Mortalitas dan Kualitas Air

8 strategi untuk mengatasi dampak limbah terhadap pertumbuhan organisma budidaya, mortalitas, serta keseluruhan total biomassa didalam sistem produksi Thakur Lin 2003. Selama 90 hari udang windu Penaeus monodon dibudidaya secara intensif tanpa pergantian air closed system dengan padat tebar 25 dan 50 juvenilm 2 menghasilkan pertambahan bobot udang dan produksi tertinggi pada padat tebar 50 juvenilm 2 , sedangkan SR tidak berbeda antar padat tebar Thakur Lin 2003. Tidak ada perbedaan SR udang pada media bersalinitas 9, 18 dan 36 ppt. Namun penurunan salinitas dari 36 ppt ke 9 ppt mengarah pada penurunan bobot akhir udang dari 13.40 ± 0.26 g menjadi 10.23 ± 2.72 g Decamp et al. 2003. Dari hasil penelitian pada 8 petak budidaya udang windu intensif dengan luas efektif masing-masing 4000 m 2 dan berpadat tebar 34-35 ekor PL12m 2 , didapatkan derajat kelangsungan hidup pada hari ke-90 sebesar 74.27 ± 6.38 dengan kisaran 64.58-84.31. Mortalitas udang yang tinggi akibat serangan penyakit terjadi pada umur 95-100 hari pemeliharaan Budiardi, 1998.

