Analisis Psikologis Tokoh Utama Dalam Novel “The Devil’s Whisper “Karya Miyuki Miyabe

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1990. Kajian Tekstual dalam Psikologi Sastra : Sekitar Masalah

Sastra, Beberapa Prinsip dan Model Pengembangannya. Malang: Yayasan

Asah Asih Asuh

--- 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru Aglesindo

Benedict, Ruth. 1989. Pedang Samurai dan Bunga Seruni (The Chrysantheum

and

The Sword), Alih Bahasa, Pramudji. Jakarta : Sinar Harapan

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : Media Pressindo

Hall, Calvin S. 1995. Freud. Jakarta : Delapratasa

Koentjaraningrat. 1976. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Universitas Indonesia Press

Kosasih, E. 2008. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta : PT Nobel Edumedia Miyabe, Miyuki. 2012. The Devil’s Whisper. Bandung : Serambi Ilmu Semesta Nawawi, Hadari. 1991. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gajah

Mada University Press

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gajah Mada University Press

Pradopo, Rahmat Djoko. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : Hinindita


(2)

--- 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta : Gama Media

Pujiono, Muhammad. 2002. Skripsi Analisis Nilai-Nilai Religius dalam Cerpen

Karya Miyazawa Kenji. Medan : STIBA Swadaya

Semi, Atar. 1990. Metode Penelitian Sastra. Padang : Angkasa

Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Grasindo Subagyo, Joko. 1997. Metode Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta

Tarigan, Henry Guntur. 1993. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung : Penerbit Angkasa Bandung

Wellek, Rene dan Austin, Warren. 1995. Teori Kesusatraan. Jakarta : Gramedia http://en.wikipedia.org/wiki/Miyuki_Miyabe

http://teguhwirwan.blogdetik.com/tag/novel/

http://www.rayakultura.net/analisis-aspek-psikologis-tokoh-lasiyem-dalam-novel-musim-semi-lupa-singgah-di-shizi/


(3)

BAB III

ANALISIS PSIKOLOGIS TOKOH UTAMA

3.1 Ringkasan Cerita

Di Hirakawa, hiduplah seorang anak laki-laki berusia 4 tahun yang bernama Mamoru Kusaka. Ayah Mamoru, Toshio Kusaka, adalah asisten kepala bagian keuangan. Sedangkan ibu Mamoru, Keiko Kusaka, merupakan ibu rumah tangga biasa. Mereka hidup rukun dan bahagia, sampai akhirnya Toshio membawa kabur dana masyarakat sebanyak 5 juta yen dan meninggalkan Mamoru serta Keiko begitu saja.

Bukan hanya itu, Toshio juga diduga melarikan diri bersama seorang wanita yang menjadi simpanannya. Mereka diduga telah pergi jauh dari Hirakawa. Berfoya-foya dan hidup bergelimang harta dari hasil uang curian tersebut.

Karena Hirakawa adalah kota kecil yang hampir bisa dikatakan tak ada kasus kriminal di sana, kabar itu pun menyebar dengan cepat. Mamoru dan ibunya menjadi bulan-bulanan masyarakat. Tak hanya itu saja, mereka berdua pun dikucilkan oleh masyarakat.

Bahkan tak ada seorang anak pun yang mau bermain dengan Mamoru. Mamoru hanya memiliki seorang teman yang ia panggil Kakek, seorang pria paruh baya yang berprofesi sebagai tukang kunci. Dari Kakek lah Mamoru belajar keahlian mengenai perkuncian.

Kakek adalah orang baik. Ia selalu mengajarkan tentang kebaikan kepada Mamoru. Bahkan Kakek selalu mengingatkan agar Mamoru jangan pernah


(4)

membenci ayahnya. Bagaimana pun, menurut Kakek, dendam tak akan pernah bisa menyelesaikan masalah. Tak berapa lama, Kakek meninggal dalam damai. Mamoru kembali kesepian karena benar-benar tidak memiliki teman.

Ketika Mamoru berusia 16 tahun, Keiko meninggal karena terkena serangan stroke. Sebelum meninggal, Keiko mengirim surat kepada Yoriko Asano, kakaknya, untuk mau merawat Mamoru. Yoriko pun bersedia menampung Mamoru dan membawa Mamoru ke rumahnya di Tokyo.

Di sana bukan hanya ada Yoriko saja, melainkan suami Yoriko yang bernama Taizo Asano serta putri tunggal mereka, Maki Asano. Keduanya menerima Mamoru dengan sangat baik dan menyayangi Mamoru. Bahkan mereka sudah menganggap Mamoru sebagai keluarga sendiri. Tidak ada perbedaan sedikit pun.

Namun di sekolah, Mamoru harus menghadapi pembullyan dari seorang temannya yang bernama Miura. Miura terus mengancam dan meneror Mamoru karena Mamoru menolong teman wanitanya. Saat itu, dompet teman wanita Mamoru hilang, padahal di dalamnya terdapat kunci gembok sepeda. Mamoru membantu membukakan gembok sepeda teman wanitanya tersebut, tanpa Mamoru ketahui bahwa Miura sengaja menyembunyikan dompet si teman wanita dengan tujuan agar sang wanita mau diantar pulang oleh Miura.

Miura berhasil mengetahui masa lalu Mamoru. Ia mengorek informasi sebanyak mungkin, kemudian mulai menyebarkannya dengan cepat. Misalnya, Miura menempelkan selebaran berisi fotokopian koran tentang berita pencurian yang dilakukan oleh ayah Mamoru hingga semua orang di sekolah tahu mengenai hal tersebut.


(5)

Mamoru beruntung karena memiliki sahabat baik seperti Anego dan Yoichi. Mereka berdua lah yang membantu dan menghibur Mamoru. Berkat dukungan keduanya pula Mamoru berhasil untuk tidak terpengaruh oleh perbuatan usil Miura.

Pada peralihan musim gugur ke musim dingin, terjadilah suatu kasus di mana Taizo yang berprofesi sebagai supir taksi menabrak seorang mahasiswi hingga tewas. Sulit dipercaya supir sebaik Taizo bisa melakukan hal sefatal itu karena Taizo terkenal sebagai supir taksi yang tidak memiliki pelanggaran lalu lintas sedikit pun. Mamoru kemudian bertekad untuk menyelidiki kasus ini demi membuktikan pamannya tak bersalah.

Akhirnya Mamoru pun menemukan fakta bahwa gadis tersebut meninggal bukan karena sengaja bunuh diri, melainkan karena dibisiki oleh seseorang yang dendam padanya. Ada dua gadis lain pula yang sudah meninggal. Mamoru segera menggali informasi dan terkejut ketika mengetahui bahwa ketiga gadis itu terlibat dalam praktik penipuan. Bukan itu saja, ada gadis keempat yang merupakan target pembunuhan selanjutnya. Mamoru pun bertekad untuk menyelamatkan gadis keempat yang masih hidup dan terancam nyawanya.

Seseorang yang membisikkan kata-kata gaib agar korbannya dapat menuruti perintahnya tanpa sadar bernama Harasawa. Harasawa adalah seorang ilmuwan yang ahli di bidang hipnoterapi. Ia dendam kepada empat orang gadis yang bekerja sebagai pelacur modern, yaitu menguras harta lelaki lugu dan meninggalkan hutang yang sangat besar kemudian mencampakkannya.

Murid kesayangan Harasawa, Kenichi Tazawa, menjadi korban dari salah satu dari keempat perempuan tersebut yang bernama Kazuko Takagi. Harasawa


(6)

merasa sangat dendam, lalu membunuh satu per satu dari mereka secara perlahan dan tanpa jejak.

Ia memerintahkan untuk bunuh diri dengan membisikkan kata kunci tertentu. Sang korban akan secara suka rela dan tanpa sadar berlari ke depan rel kereta api yang akan melintas atau terjun dari atas apartemen. Semuanya bersih tanpa meninggalkan bukti apa pun.

Sayangnya, perempuan ketiga yang bernama Yoko Sugano, berlari tepat ketika taksi paman Mamoru, Taizo, sedang melintas. Taizo tidak sempat mengerem karena hal tersebut berlangsung begitu cepat. Tubuh Yoko terpental dan langsung tewas seketika.

Tidak ada saksi mata dalam kejadian naas tersebut karena waktu itu sudah terlalu malam dan keadaan jalan sangat sepi. Saat keluarga Asano telah putus asa, muncul seorang saksi mata yang bernama Yoshitake. Yoshitake merupakan seorang pebisnis terkenal di Jepang. Ia memiliki perusahaan yang baik secara finansial. Polisi akhirnya percaya pada apa yang diutarakan oleh Yoshitake dan akhirnya membebaskan Taizo dari penjara.

Sejak kejadian itu, Yoshitake terus menerus menghubungi Mamoru. Ia memberikan kasih sayang dan perhatian sebagaimana seorang ayah mengasihi anaknya. Mamoru mengira bahwa Yoshitake adalah ayah kandungnya. Apalagi saat kejadian ayahnya meninggalkan Mamoru dan ibunya, Mamoru tidak begitu ingat dengan jelas seperti apa wajahnya karena Mamoru masih berusia 4 tahun. Taizo pun segera mendapatkan pekerjaan baru karena bantuan Yoshitake.

Mamoru sempat mencari informasi mengenai perempuan pelacur modern dan membuat Harasawa tertarik padanya. Harasawa akhirnya menghipnotis


(7)

Yoshitake dan berhasil mengungkapkan hal yang sebenarnya, yaitu Yoshitake telah tanpa sengaja membunuh Toshio Kusaka.

Saat itu hujan dan langit sudah mulai gelap. Yoshitake yang sedang mengendarai mobilnya untuk pulang ke Hirakawa tanpa sengaja menabrak Toshio. Tubuh Toshio berlumuran darah dan denyut nadinya telah berhenti. Bingung akan melakukan apa, Yoshitake malah membawa pulang jasad Toshio yang telah terbujur kaku ke rumah ibunya.

Ibu Yoshitake pun menyuruh untuk menguburkan Toshio di gunung dekat rumah mereka. Ia tidak ingin hal ini menjadi skandal, apalagi saat itu Yoshitake sudah akan menikah dengan seorang wanita kaya dari Tokyo dan mereka akan membangun bisnis bersama-sama. Akhirnya dengan berat hati, Yoshitake menuruti perintah ibunya.

Namun lama-kelamaan muncul perasaan bersalah dalam diri Yoshitake. Kehidupan pernikahannya tidak seindah yang ia harapkan. Ia bahkan tidak memiliki seorang pun anak. Rumah megah yang ia miliki terasa sepi. Hanya ada beberapa orang pembantu saja yang setia melayani.

Yoshitake merasa bertanggung jawab atas kematian Toshio dan secara diam-diam menggali informasi tentang segala hal mengenai Toshio Kusaka. Yoshitake merasa terkejut karena Toshio memiliki seorang istri dan seorang anak laki-laki. Dengan tekad yang kuat, Yoshitake pun membantu memberikan pekerjaan pada Keiko dan selalu memantau perkembangan Mamoru. Jauh di lubuk hati Yoshitake, ia telah jatuh cinta kepada ibu dan anak ini. Rasa sayang timbul begitu saja dan Yoshitake ingin sekali menjadi bagian dari mereka.


(8)

Setelah Mamoru mengetahui hal tersebut, ia merasa sangat sedih karena selama ini telah salah sangka terhadap Yoshitake. Ia juga kecewa karena berharap Yoshitake adalah ayah kandungnya yang selama ini telah meninggalkannya. Apalagi kenyataan bahwa Yoshitake malah diam-diam menguburkan jasad ayahnya sewaktu ayahnya hendak menyerahkan diri ke kantor polisi atas perbuatannya yang mencuri dana masyarakat.

