2. Pendampingan Menjelang Peneguhan Pernikahan
Sifat sakramental perkawinan menuntut sikap iman dalam perayaan peneguhan pernikahan. Pendampingan diarahkan agar calon pengantin siap
menerima sakramen perkawinan secara iman. Seturut hukum Gereja kanon 1065 sangat dianjurkan agar calon pengantin menerima sakramen Penguatan, sakramen
Tobat, dan sakramen Ekaristi sebelum menerima sakramen perkawinan. Sakramen Penguatan menjadi konsekuensi logis dari tugas-tugas utama sebagai suami-istri
dan orang tua. Penerimaan sakramen Tobat dan Ekaristi bertujuan agar calon pengantin lebih menghayati rahmat perkawinan yang dicurahkan kepada mereka
Rubiyatmoko, 2011: 40-41.
3. Pendampingan Pasca Pernikahan
Pendampingan pasca pernikahan dimaksudkan untuk membantu pasangan suami-istri dalam mendalami dan menghayati panggilan dan perutusan sebagai
keluarga FC artikel 69. Pendampingan keluarga dilakukan tidak hanya untuk keluarga yang bermasalah. Dalam pelaksanaan pendampingan keluarga
bermasalah digolongkan sebagai keluarga dalam kondisi khusus PPK artikel 74. Pendampingan keluarga biasa dikelompokkan menjadi Pendampingan Keluarga
Muda, Pendampingan Keluarga Madya, dan pendampingan keluarga dengan usia perkawinan lebih dari 25 tahun. Keluarga muda yang dimaksud adalah keluarga
yang umur pernikahannya antara 0 sampai 5 tahun keluarga muda. Dalam masa ini pasangan suami-istri berada dalam masa penyesuaian diri dalam hidup
bersama. Ada banyak hal yang tampaknya kecil namun perlu disesuaikan seperti
misalnya selera makan, cara berpakaian, kebiasaan-kebiasaan lama sewaktu masih bujang, perbedaan-perbedaan karena latar belakang pendidikan, keluarga,
lingkungan dan sebagainya. Selain itu biasanya keluarga muda Katolik juga baru belajar mendampingi anak-anak. Hal-hal tersebut mudah menimbulkan perasaan
kecewa, jengkel, marah dan frustasi, apalagi jika ditambah dengan memendam perasaan, keinginan ataupun maksud hati dengan anggapan bahwa pasangan harus
tahu sendiri Gilarso, 1996 : 42. Keluarga madya adalah keluarga yang umur pernikahannya antara 6 sampai 25 tahun. Dalam masa ini pasangan suami-istri
didorong untuk mengembangkan komunikasi di antara mereka berdua dan mendidik anak yang menginjak usia dewasa menjelang perkawinan. Pada
umumnya keluarga dengan usia perkawinan lebih dari 25 tahun sudah tidak membutuhkan pendampingan khusus, namun masih terbuka kemungkinan dalam
beberapa hal keluarga masih membutuhkan bantuan. Sebaiknya pendampingan diberikan sesuai dengan kebutuhan dengan tetap memperhatikan otonomi dan
privasi mereka PPK artikel 74. Sedangkan untuk keluarga berkebutuhan khusus bermasalah diperlukan
perhatian dan pelayanan khusus sesuai dengan permasalahan dan situasi yang dihadapi. Untuk itu pendampingan keluarga bermasalah dikelompokkan menjadi
pendampingan keluarga dalam perkawinan yang belum sah, pendampingan keluarga single parent, pendampingan keluarga cerai sipil, pendampingan
keluarga yang sedang pisah, pendampingan keluarga dengan “harta terpisah”, pendampingan keluarga yang tidak memperoleh anak, pendampingan keluarga
dalam konflik berat, dan pendampingan keluarga yang mempunyai anak berkebutuhan khusus.
Bagi keluarga dalam perkawinan yang belum sah, pendampingan diarahkan agar perkawinannya disahkan. Bagi keluarga single parent,
pendampingan diarahkan agar ayah atau ibu mampu mengemban “tugas ganda” baik sebagai ayah maupun ibu agar anak-anak dapat berkembang secara wajar.
Bagi keluarga cerai sipil, pendampingan diarahkan agar mereka tidak terhalang untuk menerima sakramen-sakramen dan diupayakan untuk bisa rujuk kembali.
