Penelitian Terdahulu yang Relevan

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Sejauh penelusuran penulis, belum ada hasil penelitian ilmiah yang secara khusus berbicara mengenai pengaruh Al-Qur'an terhadap perkembangan literasi Arab.

61 Lihat Jean E. Spencer, “Literacy” dalam The Encyclopedia Americana International Edition, Vol. 17, (Complete in Thirty Volumes), New York: Americana Corporation, 1972, hlm. 559.

Kalaupun ada buku-buku yang menyinggung faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan literasi Arab (misalnya, dipengaruhi oleh persinggungan antar budaya

melalui jaringan perdagangan Arab), 62 maka hal itu masih berupa pendapat (opinion) yang belum diteliti secara mendalam—dengan demikian, kajian ini merupakan ruang

kosong yang belum dikaji banyak orang. Begitu juga buku-buku Ulumul Qur'an klasik, belum ada (setahu penulis) yang mengupas dengan detail pengaruh kitab suci Al-Qur'an terhadap literasi Arab. Beberapa literatur Ulumul Qur'an klasik lebih menekankan pembahasan tradisi baca-tulis dari sisi normatif dan teologis. Di dalam Al-Burhan, misalnya, terdapat kutipan yang menerangkan bahwa Nabi Adam sudah

berbudaya baca-tulis dan diajari langsung oleh Allah, dan lain sebagainya. 63 Selanjutnya, penjelasan mengenai pengaruh Al-Qur'an terhadap perkembangan

literasi Arab diperoleh dari berbagai data yang masih berserakan dalam berbagai hasil riset. Dengan kata lain, temuan-temuan itu bersifat sepintas lalu dan tidak dilakukan secara sengaja (sistematis) untuk menjelaskan pengaruh Al-Qur'an terhadap perkembangan literasi Arab. Namun demikian, beberapa upaya rintisan sudah dilakukan, di antaranya:

The Cultural Atlas of Islam, karya Isma'il R. Al-Faruqi dan Lois Lamya' Al- Faruqi (New York: Macmillan Publishing Company, 1986). Buku ini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Ilyas Hasan dan dicetak oleh Penerbit Mizan Bandung (cetakan pertama September 1998) dengan judul Atlas Budaya:

Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang. Buku ini menjelaskan, pada awal abad ketujuh Masehi tradisi penulisan telah ada di kawasan Jazirah Arab. Namun tradisi baca-tulis belum banyak dipraktikkan oleh orang-orang sezaman Nabi Muhammad. Karya sastra berbentuk syair dan prosa yang biasa diciptakan sebagian besar masyarakat ini pun tidak ditulis, namun hanya dihafal dan dibaca dalam bentuk sebenarnya. Nabi sendiri juga tidak pernah mempelajari ilmu baca-tulis, meskipun

62 Lihat Muhammad Hadi Ma'rifat, Sejarah Al-Qur'an (Târikh al-Qur'ân, terj. Thoha Musawa), Jakarta: Al-Huda, 2007, hlm. 177-185.

63 Baca Badruddin Muhammad bin Abdullah Al-Zarkasyi, Al-Burhân fî 'Ulûm al-Qur'ân, Kairo: Dâr Al-Hadîts, 2006, hlm. 259.

beberapa di antara keluarga dan sahabatnya dapat menulis. 64 Sampai akhirnya wahyu pertama turun dan Nabi memerintahkan beberapa sahabat untuk menulis ayat demi

ayat yang turun secara kontinyu. Ternyata masyarakat Arab menyambut baik seruan kitab suci ini. Maka, mereka pun akhirnya menjadi bangsa terpelajar mengalahkan

bangsa-bangsa lain pada masanya. 65 Yang perlu dicatat, bahasan tradisi baca-tulis Arab di buku ini sangat sedikit dan tidak disertai dengan fakta historis yang memadai.