Mamoru sempat berkeinginan untuk mengikuti saran Harasawa, yaitu menghipnotis Yoshitake agar Yoshitake bunuh diri dengan cara melompat dari atas gedung kantornya. Mamoru bahkan telah membisikkan kata kunci di telinga Yoshitake. Namun Mamoru ingat nasehat Kakek untuk tidak menjadikan dendam sebagai pelampiasan, maka Mamoru akhirnya memutuskan untuk menolong Yoshitake dan memaafkan segala kesalahannya.

3.2 Analisis Psikologis Tokoh Mamoru Kusaka Cuplikan 1 (hal. 36)

Di samping pintu terdapat papan pengumuman dengan artikel tentang kecelakaan yang dialami pamannya, digunting dengan rapi, dan ditempel dengan paku payung. Di papan tulis besar terdapat tulisan kasar dengan kapur merah yang mengatakan, “PEMBUNUH!” Sebuah anak panah menunjuk ke arah artikel tadi.

Ke mana pun kau pergi pasti ada orang-orang yang berbuat seperti ini. Mamoru berusaha mengendalikan amarahnya. Orang-orang berengsek yang mendapatkan kesenangan dari penderitaan orang lain sama dengan kecoak; tak peduli seberapa banyak kau menyingkirkannya, selalu saja muncul lagi ratusan.


(9)

Analisis :

Dari cuplikan berikut : “Mamoru berusaha mengendalikan amarahnya. Orang-orang berengsek yang mendapatkan kesenangan dari penderitaan orang lain sama dengan kecoak; tak peduli seberapa banyak kau menyingkirkannya, selalu saja muncul lagi ratusan.” menunjukkan adanya indeksikal perbuatan Ego yang dilakukan oleh Mamoru. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa kemarahan merupakan salah satu bentuk perbuatan Id. Ego tahu benar bahwa sikap marah merupakan hal yang tidak baik, karena amarah tidak disenangi oleh siapapun dan cenderung akan melakukan tindakan yang buruk. Hal ini sesuai dengan teori kepribadian Sigmund Freud bahwa Ego bekerja sebagai prinsip realitas menyadari jika rasa marah harus dicegah dan tidak boleh dilampiaskan.

Id Mamoru yang ingin meluapkan amarahnya berhasil ditekan karena Ego Mamoru lebih dominan. Mamoru berpikir bahwa meladeni orang-orang seperti itu sia-sia karena mereka akan tetap muncul seperti kecoak yang tak pernah habis dibasmi.

Di sini Ego Mamoru berhasil mencegah perbuatan Id karena Mamoru mampu mengendalikan amarahnya dan memilih untuk diam saja. Mamoru merasa malu jika ia membalas perbuatan orang-orang yang suka mengejeknya karena hal tersebut adalah hal yang sia-sia. Mamoru tidak ingin mempermalukan dirinya sendiri dan menambah masalah di sekolah. Hal ini sesuai dengan budaya malu Jepang, yaitu perbuatan malu merupakan suatu reaksi psikologis yang timbul karena adanya kritik atau ditertawakan oleh orang lain (Benedict, 1989:106).


(10)

Cuplikan 2 (hal. 96-97)

Ketika ayahnya membuka pintu depan, suara hujan terdengar semakin keras dan bertahan selama beberapa detik lebih lama ketika Toshio berhenti sejenak, menoleh kembali ke dalam rumah sebelum dia berbalik untuk pergi. Pintunya tertutup, dan itulah kali terakhir Mamoru melihatnya.

Setelah ayahnya pergi dan berita penggelapan dana itu mengemuka, ibunya menghabiskan lebih banyak waktu lagi dalam keadaan linglung. Dia akan memotong-motong sesuatu di dapur atau melipat cucian, lalu berhenti begitu saja dan pandangannya menerawang. Ujian-ujian bagi Mamoru dimulai saat semua temannya menolak bermain bersamanya. Dia menghabiskan seluruh masa kecilnya dengan mempelajari seperti apa rasanya kehilangan seorang ayah dan apa tepatnya yang telah dilakukan oleh lelaki itu.

Ayahku telah menelantarkan aku. Rasanya aku ingin sekali mendorongnya ke dalam jurang agar ia tak bisa lagi menyakiti hati ibuku. Pemahaman akan

fakta ini serupa dengan apa yang dirasakan anak-anak kecil saat pertama menyentuh kompor panas dan tiba-tiba menyadari bahwa api itu berbahaya. Mamoru berusaha keras untuk melupakan fakta tersebut dan menjaga jarak darinya.

Analisis :

Digambarkan bahwa Mamoru teringat kembali pada peristiwa ketika ayahnya pergi meninggalkan dirinya dan ibunya, serta bagaimana reaksi ibunya menghadapi musibah tersebut.

Kalimat “Ayahku telah menelantarkan aku. Rasanya aku ingin sekali mendorongnya ke dalam jurang agar ia tak bisa lagi menyakiti hati ibuku.


(11)

menunjukkan adanya indeksikal perbuatan Id. Hasrat ingin membunuh muncul dalam diri Mamoru. Ia menganggap bahwa sang ayah telah banyak menyakiti hati ibunya, sehingga Mamoru berkeinginan untuk membunuh ayahnya. Namun pada kalimat “Mamoru berusaha keras untuk melupakan fakta tersebut dan menjaga jarak darinya.” menunjukkan adanya indeksikal perbuatan Super Ego. Super Ego yang bekerja berdasarkan hati nurani menganggap bahwa membunuh bukanlah solusi dari permasalahannya. Apalagi membunuh ayah kandungnya sendiri, tentu merupakan tindakan tercela. Bagaimanapun seorang anak tidak boleh membunuh orangtuanya, meskipun orangtuanya jahat dan berkelakuan buruk. Ajaran Buddha tentang welas asih sedikitnya berhasil memengaruhi pikiran Mamoru. Mamoru merasa malu jika sampai membunuh ayahnya, karena bagaimana pun ayahnya telah membesarkan Mamoru dan Mamoru harus membalas budi ayahnya. Hal ini sesuai dengan budaya malu Jepang, yaitu rasa malu muncul karena ketidakmampuan membalas budi dari orang lain, atau disebut on, yang terdiri dari

giri dan gimu (Benedict, 1989:338).

Konflik batin yang terjadi dalam diri Mamoru membuat jiwa Mamoru sedikit tertekan dan menutupinya dengan cara berusaha melupakannya. Mamoru merasa bahwa ayahnya telah membuat dirinya dan ibunya sangat menderita dan Mamoru tidak ingin mengingat masa lalunya itu.

Di sini Id Mamoru yang ingin menghindari rasa sakit dengan cara membunuh ayahnya berhasil dicegah oleh Super Ego Mamoru yang berupa lebih memilih untuk melupakan fakta-fakta yang berhubungan dengan ayahnya. Hal ini sesuai dengan teori kepribadian Sigmund Freud bahwa Super Ego adalah sistem


(12)

kepribadian yang berisi nilai-nilai atau aturan-aturan yang menyangkut baik atau buruk dan yang berisi kata hati seseorang.

Cuplikan 3 (hal. 192-193)

Mamoru menatap wajah Nozaki yang pucat dan bertanya, “Apa yang Bapak pikirkan? Apakah menurutmu aku yang melakukannya?”

Nozaki menolak berbicara selama beberapa detik. Dia bahkan tak dapat memaksakan dirinya memandang wajah Mamoru. Akhirnya sang guru menggumam, “Aku—aku hanya ingin kau mengatakan yang sebenarnya.”

“Kalau begitu masalahnya sederhana. Aku tidak melakukannya. Itu saja.”

“Itu saja?” Nozaki menggeragap. “Apakah kau yakin hanya itu?”

Mamoru memikirkan pamannya di penjara. Akhirnya Mamoru mengerti bagaimana perasaan lelaki itu sekarang ini. Tak adakah seseorang yang mau

memercayaiku? Aku mengatakan yang sebenarnya! Sekarang Mamoru marah, dan

tahu dia tak dapat tinggal di sana lebih lama lagi. “Kau takut kepadaku!” Dia menjeritkannya kepada lelaki yang berdiri di hadapannya, yang sedang mengerutkan bibir dan mata yang menolak menatapnya. Hanya memikirkan bahwa salah satu muridnya telah melakukan sesuatu yang tidak pantas sudah cukup membuatnya histeris gelisah.

Analisis :

Dari cuplikan “Kau takut kepadaku!” Dia menjeritkannya kepada lelaki yang berdiri di hadapannya, yang sedang mengerutkan bibir dan mata yang menolak menatapnya.” terdapat adanya indeksikal tentang perbuatan Id. Teriakan yang dilakukan oleh Mamoru merupakan bentuk dari sikap Id yang disebabkan


(13)

oleh adanya konflik batin yang terjadi di dalam diri Mamoru. Ia mengungkapkan kemarahannya kepada Nozaki, guru olahraganya.

Di sini Ego tidak dapat menjalankan perannya dengan baik. Padahal tidak seharusnya seorang murid berkata kasar kepada gurunya, apalagi sampai berteriak. Ego tidak mampu mengendalikan Id karena Id Mamoru terlalu besar dan malah membantu Id dalam memuaskan hasrat dan kebutuhannya. Mamoru kesal karena dituduh melakukan perbuatan yang tak pernah ia lakukan dan merasa bahwa Nozaki mencurigainya karena Nozaki tahu ayah Mamoru merupakan tersangka kasus pencurian dana masyarakat sebesar 5 juta yen. Mamoru menganggap Nozaki tetap saja tidak memercayainya walaupun Mamoru telah berkata hal yang benar.

Hal di atas mencerminkan sikap dari budaya malu Jepang, yaitu adanya penilaian pihak lain yang cenderung negatif, seperti sindiran, kritikan atau cemoohan. Rasa malu yang dimiliki masyarakat Jepang bukan malu yang muncul karena keberadaan Tuhan atau takut karena dosa, melainkan lebih kepada malu yang muncul dengan adanya keberadaan pihak lain (Benedict, 1989:338).

Id Mamoru yang bekerja sebagai prinsip kenikmatan (pleasure principle) berhasil mengalahkan Ego karena Mamoru tidak dapat menguasai dirinya dan malah berteriak marah kepada Nozaki. Hal ini sesuai dengan teori kepribadian Sigmund Freud yang mengatakan bahwa Id merupakan suatu dorongan yang apabilan terpenuhi dengan segera maka akan tercapai perasaan senang atau puas.


(14)

Cuplikan 4 (hal. 228-231)

Segera setelah meninggalkan lahan sekolah, Mamoru pergi ke telepon umum dan menelepon ke rumah Miura.

“Halo?” Miura terdengar menyenangkan secara tidak wajar; dia pasti sedang menunggu telepon dari kekasihnya.

“Apa ini Miura?”

“Yah, tapi … tunggu dulu! Apakah ini kau, Kusaka?”

Mamoru dapat merasakan tekanan darahnya meningkat, dan pelipisnya berdenyut-denyut. Dia mencoba berbicara sejelas dan setenang mungkin. “Aku hanya akan mengatakannya satu kali ini saja, Miura. Aku tahu tentang segala hal yang kau lakukan. Dan mengapa kau melakukannya. Itu karena aku anak baru di kota ini, aku anak kampung, dan aku anak yatim piatu parasit dengan ayah seorang pencuri. Bukankah begitu? Dan itulah tipe orang yang suka kau kerjai. Tetapi aku kasihan kepadamu, dan apa kau tahu kenapa? Kau telah membuka pintu yang seharusnya tertutup.”

