BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Representasi
Menurut Stuart Hall 1997, representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan
merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut “pengalaman berbagi”. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan
yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam “bahasa” yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang
sama. Ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental. Yaitu konsep tentang “sesuatu” yang ada di kepala kita masing-masing peta
konseptual. Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua “bahasa”, yang berperan penting dalam proses
konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam “bahasa” yang lazim, supaya kita da[at
menghubungkan konsep dan ide tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.
www.kunci.or.idnwsrepresentasi tanggal 15072010 pukul 21;18
Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara
12
sesuatu dengan sistem peta konseptual kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu
dengan sistem peta konseptual dengan bahasa atau symbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu.
Relasi antara sesuatu, peta konseptual, dan bahasa atau simbol adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses yang
menghubungkan antara ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang kita namakan representasi.
www.kunci.or.idnwsrepresentasi tanggal 15072010 pukul 21;18
2.12 Pengertian Seksualitas
Seksualitas adalah segala sesuatu yang menyangkut dan sikap berkaitan dengan perilaku seksual maupun orientasi seksual. Kata
seksualitas berasal dari kata dasar “seks”, yang berasal dari bahasa Inggris yang artinya adalah hubungan INTIM, saat ini seks bukan lagi
sesuatu yang tabu untuk diperbincangkan, bahkan pada saat, zaman, keadaan, waktu, dan juga revolusi pola pikir manusia tak jarang seks di
jadikan sebagai gaya hidup life style. ‘Seks” juga yang memiliki beberapa arti, yaitu:
1. Jenis Kelamin: keadaan biologis manusia yang membedakanlaki da perempuan. Istilah jenis kelamin berbeda dengan jender. Jender
adalah pembedaan jenis kelamin berdasarkan peran yang dibentuk
oleh masyarakatbudaya tertentu misalnya perempuanlembut,laki- laki kasar.
2. Reproduksi Seksual: Membuat bayi. Bagian-bagian tubuh tertentu laki maupun perempuan bisa menghasilkan bayi dengan kondisi-
kondisi tertentu. Bagian tubuh itu disebut alat atau organ reproduksi. Organ reproduksi laki-laki dan perempuan berbeda
karena punya fungsi yang berbeda. 3. Organ reproduksi: organ reproduksi laki-laki dan perempuan terdiri
atas organ bagian luar dan bagian dalam. 4. Rangsangan atau Gairah Seksual: rangsangan seksual dapat
disebabkan perasaan tertarik sekali seperti magnit pada seseorang sehingga terasa ada getaran “aneh” yang muncul dalam tubuh.
5. Hubungan Seks: Hubungan seks HUS terjadi bila dua individu saling merasa terangsang satu sama lain dapat terjadi pada lain
jenis maupun pada sejenis sampai organ seks satu sama lain bertemu dan terjadi penetrasi.
6. Orientasi seksual sexual orientation adalah kecenderungan seseorang mencari pasangan seksualnya berdasarkan jenis kelamin.
Ada tiga orientasi seksual: • Heteroseksual tertarik pada jenis kelamin yang berbeda.
• Homoseksual tertarik pada jeniskelamin yang sama: gay pada laki-laki, lesbian pada perempuan. 50 Konseling Kesehatan
Reproduksi Remaja Bagi Calon Konselor Sebaya • Biseksual tertarik pada dua jenis kelamin: laki-laki dan
perempuan. 7. Kelainan Perilaku Seksual sexual disorders adalah kecenderungan
seseorang untuk memperoleh kepuasan seksual melalui tingkah laku tertentu. Misalnya:
- Vayourisme
- Fetihisme
- Sanisme:
memperoleh kepuasan seksual dengan melukaimenyiksa pasangannya.
- Machosisme: memperoleh kepuasan seksual dengan melukai diri sendiri.
Seksualitas adalah konstruksi historis yang dibentuk oleh banyak hal. Mulai dari faktor biologis, mental, identitas gender,
perbedaan budaya, kecakapan reproduktif, keperluan, keinginan, hingga fantasi-fantasi. Semuanya tentunya terikat dengan norma-norma
atau nilai budaya yang ada di masyarakat. Orang banyak memandang seksualitas adalah hal tabu yang
sangat pantang untuk dibicarakan. Padahal dalam Al-Quran sendiri
seks dipaparkan dengan sangat indahnya, dengan kata-kata kiasan yang begitu indah, yang menunjukkan, seks tidak pantang untuk di
bicarakan. www.shvoong.com Menurut antropolog dan pakar kajian perempuan dari
University of Western, Australia, Dr. Lyn Parker, dunia barat mengenal tiga konsep seksualitas, yaitu heteroseksual, gay, dan lesbian.
