akan memberikan dampak negatif terhadap generasi muda, terlebih tatanan kehidupan sosial nantinya yang disebabkan salah kaprah
memahami hal itu. Bahkan, dengan terjadinya kekeliruan itu, remaja perempuan lebih rentan terhadap berbagai resiko yang akan diderita
dari perilaku seksual secara bebas tanpa ikatan agama.
2.1.3 Perilaku Seksual
Membicarakan seks bukanlah menjadi suatu pembicaraan yang tabu walaupun sebagian tradisi di daerah melarang menceritakan
tentang perilaku seksualitas terkait dengan norma-norma dan nilai-nilai yang mengikatnya sehingga banyak individu-individu maupun
kelompok tertentu malu menceritakan masalah seks, apalagi penyakit kelamin. Pemahaman tentang perilaku seksualitas sungguh
memprihatinkan, apalagi institusi pendidikan masih kurang mengenalkan pelajaran tentang perilaku seksualitas dan kesehatan
reproduksi karena di anggap masih tabu, bahkan kebijakan negara mengenai masalah pornografi, keluarga berencana dan permasalahan
ini mendoktrin masyarakat sebagai hal yang sungguh privasi bahwa semua permasalahan seks dapat dipelajari dengan sendirinya, hal ini
terjadi terkait dengan gejala sosial yang mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dari karakteristis psikologis,
biologis individu.
Perilaku seksual merupakan salah satu kebutuhan pokok yang senantiasa mewarnai pola kehidupan manusia dalam masyarakat.
Perilaku seksual sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma budaya yang berlaku dalam masyarakat. Setiap golongan masyarakat memiliki
persepsi dan batas kepentingan tersendiri terhadap perilaku seks. Bagi golongan masyarakat tradisional yang terikat kuat dengan nilai dan
norma, agama serta moralitas budaya, cenderung memandang seks sebagai suatu perilaku yang bersifat rahasia dan tabu untuk dibicarakan
secara terbuka, khususnya bagi golongan yang dianggap belum cukup dewasa. Para orang tua pada umumnya menutup pembicaraan tentang
seks kepada anak-anaknya, termasuk mereka sendiri sebagai suami isteri merasa risih dan malu berbicara tentang seks. Bagi kalangan ini
perilaku seksual diatur sedemikian rupa dengan ketentuan-ketentuan hukum adat, Agama dan ajaran moralitas, dengan tujuan agar dorongan
perilaku seks yang alamiah ini dalam prakteknya sesuai dengan batas- batas kehormatan dan kemanusiaan.
Gejala sosial yang riil merupakan fakta sosial yang harus dipelajari secara sistematis dengan metode-metode empiris, seperti
yang di ungkapkan oleh ahli sosiologis Emile Durkheim sebagai kekuatan yang memaksa, bersifat eksternal. Kehadiran kekuatan ini
dapat di kenal walaupun tidak di ikuti, baik dengan adanya sanksi tertentu maupun perlawanan yang diberikan kepada setiap usaha
individu yang cendrung melanggarnya. Fakta sosial terkait dengan
perilaku seksualitas individu-individu memberikan perspektif bahwa perilaku seksualitas menjadi suatu privasi pribadi individu tetapi
menjadi akar permasalahan sosial yaitu pelacuran sebagai transaksi bisnis yang disepakati oleh pihak yang terlibat sebagai suatu yang
bersifat kontrak jangka pendek, yang memungkinkan satu orang atau lebih mendapatkan kepuasan seks dengan metode yang
beranekaragam. Perkins dan Bernnet. 1985 , kekerasan dalam rumah tangga, pekerjaan, kesehatan reproduksi dan ketidakadilan gender.
Permasalahan terkait dengan perilaku seksualitas dari perspektif gender dalam satu fakta sosial riil memberikan penjelasan bahwa
pengaturan-pengaturan yang mengikat tidak memberikan ruang bebas dalam memberikan solusi permasalahan perilaku seksualitas. Johnson
Doyle Paul : 174-178 Secara biologis perilaku seksualitas manusia merupakan fungsi
kegiatan harmonial, khususnya kegiatan hormon-hormon seks di dalam tubuh setiap manusia, terkait dengan gender. Istilah gender tercetus
pada tahun 1972 oleh sosiolog feminis dari Inggris bernama An Oakley yang ketika itu merefleksikan tubuh perempuan penuh dengan embel-
embel oleh masyarakat sebagai suatu kodrat sehingga proses embel- embel dinamakan dengan istilah ”pengenderan”. Istilah gender
menunjuk pada perilaku kedua seks jantan dan betina yang dipelajari dan diharapkan secara sosial bahkan merupakan konstruksi sosial
sedangkan seksualitas menunjuk pada orientasi seks seseorang.
Perilaku seksual dipengaruhi oleh hormon estrogen dan progesteron pada wanita serta hormon testosteron pada laki-laki.
Hormon estrogen memicu timbul-timbulnya gejala psikologis dari birahi dan memicu timbulnya tanda-tanda fisik pada wanita begitu pula
dengan hormon testosteron pada laki-laki memicu timbulnya tanda- tanda fisik pada laki-laki. Perbedaan secara biologis memicu terjadinya
perbedaan gender serta menjadi alasan bagi laki-laki untuk mengesahkan perbedaan peran sosial atas dasar gender. Ketidakadilan
atas gender semakin menyudutkan kaum perempuan dalam aktivitas sosial maupun segala bidang pekerjaan bahkan budaya patriarki
mendukung alasan ketidakadilan gender. Subagya 2009 Kaum perempuan terbelenggu oleh fakta sosial yang riil terjadi
di masyarakat bahwa norma-norma dan nilai-nilai yang mengikat kaum perempuan tidak memberikan ruang bebas dalam segala bidang. Fakta
sosial terkait dengan kebijakan negara yaitu pornografi, keluarga berencana, kesehatan reproduksi terkait dengan kesuburan, sikap
masyarakat terhadap perempuan hamil, perempuan pekerja. Pada manusia, perilaku seksualitas merupakan interaksi antara perilaku
prokreatif dengan situasi fisik serta sosial yang melengkunginya. Dalam konsep Sigmund Freud tentang seksualitas manusia bukan
sekedar kegiatan genitalia dengan tujuan prokreatif tetapi lebih merupakan perilaku mencari kesenangan dalam arti luas Eros ,yang
terdiri dari 2 unsur yaitu pelestarian pribadi Self Preservation dan reproduksi.
Dalam kasus Poligami sebagai perilaku seksual yang normal bagi laki-laki di berbagai komunitas tradisional dunia, sedangkan
perilaku seksual poliandri secara universal belum dapat diterima sebagai kenyataaan realitas sosial. Perilaku homoseksual, gay dan
lesbian masih belum diterima sebagai fakta sosial yang ada. Kartono. 1989 : 1-9
2.1.4 Budaya Sosial Masyarakat