Ada jeda sejenak sebelum Miura mulai berteriak, tetapi Mamoru sudah siap menghadapinya, dan berteriak balik ke arahnya. “Apakah kau dengar? Sekaranglah satu-satunya kesempatanmu. Aku tak akan lagi berbincang denganmu jika lain kali kau merasa ingin mengerjaiku! Ya kan? Aku spons tak tahu terima kasih dengan ayah seorang pencuri. Tetapi ada satu hal lain yang tak kau ketahui. Ayahku menggelapkan uang, itu memang benar, tetapi dia juga pembunuh. Dia membunuh ibuku. Tak ada yang mengetahuinya.” Mamoru tidak berbohong—dia menganggap ayahnya bertanggung jawab atas kematian sang ibu.


(15)

Miura terdiam lagi.

“Selama ini kau benar, Miura! Aku anak seorang pembunuh. Dan kau percaya hal-hal seperti itu merupakan faktor genetik, bukan? Pencuri melahirkan pencuri. Memang begitulah keadaannya. Jadi, lebih baik kau berhati-hati. Ada darah seorang pembunuh yang mengalir di nadiku.”

“Jika sekali lagi, LAGI, kau melakukan sesuatu terhadapku, terhadap semua temanku, atau keluargaku, aku tak akan menahan diri lagi. Kau bisa bersembunyi di balik sekian banyak kunci sesukamu atau kau bisa mencoba melarikan diri— tetapi itu tak akan ada gunanya bagimu. Aku akan mengikuti jejakmu. Bagaimana dengan sepeda motor milikmu? Apakah kendaraan itu terkunci dengan rapat dan baik di tempat yang aman? Lebih baik kau memeriksanya sebelum mengendarainya lain kali. Bisa saja kau sedang mengebut ketika remnya blong.”

Mamoru membanting gagang telepon dengan kadar yang tepat. Beban berat di perutnya mulai terurai. Dia sadar lututnya sendiri gemetaran. Mamoru bersandar di kaca bilik telepon umum dan menarik napas dalam-dalam.

Analisis :

Pada cuplikan kalimat “Jika sekali lagi, LAGI, kau melakukan sesuatu terhadapku, terhadap semua temanku, atau keluargaku, aku tak akan menahan diri lagi.” menunjukkan adanya perbuatan Id. Mamoru menelepon Miura dan mengancamnya karena Miura telah memfitnah Mamoru dan menyakiti Miyashita, sahabat Mamoru. Terlihat gelombang kebencian yang bangkit di hatinya dan menimbulkan konflik batin yang sangat hebat di jiwa Mamoru. Dari cuplikan di atas dijelaskan adanya indeksikal tentang puncak konflik batin yang dialami


(16)

Mamoru di dalam hidupnya. Ia tidak bisa membiarkan Miura mengganggu hidupnya terus menerus.

Mamoru menganggap bahwa Miura bukanlah orang yang patut untuk dikasihani dan Mamoru lupa pada rasa malunya. Padahal di dalam budaya malu Jepang, ajaran Shinto dan Buddhisme mengajarkan bahwa nilai yang paling tinggi adalah rasa malu. Oleh sebab itu, seluruh aktivitas mereka difokuskan pada usaha menjaga rasa malu tersebut. Dan seseorang yang tahu malu didefinisikan sebagai orang yang bajik (Benedict, 1989:234).

Di sini, Ego Mamoru berperan dalam memuaskan hasrat Id untuk mengancam Miura. Padahal di dalam prinsip realitas, Ego seharusnya mencegah Id dari perbuatan yang tidak baik. Begitu juga dengan Super Ego yang tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai prinsip moralitas. Hati nurani Mamoru tidak bisa lagi mengendalikan rasa marah dan kesal yang ada pada diri Mamoru dan ia tidak memiliki rasa kasihan sedikitpun terhadap Miura.

Dalam konflik tersebut, Id Mamoru yang bekerja untuk menghindari rasa sakit dan berusaha mengurangi ketegangan mendorong Ego Mamoru untuk melakukan suatu tindakan yang berupa ancaman terhadap Miura. Sementara Super Ego Mamoru yang bekerja berdasarkan prinsip moral tidak mempunyai kekuatan untuk meredakan keinginan Id. Terlihat pada reaksi Mamoru yang menggambarkan bahwa ia merasa lega karena telah mengancam Miura. Hal ini sesuai dengan teori kepribadian Sigmund Freud bahwa Id berfungsi berdasarkan prinsip kenikmatan, yaitu berusaha memeroleh kenikmatan dan menghindari rasa sakit.


(17)

Cuplikan 5 (hal. 252-254)

Puing-puing rumah itu sudah mendingin. Kapankah ledakannya terjadi? Jamnya berhenti pada pukul dua lewat sepuluh. Sekarang baru lewat setengah lima. Itu pasti terjadi pada pukul dua lewat sepuluh dini hari.

Itu berarti bukan Hashimoto yang meneleponnya --- ada orang lain yang menelepon menggunakan namanya. Tiba-tiba saja segalanya tampak jelas. Mamoru-lah satu-satunya orang yang memiliki salinan artikel Information

Channel. Itu menjadikannya salah satu mata rantai. Hanya dia yang memiliki

bukti yang tersisa mengenai keterkaitan keempat perempuan itu. Mamoru mulai berkeringat dingin.

Majalah itu ada di rumah! Mamoru teringat bahwa dia telah memberikan

Hashimoto sebuah memo berisi telepon rumah dan alamatnya. Siapa pun itu telah menemukannya dan menelepon Mamoru --- untuk memperingatkan bahwa dia adalah korban selanjutnya!

Mamoru harus menemukan telepon dan menghubungi bibinya. Dia berlari beberapa blok sampai menemukan satu telepon umum. Dalam kepanikan, dia berjuang mengingat nomor telepon rumahnya sendiri. Dia mengambil gagang telepon dan mendengar nada panggilnya. Barangkali dia sudah terlambat. Bagaimana kalau saluran teleponnya sibuk?

“Halo, keluarga Asano,” jawab Bibi Yoriko.

“Bibi, kau harus keluar dari rumah sekarang juga!”

“Apa? Siapa ini?”

“Ini Mamoru. Aku tak punya waktu untuk menjelaskan. Lakukan saja apa yang kukatakan. Pergi dari rumah sekarang juga. Jangan bawa apa pun


(18)

bersamamu. Pastikan Paman Taizo dan Maki juga pergi bersamamu. Sekarang juga!”

“Mamoru, apa gerangan yang terjadi padamu?”

“Lakukan apa yang kukatakan! Kumohon!”

“Aku tidak tahu apa sebenarnya masalahmu, tetapi seseorang menelepon lagi tadi sewaktu kau keluar. Hashimoto ini ingin kau meneleponnya …”

“Aku tahu, itulah sebabnya …”

“Dia memberiku nomornya. Apakah kau membutuhkannya sekarang?” Mamoru terdiam. Dia memberikan nomornya?

Analisis :

Pada kalimat “Mamoru harus menemukan telepon dan menghubungi bibinya” nampak bahwa adanya indeksikal perbuatan Id. Mamoru takut keluarganya dibunuh oleh Harasawa, seperti Harasawa yang membunuh Hashimoto. Maka dengan bergegas ia berlari mencari telepon umum agar bisa memperingatkan bibinya yang sedang berada di rumah.

Kemudian pada kalimat “Lakukan saja apa yang kukatakan. Pergi dari rumah sekarang juga. Jangan bawa apa pun bersamamu. Pastikan Paman Taizo dan Maki juga pergi bersamamu. Sekarang juga!” tercermin adanya sikap Ego. Ego bekerja sesuai dengan prinsip realita yang mendorong keinginan untuk menyelamatkan Bibi Yoriko, Paman Taizo dan Maki dari ancaman Harasawa. Sikap Mamoru ini mencerminkan budaya malu Jepang, yaitu wajib untuk membalas kebaikan orang lain (Benedict, 1989:338).

Dalam hal ini, Ego membantu hasrat Id Mamoru untuk melindungi orang-orang yang ia sayangi. Sesuai dengan teori kepribadian Sigmund Freud bahwa


(19)

Ego dalam menjalankan fungsinya tidak ditujukan untuk menghambat pemuasan kebutuhan-kebutuhan yang berasal dari Id, melainkan sebagai perantara dari tuntutan naluri dari satu pihak dengan keadaan lingkungan pihak yang lain.

Cuplikan 6 (hal. 260-261)

Rasa takut kembali mencengkeram hati Mamoru dengan sangat cepat seolah-olah melekat pada peluru. Dia dapat melihat wajah-wajah orang yang dikasihinya berkelebatan ketika segalanya menjadi jelas. Ingin sekali ia menghilangkan nyawa Harasawa karena takut Harasawa akan menyakiti keluarga dan para sahabat Mamoru.

“Kau pengecut.” Hanya itu yang sanggup dilontarkan Mamoru. “Tak sulit bagimu untuk menemukanku dan membunuhku. Apa yang menahanmu?”

“Aku menyukaimu, Bocah. Kau berani, kau memiliki kecerdasan dan kau tahu cara menggunakannya. Ada banyak hal yang bisa kita bagi bersama-sama.”

“Tak ada apa pun …”

“Bagaimana dengan percobaan kecil?” suara itu menukasnya. “Malam ini jam sembilan. Akan kugunakan seseorang dalam keluargamu untuk membuktikan bahwa aku dapat membuat orang lain melakukan apa pun yang kuinginkan. Kemudian kau dapat memutuskan apakah kau memercayaiku atau tidak. Tak akan terlalu terlambat bagimu untuk bertindak.” Suara itu mengimbuhkan nada mengejek, “Begini saja, kalau kau masih merasa ingin bertindak …”

“Kau gila! Apakah kau tahu apa yang sedang kau lakukan?”

“Bagaimana kalau kita mendiskusikannya saat kita bertemu nanti? Aku tak sabar menanti saat itu. Kita memiliki banyak kesamaan dan ada banyak hal yang


(20)

ingin ku ajarkan kepadamu. Sampai saat itu, lupakan semua hal tentang diriku. Aku yang akan menghubungimu.”

“Aku akan mencari Kazuko Takagi.” Mamoru memulai. “Akan kupastikan kau tak bisa menyakitinya.”

“Lakukan sesukamu.” Suara itu tertawa. “Tokyo itu luas. Bagaimana caramu menemukannya? Menurutku dia tidak berada di suatu tempat yang akan kau pikirkan. Dia tak akan menjawab jika kau memanggil-manggil namanya. Dia sudah sangat ketakutan.”

Orang itu pasti bermaksud mengatakan bahwa Kazuko Takagi tahu bahwa dialah satu-satunya dari keempat perempuan itu yang masih hidup.

Analisis :

Nampak pada kalimat “Ingin sekali ia menghilangkan nyawa Harasawa karena takut Harasawa akan menyakiti keluarga dan para sahabat Mamoru.” terlihat adanya indeksikal perbuatan Id. Mamoru berpikir bahwa dengan menghilangkan nyawa Harasawa ia bisa melindungi orang-orang yang dikasihinya dari berbagai macam teror dan masalah yang akan dilakukan oleh Harasawa. Ketika itu Mamoru ditelepon oleh Harasawa yang berniat untuk membunuh Kazuko. Mamoru mengira Harasawa akan melakukan apapun agar Mamoru bersedia membantunya, termasuk menyakiti orang-orang di sekitar Mamoru.