Dalam dunia barat, seksualitas tak ada hubungannya dengan seks, reproduksi, ataupun komitmen. Seks bisa dilakukan dengan
banyak orang, tanpa komitmen dan tak ada akibat dengan reproduksi. Di Indonesia sebaliknya. Hanya seksualitas yang heteroseksual yang
dianggap pantas. Begitu pun dengan keluarga yang heteroseksual. Seksualitas yang aktif seharusnya terjadi dalam pernikahan. Maka itu,
di Indonesia selalu ada kaitan antara pernikahan, seksualitas, dan reproduksi. Konseptualisasi seksualitas dalam konteks Indonesia selalu
mempertimbangkan agama.
ikarlinagmail.comseksualitas ‐dan‐
keremajaan ‐beda‐di.html
Fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini, masih banyak pro dan kontra di kalangan masyarakat terkait pendidikan seks bagi para
remaja. Selain itu, pembicaraan-pembicaraan mengenai masalah seks, masih dianggap sebagai hal yang tabu untuk dibahas. Dan sebagian
masyarakat masih berpandangan stereotype dengan pendidikan seks, bahwa seolah-olah hal itu sebagai sesuatu yang vulgar untuk
disampaikan kepada para remaja. Karena membicarakan seks dan pendidikan mengenai itu masih dianggap tabu, maka justru akan
mendorong para remaja untuk berhubungan seks. redaksivoa-
islam.com tanggal 31 Jul 2010
Cara pandang para remaja terhadap seksualitas perlu diarahkan, agar mereka tidak salah menganggap hal alamiah itu menjadi sebuah
aktivitas yang biasa untuk dilakukan bagi kalangan usia muda. Pengamat kesehatan, Dr Tengku Yenni Febrina di Medan,
mengungkapkan masa remaja merupakan saat fase transisi dari anak- anak menuju dewasa, sehingga pada masa itu mereka membutuhkan
perhatian dari orang tua dan sekolah untuk kehidupan sosialisasi pergaulan remaja.
Pada masa remaja perlu mendapat bimbingan yang cukup besar dari orang para orang tua. Sehingga para remaja tersebut tidak akan
mudah terpengaruh atau terjurumus dari perbuatan negatif, serta pergaulan bebas yang merugikan masa depan mereka. Salah satu
pergaulan bebas saat ini yang paling populer adalah menganggap free sex sebagai hal yang biasa untuk dilakukan.
Untuk menghindari
terjadinya salah pengertian para remaja
terhadap pergaulan bebas, bahaya serta risiko yang akan dialami jika melakukan hal itu, dan mereka perlu diberikan pendidikan seks yang
benar dan jelas. Cara pandang remaja yang salah terhadap seksualitas,
akan memberikan dampak negatif terhadap generasi muda, terlebih tatanan kehidupan sosial nantinya yang disebabkan salah kaprah
memahami hal itu. Bahkan, dengan terjadinya kekeliruan itu, remaja perempuan lebih rentan terhadap berbagai resiko yang akan diderita
dari perilaku seksual secara bebas tanpa ikatan agama.
2.1.3 Perilaku Seksual
Membicarakan seks bukanlah menjadi suatu pembicaraan yang tabu walaupun sebagian tradisi di daerah melarang menceritakan
tentang perilaku seksualitas terkait dengan norma-norma dan nilai-nilai yang mengikatnya sehingga banyak individu-individu maupun
kelompok tertentu malu menceritakan masalah seks, apalagi penyakit kelamin. Pemahaman tentang perilaku seksualitas sungguh
memprihatinkan, apalagi institusi pendidikan masih kurang mengenalkan pelajaran tentang perilaku seksualitas dan kesehatan
reproduksi karena di anggap masih tabu, bahkan kebijakan negara mengenai masalah pornografi, keluarga berencana dan permasalahan
ini mendoktrin masyarakat sebagai hal yang sungguh privasi bahwa semua permasalahan seks dapat dipelajari dengan sendirinya, hal ini
terjadi terkait dengan gejala sosial yang mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dari karakteristis psikologis,
biologis individu.
Perilaku seksual merupakan salah satu kebutuhan pokok yang senantiasa mewarnai pola kehidupan manusia dalam masyarakat.
