
3.5. Standar Pencahayaan di Tempat Kerja
Pencahayaan di tempat kerja harus disesuaikan dengan kompleksitas detail pekerjaannya. Di Indonesia, standar pencahayaan diatur oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia melalui Kepmenkes No 1405/Menkes/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri. Lampiran II mengenai Persyaratan dan Tata Cara Penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan Kerja Industri bagian V membahas mengenai pencahayaan. Standar pencahayaan yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan RI ditunjukkan pada Tabel 3.1.
(6)
Tabel 3.1Intensitas Cahaya di Ruang Kerja No Jenis Kegiatan Tingkat Pencahayaan
Minimal (Lux)
Keterangan 1 Pekerjaan kasar dan tidak
terus menerus
100 Ruang penyimpanan &
ruang peralatan/instansi yang memerlukan pekerjaan yang kontinu 2 Pekerjaan kasar dan terus
menerus
200 Pekerjaan dengan mesin
dan perakitan kasar
3 Pekerjaan rutin 300 R. administrasi, ruang
kontrol, pekerjaan mesin dan perakitan/penyusun 4 Pekerjaan agak halus 500 Pembuatan gambar atau
bekerja dengan mesin kantor Pekerja pemeriksaan atau pekerjaan dengan mesin
5 Pekerjaan halus 1000 Pemilihan warna,
pemrosesan tekstil, pekerjaan mesin halus dan perakitan halus
6 Pekerjaan amat halus 1500 Tidak
menimbulkan bayangan
Mengukir dengan tangan, pemeriksaan pekerjaan mesin dan perakitan yang sangat halus
7 Pekerjaan terinci 3000 Tidak
menimbulkan bayangan
Pemeriksaan pekerjaan dan perakitan sangat halus
3.6. Pengukuran Pencahayaan
Komponen pencahayaan di antaranya terdiri dari tingkat iluminasi, tingkat luminansi, dan reflektansi. Ketiga komponen ini dapat diukur nilainya dengan menggunakan alat ukur, yaitu lux meter. Metode pengukuran komponen pencahayaan ini akan diuraikan pada subbab berikut.
(7)
3.6.1. Pengukuran Tingkat Iluminasi4
1. Luas ruangan kurang dari 10 m2 maka titik potong garis horizontal panjang dan lebar ruangan adalah pada jarak setiap 1 meter. Gambar 3.1. menunjukkan denah pengukuran intensitas penerangan umum untuk luas ruangan < 10 m2.
Padapenggunaan luxmeter, tingkat iluminasi untuk bidang kerja diukur secara horizontal sejauh 75 cm di atas permukaan lantai, sedangkan untukluasan tertentu tingkat iluminasi diperoleh dengan mengambil nilai rata-rata dari beberapa titik pengukuran (SNI 03-6575-2001).
Penentuan titik pengukuran tingkat iluminasi diatur dalam SNI 16-7062-2004 tentang Pengukuran Intensitas Penerangan di Tempat Kerja. Metode penentuan titik pengukuran tingkat penerangan dibagi berdasarkan kegunaannya menjadi penerangan setempat dan penerangan umum. Pengukuran tingkat penerangan setempat dilakukan pada objek kerja yang akan diukur, misalnya meja kerja ataupun peralatan. Sedangkan pada penerangan umum, metode penentuan titik pengukuran dibagi berdasarkan luas ruangan dengan menentukan grid-grid dengan ukuran tertentu. Titik pertemuan grid-grid tersebut akan menjadi titik-titik pengukuran tingkat penerangan. Uraian lebih lanjut adalah sebagai berikut:
Gambar 3.1. Denah Pengukuran Intensitas Penerangan untuk Luas Ruangan Kurang dari 10 m2
4
Republik Indonesia. SNI 16-7062-2004: Pengukuran Intensitas Penerangan di Tempat Kerja, 2004
(8)
2. Luas ruangan antara 10 m2 – 100 m2 maka titik potong garis horizontal panjang dan lebar ruangan adalah pada jarak setiap 3 meter. Gambar 3.2. menunjukkan denah pengukuran intensitas penerangan umum untuk luas ruangan 10 m2 – 100 m2.
Gambar 3.2. Denah Pengukuran Intensitas Penerangan untuk Luas Ruangan 10 m2 – 100 m2
3. Luas ruangan > 100 m2 maka titik potong garis horizontal panjang dan lebar ruangan adalah pada jarak setiap 6 meter. Gambar 3.3. menunjukkan denah pengukuran intensitas penerangan umum untuk luas ruangan > 100 m2.
Gambar 3.3. Denah Pengukuran Intensitas Penerangan untuk Luas Ruangan Lebih dari 100 m2
(9)
3.6.2. Pengukuran Tingkat Luminansi5
Tingkat luminansi untuk bidang kerja diukur dengan menggunakan luxmeter. Pengukuran tingkat luminansi dilakukan dengan meletakkan sensor cahaya menghadap ke permukaan objek yang akan diukur tingkat luminansinya pada jarak 2 sampai 4 inchi hingga angka pembacaan pada layar luxmeter stabil. Posisi sensor harus diatur sedemikian rupa untuk menghindari jatuhnya bayangan alat ataupun operator pada area yang akan diukur.
3.6.3. Pengukuran Reflektansi 6
Metode pengukuran reflektansi terbagi menjadi dua cara, yaitu metode perbandingan sampel diketahui dan metode cahaya datang-cahaya pantul. Metode perbandingan sampel diketahui menggunakan suatu kartu pengukur reflektansi dan digunakan untuk mengukur reflektansi pada permukaan yang memantulkan cahaya secara difusi (menyebar). Metode cahaya datang-cahaya pantul digunakan untuk menentukan reflektansi (dalam persen) pada permukaan yang memantulkan cahaya atau tidak mengkilap. Metode ini terdiri dari tiga langkah, yaitu sebagai berikut:
1. Mengukur intensitas cahaya yang jatuh ke permukaan objek
2. Mengukur intensitas cahaya yang dipantulkan dari permukaan objek
3. Menghitung reflektansi permukaan objek dengan cara membagi angka intensitas cahaya pantul dengan intensitas cahaya yang diterima
5
M. David Egan. Concepts in Architectural Lighting. (New York: McGraw Hill School Education Group, 1983), h. 87
(10)
3.7. Perhitungan Kebutuhan Penerangan Ruangan
Terdapat dua cara menghitung penerapan yang umum dilakukan, yaitu metode titik dan metode lumen. Metode titik sangat sederhana dan digunakan untuk menghitung penerangan dari sumber cahaya yang dapat dianggap sebagai titik, misalnya penerangan sebuah lampu ke bidang kerja atau ke lukisan di dinding. Metode ini mengabaikan faktor pantulan dari permukaan sekitar. Sedangkan metode lumen digunakan untuk menghitung penerangan dari sumber cahaya yang berbentuk bidang seperti fluorescent di langit-langit.
3.7.1. Metode Titik7
Dengan,
E = Iluminasi (lux)
I = Arus cahaya dari sumber cahaya ke arah titik yang disinari (lm) d = Jarak lampu ke titik bidang yang disinari (m)
β = Sudut datang sinar (dihitung antara garis tegak lurus bidang dan sinar)
Untuk menghitung iluminasi di satu titik oleh satu lampu maka digunakan rumus sebagai beriku :
3.7.2. Metode Lumen
Untuk menghitung penerangan di satu titik oleh suatu sumber cahaya, terdapat hubungan:
7
(11)
E = ϕ/A Dengan,
E = Iluminasi rata-rata (lux)
Φ = Total arus cahaya di bidang bersangkutan (lumen) A = Luas area (m2)
Namun pada kenyataannya terdapat berbagai faktor lain yang mempengaruhi perhitungan penerangan di suatu titik, yaitu distribusi intensitas cahaya luminer, efisiensi, bentuk dan ukuran ruang, pemantulan permukaan, ketinggian lampu dari bidang kerja, faktor kehilangan cahaya yang menunjukkan penyusutan lumen pada lampu serta berkurangnya terang lampu akibat timbunan debu selama usia nyalanya. Sehingga untuk menghitung iluminasi menjadi:
� = (L. N). CU. LLF
�
Di mana:
L :Total lumen awal per luminer N : Jumlah luminer
CU : Coeffiecient of utillization LLF : Light-loss factor
A : Luas ruangan
Coefficient of utilization (CU) adalah perbandingan lumen pada permukaan
bidang kerja dengan lumen yang dipancarkan oleh lampu. Nilai CU yang tinggi menunjukkan bahwa banyak cahaya yang sampai pada permukaan bidang kerja. Nilai CU dipengaruhi oleh reflektansi permukaan ruangan, ukuran dan bentuk ruangan, lokasi luminer, dan rancangan luminer. Ukuran dan bentuk ruangan memiliki
(12)
pengaruh yang besar terhadap nilai CU. Sebagai contoh, pada ruangan yang kecil akan lebih banyak cahaya yang diserap oleh dinding daripada ruangan luas dengan langit-langit yang rendah.10 Dalam perhitungan nilai CU diperlukan pembagian
ruangan menjadi tiga zona, yaitu rongga langit-langit (ceiling cavity), rongga ruang (room cavity), dan rongga lantai (floor cavity). Proporsi geometris rongga langit-langit ruang dan lantai disebut perbandingan rongga (cavity ratio). Rumus umum dari perbandingan rongga adalah sebagai berikut:
Perbandinganrongga = hc Kelilingruang
���� �����
Dalam beberapa buku tentang pencahayaan akan ditemukan singkatan sebagai berikut:
CCR (Ceiling Cavity Ratio) : Perbandingan rongga langit-langit RCR (Room Cavity Ratio) : Perbandingan rongga ruang FCR (Floor Cavity Ratio) : Perbandingan rongga lantai
Hc : Jarak bidang luminer ke langit-langit (tinggi rongga langit-langit) Hr : Jarak bidang luminer ke bidang kerja (tinggi rongga ruang) Hf : Jarak bidang kerja ke lantai (tinggi rongga lantai)
Dengan demikian untuk menghitung CCR, rumus cavity ratio dapat diubah menjadi:
CCR = 5hcc Kelilingruang
���� �����
Untuk RCR menjadi:
RCR = 5hrc Kelilingruang
���� �����
(13)
FCR = 5hfc W + L
��
Setelah nilai CU ditentukan, maka perlu memproyeksikan kemungkinan lain yang dapat mempengaruhi jumlah cahaya yang akan mencapai permukaan bidang kerja. The Illuminating Engineering Society mengidentifikasikan faktor-faktor berikut ini sebagai kemungkinannya yang disebut sebagai Light Loss Factor (LLF)
1. Luminaire Ambient Temperature (LAT) 2. Voltage to Luminaire (LV)
3. Ballast Factor (BF)
4. Luminaire Surface Depreciation (LSD) 5. Room Surface Dirt Depreciation (RSDD) 6. Luminaire Dirt Depreciation (LDD) 7. Lamp Lumen Depreciation (LLD) 8. Lamp Burnouts (LBO)
Empat faktor pertama termasuk faktor non-recoverable yang berarti bahwa perawatan secara konvensional tidak akan meningkatkan ataupun memperbaiki keempat faktor ini. Sedangkan empat faktor terakhir termasuk faktor recoverableini berarti bahwa perawatan secara konvensional dapat memperbaiki ataupun memperburuk tiap-tiap faktor tersebut12. LLD dan LBO dapat diperbaiki
melalui penggantian lampu secara individual ataupun berkelompok sedangkan RSDD dan LDD ditingkatkan nilainya melalui pembersihan luminer13. LLF kemudian
dihitung dengan mengalikan semua faktor tersebut:
LLF = LAT × LV × BF × LSD × RSDD × LDD × LLD × LBO Berikut ini diuraikan mengenai kedelapan faktor LLF tersebut:
(14)
1. LAT, yaitu suhu di sekitar luminer. Jika lampu beroperasi di lingkungan dengan suhu sesuai dengan desain pabrik maka LAT bernilai 1
2. LV (Voltage Variation), yaitu variasi tegangan listrik. Jika lampu dioperasikan pada voltase seusai desainnya maka VV = 114
3. BF (Ballast Factor), yaitu faktor kehilangan yang ikut berperan dalam ketidakmampuan lampu untuk beroperasi pada level daya tertentu dikarenakan ketidaksesuaian desain balas atau ketidaksesuaian fungsi antar balas dengan lampu
4. LSD (Luminaire Surface Depreciation), yaitu menunjukkan penurunan kualitas material yang digunakan pada struktur luminer, termasuk perubahan warna pada permukaannya. Walaupun faktor ini diakui di komunitas pencahayaan, tetapi LSD tidak memiliki nilai yang terpublikasi.