2.2 Faktor dan Proses Penentu Produktivitas

2.2.1 Mortalitas dan Kualitas Air

Pasokan kualitas air yang baik merupakan faktor penting bagi budidaya perairan karena berpengaruh terhadap reproduksi, pertumbuhan dan kelangsungan hidup organisme akuatik Chien 1992. Dalam siklus pembesaran, udang akan terkena tekanan akibat perubahan lingkungan yang bervariasi termasuk faktor alam, misalnya salinitas dan suhu. Hal tersebut dapat mengarah ke penurunan permorfa yang terkait dengan pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang Wyban et al. 1995. Kondisi perairan dengan pH ekstrim juga dapat membuat udang tertekan, pelunakan karapas, serta kelangsungan hidup rendah. Mortalitas tinggi pada udang terjadi pada pH perairan di bawah 6.0 sedangkan pada pH 3.0 dalam 20 jam terjadi kematian 100 Law 1988. Mortalitas udang yang tinggi juga dapat disebabkan karena adanya perubahan salinitas secara cepat Tseng 1987 dalam Chien 1992. 9 Di sedimen, potensi reduksi-oksidasi mengontrol reduksi sulfat menjadi sulfit. Di kolom air, hidrogen sulfida berbentuk anionik H 2 S yang bersifat toksik bagi udang serta berbentuk ion HS - dan S 2- Boyd 1991; Goddard 1996. Hidrogen sulfida secara cepat teroksidasi pada kondisi oksigen terlarut yang tinggi. Oleh karena itu, gas tersebut jarang ditemukan pada lapisan air permukaan namun menjadi masalah utama bagi organisme dasar yang meliang, termasuk di dalamnya adalah udang Goddard 1996. Hasil penelitian menyatakan, bahwa perairan dengan konsentrasi H 2 S di bawah 0.009 mgl tidak menyebabkan kematian udang, sedangkan kematian total terjadi pada konsentrasi 0.064 mgl Law 1988. Beberapa nilai optimum parameter kualitas air yang mendukung budidaya udang tertera pada Tabel 1. Tabel 1 Kisaran nilai optimum parameter kualitas air bagi udang Parameter Satuan Nilai optimum Pustaka Oksigen terlarut mgl 5 4 Yang 1990 Liao Huang 1975 dalam Chien 1992; Xincai Yongquan 2001 Suhu o C 28 – 30 20 – 36 Hirono 1992 Xincai Yongquan 2001 Salinitas 15 – 25 5 – 35 Boyd 1991 Xincai Yongquan 2001 pH unit 7.5 – 8.5 7.0 – 10.0 Law 1988, Chien 1992 Xincai Yongquan 2001 Alkalinitas mgl 20 – 200 Liu 1989 NH 3 mgl 0.100 Wickins 1976, Liu 1989 H 2 S mgl 0.050 0.005 0.001 Boyd 1991 Chien 1992 Xincai dan Yongquan 2001 Kecerahan cm 30 – 40 25 – 50 Chien 1992, Hirono 1992 Xincai Yongquan 2001 10 Udang vaname dapat tumbuh pada perairan salinitas rendah. Diperkirakan lebih dari 30 budidaya udang di Thailand dilakukan pada perairan bersalinitas rendah. Namun hal yang penting, air payau tambak di Thailand merupakan air asin yang dialirkan ke darat dari kawasan pantai sehingga mempunyai perbandingan ion yang serupa dengan air laut Saoud Davis 2003. Udang vaname hidup pada perairan dengan kisaran salinitas antara 1-40 ppt Bray et al. 1994, serta dapat tumbuh pada perairan dengan salinitas berkisar antara 0.5 ppt Samocha et al. 2001 sampai 28.3 ppt Smith Lawrence 1990 dalam Saoud Davis 2003. Namun demikian menurut Tsuzuki et al. 2000, pascalarva PL dan juvenil udang penaeid tidak terlalu toleran terhadap fluktuasi salinitas yang besar. Pascalarva penaeid yang mempunyai toleransi lebar terhadap salinitas adalah setelah PL10-PL40. Sebelum periode tersebut, petani tidak akan mengaklimatisasikan udang ke salinitas rendah. Pada umumnya, udang penaeid merupakan spesies eurihalin dan juvenil udang vaname telah berhasil dipelihara pada salinitas 5-35 ppt Sturmer Lawrence, 1989; Bray et al. 1994; Ponce-Palafox et al. 1997. Bagaimanapun, perbedaan salinitas dapat mempengaruhi fisiologi udang dan parameter kualitas air, misalnya laju ekskresi amonium-N lebih rendah pada 25 ppt daripada 10 ppt atau 40 ppt Jiang et al. 2000. Ekskresi nitrit-N juvenil Penaeus chinensis meningkat dengan meningkatnya salinitas, pH dan tingkat amonium-N ambien, sedangkan ekskresi amonium-N menurun dengan meningkatnya salinitas, pH dan tingkat amonium-N ambien Chen Lin 1995. Kapasitas osmoregulasi udang dari kelompok yang sama menunjukkan keragaman antar individu. Jika salinitas media diturunkan, maka keragaman akan meningkat. Pada media isoosmotik salinitas 26 ppt, koefisien keragaman kapasitas osmoregulasi sebesar 2.7, sedangkan pada salinitas 1.5 ppt bernilai 8.2. Perbedaan koefisien keragaman kapasitas osmoregulasi antar invidu pada tingkat salinitas yang sama dapat meningkat lebih dari 45.8. Kapasitas osmoregulasi rata-rata pada individu yang bertahan hidup setelah melalui uji stres salinitas dan suhu secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan populasi awalnya. Peningkatan kapasitas osmoregulasi tersebut dapat bertahan selama satu atau dua periode molting Chim et al. 2003. 