Perilaku seksual sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma budaya yang berlaku dalam masyarakat. Setiap golongan masyarakat memiliki
persepsi dan batas kepentingan tersendiri terhadap perilaku seks. Bagi golongan masyarakat tradisional yang terikat kuat dengan nilai dan
norma, agama serta moralitas budaya, cenderung memandang seks sebagai suatu perilaku yang bersifat rahasia dan tabu untuk dibicarakan
secara terbuka, khususnya bagi golongan yang dianggap belum cukup dewasa. Para orang tua pada umumnya menutup pembicaraan tentang
seks kepada anak-anaknya, termasuk mereka sendiri sebagai suami isteri merasa risih dan malu berbicara tentang seks. Bagi kalangan ini
perilaku seksual diatur sedemikian rupa dengan ketentuan-ketentuan hukum adat, Agama dan ajaran moralitas, dengan tujuan agar dorongan
perilaku seks yang alamiah ini dalam prakteknya sesuai dengan batas- batas kehormatan dan kemanusiaan.
Gejala sosial yang riil merupakan fakta sosial yang harus dipelajari secara sistematis dengan metode-metode empiris, seperti
yang di ungkapkan oleh ahli sosiologis Emile Durkheim sebagai kekuatan yang memaksa, bersifat eksternal. Kehadiran kekuatan ini
dapat di kenal walaupun tidak di ikuti, baik dengan adanya sanksi tertentu maupun perlawanan yang diberikan kepada setiap usaha
individu yang cendrung melanggarnya. Fakta sosial terkait dengan
perilaku seksualitas individu-individu memberikan perspektif bahwa perilaku seksualitas menjadi suatu privasi pribadi individu tetapi
menjadi akar permasalahan sosial yaitu pelacuran sebagai transaksi bisnis yang disepakati oleh pihak yang terlibat sebagai suatu yang
bersifat kontrak jangka pendek, yang memungkinkan satu orang atau lebih mendapatkan kepuasan seks dengan metode yang
beranekaragam. Perkins dan Bernnet. 1985 , kekerasan dalam rumah tangga, pekerjaan, kesehatan reproduksi dan ketidakadilan gender.
Permasalahan terkait dengan perilaku seksualitas dari perspektif gender dalam satu fakta sosial riil memberikan penjelasan bahwa
pengaturan-pengaturan yang mengikat tidak memberikan ruang bebas dalam memberikan solusi permasalahan perilaku seksualitas. Johnson
Doyle Paul : 174-178 Secara biologis perilaku seksualitas manusia merupakan fungsi
kegiatan harmonial, khususnya kegiatan hormon-hormon seks di dalam tubuh setiap manusia, terkait dengan gender. Istilah gender tercetus
pada tahun 1972 oleh sosiolog feminis dari Inggris bernama An Oakley yang ketika itu merefleksikan tubuh perempuan penuh dengan embel-
embel oleh masyarakat sebagai suatu kodrat sehingga proses embel- embel dinamakan dengan istilah ”pengenderan”. Istilah gender
menunjuk pada perilaku kedua seks jantan dan betina yang dipelajari dan diharapkan secara sosial bahkan merupakan konstruksi sosial
sedangkan seksualitas menunjuk pada orientasi seks seseorang.
Perilaku seksual dipengaruhi oleh hormon estrogen dan progesteron pada wanita serta hormon testosteron pada laki-laki.
Hormon estrogen memicu timbul-timbulnya gejala psikologis dari birahi dan memicu timbulnya tanda-tanda fisik pada wanita begitu pula
dengan hormon testosteron pada laki-laki memicu timbulnya tanda- tanda fisik pada laki-laki. Perbedaan secara biologis memicu terjadinya
perbedaan gender serta menjadi alasan bagi laki-laki untuk mengesahkan perbedaan peran sosial atas dasar gender. Ketidakadilan
atas gender semakin menyudutkan kaum perempuan dalam aktivitas sosial maupun segala bidang pekerjaan bahkan budaya patriarki
mendukung alasan ketidakadilan gender. Subagya 2009 Kaum perempuan terbelenggu oleh fakta sosial yang riil terjadi
di masyarakat bahwa norma-norma dan nilai-nilai yang mengikat kaum perempuan tidak memberikan ruang bebas dalam segala bidang. Fakta
sosial terkait dengan kebijakan negara yaitu pornografi, keluarga berencana, kesehatan reproduksi terkait dengan kesuburan, sikap
masyarakat terhadap perempuan hamil, perempuan pekerja. Pada manusia, perilaku seksualitas merupakan interaksi antara perilaku
prokreatif dengan situasi fisik serta sosial yang melengkunginya. Dalam konsep Sigmund Freud tentang seksualitas manusia bukan
sekedar kegiatan genitalia dengan tujuan prokreatif tetapi lebih merupakan perilaku mencari kesenangan dalam arti luas Eros ,yang
terdiri dari 2 unsur yaitu pelestarian pribadi Self Preservation dan reproduksi.