5. RSDD dan LDD dikuantifikasikan dalam bentuk tabel yang disajikan oleh IESNA. Prosesnya kemudian disederhanakan dengan menggunakan persamaan berikut untuk menemukan persen depresiasi akibat pengotoran:
LDD = e−AtB16
6. LBO (Lamp Burnout), yaitu perkiraan jumlah lampu yang mati sebelum waktu penggantian yang direncanakan. Apabila lampu diganti seluruhnya secara bersamaan, maka LBO bernilai 1 sedangkan apabila penggantian hanya pada lampu yang mati maka LBO bernilai 0,95.
(15)
7. LLD (Lamp Lumen Depreciation), yaitu faktor depresiasi lumen yang tergantung pada jenis lampu dan waktu penggantiannya. Nilainya biasa tertera pada produk8
3.8. Uji Kenormalan Data dengan Kolmogorov – Smirnov
Uji kolmogorov-smirnov adalah uji yang digunakan untuk mengganti uji kuadrat chi untuk dua sampel yang independen. Data yang diperlukan dapat berupa kontinu atau diskrit, data ordinal atau bukan, dan dapat digunakan untuk sampel besar atau kecil. Kelebihan uji kolmogorov-smirnov adalah sederhana dan tidak menimbulkan perbedaan persepsi antar pengamat yang satu dengan pengamat yang lain. Uji ini membandingkan distribusi frekuensi kumulatif hasilpengamatan dengan distribusi frekuensi kumulatif yang diharapkan. Langkah-langkah pengujian ini adalah sebagai berikut:
1. Menyusun data hasil pengamatan mulai dari nilai pengamatan terkecil hingga terbesar
2. Menyusun distribusi kumulatif relatif dari nilai pengamatan tersebut dan menotasikannya dengan Fa (X)
3. Menghitung nilai Z dengan rumus Z = (X - X )/σ, di mana Z adalah standar baku pada distribusi normal, X adalah nilai data, X adalah rata-rata, dan σ merupakan standar deviasi
4. Menghitung distribusi frekuensi kumulatif teoritis yang dinotasikan dengan Fe (X)
8
(16)
5. Menghitung selisih antara Fa (X) dengan Fe (X) sebagai nilai D 6. Menentukan angka maksimum dari nilai D
7. Membandingkan nilai D maksimum dengan Dalpha lalu menarik kesimpulan di mana H0 diterima (data berdistribusi normal) bila D maksimum ≤ Dalpha dan
H0 ditolak apabila diperoleh sebaliknya.
3.9. Uji Korelasi Pearson Product Moment
Korelasi Pearson Product Moment (r) dikemukakan oleh Karl Pearson tahun 1900. Kegunaannya untuk mengetahui derajat hubungan dan kontribusi variabel bebas dengan variabel terikat. Uji Korelasi Pearson Product Moment termasuk uji statistik parametrik yang menggunakan data interval dan ratio dengan persyaratan tertentu. Misalnya: data dipilih secara acak (random); datanya berdistribusi normal; data yang dihubungkan berpola linier; dan data yang dihubungkan mempunyai pasangan yang sama sesuai dengan subjek yang sama. Rumus yang digunakan adalah:
Uji Korelasi Pearson Product Moment dilambangkan (r) dengan ketentuan nilai r tidak lebih dari harga (-1< r < + 1). Apabilah nilai r = -1 artinya korelasinya negatif sempurna; r = 0 artinya tidak ada korelasi dan r = 1 berarti korelasinya sangat kuat. Sedangkan arti harga r akan dikonsultasikan dengan tabel interpretasi nilai r yang ditunjukkan pada Tabel 3.2.
(17)
Tabel 3.2 Interpretasi Koefisien Korelasi Nilai R Interval Koefisien Tingkat
Hubungan 0,80 – 1,000 Sangat Kuat 0,60 – 0,799 Kuat 0,40 – 0,599 Cukup Kuat 0,20 – 0,399 Rendah 0,00 – 0,199 Sangat Rendah
3.10. Efek Iluminasi terhadap Mata
Fungsi mata adalah sebagai indra penglihatan. Mata dibentuk untuk menerima rangsangan berkas-berkas cahaya pada retina, dengan perantara serabut-serabut nervus optikus mengalihkan rangsangan ini ke pusat penglihatan pada otak untuk ditafsirkan. Untuk jenis pekerjaan yang berbeda, dibutuhkan intensitas penerangan yang berbeda pula.
Penerangan ruang kerja yang kurang dapat mengakibatkan kelelahan mata, akan tetapi penerangan yang terlalu kuat dapat menyebabkan kesilauan. Penenrangan yang memadai bia menyebabkan Astenopia (kelelahan mata) dan mempertinggi kecepatan dan efisien membaca.
Kelelahan mata disebabkan oleh stress yang terjadi pada fungsi penglihatan. Stress pada otot akomodasi dapat terjadi pada saat seseorang dapat berupaya untuk melihat pada obyek berukuran kecil dan pada ajarak yang dekat dalam waktu yang lama. Pada kondisi demikian otot-otot mata akan bekerja secara terus - menerus dan lebih dipaksakan. Ketegangan otot-otot pengakomodasi (otot-otot siliar) makin besar sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan sebagai akibatnya terjadi kelelahan mata stress pada retina dapat terjadi bila terdapat kontras yang berlebihan dalam lapangan penglihatan dan waktu
(18)
pengamatan yang cukup lama.
Kelelahan Mata dapat ditandai dengan adanya :
1. Iritasi pada mata (mata pedih, merah, dan mengeluarkan air mata) 2. Penglihatan ganda (Double Vision)
3. Sakit sekitar mata
4. Saya akomodasi menurun
5. Menurunnya ketajaman penglihatan kepekaan terhadap kontras 6. dan kecepatan persepsi
3.11. Flicker Fusion-Frequency
Flicker fusion-frequencyadalah suatu teknik untuk menggambarkan hasil yang realistis dan dapat diulang. Subjek (orang) yang diteliti melihat pada sebuah sumber cahaya yang dinyalaka dengan energi yang berfrekuensi rendah dan berkedip-kedip (flickering). Frekuensi berkedipnya dinaikkan sampai subjeknya merasakan bahwa cahaya yang berkedip tersebut sudah dinaikkan sampai subjeknya merasakan bahwa cahaya yang berkedip dianggap sebagai garis lurus memberikan kesan bahwa subjek yang diteliti berada pada kondisi lelah. Sedangkan subek yang lelah tidak mampu mendeteksi cahaya yang berkedip. Pada saat istirahatfusing terjadi dengan 35 sampai 40 Hz. Setelah bekerja dengan beban kognitif akan terjadi pengurang fusing 0,5 sampai 0,7 Hz.
(19)
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di PT. Pabrik Es Siantar yang berproduksi membuat minuman sarsaparilla yang berlokasi di Jln. Pematang No. 3 (Siantar Barat), Kota Pematangsiantar, Sumatera, Indonesia. Waktu penelitian dilakukan pada bulan April 2016 sampai dengan bulan Juli 2016.
4.2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif korelasional yang
merupakan jenis penelitian yang menjelaskan fakta lapangan dari objek yang diteliti
serta mendeteksi sejauh mana hubungan antar variabel dalam penelitian berdasarkan
koefisien korelasi yaitu tingkat iluminasi terhadap hasil kerja stasiun quality control 1 dan quality control 2. Penelitian ini juga termasuk dalam jenis penelitian asosiatif
dengan menilik dari kemampuannya dalam menjelaskan yaitu mengetahui hubungan
antar variabel yang diamati.
4.3. Objek Penelitian
Objek yang diteliti dalam penelitian ini adalah pencahayaan di lantai produksi PT. Pabrik Es Siantar.
(20)
4.4. Variabel Penelitian
Pada penelitian ini terdapat variabel-variabel yang dikelompokkan ke dalam variabel independen dan variabel dependen, yaitu sebagai berikut:
1. Variabel Independen
Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi variabel dependen baik secara negatif maupun positif. Variabel yang termasuk ke dalam variabel ini yaitu daya lampu tidak sesuai , jarak lampu terhadap bidang tidak tepat ,iluminasi, luminansi dan luas ruangan.
2. Variabel Dependen
Variabel dependen adalah variabel yang nilainya dipengaruhi oleh variabel lain.
Variabel yang termasuk ke dalam variabel ini adalah perbaikan rancangan
pencahayaan.
4.5. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual merupakan suatu bentuk kerangka berpikir yang dapat digunakan sebagai pendekatan dalam pemecahan masalah. Biasanya kerangka penelitian ini menggunakan pendekatan ilmiah dan memperlihatkan hubungan antar variabel dalam proses analisisnya. Kerangka konseptual penelitian ini dilihat pada Gambar 4.1.