Bagi keluarga yang sedang pisah, misalnya pisah ranjang, pendampingan diarahkan untuk juga menyadari, bahwa dengan pisah ranjang pasutri tidak
berarti bebas dari ikatan perkawinan, selain itu pasutri tetap didorong dan dibantu agar rujuk. Bagi keluarga berharta terpisah, pendampingan diarahkan agar pasutri
menyadari bahwa pada prinsipnya kesatuan keluarga meliputi segala segi termasuk harta benda. Untuk itu pasutri didampingi agar mengelola harta benda
bersama-sama. Bagi keluarga yang tidak memperoleh anak, pendampingan diarahkan agar pasutri menyadari bahwa tidak memperoleh anak bukan berarti
gagal total dalam perkawinan. Selain itu pasutri yang menginginkan anak diarahkan agar berusaha memiliki anak dengan cara-cara yang legal dan sesuai
dengan prinsip-prinsip moral. Bagi keluarga dalam konflik berat, pendampingan diarahkan agar pasutri dapat mengatasi konflik secara bijaksana sehingga
keutuhan keluarga tetap terjaga. Bagi keluarga yang mempunyai anak berkebutuhan khusus, pendampingan diarahkan agar keluarga tetap menerima dan
mengasihi anaknya. Jika memungkinkan, anak dibantu agar dapat mandiri PPK artikel 74.
D. Struktur Pendampingan Keluarga Katolik
Pendampingan keluarga menjadi menjadi tanggung jawab Gereja FC artikel 70. Gereja mewujudkan tanggung jawab ini lewat keuskupan-keuskupan.
Pada tingkat keuskupan penanggung jawab pendampingan keluarga adalah Uskup. Dalam mengemban tanggung jawab ini, Uskup membagi tugas dan
tanggung jawab kepada paroki-paroki. Pada tingkat paroki penanggung jawab pendampingan keluarga adalah pastor paroki. Dalam mewujudkan tanggung
jawab ini Uskup dan pastor paroki dibantu oleh Komisi Keluarga Keuskupan atau semacamnya di wilayahnya masing masing PPK artikel 72. Demi terlaksananya
tugas dan tanggung jawab ini, perlu disiapkan tenaga terampil. Imam, bruder dan suster pun perlu disiapkan untuk bisa mengemban tugas ini FC artikel 70.
Keluarga seharusnya tidak hanya menjadi obyek pendampingan, karena berkat rahmat yang diterima dalam sakramen perkawinan, keluarga juga memiliki
tugas perutusan istimewa sebagai agen pastoral keluarga bagi keluarga lain, terutama yang membutuhkan. Dalam mengemban tugas ini keluarga bertindak
dalam kesatuan dan kerja sama dengan warga Gereja lainnya yang dimulai dengan membina keluarga sendiri, baru setelah itu merasul untuk keluarga lain FC artikel
71. Kelompok-kelompok dan berbagai gerakan pastoral yang sudah ada, baik
itu perkumpulan spiritualitas, pendidikan maupun kerasulan ikut bertanggung
jawab dalam pendampingan keluarga. Kelompok-kelompok ini mengemban tanggung jawab sesuai dengan ciri khas, tujuan, keefektifan dan caranya masing-
masing FC artikel 72.
E. Pelaksana Pendampingan Keluarga Katolik
Penanggung jawab utama atas pendampingan keluarga ialah uskup. Uskup melaksanakan pendampingan di tingkat paroki melalui para imam dan diakon.
Dalam pelaksanaan pendampingan para imam dan diakon perlu mengadakan dialog dengan kaum awam. Kaum awam memberikan kesaksian melalui
pengalaman hidup mereka sedangkan para imam dan diakon menjelaskan ajaran Gereja sehingga kesaksian kaum awam menjadi kesaksian yang selaras dengan
terang iman FC artikel 73. Selain para imam, biarawan-biarawati dan anggota institut sekular
mengembangkan pelayanan mereka bagi keluarga-keluarga. Pelayanan dilakukan baik secara perorangan maupun kelompok, dengan perhatian khusus bagi anak-
anak terlantar, tidak dikehendaki, yatim piatu, miskin atau cacat, orang sakit, dan keluarga-keluarga yang sedang mengalami kesulitan FC artikel 74.
Para spesialis awam dokter, ahli hukum, psikolog, pekerja sosial, konsultan, dan sebagainya baik secara pribadi maupun sebagai anggota
perhimpunan atau usaha, sebaiknya memberi pendampingan keluarga sesuai dengan keahlian masing-masing. Wujud pendampingan itu berupa penyuluhan,
nasihat, pengarahan dan dukungan FC artikel 75. Penting pula partisipasi pengelola sarana komunikasi sosial media massa untuk mendukung ini semua,
mengingat pengaruhnya yang cukup mendalam terhadap para pengguna, baik dari segi moral, intelektual maupun religius. Oleh karena itu pengelola media massa
penulis, penerbit, produser, wartawan, komentator, dan aktor harus menjaga agar media massa membantu pembentukan keluarga sejahtera sesuai dengan
kapasitasnya masin-masing FC artikel 76.