3. Alat Pengumpul Data
Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan mengadakan studi dokumen. Data-data dalam penelitian ini diperoleh dengan
mengumpulkan data sekunder yaitu melalui studi pustaka dengan mempelajari bahan hukum sekunder yaitu perundang-undangan, buku-buku bacaan yang berhubungan
dengan hukum kepailitan dan kreditur preferen, putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, hasil seminar ataupun hasil seminar penelitian yang
dituangkan dalam bentuk buku ataupun makalah, serta bahan lainnya yang berhubungan dengan permasalahan yang ditelitI, didukung juga oleh kamus hukum
dan tambah pedoman wawancara dengan Bapak Syuhada selaku Anggota Teknis Hukum Kantor Balai Harta Peninggalan Medan.
4. Analisa Data
Analisa data dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian atau untuk menguji hipotesis-hipotesis penelitian yang telah dinyatakan sebelumnya.
Analisis data adalah proses penyederhanaan data dan penyajian data dengan mengkelompokkannya dalam suatu bentuk yang mudah dibaca dan diinterpretasi.
47
Penelitian ini mengunakan analisis normatif sehingga bahan-bahan kepustakaan adalah sumber dari penelitian yang kemudian diolah menggunakan metode induktif
dan deduktif serta kemudian dilakukan pembahasan untuk menyelesaikan
47
Ulber Silalahi. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama, 2009. Hal 332
Universitas Sumatera Utara
permasalahan yang ada. Analisa data merupakan proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.
48
Yang dilakukan dalam analisis data adalah menginventarisasi semua ketentuan hukum
positif yang menyangkut tentang kepailitan, hak tanggungan, hukum jaminan,
kedudukan dan hak kreditur preferen dalam hal terjadi kepailitan debitor.
48
Lexy J Meleong. Metode Kuatitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. Hal. 103
Universitas Sumatera Utara
BAB II KEDUDUKAN KREDITUR PREFEREN
DALAM KEPAILITAN
A. Kepailitan
1. Pengertian dan Syarat Kepailitan
Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala yang berhubungan dengan “pailit”. Istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis,
Latin dan Inggris. Dalam bahasa Perancis, istilah “faillite” artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau
berhenti membayar utangnya disebut dengan Le failli. Didalam bahasa Belanda dipergunakan istilah faillit yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan
kata sifat. Sedangkan dalam bahasa Inggris digunakan istilah to fail, dan didalam bahasa latin dipergunakan istilah failire.
Dalam Black’s Law Dictionary pailit atau “Bankrupt adalah “the state or condition of the person individual, partnership, corporation, municipality who is
unable to pay its debt as they are, or become due”. The term includes a person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary
petition, or who has been adjudged a bankrupt.
49
49
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja. Op. Cit., hal. 11
Universitas Sumatera Utara
Dari pengertian yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary dapat dilihat bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan “ketidakmampuan untuk membayar”
dari seorang debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan itu harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang
dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri, maupun atas permintaan orang ketiga diluar debitur, suatu permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan, maksud
pengajuan permohonan tersebut adalah sebagai suatu bentuk pemenuhan asas “publisitas” dari keadaan tidak mampu membayar dari seorang debitor. Tanpa adanya
permohonan tersebut ke pengadilan, maka pihak ketiga yang berkepentingan tidak akan pernah tahu keadaan tidak mampu membayar dari debitor. Keadaan ini
kemudian akan diperkuat dengan suatu putusan pernyataan pailit oleh Hakim Pengadilan, baik itu merupakan putusan yang mengabulkan ataupun menolak
permohonan kepailitan yang diajukan.
50
Defenisi kepailitan itu sendiri tidak ditemukan dalam Faillisements Verordening maupun dalam Undang-Undang No. 4
Tahun 1998. Kepailitan adalah pembeslahan massal dan pembayaran yang merata serta pembagian yang seadil-adilnya diantara para kreditur dengan dibawah
pengawasan pemerintah. Selanjutnya dijelaskan : 1.
Pembeslahan massal, mempunyai pengertian bahwa dengan adanya vonis kepailitan, maka semua harta pailit kecuali yang tercantum dalam Pasal 20
Faillissement Verordening, dibeslag untuk menjamin semua hak-hak kreditur.
50
Ibid
Universitas Sumatera Utara
2. Pembayaran yang merata serta pembagian yang seadil-adilnya menurut posisi
piutang dari para kreditur yaitu: a.
Golongan kreditur separatis hypotik, gadai. b.
Golongan kreditur preferen Pasal 1139 dan 1149 KUHPerdata. c.
Golongan kreditur konkuren. 3.
Dengan di bawah pengawasan pemerintah. Artinya, bahwa pemerintah ikut campur dalam pengertian mengawasi dan mengatur penyelenggaraan
penyelesaian boedel si pailit, dengan mengerahkan alat-alat perlengkapannya yaitu:
a. Hakim pengadilan niaga
b. Hakim komisaris
c. Kurator weeskamer BHP
Setelah keluarnya UU No. 37 Tahun 2004, pengertian pailit dijumpai dalam
Pasal 1 angka 1 yang menyebutkan: “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh
kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang- undang ini”. Dilakukan penyitaan secara umum dimaksudkan untuk menghindari para
kreditur bertindak sendiri-sendiri, agar semua kreditur memperoleh manfaat dari harta kekayaan debitor pailit, dengan cara dibagi menurut perimbangan hak tagihan atau
tuntutan mereka masing-masing.