Namun perasaan ingin membunuh Harasawa itu hilang setelah Mamoru sadar bahwa ia harus menyelamatkan Kazuko. Terlihat dalam kalimat “Aku akan mencari Kazuko Takagi.” Mamoru memulai. “Akan kupastikan kau tak bisa menyakitinya.” bahwa Super Ego yang bekerja berdasarkan hati nurani membuat Mamoru ingin melindungi Kazoku, meski ia tahu Kazuko berada di Tokyo,


(21)

namun mencari seseorang di suatu daerah tanpa petunjuk apa-apa merupakan hal yang sulit. Ia khawatir tak dapat menemukan di mana Kazuko berada. Mamoru menganggap bahwa menyelamatkan Kazuko lebih penting daripada membunuh Harasawa. Mamoru juga berpendapat Kazuko layak untuk diberikan kesempatan hidup dan tidak pantas untuk dibunuh. Sikap Mamoru ini mencerminkan budaya malu Jepang, yaitu berusaha semaksimal mungkin untuk berbuat kebaikan, apalagi membalas kebaikan yang telah ia terima dari orang lain. Jika ia tidak mampu, maka ia harus melakukan bunuh diri (Benedict, 1989:107).

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa Super Ego berhasil mengalahkan Id karena Mamoru tidak melampiaskan hasrat ingin membunuhnya kepada Harasawa dan malah berniat untuk menyelamatkan Kazuko. Hal ini sesuai dengan teori kepribadian Sigmund Freud bahwa Super Ego berhubungan dengan lingkungan sosial dan mempunyai nilai moral sehingga merupakan kontrol atau sensor terhadap dorongan-dorongan yang datang dari Id.

Cuplikan 7 (hal. 274-275)

Selama beberapa hari, Mamoru mengalami mimpi berulang di mana dia mendengar suara gas yang bocor. Bukan suara yang tidak biasa, tetapi itu terjadi di rumah Mamoru, yang untuk sejumlah alasan juga rumah Hashimoto. Mamoru dapat melihat siluet Hashimoto yang tertidur. Teleponnya berdering. Satu, dua, tiga kali. Mamoru terus berteriak, memperingatkan lelaki itu agar tidak mengangkatnya. Namun Hashimoto terbangun dan menjawab teleponnya. Kemudian terjadi ledakan teredam. Lidah-lidah api memecahkan jendela.


(22)

Mamoru terbangun, seperti yang dilakukannya pada satu titik dalam mimpi ini. Tubuhnya basah oleh peluh dan meringkuk dalam posisi janin, seolah-olah mencoba untuk melindungi dirinya sendiri dari dampak ledakan.

Bagaimana kalau dia memberitahu seseorang? Bagaimana kalau dia membuat pengakuan mengenai semua ini? Namun tak seorang pun akan memercayainya. Mereka akan menertawainya, dan mengatakan bahwa dia butuh liburan. Dia bahkan akan berakhir menertawakan dirinya sendiri. Namun dia yakin bahwa orang yang akan diberitahunya akan tewas dalam hitungan hari setelah melompati atap atau berlari ke depan mobil yang melaju. Kemudian teleponnya berdering untuk Mamoru : Bocah, kau telah melanggar janji …

Pada akhirnya Mamoru berpikir bahwa Harasawa tak dapat ia hindari. Mamoru tak bisa bersembunyi ke mana pun. Yang bisa ia lakukan hanyalah melindungi orang-orang yang ia cintai. Apapun akan ia lakukan demi mereka.

Tidak, dia tak dapat memberi tahu orang lain. Dan karena dia tak bisa membicarakannya, dia berhenti mengatakan banyak hal. Maki tidak senang, dan dia terus bertanya mengapa Mamoru jadi mudah marah seperti itu. Yoichi Miyashita akan mendekatinya untuk mengobrol, mengamati wajahnya, dan kemudian menjauh lagi. Anego telah berhenti bersikap khawatir dan hanya merasa jengkel. Mamoru bahkan tak mau berbicara pada Takano, yang memutuskan sendiri untuk keluar dari rumah sakit sehingga dia bisa menangani bisnis akhir tahun di bagian Buku di Laurel.

Analisis :

Dari cuplikan di atas dijelaskan bahwa tersirat rasa takut dalam diri Mamoru karena mendapat ancaman dari Harasawa untuk tidak mengatakan hal yang


(23)

sebenarnya terjadi kepada siapapun. Dalam kalimat “Yang bisa ia lakukan hanyalah melindungi orang-orang yang ia cintai.” menunjukkan adanya perbuatan Id, yaitu hasrat ingin melindungi semua orang yang disayangi oleh Mamoru.

Sedangkan pada kalimat “Tidak, dia tak dapat memberi tahu orang lain. Dan karena dia tak bisa membicarakannya, dia berhenti mengatakan banyak hal.” terlihat adanya indeksikal perbuatan Ego. Mamoru sadar bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa selain menyembunyikan semua masalahnya. Ego membuat Mamoru berpikir secara realitas bahwa ia tidak bisa memberitahukan permasalahannya kepada siapapun. Ia takut orang-orang di sekitarnya terluka. Maka ia lebih memilih untuk berhenti bicara dan berubah menjadi sosok pendiam, meskipun banyak orang yang khawatir dan mencoba bicara dengan dirinya. Hal ini sesuai dengan budaya malu Jepang, yaitu merasa malu apabila ia dijadikan bulan-bulanan atau ditolak oleh orang lain, atau dengan membayangkan bahwa dirinya telah dijadikan atau menjadikan orang lain sebagai bulan-bulanan (Benedict, 1989:223).

Di sini terlihat bahwa Id Mamoru yang bekerja sebagai prinsip kenikmatan ingin menghindari rasa takut dan berusaha mengurangi ketegangan mendorong Ego Mamoru sehingga mengambil suatu tindakan yaitu berupa pengacuhan terhadap sekitar. Mamoru lebih memilih untuk tidak berbicara dengan siapapun dan lebih suka memendam masalahnya sendirian. Id lebih dominan dan berhasil mengalahkan Ego. Hal ini sesuai dengan teori kepribadian Sigmund Freud bahwa tegangan itu merupakan suatu keadaan yang relative inaktif dan rasa sakit adalah tegangan atau peningkatan energi yang mendambakan kepuasan. Bagi individu, tegangan adalah suatu hal yang sangat tidak menyenangkan.


(24)

Cuplikan 8 (hal. 317-319)

“Hanya ini makanan terbaik yang ada di Laurel, maaf.” Yoshitake mengajak Mamoru untuk makan siang bersamanya, dan Mamoru menyarankan restoran China di lantai lima pujasera. Mamoru tahu bahwa Yoshitake mungkin pernah bersantap di restoran yang lebih baik di seluruh dunia, tetapi hanya sejauh inilah Mamoru bisa pergi pada saat istirahatnya.

Yoshitake mengelap tangan dengan handuk hangat yang diberikan pramusaji kepadanya, lalu tersenyum. “Jangan mencemaskan itu. Andai saja kau melihat apa yang sering kusantap saat makan siang. Biasanya makanan cepat saji.”

“Sungguh?”

“Ya, sungguh. Nasi panas dan sup miso adalah makanan paling lezat yang bisa kupikirkan. Itulah yang kurindukan saat aku tinggal di kamar kontrakan.”

“Makanan ini juga sudah enak,” kata Mamoru sambil menelan ludah, membayangkan berbagai macam makanan enak akan masuk ke dalam mulutnya.

Yoshitake memesan beberapa item menu yang lebih mahal, dengan buah leci sebagai pencuci mulut. Pramusajinya memiringkan kepala dengan ragu saat berjalan kembali ke dapur dengan pesanan mereka. Mamoru tiba-tiba khawatir restoran itu mungkin tidak memiliki stok buah leci.

“Aku mampir di rumahmu dan mendapati bahwa kau bekerja di sini selama liburan.” Taizo dan Yoriko sedang menghabiskan “Tahun Baru mereka di tempat tidur”. Terutama Taizo yang tak terbiasa dengan kegiatan angkut-mengangkut dalam pekerjaan barunya dan sekarang sedang mengalami sakit punggung. Mamoru hanya bisa membayangkan mereka sibuk bersih-bersih ketika Yoshitake muncul secara tak terduga di pintu depan rumah mereka.


(25)

Ketika makanannya datang, lelaki yang lebih tua itu mendorong Mamoru untuk menyantapnya. “Sebaiknya kau cepat makan. Kelihatannya kau akan sibuk lagi sore ini.”

“Keluargaku pasti akan iri karena aku menyantap makanan selezat ini siang-siang!”

Analisis :

Nampak dalam kalimat “Makanan ini juga sudah enak,” kata Mamoru sambil menelan ludah, membayangkan berbagai macam makanan enak akan masuk ke dalam mulutnya.” bahwa terdapat indeksikal perbuatan Id. Makanan tersebut sangat mewah bagi Mamoru, bahkan ia belum pernah memakannya. Keinginan Mamoru untuk segera menyantap makanan enak sedikit dia tahan karena merasa segan dengan Yoshitake. Ia malu memperlihatkan rasa laparnya, apalagi ia tahu bahwa Yoshitake mungkin pernah memakan makanan yang lebih enak di restoran terbaik di seluruh dunia. Hal ini sesuai dengan budaya malu Jepang, yaitu untuk tidak bersikap sesuatu yang mempermalukan diri sendiri di depan orang lain (Benedict, 1989:109).

Dan pada kalimat “Sebaiknya kau cepat makan. Kelihatannya kau akan sibuk lagi sore ini.” terdapat indeksikal adanya perbuatan Ego. Yoshitake berperan sebagai Ego Mamoru, yaitu menyuruhnya memakan makanan yang telah terhidang di atas meja sehingga Mamoru tanpa ragu melahapnya dengan gembira.

Dalam hal ini Ego mendorong keinginan Id. Id Mamoru ingin langsung memakan apa yang disajikan pramusaji karena rasa lapar memerintahkannya untuk segera makan. Dan Ego membantu Id untuk mencapai kepuasan tersebut. Hal ini sesuai dengan teori kepribadian Sigmund Freud yang menyatakan bahwa


(26)

Ego memilih dorongan mana yang akan dipuaskan sesuai dengan prioritas kebutuhan.

Cuplikan 9 (hal. 324-326)

Kesadaran Yoshitake kembali sekitar satu jam kemudian di ranjang rumah sakit umum. Mamoru duduk di kursi yang ditariknya ke kaki ranjang.

Wajah Yoshitake membiru dan dia mencengkeram bagian dada sebelah kirinya ketika terjatuh, sehingga para dokter awalnya mengira dia terkena serangan jantung. Mamoru takut hal terburuklah yang terjadi, dan menunggu di koridor dengan mata yang terpancang ke pintu ruangan tempat Yoshitake dirawat. Namun, dalam waktu setengah jam denyut nadi dan tekanan darah Yoshitake mulai stabil dan napasnya mulai kembali normal. Dokternya kebingungan, dan memutuskan agar ia dirawat inap untuk observasi.

“Apa yang terjadi?” Itu adalah kata-kata pertama yang diucapkan Yoshitake.

“Harusnya aku yang mengatakannya! Bagaimana perasaanmu?” Mamoru merespons seraya menekan tombol untuk memanggil perawat, tepat seperti yang telah diinstruksikan.