(21)
Kualitas produk menurun Daya lampu
tidak sesuai Jarak lampu terhadap bidang
tidak tepat
Iluminasi Perbaikan
rancangan pencahayaan
Luas ruangan Luminansi
Gambar 4.1. Kerangka Konseptual Penelitian
4.6. Pelaksanaan Penelitian
Pengukuran tingkat iluminasi lantai produksi dilakukan selama lima hari (satu minggu kerja) dengan empat kali waktu pengukuran dalam satu hari, yaitu pukul 09.00 Wib, 11.00 Wib, 13.00 Wib dan 15.00 Wib. Penentuan titik dilakukan berdasarkan aturan pengukuran iluminasi SNI 16-7062-2004 (Pengukuran Intensitas Penerangan di Tempat Kerja), yaitu dengan menggunakan grid-grid berukuran tertentu sesuai dengan luas area yang akan diukur tingkat iluminasinya. Penentuan titik ukur tingkat iluminasi lantai produksi PT. Pabrik Es Siantar terdiri atas dua area pengukuran. Area pertama adalah stasiun quality control 1 dengan luas 9,92 m2(luas ruas ruangan kurang dari 10 m2) menggunakan jarak grid pengukuran 1 m × 1 m dan diperoleh empat titik pengukuran. Area kedua adalah area stasiun quality control 2 dengan luas 9,92 m2 (luas ruangan kurang dari 10 m2) menggunakan jarak grid pengukuran 1 m × 1 m dan diperoleh empat titik pengukuran.. Besar lux untuk tingkat iluminasi dan tingkat luminansi dilakukan pengukuran pada semua objek yang berada di stasiun kerja, yaitu meliputi lantai, dinding, mesin produksi, dan meja-meja bahan. Pengamatan terhadap hasil kerja stasiun quality control 1 dan quality control 2 dilakukan untuk mendapatkan jumlah produk cacat yang lolos inspeksi di stasiun
(22)
kerja. Pengamatan dilakukan secara manual selama lima hari. Pencatatan dilakukan pada lembar pengamatan yang berisi jenis-jenis kecacatan produk dan jumlah produk cacat yang lolos inspeksi untuk tiap-tiap jenis kecacatan.
Pada perhitungan kelelahan mata dengan menggunakan flicker fusion
frequency data yang diperoleh berdasarkan hasil pengamatan diolah sesuai dengan
teknik analisis data yang digunakan. Flicker fusion frequency digunakan untuk menghitung waktu respon kecepatan melihat rangsangan kedipan cahaya. Jumlah operator yang diukur ada 4 orang dan pengukuran dilakukan 4 kali yaitu sebelum bekerja dan sesudah bekerja yaitu pada pukul 09.00 wib, 11.00 wib, 13.00 wib, 15.00 wib. Prosedur penggunaan flicker fusion frequency yaitu :
1. Alat dihidupkan (ON), subjek melihat cahaya yang ada didalam alat dengan menempelkan mata pada tempat yang disediakan.
2. Subjek melihat cahaya yang berkedip sampai cahaya tersebut sudah tidak berkedip lagi atau sudah menjadi titik maka subjek langsung menekan tombol STOP dasn etelah itu peneliti mencatat waktu.
Dalam penelitian ini, ada beberapa teknik analisis data yang digunakan yaitu : 1. Perhitungan rata-rata iluminasi, luminansi dan flicker fusion frequency (Hz) 2. Uji normalitas data dengan menggunakan uji kolmogorov-smirnov
uji kolmogorov-smirnov adalah distribusi frekuensi kumulatif hasil pengamatan dengan distribusi frekuensi kumulatif yang diharapkan (actual observed cumulative frequency dengan expected cumulative frequency).
3. Perhitungan korelasi antara iluminasi dengan kelelahan mata (flicker fusion frequency), dengan menggunakan rumus
(23)
4.7. Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan berisikan hal-hal penting dari penelitian yang merupakan tujuan dari penelitian. Selain dari kesimpulan, diberikan juga saran yang membangun bagi perusahaan usulan perbaikan kepada pihak perusahaan untuk mengimplementasikan hasil penelitian ini.
4.8. Rancangan Penelitian
(24)
Studi Lapangan
Melalui pengamatan di lantai produksi stasiun quality 1 dan 2
Identifikasi Tingkat Pencahayaan 1. Tingkat iluminansi lantai produksi belum me 2. Terdapat banyak jumlah produk cacat yang lo
Mulai
Tujuan Penelitian
1. Analisis kondisi pencahayaan lantai prod
2.Analisis pengaruh tingkat iluminasi terhadap hasil kerja stasiu
Pengolahan Data 1. Menghitung tingkat iluminasi lantai produksi rata-rata
Data Primer : 1. Tingkat Iluminasi 2. Tingkat Luminansi
3. Hasil kerja stasiun quality 1 dan 2 4. Data Dimeni ruangan
(25)
BAB V
PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
5.1. Pengumpulan Data
Data yang diperlukan pada penelitian ini adalah tingkat iluminasi dan tingkat luminansi pada material objek di stasiun kerja quality control 1 dan quality control 2.
5.1.1. Tingkat Iluminasi pada Lantai Produksi
Tingkat iluminasi di lantai produksi diukur dengan menggunakan alat 4 in 1 environmental meter. Penentuan titik ukur tingkat iluminasi, dibagi menjadi dua area pengukuran. Area pertama adalah stasiun kerja quality control 1 dengan luas 9,92 m2 yang menggunakan grid pengukuran 1 m × 1 m sehingga diperoleh empat titik pengukuran. Gambar 5.1 menunjukkan layout stasiun kerja quality control 1
(26)
Tabel 5.1. Tingkat Iluminasi di Area Pengukuran Quality Control 1 Pukul (WIB) Titik
Ukur 1
Titik Ukur 2
Titik Ukur 3
Titik Ukur 4 Pengamatan I
09.00 22,80 46,92 23,33 43,47
11.00 23,57 47,29 29,00 44,73
13.00 24,43 40,43 29,40 45,23
15.00 31,23 47,55 28,20 43,17
Pengamatan II
09.00 26,40 48,56 29,40 45,21
11.00 29,35 42,45 28,53 47,77
13.00 30,19 41,77 26,86 42,35
15.00 27,90 45,58 29,34 46,07
Pengamatan III
09.00 30,36 47,20 25,55 49,23
11.00 26,67 45,08 24,90 45,45
13.00 32,90 42,75 24,07 44,60
15.00 27,18 48,64 20,80 41,78
Pengamatan IV
09.00 31,70 48,33 23,07 44,09
11.00 32,22 48,28 24,00 44,42
13.00 32,53 47,15 21,97 43,57
15.00 28,89 44,39 20,13 40,82
Pengamatan V
09.00 34,87 47, 34 23,92 44,12
11.00 31,78 46,49 22,25 43,57
13.00 30,90 42,10 21,76 42,81
15.00 27,80 41,07 19,62 39,95
Area kedua adalah area stasiun kerja quality control 2 dengan luas 9,92 m2 yang menggunakan grid pengukuran 1 m × 1 m sehingga diperoleh empat titik pengukuran. Gambar 5.2 menunjukkan layout stasiun kerja quality control 2 beserta
(27)
Gambar 5.2. Layout Titik Pengukuran Iluminasi di Quality Control 2
Tabel 5.2. Tingkat Iluminasi di Area Pengukuran Quality Control 2 Pukul (WIB) Titik
Ukur 1
Titik Ukur 2
Titik Ukur 3
Titik Ukur 4 Pengamatan I
09.00 20,23 36,70 19,49 43,45
11.00 25,37 40,24 23,57 41,26
13.00 21,67 41,66 24,75 42,08
15.00 28,83 39,15 26,20 41,43
Pengamatan II
09.00 23,17 41,23 19,27 47,30
11.00 24,30 44,17 24,77 44,67
13.00 22,63 40,57 29,40 44,53
(28)
Tabel 5.2. Tingkat Iluminasi di Area Pengukuran Quality Control 2 (Lanjutan)
Pukul (WIB) Titik Ukur 1
Titik Ukur 2
Titik Ukur 3
Titik Ukur 4 Pengamatan III
09.00 27,50 43,90 31,97 40,40
11.00 30,87 42,37 28,27 38,17
13.00 26,63 42,23 32,97 40,23
15.00 32,13 39,57 34,40 36,50
Pengamatan IV
09.00 37,70 42,77 33,47 43,60
11.00 39,90 44,27 29,03 43,40
13.00 36,23 43,57 29,90 42,00
15.00 39,67 45,23 30,20 44,47
Pengamatan V
09.00 40,13 43,73 32,20 42,10
11.00 39,20 42,17 29,40 41,13
13.00 49,27 40,10 30,23 39,70
15.00 41,10 40,83 28,40 40,90
5.1.2. Data Tingkat Luminansi dan Tingkat Iluminasi Material Objek Stasiun Kerja Quality Control 1 dan Quality Control 2
Tingkat luminansi dan tingkat iluminasi diukur pada material objek yang berada di stasun kerja quality control 1 dan quality control 2. Tahapan
pengukuran tingkat luminansi dan tingkat iluminasi:
1. Hidupkan alat 4 in 1 environmental meter dan buka penutup sensor cahaya. 2. Letakkan sensor pada material objek (dinding, meja bahan, meja tinta,
mesin-mesin produksi, dan lantai) yang akan diukur tingkat iluminasinya dengan posisi sensor menghadap ke sumber cahaya.
3. Catat tingkat iluminasi (A) yang tertera pada layar ke form pengamatan.
4. Balik sensor dan tarik menjauhi material objek dengan jarak 2 inchi pada satu garis normal dan tunggu sampai angka pada display tidak bergerak lagi.