Universitas Sumatera Utara
Permohonan pernyataan pailit dapat dilakukan jika persyaratan kepailitan telah terpenuhi. Dalam ketentuan Pasal 2 ayat 1 UUK dan PKPU disebutkan bahwa
syarat kepailitan adalah “debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”. Ketentuan tersebut
mengisyaratkan bahwa untuk dapat mempailitkan debitor harus: 1.
Mempunyai 2 dua atau lebih kreditur, dan 2.
Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Rasio kepailitan adalah jatuhnya sita umum atas semua harta benda debitor
untuk kemudian setelah dilakukan rapat verifikasi tidak tercapai accord, dilakukan proses likuidasi atas seluruh harta benda debitor untuk kemudian dibagi-bagikan hasil
perolehan kepada semua krediturnya sesuai tata urutan kreditur tersebut menurut undang-undang. Dengan demikian jika seorang debitor hanya memiliki satu kreditur
saja, maka kepailitan akan kehilangan rasionya, itulah sebabnya diisyaratkan adanya consursus creditorium. Berdasarkan Pasal 2 ayat 1, dapat diketahui bahwa
pernyataan pailit merupakan suatu putusan pengadilan. Sehingga itu berarti bahwa sebelum adanya suatu putusan pengadilan, seorang debitor tidak dapat dinyatakan
dalam keadaan pailit. Dengan adanya pengumuman putusan pernyataan, maka berlakulah ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata atas seluruh harta kekayaan debitor
Universitas Sumatera Utara
pailit, yang berlaku umum bagi semua kreditur konkuren dalam kepailitan tanpa terkecuali, untuk memperoleh pelunasan atas seluruh piutang-piutang konkuren
mereka. Sebelumnya rumusan ini diberikan oleh Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.
Syarat debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu “utang
51
yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Hukum kepailitan bukan mengatur kepailitan debitor
yang tidak membayar kewajibannya hanya kepada salah satu krediturnya saja, tetapi debitor itu harus berada dalam keadaan insolven insolvent. Seorang debitor dalam
keadaan insolven hanyalah apabila debitor itu tidak mampu secara financial untuk membayar utang-utangnya kepada sebagian besar krediturnya. Seorang debitor tidak
dapat dikatakan telah dalam keadaan insolvensi apabila hanya kepada seorang kreditur saja debitor tersebut tidak membayar utangnya, sedangkan kepada kreditur
lainnya debitor tetap dapat melaksanakan kewajiban pelunasan utang-utangnya dengan baik.
52
Keadaan berhenti membayar haruslah merupakan keadaan yang objektif, yaitu karena keuangan debitor telah mengalami ketidakmampuan membayar
utang-utangnya. Dengan kata lain, debitor tidak boleh hanya sekedar tidak mau membayar utang-utangnya tetapi keadaan objektif keuangannya memang telah dalam
51
Menurut Pasal 1 ayat 6 UUK dan PKPU, bahwa yang dimaksud dengan Utang adalah Kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang indonesia
maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbuk dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor
dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.
52
Sunarmi.,Loc. Cit., hal 28
Universitas Sumatera Utara
keadaan tidak mampu membayar, sehingga yang menjadi pertimbangan pengadilan niaga untuk menyatakan seorang debitor pailit, tidak saja dikarenakan
ketidakmampuannya untuk melunasi utang-utang tersebut seperti yang sudah diperjanjikan.
Hukum kepailitan di Indonesia baik dalam Faillissement Verordening, UU No. 4 Tahun 1998 maupun UU No. 37 Tahun 2004 tidak memberikan batasan yang
jelas tentang “berhenti membayar” dan “tidak membayar”. Dengan tidak adanya tes insolvensi dalam hukum kepailitan Indonesia merupakan kelemahan. Debitor yang
masih memiliki kekayaan yang cukup untuk membayar utang-utangnya dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan karena tidak membayar utang. Istilah “solvent”
berasal dari bahasa latin “solvere” yang artinya membayar dan lawan katanya “insolvent” yang artinya tidak membayar.
Utang yang telah jatuh tempo dengan sendirinya menjadi utang yang telah dapat ditagih, namun utang yang dapat ditagih belum tentu merupakan utang yang
telah jatuh tempo. Utang hanyalah jatuh tempo apabila menurut perjanjian kredit atau perjanjian utang-piutang telah sampai jadwal waktunya untuk dilunasi oleh debitor
sebagaimana ditentukan dalam perjanjian itu. Tentu saja apabila utang tersebut telah jatuh tempo, maka kreditur mempunyai hak untuk menagih seluruh jumlah yang
terutang dan jatuh tempo pada debitor.
Universitas Sumatera Utara
2. Subjek Hukum Kepailitan