Mamoru merenungkan apa yang terjadi sementara dia mendengarkan pembicaraan antara Yoshitake dengan dokternya. Dia bertingkah aneh, hampir

seperti lelaki yang waktu itu. Itulah yang dikatakan Takano. Itu berarti Yoshitake

mungkin ambruk karena video-video subliminal itu.

“Kapan terakhir kali Anda memeriksa kesehatan Anda?” tanya si dokter.

“Musim semi tahun lalu. Aku menghabiskan waktu seminggu menjalani tes,” jawab Yoshitake. “Apakah aku terkena serangan jantung?”


(27)

“Tidak, bukan seperti itu,” sang dokter merespons. “Segalanya normal, tetapi letaknya tidak tepat. Pernahkah sesuatu seperti ini terjadi sebelumnya?”

“Tidak. Aku sendiri tak bisa memercayainya. Apakah aku benar-benar pingsan?”

“Saya mau mengadakan sejumlah tes, jadi Anda harus menginap di sini selama beberapa hari.”

“Tetapi aku baik-baik saja.” Yoshitake mencoba mendebatnya, tetapi dokter sekaligus perawatnya meninggalkan kamar.

“Kau harus memikirkan kesehatanmu. Itu yang terpenting.” Mamoru tersenyum dan mencoba menenangkannya.

“Dia terlalu berlebihan.” Yoshitake mendesah. “Aku cuma agak stress. Itulah yang terjadi. Terutama sejak Desember. Aku bangun pagi-pagi buta dan tak selalu dapat mengingat apa yang telah kulakukan malam sebelumnya. Aku pasti minum terlalu banyak. Apakah kau naik ambulans bersamaku?” Dia menatap Mamoru yang masih mengenakan seragam Laurel.

Mamoru mengangguk. “Aku menghubungi rumahmu. Pelayanmu bilang dia akan membawakan barang-barangmu.”

“Wah, terima kasih, kuhargai itu.”

Analisis :

Dari cuplikan kalimat berikut “Kau harus memikirkan kesehatanmu. Itu yang terpenting.” menunjukkan adanya perbuatan Id. Terlihat bahwa Mamoru khawatir dengan keadaan Yoshitake yang tiba-tiba ambruk dan harus dirawat di rumah sakit. Mamoru ingin agar Yoshitake lebih memikirkan kesehatannya karena itu merupakan hal yang paling penting. Di sini tercermin sikap dari budaya


(28)

malu Jepang, yaitu berusaha semaksimal mungkin untuk berbuat kebaikan, apalagi membalas kebaikan yang telah ia terima dari orang lain (Benedict, 1989:107).

Kemudian dalam kalimat “Aku menghubungi rumahmu. Pelayanmu bilang dia akan membawakan barang-barangmu.” terlihat adanya perbuatan Ego. Di sini, Ego Mamoru berperan sebagai prinsip realitas menganggap bahwa menghubungi dan mengabari pelayan Yoshitake adalah tindakan yang tepat. Jadi keluarga Yoshitake bisa mengetahui bagaimana kondisi Yoshitake saat ini dan apa saja yang dibutuhkan Yoshitake selama di rumah sakit bisa dibawakan oleh para pelayannya.

Dalam hal ini, Ego Mamoru membantu Id agar keinginan untuk menjaga Yoshitake bisa terwujud. Dengan kata lain, Ego Mamoru bekerja dengan baik dalam memuaskan hasrat Id. Hal ini sesuai dengan teori kepribadian Sigmund Freud bahwa Ego berusaha memperoleh kepuasan yang dituntut Id dengan mencegah terjadinya tegangan baru atau menunda kenikmatan sampai ditemukan objek nyata yang dapat memuaskan kebutuhan.

Cuplikan 10 (hal. 387-388)

“Apa yang ada di pikiranmu?” tanya Yoshitake. Mamoru telah menelepon hari ini untuk menyampaikan bahwa ada yang harus dibicarakannya, dan bertanya apakah Yoshitake bisa menemuinya; dia akan merasa senang hati bertemu dengan Yoshitake di dekat kantornya.

“Apakah kau sudah merasa baikan?” Mamoru bertanya.


(29)

Mamoru kesulitan berbicara. Dia tak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah Yoshitake dan kulit halus kecoklatannya akibat main golf.

Ayahku sudah lama mati selama kau bermain golf, minum-minum, dan bahkan saat kau berada di kantor polisi memberikan kesaksian. Sekarang dia hanya tumpukan tulang yang dikuburkan di gunung antah berantah. Kau menjalani hidup bahagia selama waktu aku membenci ayahku, semua tahun-tahun ibuku menunggunya untuk pulang. Hanya kaulah pihak yang merasakan kebahagiaan.

“Ada masalah apa?” Ekspresi Yoshitake berubah mendung. “Mengapa kau menatapku seperti itu?”

“Seperti apa?” Mamoru mengambil cangkir kopi, dan menjatuhkannya. Cairan hitam tertumpah dari cangkir porselen itu ke tangannya. Mamoru bertanya-tanya sambil lalu apakah warnanya menyerupai darah.

Analisis :

Dalam kalimat “Kau menjalani hidup bahagia selama waktu aku membenci ayahku, semua tahun-tahun ibuku menunggunya untuk pulang. Hanya kaulah pihak yang merasakan kebahagiaan.” dapat dilihat adanya indeksikal tentang hasrat Id berupa puncak konflik batin yaitu tersirat rasa benci yang Mamoru tanam kepada Yoshitake karena Yoshitake telah menabrak ayah Mamoru hingga meninggal dunia dan menguburkannya di gunung di Hirakawa, namun Yoshitake tak mau menyerahkan dirinya pada polisi dan lebih memilih untuk menyimpan rahasianya dalam-dalam. Mamoru diliputi perasaan bimbang karena di satu sisi ia telah banyak dibantu oleh Yoshitake, namun di sisi yang lain Yoshitake tanpa sengaja telah merampas kebahagiaan hidupnya. Hal ini sesuai dengan budaya


(30)

malu Jepang, yaitu rasa malu yang muncul karena tidak mampu membalas budi orang lain (Benedict, 1989:338).

Dalam konflik tersebut, Id Mamoru yang bekerja untuk menghindari rasa sakit berusaha mengurangi ketegangan mendorong Ego Mamoru. Namun Id Mamoru belum cukup kuat mendorong Ego Mamoru untuk melakukan suatu tindakan apapun. Mamoru diselimuti kemarahan tanpa mampu berbuat apa-apa. Hal ini sesuai dengan teori kepribadian Sigmund Freud bahwa Id selalu menginginkan atau mendorong hal-hal yang dikehendaki agar perasaan puas bisa segera diwujudkan.

Cuplikan 11 (hal. 396-397)

Mamoru perlahan-lahan menuruni tangga. Dia harus duduk sebentar dan beristirahat. Pada saat dia tiba di luar, saljunya turun semakin deras. Segera saja jaket dan celananya tertutup warna putih. Dia berpikir untuk berhenti dan diam saja di sana selamanya, seperti sebuah kotak surat.

Dia mulai berjalan, dan dia dapat melihat jejak kakinya di salju. Dia berada di turunan. Dia tidak berhasil sampai ke puncak.

Dia menemukan telepon umum, menekan nomor tertentu dan menunggu. Apakah Harasawa terlalu lemah untuk menggapai telepon?

“Halo?” Suara parau akhirnya menjawab.

“Ini aku.”

Ada keheningan panjang.

“Halo? Dapatkah kau mendengarku? Malam ini tidak berkabut, tetapi bersalju.” Dagu Mamoru mulai bergetar. “Apakah kau dengar? Saat ini bersalju.


(31)

Aku tak bisa melakukannya. Kupikir aku sanggup, tetapi aku gagal. Apakah kau mengerti? Aku tak bisa melakukannya seperti yang kau lakukan. Aku tak membiarkan Yoshitake mati.” Salju di atas pipinya mulai mencair dan mengalir menuruni wajahnya. “Aku tak dapat membunuhnya. Aku tak dapat membunuh lelaki yang membunuh ayahku. Menggelikan sekali!”

Analisis :

Pada cuplikan dalam kalimat “Aku tak bisa melakukannya. Kupikir aku sanggup, tetapi aku gagal. Apakah kau mengerti? Aku tak bisa melakukannya seperti yang kau lakukan. Aku tak membiarkan Yoshitake mati.” menunjukkan adanya indeksikal perbuatan Super Ego. Super Ego yang bekerja sebagai prinsip moralitas berperan dengan sangat baik. Mamoru menelepon Harasawa dan mengatakan padanya bahwa ia tak dapat membunuh Yoshitake yang secara tidak sengaja telah membunuh ayah Mamoru. Terlihat bahwa Mamoru tidak mampu untuk membalaskan dendamnya kepada Yoshitake. Mamoru merasa malu jika ia sampai membunuh Yoshitake, padahal ia berkewajiban untuk memaafkan Yoshitake dan menjebloskannya ke dalam penjara. Hal ini sesuai dengan budaya malu Jepang, yaitu rasa malu akan muncul apabila seseorang tidak mampu menunaikan kewajibannya dengan baik (Benedict, 1989:105).

Meski Id Mamoru menginginkan hal tersebut terjadi, namun Super Ego Mamoru yang bertugas untuk melakukan hal yang sesuai dengan hati nurani cenderung bersikap lebih dominan. Dengan kata lain, Super Ego Mamoru berhasil menekan Id Mamoru. Hal ini sesuai dengan teori kepribadian Sigmund Freud bahwa Super Ego berfungsi sebagai pengendali dorongan-dorongan atau


(32)

impuls-impuls naluri Id agar impuls-impuls-impuls-impuls tersebut disalurkan dalam cara atau bentuk yang dapat diterima oleh masyarakat.


(33)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari analisis yang telah dilakukan terhadap tokoh utama Mamoru dalam novel The Devil’s Whisper karya Miyuki Miyabe dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Tokoh yang ada dalam novel adalah tokoh fiksi atau dengan kata lain merupakan hasil kreativitas seorang pengarang. Pengarang bebas menentukan bagaimana tokoh tersebut ditampilkan, baik dari segi fisik maupun perwatakannya.

2. Di dalam novel ini menceritakan tentang seorang remaja laki-laki berusia 16 tahun bernama Mamoru Kusaka yang tinggal dengan bibi, paman dan sepupunya tak lama setelah ibunya meninggal. Sebelumnya ia selalu dibully karena ayahnya telah mencuri dana masyarakat sebesar 5 juta yen. Sang ayah tak pernah kembali sejak Mamoru berusia 4 tahun, hingga muncul kasus pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh pamannya. Tanpa diduga, kasus tersebut menguak kebenaran atas masa lalu Mamoru.

3. Novel The Devil’s Whisper dianalisis dengan menggunakan teori struktur kepribadian Sigmund Freud, yaitu Id, Ego, dan Super Ego. Teori ini bisa disebut juga sebagai teori psikoanalisa yang sangat membantu penulis dalam melakukan analisis terhadap setiap konflik batin yang dialami tokoh utama. 4. Dilihat dari segi kepribadian, Id dari tokoh utama yaitu Mamoru banyak


(34)

ada juga beberapa sikap Ego dan Super Ego yang menjadi penghalang ketika perbuatan Id sudah di luar norma, aturan dan tidak sesuai dengan hati nurani. Jadi bisa dikatakan bahwa Ego dan Super Ego berhasil menekan Id.