(29)
5. Catat tingkat luminansi (B) yang tertera pada layar ke form pengamatan.
Hasil pengukuran untuk masing-masing material objek pada stasiun kerja quality control 1 dan quality control 2 disajikan pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3. Tingkat Iluminasi dan Tingkat Luminansi di Stasiun Kerja
Quality Control 1 dan Quality Control 2
No Area Titik Ukur T. Iluminasi
( Lux)
T.Luminansi (Lux)
1 Dinding 1 28,20 14,10
2 32,40 23,50
2 Lantai 1 36,30 5,90
3 Langit-langit 1 77,60 63,90
4 Mesin
Mesin Washer 1 30,60 4,50
Conveyor 1 37,90 7,20
5.1.3. Hasil Kerja Stasiun Quality Control 1
Pengamatan hasil kerja stasiun kerja quality control 1 dilakukan selama lima hari kerja. Pengamatan bertujuan untuk mendapatkan data produk cacat yang lolos inspeksi oleh operator stasiun kerja quality control 1. Jenis kecacatan yang ditemukan adalah
1. Botol kotor atau tidak bersih
(30)
2. Botol retak
Gambar 5.4. Botol Retak
3. Botol sompel
Gambar 5.5. Botol Sompel
(31)
No Pengamatan Hari
Jenis Produk Cacat Lolos Inspeksi
Jumlah (Botol)
X Y Z
1 I 112 80 48 240
2 I 211 72 60 343
3 II 129 56 50 235
4 II 190 89 21 300
5 III 178 62 34 274
6 III 234 55 43 332
7 IV 197 41 46 284
8 IV 209 90 50 349
9 V 205 79 52 336
10 V 227 87 65 379
Keterangan : X = Botol kotor Y = Botol retak Z = Botol sompel
Grafik yang menggambarkan jumlah produk cacat di stasiun quality control 1 yang dilakukan selama lima hari
Gambar 5.6. Grafik Produk Cacat yang Lolos Inspeksi pada Stasiun Quality
Control 1
5.1.4. Hasil Kerja Stasiun Quality Control 2
Pengamatan hasil kerja stasiun kerja quality control 2 juga dilakukan selama lima hari kerja. Pengamatan bertujuan untuk mendapatkan data produk
0 50 100 150 200 250
1 2 3 4 5
B o to l C a ca t (U n it ) Hari Pengamatan
Botol kotor (pagi) Botol kotor (sore) Botol retak (pagi) Botol retak (sore) Botol sompel (pagi) Botol sompel (sore)
(32)
cacat yang lolos inspeksi oleh operator stasiun kerja quality control 2. Jenis kecacatan yang ditemukan adalah
1. Air sarsaparilla kotor
Gambar 5.7. Air Sarsaparilla Kotor
2. Volume air tidak sama
Gambar 5.8. Volume Air Tidak Sama
Tabel 5.5. Produk Cacat Lolos Inspeksi di Stasiun Kerja Quality Control 2 No Pengamatan
Hari
Jenis Produk Cacat Lolos Inspeksi
Jumlah (Botol)
P Q
1 I 65 190 205
(33)
3 II 70 200 270
4 II 63 218 281
5 III 55 197 252
6 III 39 199 238
7 IV 42 203 245
8 IV 52 186 237
9 V 58 216 274
10 V 70 176 246
Keterangan :
P = Air sarsaparilla kotor Q = Volume air tidak sama
Grafik yang menggambarkan jumlah produk cacat di stasiun quality control 2 yang dilakukan selama lima hari.
Gambar 5.9. Grafik Produk Cacat yang Lolos Inspeksi pada Stasiun Quality
Control 2
5.1.5. Kelelahan Mata Operator pada Stasiun Kerja Quality Control 1
Pengamatan hasil kelelahan mata dengan menggunkan alat flicker fusion-frequency dilakukan selama 5 hari dilihat pada Tabel 5.6.
0 50 100 150 200 250
1 2 3 4 5
P ro d u k C a ca t (U n it ) Hari Pengamatan
Air Sarsaparilla kotor (pagi)
Air sarsaparilla kotor (sore)
Volume air tidak sama (pagi)
Volume air tidak sama (sore)
(34)
Tabel 5.6. Kelelahan Mata Operator pada Stasiun Kerja Quality Control 1 Pukul (WIB) Operator
1 (detik)
Operator 2 (detik)
Operator 3 (detik)
Operator 4 (detik) Pengamatan I
09.00 22 19 22 12
11.00 29 25 17 25
13.00 25 23 26 20
15.00 20 21 16 19
Pengamatan II
09.00 28 26 27 27
11.00 23 20 22 24
13.00 24 28 25 27
15.00 20 17 17 16
Pengamatan III
09.00 26 25 24 20
11.00 18 20 19 17
13.00 19 22 20 23
15.00 9 12 6 10
Pengamatan IV
09.00 26 22 28 21
11.00 18 20 20 19
13.00 17 23 23 20
15.00 8 10 14 12
Pengamatan V
09.00 29 27 20 19
11.00 20 14 22 15
13.00 23 19 20 19
15.00 13 20 19 14
Grafik yang menggambarkan kelelahan mata operator di stasiun quality control 1 yang dilakukan selama lima hari.
(35)
Gambar 5.10. Grafik Kelelahan Mata Operator pada Stasiun Quality Control 1
5.1.6. Kelelahan Mata Operator pada Stasiun Kerja Quality Control 2
Pengamatan hasil kelelahan mata dengan menggunkan alat flicker vuission dilakukan selama 5 hari dapat dilihat pada Tabel 5.7.
Tabel 5.7. Hasil Kelelahan Mata Operator pada Stasiun Quality 2 Pukul (WIB) Operator
1 (detik) Operator 2 (detik) Operator 3 (detik) Operator 4 (detik) Pengamatan I
09.00 29 27 17 18
11.00 28 20 16 25
13.00 22 23 26 20
15.00 20 11 13 17
Pengamatan II
09.00 21 26 22 24
11.00 12 20 22 20
13.00 10 21 18 14
15.00 10 13 8 12
Pengamatan III
09.00 17 12 11 19
11.00 12 14 16 13
13.00 15 17 19 20
15.00 10 10 21 11
0 10 20 30 9 La m a K e le la h a n m a ta (D e ti k)
09.00 11.00 13.00 15.00
Quality 1
operator 1 operator 2 operator 3 Operator 4(36)
Tabel 5.7. Hasil Kelelahan Mata Operator pada Stasiun Kerja Quality Control 2 ( Lanjutan)
Pukul (WIB) Operator 1 (detik) Operator 2 (detik) Operator 3 (detik) Operator 4 (detik) Pengamatan IV
09.00 21 14 11 24
11.00 22 12 10 19
13.00 18 17 15 19
15.00 20 10 9 8
Pengamatan V
09.00 19 26 20 21
11.00 16 16 15 13
13.00 15 12 17 10
15.00 12 10 7 5
Grafik yang menggambarkan kelelahan mata operator di stasiun quality control 2 yang dilakukan selama lima hari.
Gambar 5.11. Grafik Kelelahan Mata Operator pada Stasiun Quality Control 2
5.2. Pengolahan Data
Pengolahan data yang dilakukan adalah meliputi perhitungan tingkat iluminasi
rata-rata lantai produksi, menghitung pemerataan pencahayaan, menghitung angka
reflektansi material objek, menghitung jumlah kebutuhan lumen, dan uji korelasi antara
tingkat iluminasi dengan hasil kerja stasiun kerja quality control 1 dan quality control 2
0 10 20 30 9 a m a K e le la h a n m a ta ( D e ti k )
09.00 11.00 13.00 15.00
Quality 2
operator 1 operator 2 operator 3 Operator 4(37)
serta uji korelasi antara tingkat iluminasi dengan kelelahan mata operator stasiun kerja
quality control 1 dan quality control 2.
5.2.1. Perhitungan Tingkat Iluminasi Rata-rata
Data hasil tingkat iluminasi lantai produksi yang diperoleh dari pengukuran, dapat dihitung tingkat iluminasi rata-rata stasiun kerja quality control 1 dan quality control 2. Rekapitulasi rata-rata tingkat iluminasi disajikan pada Tabel 5.8.
Tabel 5.8. Rata-rata Tingkat Iluminasi Stasiun Kerja Quality Control 1 dan Quality Control 2 pada PT. Pabrik Es Siantar
Titik Ukur
Tingkat Iluminasi (Lux) Rata-Rata Hari
I Hari II Hari III Hari IV Hari V Area I
1 25.51 28.46 29.28 31.34 31.34
2 45.55 44.59 45.92 47.04 44.25
3 27.48 28.53 23.83 22.29 21.89
4 44.15 45.35 45.27 43.23 42.61
Q1 35.67 36.73 36.07 35.97 35.02 35.89
Area II
1 24.03 22.70 29.28 38.38 42.43
2 39.44 41.35 42.02 43.96 41.71
3 23.50 26.11 31.90 30.65 30.06
4 42.06 44.38 38.83 43.37 40.96
(38)
Hasil dari rekapitulasi tersebut maka dapat dibuat grafik rata-rata tingkat
iluminasi di lantai produksi pada PT. Pabrik Es Siantar seperti disajikan pada Gambar 5.8.
Gambar 5.12. Rata-rata Tingkat Iluminasi pada Lantai Produksi di PT. Pabrik Es Siantar
Tingkat iluminasi rata-rata lantai produksi PT. Pabrik Es Siantar sebesar 44,84 lux
berada jauh di bawah standar yang ditetapkan oleh Kepmenkes untuk jenis pekerjaan
kasar dan kontinu, yaitu 200 lux.
5.2.2. Perhitungan Angka Reflektansi Material Objek
Setiap objek memantulkan sebagian dari cahaya yang mengenainya.
Perbandingan dari cahaya yang dipantulkan dengan cahaya yang diterima oleh objek
tersebut dikali dengan 100% disebut dengan angka reflektansi material. Reflektansi yang
direkomendasikan untuk pencahayaan industri ditunjukkan pada Tabel 5.9.
0 50 100 150 200 250
1 2 3 4 5
T
in
g
k
a
t
Il
u
m
in
a
si
(L
u
x
)
Pengamatan
ke-Area 1 Area 2
(39)
Tabel 5.9. Rekomendasi Nilai Reflektansi Material untuk Pencahayaan Industri
No Objek Reflektansi (%)
1 Dinding 40 – 60
2 Langit-langit 80 – 90
3 Meja, kursi, mesin, dan peralatan
25 – 45
4 Lantai 20 – 40
Sumber: IESNA Lighting Handbook 9th Edition
Hasil dari tingkat iluminasi dan tingkat luminansi, dapat dihitung angka
reflektansi untuk semua material objek seperti ditunjukkan pada Tabel 5.10.
Tabel 5.10. Hasil Pengukuran Reflektansi Material Objek di Stasiun Kerja Quality Control 1 dan Quality Control 2
No Area A (Lux) B (Lux) Reflektansi (B/A x 100%)
Rekomendasi (%)
1 Dinding 28,20 14,10 50 40-60
32,40 23,50 72.53 40-60
2 Lantai 36,30 5,90 16.25 20-40
38,12 6,84 17.94 20-40
3 Langit-langit 30,00 15,00 50 80-90
4 Mesin
Mesin Washer 30,60 4,50 14.71 25-45
Conveyor 28.01 7,20 25.71 25-45
Keterangan :
A : Tingkat Iluminasi
(40)
Data reflektansi pada Tabel 5.10. disajikan dalam grafik pada Gambar 5.9,5.10 dan 5.11.
Gambar 5.13. Angka Reflektansi Dinding
Gambar 5.14. Angka Reflektansi Lantai
0 10 20 30 40 50 60 70 80 1 2 Re fl e k ta n si ( % ) Titik Ukur
Batas Bawah Nilai Rekomendasi Batas Atas Nilai Rekomendasi Reflektansi (B/A x 100%) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
0 0,5 1 1,5 2 2,5
Re fl e k ta n si ( % ) Titik Ukur
Reflektansi (B/A x 100%)
Batas Bawah Nilai Rekomendasi Batas Atas Nilai Rekomendasi
(41)
Gambar 5.15. Angka Reflektansi Mesin dan Conveyor
Grafik-grafik di atas diketahui bahwa rata-rata angka reflektansi material tidak
melebihi nilai yang direkomendasikan kecuali untuk dinding pada titik ukur 2 yang
memiliki nilai di atas nilai rekomendasi karena dinding di sisi tersebut dilapisi oleh triplek
berwarna putih sehingga meningkatkan angka reflektansinya. Lantai memiliki angka
reflektansi yang rendah disebabkan lantai di stasiun kerja quality contol 1 dan quality
control 2 ini tertutupi oleh air sehingga agak becek dan berdebu maka didapatkan angka reflektansi yang variatif pada beberapa permukaannya. Mesin washer memiliki angka
reflektansi di bawah standar rekomendasi dikarenakan warna mesin yang gelap serta
kotor.