Dalam kasus Poligami sebagai perilaku seksual yang normal bagi laki-laki di berbagai komunitas tradisional dunia, sedangkan
perilaku seksual poliandri secara universal belum dapat diterima sebagai kenyataaan realitas sosial. Perilaku homoseksual, gay dan
lesbian masih belum diterima sebagai fakta sosial yang ada. Kartono. 1989 : 1-9
2.1.4 Budaya Sosial Masyarakat
Menurut bahasa Kebudayaan, culture dalam bahasa Belanda dan culture dalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa Latin “colore”
yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan. Dari pengertian budaya dalam segi demikian
berkembanglah arti culture sebagai ‘segala daya dan aktivitet manusia untuk mengolah dan mengubah alam”.
Menurut istilah Kebudayaan adalah sebagi semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya menghasilkan teknologi dan
kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang diperlukan manusia untuk mnguasai alam sekelilingnya untuk keperluan
masyarakat. Rasa yang meliputi jiwa manusia yang mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai kemasyarakatan. Cipta merupakan
kemampuan mental, kemampuan berfikir dari orang-orang yang hidup
sebagai anggota mesyarakat, semua karya, rasa, dan cipta dikuasai oleh karsa dari orang-orang yang menentukan kegunaanya agar sesuai
dengan kepentingan masyarakat. Selo Soemarjan dan Soelaeman Sumardi.
a. Perubahan sosial
Perubahan sosial adalah perubahan dalam masyarakat yang mempengaruhi sistem sosial, nilai, sikap, dan pola perilaku individu
dalam kelompoknya. b.
Perubahan budaya Perubahan budaya adalah perubahan yang terjadi dalam sistem ide
yang dimiliki bersama pada berbagai bidang kehidupan dalam masyarakat yang bersangkutan.
2.1.5 Lirik Lagu sebagai Pesan dalam proses komunikasi Massa
Perkembangan musik di Indonesia saat ini menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Menurut Sawung Jabo, hal ini bisa
terjadi karena adanya sifat yang lentur dari kebudayaan di Indonesia, yang selalu terbuka terhadap sumber-sumber dari luar. Masyarakat
Indonesia selalu tanggap dan menghimpun segala sesuatu hal yang baru dan menciptakan kembali. Sebagai contoh sering kita temukan adanya
adaptasi kata-kata dari lagu pop Amerika mengenai cinta yang dicerna oleh komponis Indonesia. Sobur, 2003:148
Pesan terdiri dari dua spek, yakni isi atau isi pesan the content of message dan lambang symbol untuk mengekspresikannya. Sebagai
sebuah pesan, lirik lagu juga memiliki dua spek tersebut. Aspek isi dalam lirik lagu adalah hal apa yang terkandung dalam lirik lagu yang
ingin disampaikan si pencipta kepada khalayaknya. Aspek lambang dalam lirik lagu adalah kata-kata yang merupakan bahsa lisan yang
disampaikan secara khusu yaitu dengan dinyanyikan mengikuti pola- pola nada dan irama tertentu dengan iringan musik. Effendy,
1993:312 Lirik lagu merupakan salah satu bentuk komunikasi lisan yang
bisa ditulis untuk didokumentasikan. Makna yang terkandung bisa eksplisit atau implicit tergantung dari tujuan pola pikir penciptanya. Ia
dapat merupakan suatu bentuk respon dari kejadian-kejadian yang ada, sehingga dalam lirik lagu dapat berisi ungkapan-ungkapan baik pujian
maupun kritik sosial. Untuk memahami sebuah lirik lagu, berarti harus memahami
maknanya, baik yang eksplisit maupun yang implisit. Lirik lagu pada hakekatnya adalah suatu karya seni yang menggunakan suatu bahsa
sebagi medium dan juga suatu bentuk pengungkapan pendapat dari pencipta lirik lagu kedalam bentuk lambang-lambang.