5. Id Mamoru adalah berkeinginan untuk membunuh Yoshitake karena telah menabrak ayahnya hingga tewas. Ketika Egonya hampir berhasil menjalankan hasrat tersebut, yaitu dengan mengucapkan kata kunci yang diberikan Harasawa agar Yoshitake terhipnotis dan tanpa sadar akan melompat dari jendela kantornya, hati nurani Mamoru tergerak dan malah menyelamatkan Yoshitake. Ini berarti Super Ego Mamoru telah berhasil menekan Id Mamoru karena telah bertindak hal yang benar.

6. Miyuki Miyabe selaku pengarang dari novel ini adalah orang Jepang yang tinggal di New York, Amerika Serikat. Ia memiliki pandangan yang sudah terbuka dan menjunjung tinggi HAM. Pengarang berusaha memberitahukan kepada para pembaca setianya bagaimana situasi dan kondisi seorang anak yang dikucilkan oleh masyarakat sejak kecil. Selain itu, pengarang juga ingin membuka pikiran pembaca agar jangan menghakimi seseorang dari perbuatan orang tua ataupun keluarganya, karena walaupun orangtuanya bertindak kriminal, belum tentu anaknya juga bertindak kriminal. Kejahatan seseorang tidak bisa diteruskan kepada keturunannya.

7. Jepang memiliki budaya yang khas dan unik. Sikap masyarakat Jepang yang menempatkan rasa malu sebagai nilai yang paling tinggi di dalam kehidupan tanpa mengabaikan rasa takut yang paling tinggi yaitu Tuhan, di mana orang Jepang menganut paham budaya malu. Oleh sebab itu, seluruh aktivitas difokuskan pada usaha untuk menjaga rasa malu tersebut.


(35)

8. Rasa malu atau haji adalah budaya yang terdapat dalam masyarakat Jepang yang tetap dijalankan sebagai ciri khas bangsa. Haji juga merupakan reaksi psikologis yang timbul akibat adanya kritikan, sindiran dan cemoohan dari orang lain.

9. Melalui novel ini juga ada banyak hal yang dapat kita pelajari dari tokoh utama, di antaranya belajar bagaimana menerima kenyataan walaupun sulit sekalipun, tidak memiliki rasa dendam dan berusaha memaafkan kesalahan orang lain. Serta berpikir secara logika tanpa mengesampingkan ego ataupun perasaan untuk membantu sesama manusia.

9.2 Saran

Setelah membaca dan memahami isi skripsi ini diharapkan pembaca dapat mengontrol struktur kepribadian Id, yaitu keinginan-keinginan yang muncul dari dalam diri yang bertentangan dengan Ego dan Super Ego. Meski Id itu dirasa benar dan sulit untuk dilawan, sebagai manusia yang memikili akal dan budi pekerti, kita harus mencoba berpikir secara rasional dan jangan terlalu mudah membawa perasaan. Ada aturan serta norma yang harus dipatuhi dan dijalankan, apalagi di dalam kehidupan bermasyarakat.

Di samping itu, kita juga harus selalu menjaga nama baik dan martabat keluarga. Kebaikan orang lain harus kita balas dengan kebaikan juga, walau mungkin orang lain tersebut melakukan kesalahan, namun kita harus bisa memaafkan dan mengingat semua kebaikan yang telah ia lakukan pada kita. Karena bagaimana pun juga, hal yang baik harus selalu diingat dan diamalkan. Sangat tidak baik jika selalu memendam dendam, apalagi melampiaskan atau


(36)

membalaskan dendam tersebut. Kita tak akan pernah puas dan selalu mencari-cari kesalahan orang lain tanpa mau bersikap tegar.

Dan semoga pembaca dapat lebih mempertimbangkan berbagai akibat yang mungkin akan muncul dari setiap pemenuhan kebutuhan manusia tersebut. Serta selalu menjaga akal sehat kapanpun dan dalam situasi kapanpun.


(37)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL THE DEVIL’S WHISPER DAN KONSEP PSIKOANALISA SIGMUND FREUD

2.1 Definisi Novel

Sebutan novel berasal dari bahasa Itali, yaitu novella yang berarti ‘sebuah

barang baru yang kecil’, lalu diartikan sebagai ‘cerita pendek dalam bentuk prosa’.

Indonesia mengambil istilah novel dari bahasa Inggris novellet, artinya sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukup, tidak terlalu panjang namun juga tidak terlalu pendek.

Prosa dalam pengertian kesusastraan juga disebut sebagai fiksi. Karya fiksi menyarankan pada suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada, dan terjadi sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata (Nurgiyantoro, 1995:2). Tokoh peristiwa dan tempat yang disebut-sebut dalam fiksi adalah tokoh, peristiwa, dan tempat yang bersifat imajiner.

Menurut Poerwadaminta (1996:694) novel adalah karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang yang dikelilinginya dan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Sedangkan menurut Takeo dalam Pujiono (2002:3), novel merupakan sesuatu yang menggambarkan kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat meskipun kejadiannya tidak nyata.


(38)

2.1.1 Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik atau unsur dalam adalah unsur yang ikut mempengaruhi terciptanya karya sastra. Adapun unsur pembentuk yang dibangun oleh unsur intrinsik sebagai berikut.

a. Tema

Tema adalah gagasan yang menjalin struktur isi cerita. Tema cerita menyangkut segala persoalan kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang, kecemburuan, dsb. Untuk mengetahui tema suatu cerita, diperlukan apresiasi menyeluruh terhadap berbagai unsur karangan. Tema jarang dituliskan secara tersurat oleh pengarangnya. Untuk dapat merumuskan tema cerita fiksi, seorang pembaca harus mengenali unsur-unsur intrinsik yang dipakai oleh pengarang untuk mengembangkan cerita fiksinya.

Menurut Brooks (1952:820), tema adalah pandangan hidup yang tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra.

Istilah tema menurut Scharbach dalam Aminuddin (2000:91) berasal dari bahasa latin yang berarti ‘tempat meletakkan suatu perangkat’. Disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Sebab itulah penyikapan terhadap tema yang diberikan pengarangnya dengan pembaca umumnya terbalik. Seorang pengarang harus memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka


(39)

telah selesai memahami unsur-unsur signifikan yang menjadi media pemapar tema tersebut.

Lebih lanjut, Brooks dalam Aminuddin (2000:92) mengatakan bahwa dalam mengapresiasi tema suatu cerita, seorang apresiator harus memahami ilmu-ilmu humanitas karena tema sebenarnya merupakan pendalaman dan hasil kontemplasi pengarang yang berkaitan dengan masalah kemanusiaan serta masalah lain yang bersifat universal. Tema dalam hal ini tidaklah berada di luar cerita, tetapi inklusif di dalamnya. Akan tetapi, keberadaan tema meskipun inklusif di dalam cerita tidaklah terumus dalam satu dua kalimat secara tersurat, tetapi tersebar di balik keseluruhan unsur-unsur signifikan atau media pemapar prosa fiksi.

Dalam upaya pemahaman tema, pembaca perlu memperhatikan beberapa langkah berikut.

1. Memahami setting dalam prosa fiksi yang dibaca.

2. Memahami penokohan dan perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi yang dibaca.

3. Memahami suatu peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam prosa fiksi yang dibaca.

4. Memahami plot atau alur cerita dalam prosa fiksi yang dibaca.

5. Menghubungkan pokok-pokok pikiran yang satu dengan yang lainnya yang disimpulkan dari satuan-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita. 6. Menentukan sikap penyair terhadap pokok-pokok pikiran yang

ditampilkannya.

7. Mengidentifikasi tujuan pengarang memaparkan ceritanya dengan bertolak dari satuan pokok pikiran yang ditampilkannya.


(40)

8. Menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya dalam satu dua kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar cerita yang dipaparkan pengarangnya.

Berdasarkan pengertian di atas, tema yang diangkat dalam novel The Devil’s Whisper ini adalah mengenai pengucilan dan balas dendam. Adanya budaya malu membuat masyarakat Jepang tidak bisa menerima dengan baik keluarga pelaku kriminal dan malah menjauhinya.

b. Alur (plot)

Alur adalah pola pengembangan cerita yang terbentuk oleh hubungan sebab-akibat. Pola pengembangan cerita novel tidak seragam. Jalan cerita suatu novel terkadang berbelit-belit, penuh kejutan ataupun sederhana.

Menurut Aminuddin (2000:83), pengertian alur pada karya sastra adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Tahapan peristiwa yang menjalin suatu cerita bisa berbentuk dalam rangkaian peristiwa yang berbagai macam.

Sedangkan alur menurut Stanton dalam Nurgiyantoro (1995:13), adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat. Peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya adalah segala keterangan, petunjuk, dan pengacuan yang berkaitan dengan ruang, waktu dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra. Dari penjelasan tersebut, alur merupakan keserasian antara waktu, tempat dan deskripsi suasana.


(41)

Peristiwa-peristiwa cerita dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku, dan sikap tokoh-tokoh dalam cerita.

Peristiwa, konflik dan klimaks merupakan tiga unsur yang sangat esensial dalam pengembangan sebuah alur (plot) dalam cerita. Sebuah cerita menjadi menarik karena adanya tiga unsur tersebut.

Menurut Luxemburg dkk (1984:50), peristiwa merupakan peralihan dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dibedakan antara kalimat-kalimat tertentu yang menampilkan peristiwa dengan yang tidak. Peristiwa yang ditampilkan dalam karya fiksi sangat banyak, maka perlu dilakukan analisis peristiwa untuk menentukan peristiwa mana yang berfungsi sebagai pendukung plot.

Konflik mengacu pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi atau dialami oleh tokoh-tokoh cerita yang jika diberi kebebasan untuk memilih maka mereka tidak akan memilih peristiwa itu menimpanya.

Peristiwa dan konflik biasanya berkaitan erat dan dapat saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain, bahkan konflik pun hakikatnya merupakan peristiwa. Ada peristiwa tertentu yang dapat menimbulkan konflik atau bahkan sebaliknya. Bentuk konflik dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu konflik fisik dan konflik batin.

Konflik fisik (eksternal) adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu di luar dirinya, bisa dengan tokoh lain maupun dengan alam. Sedangkan konflik batin (internal) adalah konflik yang terjadi di dalam hati, jiwa seorang tokoh atau tokoh-tokoh dalam cerita. Jadi ia merupakan konflik yang


(42)

dialami manusia dengan dirinya sendiri. Kedua konflik tersebut saling berkaitan dan menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain dan dapat terjadi secara bersamaan.

Menurut Stanton (2007:16), klimaks adalah saat konflik telah mencapai intensitas tertinggi dan saat itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari kejadiannya. Klimaks utama sebuah cerita akan terdapat pada konflik utama dan akan diperankan oleh tokoh-tokoh utama dalam cerita.

Di dalam karya sastra terdapat tiga alur, yaitu :

1. Alur maju (progresif), adalah rangkaian cerita yang dimulai dari pengenalan masalah, terjadinya konflik, klimaks dan penyelesaian masalah.

2. Alur mundur (regresif), adalah rangkaian cerita yang dimulai dari menampilkan konflik, kemudian pengenalan tokoh dan penyelesaian masalah.

3. Alur campuran, merupakan perpaduan antara alur maju dan alur mundur.

Alur cerita dalam novel The Devil’s Whisper adalah alur campuran. Pada awal novel terdapat cerita tentang Mamoru setelah berumur 16 tahun. Pada cerita selanjutnya terdapat adanya flashback, yaitu cerita saat Mamoru masih kecil dan terjadinya kasus pencurian yang dilakukan oleh ayahnya, yang merupakan awal dari penderitaan Mamoru. Adanya pergantian sudut pandang karakter membuat novel ini cukup membingungkan bagi orang yang sulit untuk menghapal sekian banyak nama tokoh dalam waktu singkat. Ditambah dengan alur ceritanya yang sulit untuk ditebak, terdapat banyak kejutan di dalam beberapa bagian cerita.