5.2.3. Perhitungan Jumlah Lumen yang Dibutuhkan
Tingkat iluminasi yang diukur merupakan tingkat iluminasi pada penerangan umum dan untuk memperoleh iluminasi dan jumlah luminer yang
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
0 0,5 1 1,5 2 2,5
Re fl e k ta n si ( 5
) Reflektansi (B/A x
100%) Batas Bawah Rekomendasi Batas Atas Nilai Rekomendasi
(42)
dibutuhkan oleh lantai produksi, dapat digunakan salah satu metode perhitungan iluminasi, yaitu metode lumen. Metode lumen mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi penerangan, yaitu distribusi iluminasi, efisiensi, bentuk dan ukuran ruang, reflektansi permukaan, ketinggian lampu dari bidang kerja, CU (Coefficient of Utilization) dan LLF (Light Loss Factor).
Rumus perhitungan tingkat iluminasi pada penerangan umum adalah sebagai
berikut:
� =ϕ. CU. LLF
�
Keterangan:
E : Tingkat iluminasi rata-rata (lux)
Φ : Total arus cahaya di bidang bersangkutan (lumen) CU : Koefisien penggunaan
LLF : Faktor kehilangan cahaya
A : Luas area (m2)
Di mana,
Φ = L × N
Dengan
L : Total lumen awal per luminer
N : Jumlah luminer
Sehingga perhitungan jumlah luminer yang dibutuhkan menjadi sebagai berikut:
Panjang ruangan (L) = 6,1 m
(43)
Tinggi ruangan (H) = 10 m Bilangan pantul langit-langit (ρc) = 0.50
Bilangan pantul dinding (ρw) = 0.61
Bilangan pantul lantai (ρf) = 0.17
Jarak bidang luminer ke langit-langit (hc) = 0.25 m
Jarak bidang kerja ke lantai (hf) = 0.75 m
Jarak bidang luminer ke bidang kerja (hr) = 7 m
Prosedur perhitungan jumlah bola lampu tambahan di stasiun quality control 1 dan quality control 2 adalah sebagai berikut :
1. Perhitungan ceiling cavity ratio (CCR) CCR = 5hc (W+L)/(WL)
CCR = (5)(0.25)(6.2+6.4)/(6.1)(6.4) CCR = 0.4
2. Perhitungan room cavity ratio (RCR) RCR = 5hr (W+L)/(WL)
RCR = (5)(7)(6.2+6.4)/(6.1)(6.4) RCR = 11.1
3. Perhitungan floor cavity ratio (FCR) FCR = 5hf (W+L)/(WL)
FCR = (5)(0.75)(6.2+6.4)/(6.2)(6.4) FCR = 1,19
(44)
4. Perhitungan effective ceiling cavity reflectance (ρcc)
Base reflectanceyang digunakan ρc = 0.5, wall reflectancedigunakan ρw = 0.61, dan cavity ratio digunakan CCR = 0.4
CCR ρc = 50%
ρw = 60%
0.2 49
0.4 ρcc
0.6 46
ρcc = [{(0.4-0.2)/(0.4-0.6)}*(0.49-0.46)] + 0.46
= 0.43
5. Perhitungan effective floor cavity reflectance (ρfc)
Base reflectance digunakan ρf = 0.17, wall reflectance digunakan ρw = 0.61, dan cavity ratio digunakan FCR = 1,19
ρf = 20% FCR = 1.2
ρw = 60% 20
ρw = 61% X
ρw = 70% 22
x = [{(0.7-0.61)/(0.7-0.60)}*(0.20-0.22)] + 0.22 = 0.24
ρf = 20% FCR = 1,0
ρw = 60% 12
(45)
ρw = 70% 13
x = [{(0.7-0.061)/(0.7-0.60)}*(0.13-0.12)] + 0.13 = 0.14
FCR ρf = 17%
ρw = 61%
1.0 12.0
1.2 ρcc
1.4 13.0
ρfc = [{(1.4-1.2)/(1.4-1.0)}*(0.12-0.13)] + 0.13
= 0.13
6. Perhitungan coefficient of utilization (CU)
Diketahui bahwa ρcc = 0.43, ρfc = 0.13, RCR = 11.1, dan ρw = 0.61.
RCR = 10 ρcc = 40%
ρw = 60% 15
ρw = 61% X
ρw = 70% 20
CU = [{(0.7-0.61)/(0.7-0.6)}*(0.15-0.20)] + 0.20 = 0.16
7. Penentuan nilai luminaire ambient temperature (LAT)
Lampu beroperasi dilingkungan normal sesuai desain pabrik (suhu 31-34oC) maka LAT sebesar 1
(46)
8. Penentuan nilai voltage variation (VV)
Lampu diasumsikan beroperasi sesuai desain voltase sehingga VV = 1 9. Penentuan nilai luminaire surface depreciation (LSD)
Faktor ini menunjukkan penurunan kualitas struktur luminer, namun faktor ini tidak memiliki nilai yang dipublikasikan (Joseph B. Murdock, 1994) 10. Penentuan nilai ballast factor (BF)
Ballast diasumsikan sesuai dengan desain lampu sehingga BF bernilai 1. 11. Penentuan nilai luminaire dirt depreciation (LDD)
Lampu yang dipilih termasuk kategori IV dimana menggunakan pencahayaan langsung sehingga memiliki nilai LDD sebesar 0.95.
12. Penentuan nilai room surface dirt depreciation (RSDD)
Jenis pencahayaan yang digunakan adalah pencahayaan langsung dengan kondisi lingkungan termasuk kotor sehingga memiliki nilai sebesar 0.95. 13. Penentuan nilai lamp lumen depreciation (LLD)
Jenis lampu yang digunakan adalah lampu philips essential 23 watt dengan penggantian berdasarkan lampu yang mati sehingga memiliki nilai LLD sebesar 0.85.
14. Penentuan nilai lamp burnout (LBO)
Penggantian lampu dilakukan hanya pada lampu yang mati sehingga memiliki nilai LBO sebesar 0.95.
15. Perhitungan light loss factor (LLF)
LLF = {(BF)(VV)(LSD)(LAT)}{(LDD)(RSDD)(LLD)(LBO)} LLF = {(1.0)(1.0)(1.0)(1.0)}{(0.95)(0.95)(0.85)(1.0)}
(47)
LLF = 0,76
16. Perhitungan flux luminous (jumlah cahaya) yang diperlukan (F) F = (E)x(A)
(CU )x(LLF )
F = (200)x(39.68) (0.16)x(0.76) F = 65263.16
Jenis lampu yang digunakan sebelumnya di pabrik adalah lampu Philips essential 23 watt dengan nominal luminous flux = @1900lumen. Maka jumlah bola lampu yang digunakan seharusnya = �
�1=
65263 ,16
1900 = 20,1≈ 20 buah lampu.
5.2.4. Uji Korelasi Tingkat Iluminasi dengan Hasil Kerja Stasiun Quality
Control 1 dan Quality Control 2
Uji korelasi dilakukan mengetahui derajat asosiasi antar variabel tingkat iluminasi dengan hasil kerja stasiun quality control 1. Tabel 5.11. menunjukkan rekapitulasi data tingkat iluminasi stasiun kerja quality control 1 selama lima hari kerja.
Tabel 5.11. Rekapitulasi Data Tingkat Iluminasi di Stasiun Quality
Control 1
Hari Ke Pukul ( WIB)
Area Pengukuran (Lux) Rata-rata (Lux)
Quality Control 1
I
9 34.13 35.14
11 36.15
13 34.87 36.21
15 37.54
(48)
11 37.03
13 35.29 36.26
15 37.22
III
9 38.09 36.81
11 35.53
13 36.08 35.34
15 34.60
Tabel 5.11. Rekapitulasi Data Tingkat Iluminasi di Stasiun Quality
Control 1 (Lanjutan)
Hari Ke
Pukul ( WIB)
Area Pengukuran (Lux) Rata-rata (Lux)
Quality Control 1
IV
9 36.8 37.02
11 37.23
13 36.31 34.94
15 33.56
V
9 37.56 36.79
11 36.02
13 34.39 33.25
15 32.11
Data tingkat iluminasi tersebut kemudian dikorelasikan dengan data hasil kerja stasiun quality control 1 seperti ditunjukkan pada Tabel 5.12.
Tabel 5.12. Tingkat Iluminasi Stasiun Kerja Quality Control 1 dan Produk Cacat Lolos Inspeksi
No Pengamatan Ke- Tingkat Iluminasi (Lux)
Jumlah Produk Cacat Lolos Inspeksi (Botol)
1 Pagi 35.14 240
2 Sore 36.21 343
3 Pagi 37.21 235
(49)
5 Pagi 36.81 274
6 Sore 35.34 332
7 Pagi 37.02 284
8 Sore 34.94 349
9 Pagi 36.79 336
10 Sore 33.25 379
Sebelum dilakukan uji korelasi, terlebih dahulu dilakukan uji kenormalan
terhadap kedua data tersebut. Uji distribusi normal yang digunakan adalah uji
kolmogorov-smirnov. Berikut ini merupakan langkah-langkah pengujiannya:
1. Data diurutkan dari nilai terkecil hingga ke nilai terbesar lalu diberi urutan nomor, yaitu dari 1 hingga 10.
2. Nilai Fa(X) dihitung dengan membagi nomor data dengan total data, misalnya data no
1 dengan jumlah data 10.
��(�) =nomor data � =
1
10= 0,10
1. Menghitung nilai Z dengan rumus
�= X −X
σ
Diketahui, X =358,97
10 = 35,90; Xi = 35,14 dan σ = 1,2316 sehingga z = 0,6146
2. Mencari nilai distribusi frekuensi kumulatif teoritis yang dinotasikan dengan Fe(X)
pada tabel distribusi normal. Untuk z = 0,6146 diperoleh nilai pada tabel yaitu
0,7422.