Suatu lirik lagu dapat menggambarkan realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Termasuk realitas sosial yang menggambarkan
perilaku seks bebas yang ada dalam masyarakat. Musik terkait erat dengan setting sosial kemasyarakatan tempat dia berada. Musik
merupoakan gejala khas yang dihasilkan akibat adanya interaksi sosial, dimana dalam interaksi tersebut manusia menggunakan bahasa sebagai
mediumnya. Disinilah kedudukan lirik sangat berperan, sehingga dengan demikian musik tidak hanya bunyi suara belaka, karena juga
menyangkut perilaku manusia sebagai individu maupun kelompok sosial dalam wadah pergaulan hidup dengan wadah bahsa atau lirik
sebagai penunjangnya. Dalam penelitian ini, lirik lagu “Cinta Satu Malam” yang
dibawakan oleh Melinda sebagai proses pesan. Dan pesan tersebut dipaparkan dalam pembentukan tanda-tanda berupa kata-kata dalam
bentuk bahsa lewat sebuaj lirik lagu.
2.1.7 Makna Dalam kata
Istilah makna meaning merupakan kata dan istilah yang membingungkan . untuk menjelaskan istilah makna, harus dilihat dari
segi kata, kalimat dan apa yang dibutuhkan oleh pembicara untuk berkomunikasi. Secara luas makna dapat diartikan sebagi pengertian
yang diberikan kepada sesuatu bentuk kebahasaan. Istilah makna meskipun membingungkan sebenarnya lebih dekat dengan kata. Sering
kita berkata, apa artinya kata ini, apakah artinya kalimat itu ? Pateda,2001:79
Bagi orang awam untuk memahami makna tertentu, ia dapat mencari dikamus, sebab di dalam kamus terdapat makan kata yang
disebut makna leksikal. Dalam kehidupan sehari-hari orang sulit menerapkan makna yang terdapat di dalam kamus, sebab makna
sebuah kata sering bergeser jika berada dalam satuan kalimat. Kata merupakan momen kebahasaan yang bersama-sama dalam
kalimat menyampaikan pesan dalam suatu komunikasi secara tekhnis, kata adalah satuan ujaran yang berdiri sendiri yang terdapat di dalam
kalimat, dapat ditukar, dapat dipindahkan dan mempunyai makna serta digunakan untuk berkomunikasi. Makna dalam kata yang dimaksud
disini yakni berbentuk yang sudah dapat diperhitungkan sebagai kata atau dapat disebut sebagai makna leksikal yang terdapat didalam kamus
Pateda, 2001:34. Agar dapat mengunakan makna, perlu dibedakan beberapa
pengertian antara lain Muhadjir dalam Sobur, 2003 ; 256 : -
Terjemah atau translation Terjemah merupakan upaya mengemukakan materi atau substansi
yang sama dengan media yang berbeda, media tersebut mungkin berupa bahasa yang satu ke bahasa yang lain, dari verbal ke gambar
dan sebagainya. -
Tafsir atau interpretasi
Kepada penafsiran tetap bepegangan pada materi yang ada, dicari latar belakangnya supaya konteksnya dapat dikemukakan konsep atau
gagasan yang lebih jelas. -
Ektrapolasi Lebih menekankan pada kemampuan daya pikir manusia untuk
menangkap hal dibalik yang tersajikan. -
Pemaknaan atau meaning Memberikan makna merupakan upaya lebih jauh dari penafsiran dan
mempunyai kesejajaran dengan ekstrapolasi. Pemaknaan lebih menuntut pada kemampuan intregratif manusia : inderawinya, daya
pikirnya dan akal budinya. Materi yang disajikan seperti juga ekstrapolasi dilihat tidak lebih dari tanda-tanda atau indikator bagi
sesuatu yang lebih jauh, hanya saja ektrapolasi terbatas dalam arti empiric logic, sedang pada pemaknaan dapat menjangkau yang etik
ataupun transcendental lebih kongkrit lagi.
2.1.8 Kode-Kode Pembacaan
Untuk memberi ruang atensi lapang bagi desiminasi makna dan pluralitas teks, Roland Barthes 1990:13 mencoba memilah-milah
penanda-penanda pada wacana naratif kedalam serangkaian fragmen
ringkas dan beruntunyang disebutnya sebagai leksia-leksia lexias,
yaitu satuan-satuan pembacaan units of reading dengan panjang
pendek yang bervariasi. Sepotong bagian “teks”, yang bila diisolasikan akan berdampak atau memiliki fungsi yang khas bila dibandingkan
dengan potongan-potongan ‘teks” lain disekitarnya, adalah sebuah leksia.