(43)

c. Tokoh

Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan yang berbeda-beda. Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut dengan tokoh inti atau tokoh utama, sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena permunculannya hanya melengkapi, melayani dan mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu.

Dalam menentukan siapa tokoh utama dan tokoh pembantu dalam suatu novel, pembaca dapat menentukannya dengan jalan melihat keseringan permunculannya dalam suatu cerita. Selain lewat memahami peranan dan keseringan permunculannya, dalam menentukan tokoh utama serta tokoh pembantu dapat juga ditentukan lewat petunjuk yang diberikan oleh pengarangnya. Tokoh utama umumnya merupakan tokoh yang sering diberi komentar dan dibicarakan oleh pengarangnya, sedangkan tokoh tambahan hanya dibicarakan ala kadarnya (Aminuddin, 2000:79-80).

Menurut Fananie (2000:86), tokoh tidak saja berfungsi untuk memainkan cerita, tetapi juga berperan menyampaikan ide, motif, plot dan tema. Tokoh dalam cerita memiliki karakter dan sifat-sifat yang sesuai dengan yang dimainkan. Tokoh juga mempunyai posisi dalam sebuah cerita tergantung di mana ia ditempatkan. Hal inilah yang disebut dengan penokohan.

Penokohan merupakan perwujudan dan pengembangan pada sebuah cerita. Tanpa adanya tokoh, suatu cerita tidak dapat tersampaikan dengan baik. Penokohan lebih luas istilahnya daripada tokoh dan perwatakan, karena penokohan mencakup siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan dan bagaimana penempatan dalam sebuah cerita sehingga mampu memberikan gambaran yang


(44)

jelas kepada para pembaca. Penokohan dan karakterisasi perwatakan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 1995:166).

Di dalam sebuah cerita biasanya terdapat dua jenis tokoh, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan atau figuran. Tokoh utama adalah tokoh yang sering diceritakan di dalam suatu cerita dan sangat menentukan perkembangan dari suatu cerita tersebut. Sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh pendamping dari tokoh utama yang biasanya hanya dimunculkan beberapa kali di dalam suatu cerita, namun memiliki peranan penting sehingga membuat cerita menjadi lebih berwarna. Antara tokoh utama dengan tokoh tambahan saling berkaitan erat karena saling melengkapi. Jika di dalam suatu cerita hanya memiliki tokoh utama saja atau tokoh tambahan saja, maka cerita tidak dapat tersampaikan dengan baik bahkan cenderung membingungkan karena tidak adanya interaksi yang terjadi di dalam cerita tersebut.

Dalam novel ini tokoh yang digunakan hanya tokoh utama bernama Mamoru Kusaka yang memiliki masalah dalam kehidupannya menyangkut masa lalunya.

2.1.2 Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik atau unsur luar adalah unsur yang berada di luar karya sastra itu sendiri, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organism karya sastra (Nurgiyantoro, 1995:23). Atau dengan kata lain unsur ekstrinsik adalah unsur luar sastra yang ikut memengaruhi penciptaan karya sastra.


(45)

Unsur tersebut meliputi latar belakang pengarang, keyakinan dan pandangan hidup pengarang, adat istiadat yang berlaku, persoalan sejarah, keadaan ekonomi, situasi politik dan pengetahuan agama. Unsur ekstrinsik untuk setiap karya sastra adalah sama. Unsur ini mencakup berbagai aspek kehidupan sosial yang tampaknya menjadi latar belakang penyampaian amanat cerita dan tema. Selain unsur-unsur yang datangnya dari luar diri pengarang, hal yang sudah ada dan melekat pada kehidupan pengarang pun cukup besar pengaruhnya terhadap terciptanya suatu karya sastra.

2.2 Setting Dalam Novel The Devil’s Whisper

Yang dimaksud dengan latar atau setting adalah penggambaran situasi, tempat, dan waktu serta suasana terjadinya peristiwa (Aminuddin, 2000:94). Latar atau setting yang disebut juga sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan, waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan, (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995:216).

Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis terhadap pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Pembaca dengan demikian merasa dipermudah untuk menggunakan daya imajinasinya, di samping memungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar.

Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok yaitu tempat, waktu dan sosial. Ketiga unsur tersebut walaupun masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada


(46)

kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya (Nurgiyantoro, 1995:227).

a. Latar Tempat

Latar tempat berhubungan dengan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, ataupun lokasi tertentu tanpa nama yang jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan ataupun tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Deskripsi tempat secara teliti dan realistis ini penting untuk memberikan kesan kepada pembaca bahwa seolah-olah hal yang diceritakan itu sungguh-sungguh ada dan terjadi di tempat seperti yang terdapat dalam cerita.

Dalam hal ini, lokasi tempat berlangsungnya cerita dalam novel The Devil’s Whisper adalah kota Tokyo di Jepang. Disebutkan bahwa tempat tinggal sang tokoh utama terdapat kanal-kanal besar sebagai penghalang ketika sungai meluap sewaktu diterjang angin topan.

b. Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi yang biasanya dihubungkan dengan waktu faktual. Latar waktu juga harus dikaitkan dengan latar tempat dan latar sosial karena pada kenyataannya memang saling berkaitan.

Digambarkan bahwa kisah dalam novel ini berlangsung pada musim dingin pada tahun 1989.


(47)

c. Latar Sosial Budaya

Latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks, dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara bersikap, dan lain-lain. Di samping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya kalangan bawah, menengah, atau atas.

Latar sosial dari tokoh utama dalam novel The Devil’s Whisper yaitu Mamoru Kusaka yang berusia 16 tahun, berstatus sebagai pelajar SMA yang tidak memiliki banyak teman karena pernah dikucilkan sewaktu ia kecil. Ia juga berstatus sebagai karyawan paruh waktu di sebuah toko.

Di dalam novel ini pun memiliki latar budaya yang kuat, yaitu budaya malu atau haji (恥). Bagi bangsa Jepang, keutamaan rasa malu sangat penting karena

merupakan akar dari kebajikan. Dan orang-orang yang tidak memiliki rasa malu dianggap sebagai orang yang tidak mempunyai hati nurani yang bersih.

Itulah sebabnya mengapa Mamoru dan ibunya dikucilkan oleh masyarakat sekitar ketika Toshio Kusaka ketahuan mencuri dana masyarakat sebesar 5 juta yen. Masyarakat menganggap bahwa Toshio telah mempermalukan bukan hanya dirinya dan keluarganya, melainkan juga seluruh masyarakat yang ada di sana, sehingga dengan pengucilan terhadap Mamoru dan ibunya dianggap sebagai bentuk balasan atau akibat dari perbuatan aib yang dilakukan oleh Toshio.


(48)

2.3 Biografi Pengarang

Biografi merupakan uraian tentang kehidupan seseorang, baik orang itu masih hidup ataupun sudah meninggal. Biografi berisi tentang perjalanan hidup tokoh tersebut, kehidupan seorang tokoh, deskripsi kegiatan dan prestasi tokoh, ekspresi tokoh serta pandangan tokoh tersebut.

Biografi dalam bahasa Indonesia berarti riwayat hidup seseorang. Dalam biografi seorang tokoh biasanya banyak ditemukan suatu pelajaran yang dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari awal hidup sampai menjelang ajal banyak hikmah yang dapat diambil.

Tujuan dari penulisan biografi ini adalah agar pembaca dan penulis dapat mengetahui perjalanan hidup seorang tokoh yang ia baca, dapat meneladani dan mengambil pelajaran dari seorang tokoh untuk dipakai dalam kehidupan sehari-hari, dapat memberikan sesuatu yang berharga pada diri penulis dan pembaca setelah membacanya serta penulis dan pembaca dapat meniru cara bagaimana tokoh tersebut sukses.

Miyuki Miyabe lahir pada 23 Desember 1960 di Tokyo. Ia mulai menulis novel ketika berusia 23 tahun. Pada tahun 1984, saat ia masih bekerja di kantor biro hokum, ia mengambil kelas menulis di sekolah Kodansha. Dari sanalah ia memulai debutnya sebagai penulis novel.

The Devil’s Whisper merupakan karya kedua yang Miyabe tulis. Selain itu ada lebih dari 40 buah novel yang telah ia hasilkan dan ia pun telah menerima sejumlah penghargaan sastra, termasuk penghargaan tertinggi sastra populer di Jepang, yaitu Naoki Prize. Buku-bukuya telah diterjemahkan ke dalam 15 bahasa, termasuk Prancis, Denmark, Rusia, Yunani, Jerman, China, Korea dan Indonesia.


(49)

Hampir sebagian besar buku-buku tersebut diangkat menjadi film layar lebar, adaptasi film maupun serial televisi. Ada pula novelnya yang dibuat menjadi serial manga dan serial video game.

2.4 Psikoanalisa Sigmund Freud

2.4.1 Psikoanalisa Sebagai Teori Kepribadian

Dalam usahanya menjelaskan struktur kejiwaan manusia, Freud mengumpamakan jiwa manusia dengan sebuah gunung es di tengah laut. Yang terlihat dari permukaan laut hanyalah bagian yang sangat kecil, yaitu bagian puncaknya. Dalam hal jiwa seseorang maka yang terlihat dari luar hanyalah sebagian kecil saja, yaitu alam kesadaran. Bagian terbesar dari jiwa seseorang tidak terlihat dari luar dan ini merupakan alam ketidaksadaran. Antara kesadaran dan ketidaksadaran terdapat suatu perbatasan yang disebut prakesadaran. Dorongan-dorongan yang terdapat dalam alam prakesadaran ini sewaktu-waktu dapat muncul kembali ke dalam kesadaran.

Sigmund Freud mendeskripsikan kepribadian menjadi tiga pokok bahasan, yaitu sistem kepribadian, dinamika kepribadian dan perkembangan kepribadian. Dalam hal ini penulis hanya membahas tentang sistem kepribadian.

Dalam kajian psikologi sastra mengungkapkan psikoanalisa kepribadian yang dipandang meliputi tiga unsur kejiwaan, yaitu Id, Ego dan Super Ego. Ketiga sistem kepribadian ini saling berkaitan antara satu dengan yang lain seruta membentuk totalitas dan tingkah laku manusia yang tak lain merupakan produk interaksi ketiganya.


(50)

2.4.2 Sistem Kepribadian

Menurut Freud, sistem kepribadian memiliki tiga unsur penting, yaitu Id (aspek biologis), Ego (aspek psikologis) dan Super Ego (aspek sosiologis).

a. Id

Id adalah sistem kepribadian paling dasar, sistem yang di dalamnya terdapat naluri-naluri bawaan. Id merupakan sebuah “reservoir” atau wadah dalam jiwa seseorang yang berisikan dorongan-dorongan primitif yang disebut primitive drives atau inner forces. Dorongan-dorongan primitif ini merupakan dorongan-dorongan yang menghendaki agar segera dipenuhi atau dilaksanakan. Kalau dorongan ini dipenuhi dengan segera maka akan tercapai perasaan senang atau puas. Id adalah sistem kepribadian asli yang dibawa sejak lahir.