11 Buangan yang dihasilkan dalam sistem internal waste budidaya udang dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu buangan padat yang terdiri dari pakan yang tidak termakan dan feses, serta produk ekskresi terlarut, yang meliputi amonia, urin, bahan organik terlarut dan karbondioksida. Diperkirakan lebih dari sepertiga pakan yang digunakan pada budidaya intensif tidak dapat dicerna. Komponen tersebut, bersama dengan mukus, bakteri dan sel-sel dari dinding saluran pencernaan diekskresikan berupa feses yang mengandung lebih dari 30 karbon dan 10 nitrogen yang dikonsumsi Goddard 1996. Menurut Goddard 1996, buangan yang dihasilkan selama pemeliharaan udang berpotensi untuk membahayakan, baik bagi lingkungan tambak maupun bagi lingkungan luar yang memakai air buangan tersebut. Pakan yang tidak termakan menjadi masalah utama bagi budidaya, terutama bagi kolam-kolam statis dengan laju pergantian air yang rendah. Bahan organik dalam perairan berbentuk senyawa organik terlarut sampai bahan organik partikulat dalam agregar besar, atau organisme yang mati, yang bersumber, baik dari dalam autochtonous maupun dari luar allochtonous perairan. Secara umum, komposisi bahan organik meliputi protein 40-60, karbohidrat 25-50, lemak dan minyak 10, serta urea. Kandungan bahan organik tersebut dapat diukur secara langsung dengan cara mengukur kandungan bahan organik total total organic matter, TOM dan secara tidak langsung dengan cara mengukur kebutuhan oksigen secara biokimia biochemical oxygen demand, BOD atau kebutuhan oksigen secara kimia chemical oxygen demand, COD Wetzel Likens 1991. Kandungan bahan organik mempengaruhi kandungan oksigen terlarut dalam air. Penguraian bahan organik memerlukan oksigen dalam air sehingga semakin banyak bahan organik di air maka kandungan oksigen terlarut menjadi semakin berkurang Boyd 1979. Terkait dengan hal ini, Goddard 1996 menyatakan, bahwa sisa pakan pada pemeliharaan udang menjadi subyek bagi perombakan bakterial. Pada kondisi aerobik, proses tersebut akan meningkatkan pemakaian oksigen. Jika pasokan oksigen berkurang, sedimen akan menjadi anaerobik dan hidrogen sulfida yang dihasilkan oleh bakteri heterotrof dapat terakumulasi sampai pada tingkat yang membahayakan bagi udang. Hidrogen sulfida 12 merupakan gas berkelarutan tinggi yang dalam konsentrasi rendah sudah bersifat toksik bagi udang. Gas tersebut dapat menimbulkan masalah yang nyata pada kolam-kolam budidaya, terutama yang pergantian airnya kurang mencukupi untuk pengenceran sampai pada tingkat yang aman. Laju pemakaian oksigen oleh udang windu relatif konstan pada konsentrasi oksigen terlarut 3.0-4.0 mgl, salinitas 4-45 ppt dan suhu 20-30 °C Liao dan Murai 1986. Udang dalam perairan berkadar oksigen 1.0 mgl akan berhenti makan, tidak tumbuh pada 1.0-1.4 mgl, tidak berbeda laju konsumsi pakan pada 1.5 mgl, pertumbuhan terbatas di bawah 5 mgl, serta normal pada konsentrasi di atas 5 mgl Yang 1990. Mortalitas PL udang windu sebesar 35 terjadi pada konsentrasi oksigen terlarut di bawah 1 mgl dan kematian total terjadi pada konsentrasi di bawah 0.5 mgl Law 1988. Untuk itu disarankan agar oksigen terlarut setiap saat dipertahankan di atas 2.0 mgl Law 1988 atau 4.0 mgl Liao dan Huang 1975 dalam Chien 1992. Menurut Allen et al. 1984, laju konsumsi oksigen umumnya diukur dalam studi-studi metabolisme hewan karena dapat merefleksikan perbedaan antara energi asimilasi dan energi untuk pertumbuhan. Model yang dapat mengekspresikan ketergantungan laju konsumsi oksigen terhadap bobot hewan adalah: dOdt = k O W γ dengan dOdt = laju konsumsi oksigen, serta k O dan γ merupakan konstanta yang dihitung. Dalam sistem perairan, keseluruhan model konsentrasi oksigen dapat ditentukan dari keseimbangan massa dengan mengikuti persamaan yang diajukan oleh Allen et al. 1984, yaitu perubahan DO sama dengan penambahan oksigen dari fotosintesis, pasokan aerasi, aerasi alami, dan air masuk, serta pengurangan dari respirasi fitoplankton, respirasi ikan, dekomposisi detritus, dan air keluar. Laju perubahan setiap kategori tersebut dimodelkan sebagai fungsi kondisi lingkungan eksternal dan internal dalam kolam. Budidaya udang penaeid pada air bersalinitas rendah sudah banyak dilakukan, namun hanya ada sedikit informasi tentang kelayakan perairan dengan berbagai komposisi ion untuk budidaya udang. Pada air bersalinitas rendah, derajat kelangsungan hidup SR PL15 sama dengan PL20 namun lebih tinggi dibanding PL10. Kelangsungan hidup berkorelasi positif dengan ion yang 13 terkandung dalam air, seperti K, Mg dan SO 4 dan berkorelasi negatif dengan konsentrasi besi tinggi Saoud Davis 2003. Komponen sedimen yang secara nyata berkorelasi positif dengan bobot, SR dan produksi udang adalah konsentrasi total dan ketersediaan besi Fe, cadmium Cd, mangan Mn, dan fosfor P serta tidak berkorelasi dengan tembaga Cu dan seng Zn. SR tertinggi dicapai pada sedimen dengan tingkat Mn tertinggi. Bobot akhir tertinggi dicapai pada sedimen dengan kandungan fosfor tertinggi dan sebaliknya dengan konsentrasi tembaga yang tinggi. Tekstur sedimen berpengaruh pada produksi udang, yaitu rendah pada sedimen bertekstur pasir dan meningkat pada sedimen berliat Mendez et al. 2004. Pada sistem akuakultur, sedimen tambak mempengaruhi perkembangan dan kehidupan organisme. Substrat bagi jenis-jenis udang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang Ray Chien 1992, misalnya Litopenaeus setiferus dan Farfantepenaeus aztecus berasosiasi dengan baik pada substrat lumpur berpasir atau lumpur Rulifson 1981 dalam Mendez et al. 2004; Penaeus semisulcatus dan P. monodon pada substrat pasir dengan kisaran ukuran 0.9-0.12mm Moller Jones 1975 dalam Mendez et al. 2004; sedangkan L. vannamei tumbuh lebih baik pada substrat yang impermeabel dasar tanpa sedimen, fiberglass daripada substrat tanah Bray Lawrence 1993 dalam Mendez et al. 2004.

2.2.2 Pertumbuhan dan Tingkat Pemberian Pakan