Segala sesuatu yang bermakna tergantung pada kode. Menurut Roland Barthes didalam teks setidaknya beroperasi lima kode pokok
five major codes yang didalamnya semua penanda tekstual baca leksia dapat dikelompokkan. Setiap atau masing-masing leksia dapat
dimasukkan kedalam salah atu dari lima buah kode ini. Kode-kode ini menciptakan sejenisa jaringan network. Barthes,1990:20. Adapun
kode-kode pokok tersebut yang dengannya seluruh aspek tekstual yang signifikan dapat dipahami meliputi aspek sintagmatik dan semantic
sekaligus, yaitu menyangkut bagaimana bagian-bagiannya berkaitan satu sama lain dan terhubung dengan dunia luar teks.
Kelima jenis kode tersebut meliputi kode hermeunitik, kode semik, kode simbolik, kode proaretik, dan kode cultural :
1. Kode Hermeunitik hermeunitic code adalah satuan-satuan yang
dengan berbagai cara berfungsi untuk mengartikulasi suatu persoalan, penyelesaiannya, serta aneka peristiwa yang dapat
memformulasikan persoalan tersebut, atau yang justru menunda penyelesaiannya, atau bahkan menyusun semacam teka-teki
enigma dan sekedar member isyarat bagi penyelesaiannya
Barthes, 1990;17. Pada dasarnya kode ini adalah sebuah kode “pencitraan”, yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajam
permasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum memberikan pemecahan atau jawaban.
2. Kode Semik code of semes atau konotasi adalah kode yang
memanfaatkan isyarat, petunjuk, atau “kilasan makna” yang ditimbulkan oleh penanda-petanda tertentu. Pada tataran tertentu
kode konotatif ini agak mirip dengan apa yang disebut oleh para kritikus sastra anglo-America sebagai ‘tema’ atau “struktur
tematik”, sebuah Thematic Group.Barthes, 1990:19 3.
Kode Simbolik symbolic code merupakan kode “pengelompokkan” atau konfigurasi yang gampang dikenali karena
kemunculannya yang berulang-ulang secara teratur melalui berbagai cara dan sarana tekstual, misalnya berupa serangkaian
anitesis : hidup dan mati, diluar dan didalam, dingin dan panas, dan seterusnya. Kode ini memberikan dasar bagi struktur
simbolik.Barthes,1990:17 4.
Kode Proairetik proairetic code merupakan kode “tindakan” action. Kode ini didasarkan atas konsep proairesis, yakni
“kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari suatu tindakan secara rasional” Barthes, 1990:18, yang
mengimplikasikan suatu logika perilaku manusia; tindakan-
tiindakan membuahkan dampak-dampak, dan masing-masing dampak memiliki nama generic tersendiri, semacam “judul” bagi
sekuens yang bersangkutan. 5.
Kode cultural cultural code atau kode referensial reference code yang berwujud sebagai semacam suara kolektif yang anonym dan
otoratif: bersumber dari pengalaman manusia, yang mewakili atau berbicara tentang sesuatu yang hendak dikukuhkannya sebagai
pengetahuan atau kebujaksanaan yangt diterima umum. Kode ini bisa berupa kode-kode pengetahuan atau kearifan wisdom yang
terus menerus dirujuk oleh teks, atau yang menyediakan semacam dasar autoritas moral dan ilmiah bagi suatu wacana.Barthes,
1990:18
2.1.9 Semiologi Roland barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistic dan semiologi
Saussure. Pendekatan karya strukturalis mmeberikan perhatian terhadap kode-kode yang digunakan untuk menyusun makna.
Strukturalisme merupakan suatu pendekatan yang secara khusus memperhatikan struktur karya sastra atau seni. Fenomena kesastraan
dan estetika didekati sebagai sistem tanda-tanda.Budiman, 2003;111 Berthes tertarik terhadap kenyataan bahwa kalimat yang sama,
bisa saja menyampaikan makna yang berbeda situasinya. Dengan kata
lain, Barthes memperhatikan makna sebagai proses negoisasi antara pembaca dengan penulis melalui teks.Tanda-tanda yang terdapat dalam
teks berinteraksi dengan pengalaman personal an cultural penggunanya dan juga secara konvensi dengan apa yang diharapkan dan dialami oleh
penggunanya.Fiske,2006:17 Semiologi Barthes mengacu pada Saussure dengan meyelediki
hubungan penanda dan petanda pada sebuah tanda. Hubungan penanda dan petanda ini bukanlah kesamaan Equality, tetapi ekuivalen.
Bukannya yang satu membawa pada yang lain, tetapi korelasilah yang menyatukan keduanya.