Id berfungsi berdasarkan prinsip kenikmatan (pleasure principle), yaitu berusaha memeroleh kenikmatan dan menghindari rasa sakit. Bagi Id, kenikmatan adalah keadaan yang relative inaktif dan rasa sakit adalah tegangan atau peningkatan energi yang mendambakan kepuasan. Bagi individu, tegangan itu merupakan suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Untuk menghilangkan ketegangan tersebut dan menggantinya dengan kenikmatan, Id memiliki perlengkapan berupa dua macam proses.

Proses pertama yaitu tindakan-tindakan refleks (reflex action), adalah suatu bentuk tindakan yang mekanisme kerjanya otomatis dan segera, serta ada pada individu yang merupakan bawaan lahir. Tindakan refleks ini digunakan individu untuk menangani pemuasan rangsang sederhana dan biasanya segera dapat dilakukan. Contohnya refleks mengedipkan mata.


(51)

Proses kedua yaitu proses primer, adalah suatu proses yang melibatkan sejumlah reaksi psikologis yang rumit. Proses primer dilakukan dengan membayangkan atau mengkhayalkan sesuatu yang dapat mengurangi atau menghilangkan tegangan dan dipakai untuk menangani stimulus kompleks, seperti seorang bayi yang lapar membayangkan makanan.

Proses membentuk gambaran objek yang dapat mengurangi tegangan disebut pemenuhan hasrat (wish fulfillment), misalnya lamunan, mimpi dan halusinasi psikotik. Tetapi bagaimanapun menurut prinsip realitas yang bersifat objektif, proses primer dengan objek yang dihadirkannya itu tidak akan mampu sungguh-sungguh mengurangi tegangan.

Id tidak mampu menilai atau membedakan mana yang benar dan mana yang salah serta tidak tahu moral. Jadi harus dikembangkan jalan memperoleh khayalan itu secara nyata yang memberi kepuasan tanpa menimbulkan ketegangan baru khususnya masalah moral. Alasan inilah yang membuat Id memunculkan Ego.

b. Ego

Ego berkembang dari Id agar mampu menangani realita, sehingga Ego beroperasi mengikuti prinsip realita. Ego berusaha memperoleh kepuasan yang dituntut Id dengan mencegah terjadinya tegangan baru atau menunda kenikmatan sampai ditemukan objek nyata yang dapat memuaskan kebutuhan.

Ego memiliki dua tugas utama. Yang pertama adalah memilih dorongan mana yang akan dipuaskan sesuai dengan prioritas kebutuhan. Yang kedua adalah menentukan kapan dan bagaimana kebutuhan itu dipuaskan sesuai dengan tersedianya peluang yang resikonya minimal.


(52)

Menurut Freud, Ego terbentuk pada struktur kepribadian individu sebagai hasil kontak dengan dunia luar. Ego dalam menjalankan fungsinya tidak ditujukan untuk menghambat pemuasan kebutuhan-kebutuhan yang berasal dari Id, melainkan sebagai perantara dari tuntutan naluri dari satu pihak dengan keadaan lingkungan pihak yang lain. Yang dihambat oleh Ego adalah pengungkapan naluri-naluri yang tidak layak atau tidak bisa diterima oleh lingkungan. Jadi dalam melaksanakan tugasnya, Ego harus menjaga benar bahwa pelaksanaan dorongan ini tidak bertentangan dengan kenyataan dan tuntutan-tuntutan dari Super Ego.

c. Super Ego

Super Ego adalah sistem kepribadian yang berisi nilai-nilai atau aturan-aturan yang menyangkut baik atau buruk, yang berisi kata hati seseorang. Kata hati ini berhubungan dengan lingkungan sosial dan mempunyai nilai moral sehingga merupakan kontrol atau sensor terhadap dorongan-dorongan yang datang dari Id.

Menurut Freud, Super Ego terbentuk melalui internalisasi nilai dan aturan oleh individu dari sejumlah figur yang berperan, berpengaruh atau berarti bagi individu tersebut seperti orang tua dan guru. Adapun fungsi utama dari Super Ego adalah :

a) Sebagai pengendali dorongan-dorongan atau impuls-impuls naluri Id agar impuls-impuls tersebut disalurkan dalam cara atau bentuk yang dapat diterima oleh masyarakat.

b) Mengarahkan Ego pada tujuan-tujuan yang sesuai dengan moral ketimbang dengan kenyataan.


(53)

c) Mendorong individu mencapai kesempurnaan.

Aktivitas Super Ego dalam diri individu, terutama apabila aktivitas ini bertentangan atau terjadi konflik dengan Ego, akan muncul dalam bentuk emosi-emosi tertentu seperti perasaan bersalah atau penyesalan. Bila Ego gagal menjaga keseimbangan antara dorongan dari Id dan larangan dari Super Ego, maka seseorang akan menderita konflik batin yang terus menerus dan konflik batin ini akan menjadi dasar dalam penyakit kejiwaan.

Sikap tertentu dari individu seperti observasi diri, koreksi atau kritik diri juga bersumber pada Super Ego. Id, Ego dan Super Ego membutuhkan energi psikis untuk menjalankan fungsinya masing-masing.


(54)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Secara harfiah, kata sastra berasal dari bahasa Latin, yaitu littera yang

berarti ‘tulisan’. Bahasa Indonesia mengambil pengertian sastra dari Sansekerta

yang berarti ‘teks yang mengandung instruksi’. Sastra berkaitan erat dengan

ekspresi dan kegiatan penciptaan sehingga hasil karya sastra banyak mengandung unsur kemanusiaan, antara lain : perasaan emosional, rasa kagum, solidaritas, dan lain-lain.

Karya sastra pada dasarnya dibagi menjadi 2 macam, yakni karya sastra yang bersifat fiksi dan karya sastra yang bersifat non fiksi. Karya sastra yang bersifat fiksi berupa cerita pendek (cerpen), cerita rakyat, essai dan novel. Sedangkan karya sastra yang bersifat non fiksi berupa drama, lagu dan puisi.

Novel berasal dari bahasa Itali novella yang berarti ‘sebuah barang baru

yang kecil’, lalu diartikan sebagai ‘cerita pendek dalam bentuk prosa’. Indonesia

mengambil istilah novel dari bahasa Inggris novellet, artinya sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukup, tidak terlalu panjang namun juga tidak terlalu pendek.

Menurut Tarigan (1990:164) novel adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan yang nyata dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau. Hal ini berarti di dalam sebuah novel menceritakan kisah nyata tentang suatu keadaan yang terjadi dalam masayarakat.


(55)

Sedangkan menurut Djacob Sumardjo (1999:11-12), novel merupakan genre sastra yang berupa cerita, mudah dibaca dan dicerna. Novel juga kebanyakan mengandung unsur suspense dalam alur ceritanya yang mudah menimbulkan sikap penasaran bagi pembacanya. Jadi di dalam novel terdapat bahasa sastra yang berusaha memengaruhi, membujuk dan akhirnya mengubah sikap pembaca.

Pada umumnya, setiap karya sastra memiliki dua unsur yang berpengaruh dalam membangun karya sastra tersebut, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Yang dimaksud dengan unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang secara langsung membangun cerita, misalnya : latar, penokohan, plot, sudut pandang penceritaan, dan lain-lain. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang memengaruhi jalan cerita dalam sebuah karya sastra namun tidak menjadi bagian di dalamnya, misalnya : agama, ekonomi, psikologi, sosial, dan lain-lain.

Kedua unsur tersebut yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik terdapat dalam novel. Unsur intrinsik dalam novel yang akan ditelaah adalah tokoh. Aminuddin (2000:79) mengatakan bahwa tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu menjalin sebuah cerita. Walaupun tokoh yang terdapat dalam sebuah karya sastra merupakan tokoh ciptaan pengarang, ia tetap seorang tokoh yang hidup seperti manusia yang memiliki akal, pikiran dan perasaan. Unsur ekstrinsik merupakan unsur yang sangat berpengaruh dalam terbentuknya bangun cerita dari sebuah karya sastra. Salah satunya adalah unsur psikologis.

Psikologis sebuah tokoh yang terdapat dalam suatu karya sastra fiksi merupakan hak seorang pengarang untuk menampilkan bagaimana psikologis


(1)

Disetujui Oleh :

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara

Medan

Medan, Januari 2015

Departemen Sastra Jepang

Ketua,

Drs.Eman Kusdiyana,M.Hum

NIP.196000919 1988 03 1001


(2)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Serta tak lupa shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW.

Atas berkat rahmat Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Analisis Psikologis Tokoh Utama Dalam Novel The Devil’s Whisper Karya Miyuki Miyabe” yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam penulisan skripsi ini penulis tidak terlepas dari bimbingan, dukungan, dorongan serta bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana M.Hum. selaku Ketua Departemen Sastra

Jepang sekaligus selaku Dosen Pembimbing I yang telah ikhlas memberikan dorongan dan meluangkan banyak waktu, pikiran serta tenaga dalam membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik.


(3)

3. Bapak Drs. Nandi S. selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia menjadi pembimbing dan menyediakan waktu di sela kesibukan beliau yang padat selama proses penyusunan skripsi ini.

4. Dosen Penguji Ujian Skripsi yang telah menyediakan waktu untuk membaca

dan menguji skripsi ini.

5. Para dosen pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, khususnya di Departemen Sastra Jepang yang telah memberikan banyak pengetahuan mengenai bahasa, budaya dan sastra Jepang.

6. Kepada kedua orangtua ku yang sangat aku cintai. Ibunda Sutarni dan Ayahanda Akmal Motto yang tak henti-hentinya mendoakan penulis serta memberikan seluruh dukungan, baik secara moral maupun materi dari awal penulisan skripsi hingga selesai. Juga untuk seluruh keluarga yang selalu memberikan perhatian, semangat dan motivasi.

7. Untuk kekasihku Febri Dwi Cahya Gumilar yang selalu menemani dan memberikan semangat serta doa kepada penulis.

8. Sahabat-sahabat penulis di Sastra Jepang yang selalu memberikan dukungan

baik di waktu senang maupun susah, yaitu: Meiriza Armanda, Ayu Ning Tyas, Christina Emelya Lumban Tobing, Miftahul Farida dan Ody Pramana Bangun. Semoga kita semua sukses dengan pilihan pekerjaan masing-masing.

9. Teman-teman sekelas di stambuk 2009 Sastra Jepang yang tak dapat penulis


(4)

10. Adik-adik kelas stambuk 2010, khususnya Liza, Zita, Silvi, Mita, Lela, Vindo, Dewi, Inna, Arin dan Cici yang selalu memberikan semangat dan menemani serta menghibur penulis.

11. Terima kasih juga buat Bang Joko yang sudah banyak membantu penulis dalam proses penyelesaian skripsi. Dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat, khususnya bagi penulis sendiri dan bagi para mahasiswa Sastra Jepang.

Medan, Januari 2015

Penulis,


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ... 8

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori... 9

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

1.6 Metode Penelitian ... 13

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL THE DEVIL’S WHISPER DAN KONSEP PSIKOANALISA SIGMUND FREUD ... 15

2.1 Definisi Novel... 15

2.1.1 Unsur Intrinsik ... 16

2.1.2 Unsur Ekstrinsik ... 22

2.2 Setting Dalam Novel The Devil’s Whisper ... 23

2.3 Biografi Pengarang ... 26

2.4 Psikoanalisa Sigmund Freud ... 27

2.4.1 Psikoanalisa Sebagai Teori Kepribadian ... 27

2.4.2 Sistem Kepribadian ... 28

BAB III ANALISIS PSIKOLOGIS TOKOH UTAMA ... 32

3.1 Ringkasan Cerita... 32


(6)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... 62

4.1 Kesimpulan ... 62 4.2 Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK