BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Remaja atau adolescence adalah pemuda dan pemudi yang berada pada masa perkembangan yang disebut adolesensi atau masa remaja menuju kedewasaan Rifai,
1998. Remaja merupakan individu yang berintegrasi dengan orang-orang dewasa ditandai dengan keadaan bahwa anak tidak lagi merasa berada di bawah orang-orang
yang lebih tua melainkan berada pada tingkatan yang sama Santrock, 2003. Remaja terbagi dalam dua tahap usia, yaitu masa remaja awal yang dimulai usia 13-14 tahun
dan berakhir pada masa remaja akhir yaitu sekitar 17-18 tahun Santrock, 2003. Keberhasilan remaja awal dalam menghadapi storm and stress serta tugas
perkembangan lain sangat berpengaruh pada keberhasilan fase perkembangan selanjutnya Santrock, 2003.
Remaja termasuk dalam suatu bagian kelompok sosial yaitu kelompok sebaya Dariyo, 2002. Kelompok sebaya merupakan tempat dimana remaja dapat belajar
banyak hal meliputi berinteraksi dan menghabiskan waktu untuk belajar dan bermain dengan teman sebayanya. Kegiatan atau aktivitas yang dilakukan bersama-sama dan
mengandung hubungan timbal balik tersebut dinamakan hubungan interpersonal. Hubungan interpersonal merupakan suatu hubungan antara individu satu dengan
individu lainnya sehingga terdapat hubungan yang timbal balik Bimo Walgito, 1
2003. Menjalin hubungan interpersonal dengan teman sebaya juga memberikan beberapa keuntungan, antara lain dukungan atau penerimaan, prestasi, dan kasih
sayang. Kebutuhan akan dukungan atau penerimaan, kasih sayang dan prestasi merupakan tiga hal penting yang bisa membuat remaja merasa bahagia bila mampu
memenuhinya Santrock, 2003. Remaja memiliki tugas perkembangan tersulit yaitu menjalin hubungan atau
relasi dengan orang lain Dariyo, 2002. Remaja dituntut untuk mampu melakukan penyesuaian terhadap perubahan-perubahan dan nilai-nilai baru dalam persahabatan.
Remaja yang sulit melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan tersebut membuat remaja terlibat dengan masalah-masalah dengan lingkungan
sosialnya sendiri, yaitu dengan teman sebaya. Masalah yang muncul antara lain dikucilkan oleh teman sebaya, merasa sendiri, gangguan belajar, memiliki beban
mental dan pikiran, lalu akhirnya menjadi stress. Remaja memerlukan kemampuan untuk mengatasi stress dalam hubungan
interpersonal agar tugas perkembangan dapat dilalui dengan baik Dariyo, 2002. Kemampuan mengatasi stress dalam hubungan interpersonal dalam penelitian ini
diistilahkan dengan coping. Coping merupakan kemampuan individu untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan baik yang berasal dari individu
maupun dari lingkungan dengan sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi situasi stressful FolkmanLazarus, 1998.
Coping terbagi dalam dua strategi, yaitu emotion focused coping dan problem focused coping FolkmanLazarus, 1998. Emotion focused coping merupakan usaha
untuk mengurangi perasaan stress yang tidak menyenangkan, yang kemudian menyertai tindakan-tindakan tertentu, sedangkan problem focused coping merupakan
usaha untuk menyelesaikan tuntutan-tuntutan internal dan lingkungan dengan menciptakan suatu tindakan tertentu.
Hasil penelitian pada 130 remaja pada tahap remaja awal menemukan bahwa remaja mampu mengatasi berbagai masalah dalam hubungan interpersonal yang
menimbulkan stres dengan menggunakan kemampuan coping, dimana remaja mampu memahami akar masalah serta bereaksi terhadap masalah dan stress secara positif.
Hal tersebut membuktikan pentingnya coping dalam hubungan interpersonal remaja dengan teman sebaya. Forman, 1998.
Beberapa penelitian yang dilakukan sepanjang tahun 1998-2004 menyatakan bahwa subjek yang menggunakan emotion focused coping merasakan hasil atau
dampak yang lebih positif dalam menghadapi stress yang berhubungan dengan hubungan sosial dalam kehidupan sehari-hari dibandingkan subjek yang
menggunakan problem focused coping Mutadin, 2005. Hasil penelitian pada 60 remaja di Philipina menunjukkan bahwa remaja yang menggunakan emotion focused
coping dalam stress yang berhubungan dengan persahabatan merasakan dampak yang positif dalam kemampuan menjalin kerjasama dengan kelompok teman sebaya
dibanding remaja yang lebih menggunakan problem focused coping Forman, 1998. Selain itu, remaja yang menggunakan
emotion focused coping merasakan
kemampuan dalam berempati serta mengekspresikan diri dan ide secara positif dalam
suatu kelompok dibanding remaja yang menggunakan problem focused coping Forman, 1998.
Penelitian ini akan dilakukan pada remaja yang mengikuti les musik klasik dan remaja yang tidak mengikuti les musik klasik. Mengikuti les musik klasik dapat
membantu meningkatkan perkembangan dan pengelolaan emosi seseorang Djohan, 2003. Berbagai penelitian psikologi tentang musik klasik menyebutkan banyaknya
pengaruh positif dan peranan musik klasik bagi perkembangan emosi remaja. Salah satu penelitian yang dilakukan yaitu di Inggris dengan hasil penelitian 76 persen
remaja yang mengikuti les musik klasik memiliki kemampuan mengelola emosi yang lebih tinggi dalam menjalin persahabatan dibandingkan remaja yang tidak mengikuti
les musik klasik NataliaUtomo, 1999. Terkait dengan emotion focused coping, sebuah penelitian yang dilakukan di
Filipina menyebutkan bahwa emotion focused coping remaja yang mengikuti les musik klasik lebih tinggi daripada problem focused coping remaja yang mengikuti les
musik klasik. Hal tersebut dimungkinkan oleh kesempatan yang didapatkan dari les musik klasik yang berpengaruh pada aspek-aspek emotion focused coping Goleman,
1997. Dengan latar belakang itulah penulis ingin meneliti perbedaan emotion
focused coping dalam hubungan interpersonal remaja yang mengikuti les musik klasik dan tidak mengikuti les musik klasik.
B. Rumusan Masalah