Tanda bahasa selalu mempunyai dua segi signifier penanda dan signified petanda. Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-
apa dank arena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya suatu petanda, tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda, petanda
atau yang ditandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistic. “Penanda dan petanda merupakan
kesatuan, seperti dua sisi dari sehelai kertas’.Sobur, 2004:46 Gagasan Barthes ini dikenal dengan order of signification.
Yaitu mencakup denotasi makna sebenarnya sesuai kamus dan konotasi makna ganda yang lahir dari pengalaman cultural personal.
Disinilah letak perbedaan Saussure dengan Barthes, meskipun Barthes tetap mempergunakan Signifier dan Signified yang di usung Sausure.
Konotasi dan metabahasa adalah cermnan yang berlawanan satu sama lain. Metabahasa adalah operasi yang membentyk mayoritas
bahasa-bahasa-ilmiah yang berperan untuk menerapkan sistem riil, dan dipahami sebagai petanda, diluar kesatuan penanda-penanda, asli,
diluar alam deskriptif. Sedangkan konotasi meliputi bahasa-bahasa yang sifat utamanya sosial dalam hal pesan lliteral member dukungan
bagi makna kedua sebuah tatanan arifisial atau ideologis secara umum.Kurniawan, 2001:68
Salah satu area yang penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran “pembaca” the reader.
“Pembaca” mempunyai kekuasaan absolute untuk memaknai sebuah hasil karya lirik lagu yang dilihatnya, bahkan tidak harrus sama
dengan maksud pengarang. Semakin cerdas pembaca itu menafsirkan, semakin cerdas pula karya lirik dalam lagu itu memberikan maknanya.
Wilayah kajian “teks” yang dimaksud Barthes memang sangat luas, mulai bahasa verbal seperti karya sastra hingga fashion atau cara
berpakaian. Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara
panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagi sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun diatas sistem lain yang telah
ada sebelumnya. Sobur, 2004:68-69 Sastra adalah contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran ke-
dua yang dibangun diatas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem
ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang didalam mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem
pemaknaan tataran pertama. Barthes menggambarkannya dalam sebuah peta tanda:
Gambar 1. Peta tanda Roland Barthes
1. Signifier
Penanda 2.
Signified Petanda
3.Denotative sign tanda denotatif
4.Connotative Signifier Penanda Konotatif
5.Connotative Signified Petanda Konotatif
6.Connotative Sign tanda konotatif
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotative 3 terdiri atas penanda 1 dan petanda 2. Akan tetapi pada sat yang
bersamaan, tanda denotatif adalah juga merupakan penanda konotatif 4. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material. Jadi
dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagiab tanda denotative
yang melandasi keberadaanya. Sobur,2004;69
Barthes memampatkan
ideologi dengan mitos karena bail didalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif
terjadi secara termotivasi Budiman, 2001:28 Didalam
mitos juga
terdapat pola tiga dimensi penada, petanda,
dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain
mitos adalah juga merupakan suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua.
2.1.10 Ideologi dan Mitologi
Mitos berasal dari bahasa Yunani “mutos”, berarti cerita. Biasanya digunakan untuk menunjuk cerita yang tidak benar, cerita
buatan yang tidak mempunyai kebenaran historis. Meskipun demikian, ccerita semacam itu tetap dibutuhkan agar manusia dapat memahami
lingkungan dan dirinya. Ciri mitos kisah yang tidak benar dan fungsinya diperlukan untuk memahami lingkungan inilah yang coba
direorisasikan oleh Barthes dengan menggunakan pendekatan Semiologi. Sunardi, 2004:89
Mitos adalah kebutuhann manusia, itulah sebabnya dieksploitasi sebagai media komunikasi. Sebagaimana dikatakan Barthes dalam
bukunya Mythologies 1993, dalam buku tersebut ia mengatakan bahwa sebagai bentuk symbol dalam komunikasi, mitos
bukan hanya diciptakan dalam bentuk diskursus tertulis, melainkan sebagai produk sinema, fotografi, advertensi, olahraga dan televisi.
Gejala ini memang kita saksikan sehari-hari dalam advertensi lewat televisi. Sobur, 2004:208
Sebuah teks tak pernah terlepas dari ideologi Sobur, 2004:208. Kita bisa menemukan ideologi dalam teks dengan jalan
meneliti berbagai konotasi yang ada didalamnya. Salah satu cara adalah mencari mitologi dalam teks-teks semacam itu. Ideologi adalah sesuatu
yang abstrak, sementara mitologi kesatuan mitos-mitos yang koheren menyajikan inkarnasi makna-makna yang mempunyai wadah dalam
ideologi.Sobur, 2004:209 Jadi mitos adalah uraian naratif atau penuturan representasi
kolektif tentang sesuatu yang suci Sacred, yaitu kejadian-kejadian yang luar biasa, diluar dan mengatasi pengalaman manusia sehari-hari.