3. Menghitung selisih absolut nilai Fa(X) dengan Fe(X) sebagai nilai D D = |Fa(X) – Fe(X)|
(50)
Tabel 5.13. Uji Distribusi Normal Data Tingkat Iluminasi N0 T.Iluminasi X bar Fa(X) STDEV z Fe(X) D
1 35.14 35.90 0.100 1.2316 0.6146 0.7422 -0.6422
2 36.21 35.90 0.200 1.2316 -0.2541 0.4013 -0.2013
3 37.21 35.90 0.300 1.2316 -1.0661 0.1469 -0.1466
4 36.26 35.90 0.400 1.2316 -0.2947 0.4013 -0.0013
5 36.81 35.90 0.500 1.2316 -0.7413 0.2266 0.2734
6 35.34 35.90 0.600 1.2316 0.4523 0.67 -0.07
7 37.02 35.90 0.700 1.2316 -0.9118 0.8289 -0.1289
8 34.94 35.90 0.800 1.2316 0.7770 0.7734 0.0266
9 36.79 35.90 0.900 1.2316 0.8251 0.8023 0.0977
10 33.25 35.90 1.000 1.2316 2.1492 0.9842 0.0158
Dmax 0.2734
4. Menetapkan nilai Dmaks lalu membandingkan nilainya dengan nilai Dσ pada
tabel kolmogorov-smirnov dengan nilai σ = 0,05. Kriteria pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:
H0 = data berdistribusi normal; H1 = data tidak berdistribusi normal H0 diterima apabila D ≤ Dσ dan H0 ditolak apabila D ≥ Dσ
Dmaks yang diperoleh adalah 0,2734 dan Dσ untuk n = 10 dan σ = 0,05 adalah 0,4090, maka: D ≤ Dσ, sehingga Ho diterima.
Dengan cara yang sama dilakukan pengujian kenormalan untuk data jumlah produk cacat lolos inspeksi di stasiun kerja. Rekapitulasi pengujian kenormalan data produk cacat lolos inspeksi di stasiun kerja quality 1 pada Tabel 5.14.
Dmaks yang diperoleh adalah 0,2734 dan Dσ adalah 0,4090, maka: D ≤
Dσ, sehingga Ho diterima. Dengan demikian, data tingkat iluminasi dan data
(51)
Tabel 5.14. Uji Distribusi Normal Data Produk Cacat Lolos Inspeksi No Produk
Cacat Xbar Fa(X) STDEV Z Fe(X) Dmax
1 240 307 0.100 48.3616 1.3854 0.9115 -0.8115 2 343 307 0.200 48.3616 -0.7444 0.2266 -0.0266 3 235 307 0.300 48.3616 0.3888 0.6293 -0.3293 4 300 307 0.400 48.3616 0.1447 0.9265 -0.5265 5 274 307 0.500 48.3616 0.6824 0.7422 -0.2422 6 332 307 0.600 48.3616 -0.5169 0.2912 0.3088 7 284 307 0.700 48.3616 0.4756 0.6736 0.0264 8 349 307 0.800 48.3616 -0.8685 0.8023 -0.0023 9 336 307 0.900 48.3616 -0.5996 0.7088 0.1912 10 379 307 1.000 48.3616 0.4888 0.6736 0.3264 Dmax 0.3264
Setelah dilakukan pengujian distribusi normal, langkah selanjutnya adalah melakukan uji korelasi terhadap kedua data tersebut dan jenis uji korelasi yang digunakan adalah uji korelasi Pearson. Uji korelasi Pearson digunakan untuk menguji korelasi antar dua varian yang berdistribusi normal dan berjenis data interval atau rasio. Tabel 5.15. merupakan tabel bantuan perhitungan koefisien korelasi variabel tingkat iluminasi (X) dan variabel produk cacat lolos inspeksi (Y).
Tabel 5.15. Perhitungan Koefisien Korelasi Variabel X dan Y
No X Y XY X2 Y2
1 35.14 240 15637.30 1234.82 198025 2 36.21 343 22558.83 1311.16 388129 3 37.21 235 18791.05 1384.58 255025 4 36.26 300 21067.06 1314.79 337561 5 36.81 274 19362.06 1354.98 276676 6 35.34 332 20143.80 1248.92 324900 7 37.02 284 19583.58 1370.48 279841 8 34.94 349 20474.84 1220.80 343396
(52)
Tabel 5.15. Perhitungan Koefisien Korelasi Variabel X dan Y (Lanjutan)
No X Y XY X2 Y2
9 36.79 336 22441.90 1353.50 372100 10 33.25 379 20781.25 1105.56 390625 Total 358.97 3072 109965.73 12899.6 964768
Hasil perhitungan pada Tabel 5.15 maka dapat dihitung koefisien korelasi dengan menggunakan rumus uji korelasi Pearson berikut:
�=
n � XiYi−(� Xi)(���=1 Yi)
� �=1
� �=1
�[n ∑��=1 Xi2−(��� Xi)
=1 2][n ∑ Yi2
�
�=1 −(� Yi)2]
� �=1
�= (10)(109965.73)−(358,97)(3072)
�[10)(964768)−(358,97)2)[[(10)(12899.6)−(3072)]2]
�= 0,5780
5.2.4.1. Uji Korelasi Tingkat Iluminasi dengan Hasil Kerja Stasiun Quality
Control 2
Uji korelasi dilakukan mengetahui derajat asosiasi antar variabel tingkat iluminasi dengan hasil kerja stasiun quality control 2. Tabel 5.16. menunjukkan rekapitulasi data tingkat iluminasi di stasiun kerja quality control 2 selama lima hari kerja.
(53)
Tabel 5.16. Rekapitulasi Data Tingkat Iluminasi di Stasiun Quality
Control 2
No Pukul (WIB)
Area Pengkuran II
(Lux) Rata-rata
(Lux)
Quality Control 2
I
9 29.97
31.29
11 32.61
13 32.54
33.22
15 33.9
II
9 32.74
33.61
11 34.48
13 34.28
33.66
15 33.03
III
9 35.94
35.43
11 34.92
13 35.52
35.59
15 35.65
IV
9 39.39
39.27
11 39.15
13 37.93
38.21
15 39.89
V
9 39.54
38.76
11 37.98
13 39.83
38.82
15 37.81
Data tingkat iluminasi tersebut kemudian dikorelasikan dengan data hasil kerja stasiun quality control 2 seperti ditunjukkan pada Tabel 5.17.
(54)
Tabel 5.17. Tingkat Iluminasi Stasiun Kerja Quality Control 2 dan Produk Cacat Lolos Inspeksi
No Pengamatan Ke- Tingkat Iluminasi (Lux)
Jumlah Produk Cacat Lolos Inspeksi (Botol)
1 I 31.29 205
2 I 33.22 280
3 II 33.61 270
4 II 33.66 281
5 III 35.43 252
6 III 35.59 238
7 IV 39.27 245
8 IV 38.91 237
9 V 38.76 274
10 V 38.82 246
Sebelum dilakukan uji korelasi, terlebih dahulu dilakukan uji kenormalan
terhadap kedua data tersebut. Uji distribusi normal yang digunakan adalah uji
kolmogorov-smirnov. Berikut ini merupakan langkah-langkah pengujiannya:
1. Data diurutkan dari nilai terkecil hingga ke nilai terbesar lalu diberi urutan nomor, yaitu dari 1 hingga 10.
2. Nilai Fa(X) dihitung dengan membagi nomor data dengan total data, misalnya data no
1 dengan jumlah data 10.
��(�) =nomor data � =
1
10= 0,10
5. Menghitung nilai Z dengan rumus
�= X −X
(55)
Diketahui, X =358,97
10 = 35,86; Xi = 31,29 dan σ = 2,9082 sehingga z = 0,6146
6. Mencari nilai distribusi frekuensi kumulatif teoritis yang dinotasikan dengan Fe(X)
pada tabel distribusi normal. Untuk z = 0,6146 diperoleh nilai pada tabel yaitu
0,9394.
7. Menghitung selisih absolut nilai Fa(X) dengan Fe(X) sebagai nilai D D = |Fa(X) – Fe(X)|
= |0,1000 – 0,7422| = -0,8394
Tabel 5.18. Uji Distribusi Normal Data Tingkat Iluminasi N0 T.Iluminasi X bar Fa(X) STDEV z Fe(X) D
1 31.29 35.86 0.100 2.9082 1.5714 0.9394 -0.8394 2 33.22 35.86 0.200 2.9082 0.9078 0.8289 -0.6289 3 33.61 35.86 0.300 2.9082 0.7737 0.7734 -0.4734 4 33.66 35.86 0.400 2.9082 0.7565 0.7734 -0.3734 5 35.43 35.86 0.500 2.9082 0.1479 0.5596 -0.0596 6 35.59 35.86 0.600 2.9082 0.0928 0.5199 0.0801 7 39.27 35.86 0.700 2.9082 1.1725 0.8749 -0.1749 8 38.91 35.86 0.800 2.9082 1.0488 0.8531 -0.0531 9 38.76 35.86 0.900 2.9082 0.9972 0.8289 0.0711 10 38.82 35.86 1.000 2.9082 1.0178 0.8531 0.1469 Dmax 0.1469
8. Menetapkan nilai Dmaks lalu membandingkan nilainya dengan nilai Dσ pada
tabel kolmogorov-smirnov dengan nilai σ = 0,05. Kriteria pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:
H0 = data berdistribusi normal; H1 = data tidak berdistribusi normal H0 diterima apabila D ≤ Dσ dan H0 ditolak apabila D ≥ Dσ
(56)
Dmaks yang diperoleh adalah 0,1469 dan Dσ untuk n = 10 dan σ = 0,05 adalah 0,4090, maka: D ≤ Dσ, sehingga Ho diterima.
Dengan cara yang sama dilakukan pengujian kenormalan untuk data jumlah produk cacat lolos inspeksi di stasiun kerja quality control 2. Rekapitulasi pengujian kenormalan data produk cacat lolos inspeksi di stasiun kerja quality control 2 disajikan pada Tabel 5.19.
Dmaks yang diperoleh adalah 0,1469 dan Dσ adalah 0,4090, maka: D ≤
Dσ, sehingga Ho diterima. Dengan demikian, data tingkat iluminasi dan data
produk cacat lolos inspeksi teruji berdistribusi normal.
Tabel 5.19. Uji Distribusi Normal Data Produk Cacat Lolos Inspeksi No Produk
Cacat Xbar Fa(X) STDEV Z Fe(X) Dmax
1 205 253 0.100 23.9017 2.0082 0.5793 -0.4793 2 280 253 0.200 23.9017 -1.1296 0.12551 0.0745 3 270 253 0.300 23.9017 -0.7112 0.2266 0.0734 4 281 253 0.400 23.9017 -1.1715 0.1251 0.2749 5 252 253 0.500 23.9017 0.0418 0.5199 -0.0199 6 238 253 0.600 23.9017 0.6276 0.7422 -0.1422 7 245 253 0.700 23.9017 0.3347 0.6386 0.0614 8 237 253 0.800 23.9017 0.6694 0.7422 0.0578 9 274 253 0.900 23.9017 0.8786 0.8023 0.0977 10 246 253 1.000 23.9017 0.2929 0.5987 0.4013 Dmax 0.4013
Setelah dilakukan pengujian distribusi normal, langkah selanjutnya adalah melakukan uji korelasi terhadap kedua data tersebut dan jenis uji korelasi yang digunakan adalah uji korelasi Pearson. Uji korelasi Pearson digunakan untuk menguji korelasi antar dua varian yang berdistribusi normal dan berjenis data interval atau rasio. Tabel 5.20. merupakan tabel bantuan perhitungan koefisien
(57)
korelasi variabel tingkat iluminasi (X) dan variabel produk cacat lolos inspeksi (Y).
Tabel 5.20. Perhitungan Koefisien Korelasi Variabel X dan Y
No X Y XY X2 Y2
1 31.29 205 6414.45 979.06 42025 2 33.22 280 9301.60 1103.57 78400 3 33.61 270 9074.70 1129.63 72900 4 33.66 281 9458.46 1133.00 78961 5 35.43 252 8928.36 1255.28 63504 6 35.59 238 8470.42 1266.65 56644 7 39.27 245 9621.15 1542.13 60025 8 38.91 237 9221.67 1513.99 56169 9 38.76 274 10620.24 1502.34 75076 10 38.82 246 9549.72 1506.99 60516 Total 358.56 2528 90660.77 12932.64 644220
Hasil perhitungan pada Tabel 5.20. maka dapat dihitung koefisien korelasi dengan menggunakan rumus uji korelasi Pearson berikut:
�=
n � XiYi−(� Xi)(���=1 Yi)
� �=1
� �=1
�[n ∑��=1 Xi2−(���=1 Xi)2][n ∑��=1 Yi2−(���=1 Yi)2]
�= (10)(200841,67)−(358,97)(5600)
�[10)(12899,60)−(358,97)2)[[(10)(3166278)−(5600)]2]
�= 0,5268
5.2.5. Uji Korelasi Tingkat Iluminasi dengan Kelelahan Mata Operator di Stasiun Kerja Quality Control 1
(58)
Uji korelasi dilakukan mengetahui derajat asosiasi antar variabel tingkat iluminasi dengan kelelahan mata operator kerja stasiun quality control 1.
Tabel 5.21. menunjukkan rekapitulasi data tingkat iluminasi di stasiun kerja quality control 1 selama lima hari kerja.
Tabel 5.21. Rekapitulasi Data Tingkat Iluminasi di Stasiun Quality
Control 1
No Pukul ( WIB)
Area Pengukuran (Lux) Rata-rata (Lux)
Quality Control 1
I
9 34.13 35.14
11 36.15
13 34.87 36.21
15 37.54
II
9 37.39 37.21
11 37.03
13 35.29 36.26
15 37.22
III
9 38.09 36.81
11 35.53
13 36.08 35.34
15 34.60
IV
9 36.8 37.02
11 37.23
13 36.31 34.94
15 33.56
V
9 37.56 36.79
11 36.02
13 34.39 33.25
15 32.11
Data kelelahan mata operator pada staiun kerja quality control 1 dapat dilihat pada Tabel 5.22.
(59)
Tabel 5.22. Rekapitulasi Data Kelelahan Mata Operator di Staisun Kerja Quality Control 1
Pukul (WIB) Operator 1 Rata-rata (detik) Pengamatan I
9 22
25.5
11 29
13 25
22.5
15 20
Pengamatan II
9 28
25.5
11 23
13 24
22
15 20
Pengamatan III
9 26
22
11 18
13 19
14
15 9
Pengamatan IV
9 26
22
11 18
13 17
12.5
15 8
Pengamatan V
9 29
24.5
11 20
13 23
18
15 13
Data iluminasi tersebut kemudian dikorelasikan dengan data kelelahan mata operator kerja stasiun quality control 1 seperti ditunjukkan pada Tabel 5.23.
Tabel 5.23. Tingkat Iluminasi dan Kelelahan Mata Operator 1 di Stasiun Quality Control 1
(60)
No Pengamatan Ke- Tingkat Iluminasi (lux)
Kelelahan Mata Operator 1 (Second)
1 I 35.14 25.50
2 I 36.21 22.50
3 II 37.21 25.50
4 II 36.26 22.00
5 III 36.81 22.00
6 III 35.34 14.00
7 IV 37.02 22.00
8 IV 34.94 12.50
9 V 36.79 24.50
10 V 33.25 18.00
Sebelum dilakukan uji korelasi, terlebih dahulu dilakukan uji kenormalan
terhadap kedua data tersebut. Uji distribusi normal yang digunakan adalah uji
kolmogorov-smirnov. Berikut ini merupakan langkah-langkah pengujiannya:
1. Data diurutkan dari nilai terkecil hingga ke nilai terbesar lalu diberi urutan nomor, yaitu dari 1 hingga 10.
2. Nilai Fa(X) dihitung dengan membagi nomor data dengan total data, misalnya data no
1 dengan jumlah data 10.
��(�) =nomor data � =
1
10= 0,10
9. Menghitung nilai Z dengan rumus
�= X −X
σ
Diketahui, X =358,97
10 = 35,90; Xi = 35,14 dan σ = 1,2316 sehingga z = 0,6146
10. Mencari nilai distribusi frekuensi kumulatif teoritis yang dinotasikan dengan Fe(X)
pada tabel distribusi normal. Untuk z = 0.6146 diperoleh nilai pada tabel yaitu
(61)
11.Menghitung selisih absolut nilai Fa(X) dengan Fe(X) sebagai nilai D D = |Fa(X) – Fe(X)|
= |0,1000 – 0,7422| = -0,6422
Tabel 5.24. Uji Distribusi Normal Data Tingkat Iluminasi N0 T.Iluminasi X bar Fa(X) STDEV z Fe(X) D
1 35.14 35.90 0.100 1.2316 0.6146 0.7422 -0.6422
2 36.21 35.90 0.200 1.2316 -0.2541 0.4013 -0.2013
3 37.21 35.90 0.300 1.2316 -1.0661 0.1469 -0.1466
4 36.26 35.90 0.400 1.2316 -0.2947 0.4013 -0.0013
5 36.81 35.90 0.500 1.2316 -0.7413 0.2266 0.2734
6 35.34 35.90 0.600 1.2316 0.4523 0.67 -0.07
7 37.02 35.90 0.700 1.2316 -0.9118 0.8289 -0.1289
8 34.94 35.90 0.800 1.2316 0.7770 0.7734 0.0266
9 36.79 35.90 0.900 1.2316 0.8251 0.8023 0.0977
10 33.25 35.90 1.000 1.2316 2.1492 0.9842 0.0158
Dmax 0.2734
11. Menetapkan nilai Dmaks lalu membandingkan nilainya dengan nilai Dσ pada
tabel kolmogorov-smirnov dengan nilai σ = 0,05. Kriteria pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:
H0 = data berdistribusi normal; H1 = data tidak berdistribusi normal H0 diterima apabila D ≤ Dσ dan H0 ditolak apabila D ≥ Dσ
Dmaks yang diperoleh adalah 0,2734 dan Dσ untuk n = 10 dan σ = 0,05 adalah 0,4090, maka: D ≤ Dσ, sehingga Ho diterima.
Dengan cara yang sama dilakukan pengujian kenormalan untuk data kelelahan mata operator 1 pada stasiun kerja quality control 1. Rekapitulasi pengujian kenormalan data kelelahan mata di stasiun kerja quality 1 disajikan pada Tabel 5.25.
(62)
Dmaks yang diperoleh adalah 0.3404 dan Dσ adalah 0,4090, maka: D ≤
Dσ, sehingga Ho diterima. Dengan demikian, data tingkat iluminasi dan data
kelelahan mata operator teruji berdistribusi normal
Tabel 5.25. Uji Distribusi Normal Data Kelelahan Mata Operator No Kelelahan
Mata Xbar Fa(X) STDEV Z Fe(X) Dmax
1 25.5 18 0.1 4.5707 -1.0173 0.1469 -0.0469 2 22.5 18 0.2 4.5707 -0.3610 0.3632 -0.1632 3 25.5 18 0.3 4.5707 -1.0173 0.1469 0.1531 4 22 18 0.4 4.5707 -0.2516 0.4013 -0.0013
5 22 18 0.5 4.5707 -0.2516 0.4013 0.0987
6 14 18 0.6 4.5707 1.4987 0.9265 -0.3265
7 22 18 0.7 4.5707 -0.2516 0.4013 0.2987
8 12.5 18 0.8 4.5707 1.8269 0.9678 -0.1678 9 24.5 18 0.9 4.5707 0.1986 0.5596 0.3404
10 18 18 1 4.5707 0.6235 0.7422 0.2578
Dmax 0.3404 Setelah dilakukan pengujian distribusi normal, langkah selanjutnya adalah melakukan uji korelasi terhadap kedua data tersebut. Jenis uji korelasi yang digunakan adalah uji korelasi Pearson. Uji korelasi Pearson digunakan untuk menguji korelasi antar dua varian yang berdistribusi normal dan berjenis data interval atau rasio. Tabel 5.26. merupakan tabel bantuan perhitungan koefisien korelasi variabel tingkat iluminasi (X) dan Kelelahan Mata Operator (Y).
(63)
Tabel 5.26. Perhitungan Koefisien Korelasi Variabel X dan Y
No X Y XY X2 Y2
1 35.14 25.5 896.07 1234.82 650.25 2 36.21 22.5 814.73 1311.16 506.25 3 37.21 25.5 948.86 1384.58 650.25 4 36.26 22 797.72 1314.79 484.00 5 36.81 22 809.82 1354.98 484.00 6 35.34 14 494.76 1248.92 196.00 7 37.02 22 814.44 1370.48 484.00 8 34.94 12.5 436.75 1220.80 156.25 9 36.79 24.5 901.36 1353.50 600.25 10 33.25 18 598.50 1105.56 324.00 Total 358.97 208.50 7513.00 12899.69 4535.25
Hasil dari perhitungan pada Tabel 5.26. maka dapat dihitung koefisien korelasi dengan menggunakan rumus uji korelasi Pearson berikut:
�=
n � XiYi−(� Xi)(��� Yi) =1
� �=1
� �=1
�[n ∑��=1 Xi2−(��� Xi)
=1 2][n ∑ Yi2
�
�=1 −(� Yi)2]
� �=1
�= (10)(7513.00)−(358.97)(208.50)
�[10)(12899.69)−(358.97)2)[[(10)(4535.25)−208.50]2]
�= 0,5619
5.2.5.1. Uji Korelasi Tingkat Iluminasi dengan Kelelahan Mata Operator di Stasiun Kerja Quality Control 2
Uji korelasi dilakukan mengetahui derajat asosiasi antar variabel kelelahan mata operator dengan hasil kerja stasiun quality control 2. Tabel 5.27.
(64)
menunjukkan rekapitulasi data stasiun kerja quality control 2 selama lima hari kerja
Tabel 5.27. Rekapitulasi Data Tingkat Iluminasi di Stasiun Quality
Control 2
No Pukul (WIB)
Area Pengkuran II
(Lux) Rata-rata
(Lux)
Quality Control 2
I
9 29.97
31.29
11 32.61
13 32.54
33.22
15 33.9
II
9 32.74
33.61
11 34.48
13 34.28
33.66
15 33.03
III
9 35.94
35.43
11 34.92
13 35.52
35.59
15 35.65
IV
9 39.39
39.27
11 39.15
13 37.93
38.21
15 39.89
V
9 39.54
38.76
11 37.98
13 39.83
38.82
15 37.81
Data tingkat iluminasi tersebut kemudian dikorelasikan dengan data hasil kerja stasiun kerja quality control 2 seperti ditunjukkan pada Tabel 5.28.
(65)
Tabel 5.28. Tingkat Iluminasi Stasiun Kerja Quality Control 2 dan Kelelahan Mata Operator
No Pengamatan Ke- Tingkat Iluminasi (Lux)
Kelelahan Mata Operator (detik)
1 I 31.29 19.5
2 I 33.22 21
3 II 33.61 24.5
4 II 33.66 21
5 III 35.43 21.5
6 III 35.59 13
7 IV 39.27 24
8 IV 38.91 18.5
9 V 38.76 21
10 V 38.82 19.5
Sebelum dilakukan uji korelasi, terlebih dahulu dilakukan uji kenormalan
terhadap kedua data tersebut. Uji distribusi normal yang digunakan adalah uji
kolmogorov-smirnov. Berikut ini merupakan langkah-langkah pengujiannya:
1. Data diurutkan dari nilai terkecil hingga ke nilai terbesar lalu diberi urutan nomor, yaitu dari 1 hingga 10.
2. Nilai Fa(X) dihitung dengan membagi nomor data dengan total data, misalnya data no
1 dengan jumlah data 10.
��(�) =nomor data � =
1
10= 0,10
(66)
�= X −X
σ
Diketahui, X =358,97
10 = 35,86; Xi = 31,29 dan σ = 2,9082 sehingga z = 1,5714
13. Mencari nilai distribusi frekuensi kumulatif teoritis yang dinotasikan dengan Fe(X)
pada tabel distribusi normal. Untuk z = 0,5714 diperoleh nilai pada tabel yaitu
0,9394.
14.Menghitung selisih absolut nilai Fa(X) dengan Fe(X) sebagai nilai D D = |Fa(X) – Fe(X)|
= |0,1000 – 0,9394| = -0,8394
Tabel 5.29. Uji Distribusi Normal Data Tingkat Iluminasi N0 T.Iluminasi X bar Fa(X) STDEV z Fe(X) D
1 31.29 35.86 0.100 2.9082 1.5714 0.9394 -0.8394 2 33.22 35.86 0.200 2.9082 0.9078 0.8289 -0.6289 3 33.61 35.86 0.300 2.9082 0.7737 0.7734 -0.4734 4 33.66 35.86 0.400 2.9082 0.7565 0.7734 -0.3734 5 35.43 35.86 0.500 2.9082 0.1479 0.5596 -0.0596 6 35.59 35.86 0.600 2.9082 0.0928 0.5199 0.0801 7 39.27 35.86 0.700 2.9082 1.1725 0.8749 -0.1749 8 38.91 35.86 0.800 2.9082 1.0488 0.8531 -0.0531 9 38.76 35.86 0.900 2.9082 0.9972 0.8289 0.0711 10 38.82 35.86 1.000 2.9082 1.0178 0.8531 0.1469 Dmax 0.1469
15. Menetapkan nilai Dmaks lalu membandingkan nilainya dengan nilai Dσ pada
tabel kolmogorov-smirnov dengan nilai σ = 0,05. Kriteria pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:
(1)
DAFTAR ISI (LANJUTAN)
BAB HALAMAN
5.2.4.1. Uji Korelasi Tingkat Iluminasi dengan Kelelahan Mata Operator di Stasiun
Quality Control 2 ... V-39
VI ANALISIS PEMECAHAN MASALAH ... VI-1 6.1. Analisis ... VI-1
6.1.1. Analisis Tingkat Iluminasi di Stasiun Kerja
Quality Control 1 dan Quality Control 2 ... VI-1 6.1.2. Analisis Uji Korelasi Tingkat Iluminasi dengan
Hasil Kerja Stasiun Kerja Quality Control 1 dan
Quality Control 2 ... VI-2 6.2. Pemecahan Masalah ... VI-3 6.3. Pembahasan Hasil Pemecahan Masalah ... VI-7
VII KESIMPULAN DAN SARAN ... VII-1 7.1. Kesimpulan ... VII-1 7.2. Saran ... VII-2
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(2)
DAFTAR TABEL
TABEL HALAMAN
3.1. Intensitas Cahaya di Ruang Kerja ... III-5 3.2. Interpretasi Koefisien Korelasi Nilai R ... III-16 5.1. Tingkat Iluminasi di Area Pengukuran Quality
Control 1 ... V-2 5.2. Tingkat Iluminasi di Area Pengukuran Quality
Control 2 ... V-3 5.3. Tingkat Iluminasi dan Tingkat Luminansi di
Stasiun Kerja Quality Control 1 dan Quality
Control 2 ... V-5 5.4. Produk Cacat Lolos Inspeksi di Stasiun Kerja
Quality Control 1 ... V-7 5.5. Produk Cacat Lolos Inspeksi di Stasiun Kerja
Quality Control 2 ... V-9 5.6. Kelelahan Mata Operator pada Stasiun Kerja
Quality Control 1 ... V-10 5.7. Hasil Kelelahan Mata Operator pada Stasiun
Kerja Quality Control 2 ... V-11 5.8. Rata-rata Tingkat Iluminasi Stasiun Kerja Quality
Control 1 dan Quality Control 2 pada PT. Pabrik
(3)
DAFTAR TABEL (LANJUTAN)
TABEL HALAMAN
5.9. Rekomendasi Nilai Reflektansi Material untuk
Pencahayaan Industri ... V-15 5.10. Hasil Pengukuran Reflektansi Material Objek di
Stasiun Kerja Quality Control 1 dan Quality
Control 2 ... V-15 5.11. Rekapitulasi Data Tingkat Iluminasi di Stasiun
Quality Control 1 ... V-23 5.12. Tingkat Iluminasi Stasiun Kerja Quality Control
1 dan Produk Casiun Kerja cat Lolos Inspeksi ... V-24 5.13. Uji Distribusi Normal Data Tingkat Iluminasi ... V-26 5.14. Uji Distribusi Normal Data Produk Cacat Lolos
Inspeksi ... V-27 5.15. Perhitungan Koefisien Korelasi Variabel X dan Y V-27 5.16. Rekapitulasi Data Tingkat Iluminasi di Stasiun
Quality Control 2 ... V-29 5.17. Tingkat Iluminasi Stasiun Kerja Quality Control
2 dan Produk Cacat Lolos Inspeksi ... V-30 5.18. Uji Distribusi Normal Data Tingkat ILuminasi ... V-31 5.19. Uji Distribusi Normal Data Produk Cacat Lolos
(4)
DAFTAR TABEL (LANJUTAN)
TABEL HALAMAN
5.20. Perhitungan Kefisien Korelasi Variabel X dan Y V-33 5.21. Rekapitulasi Data Tingkat Iluminasi di Stasiun
Quality Control 1 ... V-34 5.22. Rekapitulasi Data Kelelahan Mata di Stasiun
Quality Control 1 ... V-35 5.23. Tingkat Iluminasi dan Kelelahan Mata Operator 1
di Stasiun Quality Control 1 ... V-36 5.24. Uji Distribusi Normal Data Tingkat Iluminasi ... V-37 5.25. Uji Distribusi Normal Data Kelelahan Mata
Operator ... V-38 5.26. Perhitungan Koefisien Korelasi Variabel X dan Y V-39 5.27. Rekapitulasi Data Tingkat Iluminasi di Stasiun
Quality Control 1 ... V-40 5.28. Tingkat Iluminasi Stasiun Kerja Quality Control
2 dan Kelelahan Mata Operator ... V-41 5.29. Uji Distribusi Normal Data Tingkat Iluminasi ... V-42 5.30. Uji Distribusi Normal Data Produk Cacat Lolos
Inspeksi ... V-43 5.31. Perhitungan Koefisien Korelasi Variabel X dan Y V-44
(5)
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR HALAMAN
1.1. Layout Lantai Produksi Pt. Pabrik Es Siantar ... I-4 2.1. Struktur Organisasi PT Pabrik Es Siantar ... II-5 3.1. Denah Pengukuran Intensitas Penerangan untuk
Luas Ruangan Kurang dari 10 m2... III-6 3.2. Denah Pengukuran Intensitas Penerangan untuk
Luas Ruangan Kurang dari 10 m2- 100 m2 ... III-7 3.3. Denah Pengukuran Intensitas Penerangan untuk
Luas Ruangan Lebih dari 100 m2 ... III-7 4.1. Kerangka Knseptual ... IV-3 4.2. Block Diagram Prosedur Penelitian ... IV-6 5.1. Layout Titik Pengukuran Iluminasi di Quality
Control 1 ... V-1 5.2. Layout Titik Pengukuran Iluminasi di Quality
Control 2 ... V-3 5.3. Botol Kotor ... V-5 5.4. Botol Retak ... V-6 5.5. Botol Sompel ... V-6 5.6. Grafik Produk Cacat yang Lolos Inspeksi pada
Stasiun Quality Control 1 ... V-7 5.7. Air Sarsaparilla Kotor ... V-8
(6)
DAFTAR GAMBAR (LANJUTAN)
GAMBAR HALAMAN
5.8. Volume Air Tidak Sama ... V-8 5.9. Grafik Produk Cacat yang Lolos Inspeksi pada
Stasiun Quality Control 1 ... V-9 5.10. Grafik Kelelahan Mata Operator pada Stasiun
Quality Control 1 ... V-11 5.11. Grafik Kelelahan Mata Operator pada Stasiun
Quality Control 2 ... V-12 5.12. Rta-rata Tingkat Iluminasi pada Lantai Produksi
di PT. Pabrik Es Siantar ... V-14 5.13. Angka Reflektansi Dinding ... V-16 5.14. Angka Reflektansi Lantai ... V-16 5.15. Angka Reflektansi Mesin dan Conveyor ... V-17 6.1. Susunan Lampu Kondisi Usulan Alternatif I di
Stasiun Quality Control 1 ... VI-4 6.2. Susunan Lampu Kondisi Usulan Alternatif I di
Stasiun Quality Control 2 ... VI-5 6.3. Susunan Lampu Kondisi Usulan Alternatif II di
Stasiun Quality Control 1 ... VI-6 6.4. Susunan Lampu Kondisi Usulan Alternatif II di