Sedangkan ideolodi merupakan suatu pemikiran yang abstrak berdasar ide dan gagasan dengan tujuan menawarkan perubahan melalui prose
pemikiran yang normatif. Mitos dan ideologi pada dasarnya ialah dua hal yang sulit
dipisahkan, perbedaannya bila mitos bertumpu pada kepercayaan, sedangkan ideologi pada intelektualitas. Tetapi mitos akan lumpuh
pada waktu normal, jika merujuk pada sejarah, mitos lebih subjektif sedangkan ideologi lebih objektif. Kuntowijoyo, 1997:80 dalam
Sobur,2004:2009
2.2 Kerangka Berfikir
Setiap individu memiliki latar belakang yang berbeda-beda dalam memaknai suatu peristiwa atau objek. Hal ini dikarenakan latar
belakang pengalaman field of reference dan pengetahuan field of experience yang berbeda-beda pada setiap individu tersebut. Dalam
menciptakan sebuah pesan komunikasi, dalam hal ini pesan disampaikan dalam bentuk lagu maka pencipta lagu juga tidak terlepas
dari dua hal tersebut. Begitu juga peneliti dalam memaknai tanda dan lambang yang
ada dalam objek, juga berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki peneliti. Dalam penelitian ini peneliti melakukan interpretasi
terhadap tanda dan lambang berbentuk tulisan pada lirik lagu “Cinta Satu Malam” yang dibawakan oleh penyanyi dangdut Melinda, dalam
hubungannya dengan Barthes, sehingga akhirnya dapat diperoleh hasil dari interpretasi data mengenai representasi seksualitas yang
digambarkan dalam lagu “Cinta Satu Malam’ oleh Melinda. Dari data-data berupa lirik lagu ‘Cinta Satu Malam”, kata-kata
dan rangkaian kata dalam kalimat lirik lagu tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan metode signifikasi dua tahap yaitu
tahap pertama tanda denotatif denotative sign terdiri atas penanda dan petanda signifier signified dan pada tahap kedua tanda denotatif
denotative sign juga merupakan penanda konotatif konotative signified yang akan membentuk tanda konotatif konotative sign.
Dalam tahap kedua dari tanda konotatif akan muncul mitos yang
mendadai masyarakat yang berkaitan dengan budaya sekitar. Kumudian teks akan di maknai dengan menggunakan lima macam
kode menurut Barthes, yaitu kode hermeunitik, kode semik, kode simbolik, kode proairetik, dan kode kutural untuk pemaknaan sebuah
tanda, dari proses pemaknaan melalui pembacaan dari kode-kode tersebut akan diungkap substansi dari pesan dibalik lirik lagu “Cinta
Satu malam”. Secara sistematis dapat ditunjukkan bagan kerangka berfikir
sebagai berikut : Gambar 2. Diagram Kerangka Berfikir
Analisis lirik lagu, melalui
kata dan kalimat, serta
peribahasa atau vokalika,
menggunakan semiology
Roland Barthes
Hasil interpretasi
data mengenai
representasi seksualitas
Lagu “Cinta
Satu Malam”
oleh Melinda
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode penelitian semiologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan jenis data kualitatif. Penelitian
deskriptif adalah penelitian sistematis melukiskan fakta atau karakteristik tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat.
Dalam penelitian ini peneliti menginterpretasikan secara rinci representasi dalam lirik lagu “Cinta Satu Malam” yang dipopulerkan
oleh penyanyi dangdut Melinda. Dalam peneletian ini akan mengungkapkan secara terperinci fenomena kehidupan sosial
masyarakat tertentu tanpa harus melakukan hipotesa yang telah dirumuskan secara ketat. Dalam metode ini memfokuskan pada “teks”
sebagai objek, serta bagaimana menafsirkan dan memaha,I kode decoding dibalik teks tersebut.
Menurut Bogdan dan Taylor, metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menhasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Pendekatan ini diarahkan pada individu secara holistic utuh. Jadi hal
ini tidak boleh mengisolasikan individu kedalam variable atau hipotesis, tetapi memandangnya sebagai keutuhan Moloeng, 2002:3.