The History of The Qur'anic Text, karya Muhammad Mustafa Al-A'zami. Buku ini telah diterjemahkan oleh Sohirin Solihin dkk dengan judul Sejarah Teks Al- Qur'an: Dari Wahyu sampai Kompilasi, Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 2005). A’zami menjelaskan, literasi Arab sedemikian cepat berkembang karena perintah Al-Qur’an untuk belajar baca-tulis. Oleh Nabi Muhammad, perintah ini dijabarkan dengan tindakan nyata berupa gerakan belajar baca-tulis secara massal. A’zami mengutip sumber-sumber

otoritatif (Al-Qur’an, Hadis, dan pendapat ulama-ulama klasik). 66 Buku ini hanya menyinggung sedikit tentang sejarah awal baca-tulis dalam lingkungan Arab (Islam),

dan mengatakan bahwa doktrin agama (Islam) terlibat secara dominan dalam memengaruhi orang-orang agar mau belajar baca-tulis. Namun, seperti buku sebelumnya, pendapat tentang pengaruh Al-Qur'an terhadap perkembangan literasi Arab dalam buku ini tidak disertai data historis yang memadai.

Al-Qur'an dan Kaligrafi Arab, karya Ilham Khoiri R. (Jakarta: Logos, 1999). Menurut penulis buku ini, Al-Qur’an sangat berpengaruh terhadap perkembangan kaligrafi Arab. Sebelum Al-Qur’an turun, tulisan indah Arab ini lambat berkembang. Kondisi ini berbeda dengan setelah diturunkannya Al-Qur'an, muncul berbagai gaya

64 Sebagian kecil dari sahabat Nabi memang ada yang bias baca-tulis, namun mayoritas dari mereka adalah orang-orang buta huruf. Peralatan tulis tidak dapat mereka peroleh dengan mudah. Baca

Sub i al-Shâlih, Mabâhits fî Ulûm al-Qur’ân, cet. ke-9,Beirut: Dar al- ‘Ilm al-Malayin, 1977, hlm lintas ulumul Al-Qur'an 144.

65 Baca Isma'il R. Al-Faruqi dan Lois Lamya' Al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, New York: Macmillan Publishing Company, 1986, hlm. 357.

66 Muhammad Mustafa Al-A'zami, Sejarah Teks Al-Qur'an (The History of The Qur'anic Text, terj. Sohirin Solihin dkk) , Jakarta: Gema Insani Press, 2005, hlm. 151-154.

dan variasi. Mulai dari zaman Umayyah sampai sekarang selalu muncul gaya-gaya baru yang inovatif, termasuk gaya kaligrafi kontemporer. Ini semua terjadi karena pengaruh Al-Qur'an yang terwujud dalam tiga bentuk. Yaitu, motivasi normative Al-

Qur'an; penulisan Al-Qur'an; dan pemilihan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur'an. 67 Buku ini membicarakan objek yang berbeda dengan riset yang penulis lakukan. Ia

membicarakan pesatnya perkembangan tulisan indah Arab akibat pengaruh Al- Qur'an—dan out-put-nya adalah munculnya peradaban seni islami; sementara penelitian yang sedang penulis lakukan adalah pengaruh Al-Qur'an terhadap perkembangan budaya literasi—dan out-put-nya adalah lahirnya peradaban

intelektual di dunia Islam. Târikh al-Qur'ân, karya Muhammad Hadi Ma'rifat, diterjemahkan oleh Thoha Musawa dengan judul Sejarah Al-Qur'an (Jakarta: Al-Huda, 2007). Buku ini menjelaskan sedikit tentang 'Munculnya Khat Arab'. Menurut Hadi Ma’rifat, orang- orang Arab Hijaz di masa lampau tidak bisa baca-tulis. Mereka mengetahui ilmu baca-tulis sejak mendekati munculnya Islam. Yang membuat bangsa ini tidak butuh ilmu baca-tulis adalah kehidupan badui yang selalu menghabiskan waktu dalam perjalanan, mengembara, berperang dan merampok. Aktifitas yang demikian menghalangi orang-orang ini untuk berfikir tentang seni, termasuk seni baca-tulis. Namun demikian, pada masa-masa berikutnya di antara mereka ada yang tertarik dan mau belajar baca-tulis. Yang membuat budaya literasi berkembang dalam masyarakat Arab Hijaz adalah kontak budaya yang terjadi dalam perdagangan. Sebagian dari orang-orang Arab Hijaz ini melakukan perjalanan ke Syam dan Irak untuk tujuan dagang, lambat laun mereka bersentuhan dan terpengaruh budaya masyarakat yang sudah maju dan beradab. Mereka kemudian belajar etika dan ilmu baca-tulis kepada

orang-orang Syam dan Irak. 68 Kesimpulan ini jelas lemah dan bertentangan dengan fakta sejarah. Menurut penulis, kontak budaya yang terjadi melalui perdagangan tidak

67 Lihat Ilham Khoiri R, Al-Qur'an dan Kaligrafi Arab, Jakarta: Logos, 1999 68 Muhammad Hadi Ma'rifat, Sejarah Al-Qur'an (Târikh al-Qur'ân, terj. Thoha Musawa),

Jakarta: Al-Huda, 2007, hlm. 177-185.

memberi pengaruh terhadap perkembangan budaya literasi di lingkungan masyarakat Arab. Karena hingga mendekati masa-masa turunnya Al-Qur'an, sistem tulisan Arab belum sempurna dan tulisan Arab saat itu hanya berfungsi membantu ingatan—bukan

simbol lahir dari sebuah lafadh. The Arabs in History karya Bernard Lewis (New York: Harper Torchbooks, 1960), diterjemahkan oleh Said Jamhuri dengan judul Bangsa Arab dalam Lintasan

Sejarah: Dari segi Geografi, Sosial, Budaya dan Peranan Islam (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1988). Dalam buku ini Lewis mengemukakan, Al-Qur'an adalah literatur berbahasa Arab pertama yang—pada permulaan abad kekuasaan Islam—sajak dan prosanya telah berkembang dengan baik. Al-Qur'an juga merupakan literatur terkaya di antara literatur-literatur yang ada. Ilmu pengetahuan dan pengajaran (teaching),

pada awalnya, tumbuh dari kebutuhan untuk menginterpretasikan Al-Qur'an. 69 Penjelasan Lewis di sini lebih meneka nkan pada Al-Qur’an secara keseluruhan,

bukan tradisi literasi. Bagi Lewis, peradaban intelektual Islam adalah hasil akhir dari pengaruh Al-Qur'an, sementara proses pembentukan tradisi baca-tulis yang mengantarkan bangsa Arab (Islam) tidak disinggung. Padahal, yang mula-mula disuarakan Al-Qur'an adalah mentradisikan baca-tulis. Dan peradaban intelektual bisa terbangun ketika didahului dengan tradisi literasi.

Buku lain yang menyinggung literasi Arab adalahRekonstruksi Sejarah Al- Qur'an, karya Taufik Adnan Amal (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005). Menurut Adnan Amal, sejatinya masyarakat Arab sudah berbudaya baca-tulis selama berabad-abad jauh sebelum datangnya Islam. Selain mendasarkan kesimpulan ini prasasti dalam bahasa Arab selatan, dia juga mengaitkan dengan perdagangan sebagai suatu yang

identik dengan tradisi baca-tulis. 70 Anggapan ini tentu sulit dibuktikan. Karena pada praktiknya, aktifitas perdagangan orang-orang Arab yang melegenda dan berusia

69 Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah: Dari segi Geografi, Sosial, Budaya dan Peranan Islam (The Arabs in History, terj. Said Jamhuri), Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1988, hlm.

141. 70 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur'an, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005, hlm.

puluhan bahkan ratusan tahun itu tidak merubah pola hidup mereka kecuali sedikit sekali. Hal yang membuat kondisi hidup mereka lebih baik, termasuk dalam hal

tradisi baca-tulis adalah turunnya Al-Qur'an. 71 Târîkh al-Islâm al-Siyâsîy wa al-Tsaqâfîy wa al-Ijtimâ karya Hasan Ibrahim

Hasan. Buku ini juga sudah terbit dalam edisi bahasa Indonesia oleh A. Bahauddin dengan judul Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2006). Hasan

Ibrahim menjelaskan, Nabi Muhammad adalah orang pertama yang menaruh perhatian serius terhadap pengajaran baca-tulis kepada masyarakat Arab. Berbagai upaya dilakukan Muhammad untuk mengentaskan masyarakat Arab dari keterpurukan akibat buta aksara. Melalui wahyu pertama yang telah dia terima, gerakan melek aksara (belajar baca-tulis) dikampanyekan di lingkungan masyarakat Arab. Pesatnya perkembangan literasi Arab karena ditopang oleh doktrin keagamaan (melalui kitab suci Al-Qur’an), kerja keras Nabi Muhammad, serta kesadaran

beragama masyarakat Arab (Islam). 72 Namun begitu, buku ini belum berbicara data historis yang mendukung simpulannya dan tidak mengupas sejarah proses

penyempurnaan sistem tulisan Arab sehingga menjadi lengkap seperti sekarang. Membumikan Al-Qur'an, karya Muhammad Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1999). Menurut Quraish Shihab, masyarakat Arab yang hidup pada masa turunnya Al-Qur'an adalah masyarakat yang tidak mengenal baca-tulis. Al-Qur'an, demikian pula Rasulullah Muhammad, menganjurkan kepada kaum muslim untuk memperbanyak membaca dan mempelajari Al-Qur'an dan anjuran tersebut mendapat

sambutan yang hangat. 73 Di sini Quraish Shihab menyimpulkan bahwa Al-Qur'an-lah yang memelopori budaya baca-tulis, tetapi dia tidak menyertakan data-data histories

yang lengkap, juga tidak membahas budaya apa saja yang lahir dari anjuran Al-

71 Bandingkan dengan Muhammad Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1998, hlm. 73. Baca juga Philip K. Hitti, History of The Arabs, (terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi

Slamet Riyadi), Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006, hlm. 109.

72 Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Târîkh al-Islâm al-Siyâsîy wa al- Tsaqâfîy wa al-Ijtimâ', terj. A. Bahauddin), Jakarta: Kalam Mulia, 2006, hlm. 108.

73 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1999, hlm. 23-24.

Qur'an untuk bertradisi literasi. Jadi, belum menjawab persoalan yang penulis ajukan dalam proposal riset ini.

“ The Qur’an in Muslim Thought and Practice”, ditulis Mustansir Mir. Artikel (kurang lebih 5 halaman) ini terangkum dalam The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World (New York: Oxford University Press, 1995). Menurut Mustansir, budaya yang berkembang di masyarakat Arab adalah budaya yang bersifat lisan. Adapun yang menyebabkan terjadinya transformasi budaya dari pra-tulisan ke tulisan, terutama, adalah Al-Qur'an. Kitab suci umat muslim ini memiliki perhatian yang tinggi terhadap pentingnya tradisi baca-tulis. Wahyu yang pertama-tama diturunkan berhubungan erat dengan hal-hal seperti ’menulis’, ’membaca’, ‘pena’ dan ‘ buku’ (QS. Al-‘Alaq/96). Disusul kemudian wahyu yang mengambil tema sentral tentang ‘kalam’ (QS. Al-Qalam/68). Tidak hanya itu, sejumlah ayat juga menerangkan bahwa Al-Qur'an secara keseluruhan disebut ‘kitab’. Secara berulang- ulang Al-Qur'an juga menegaskan pentingnya mencatat transaksi utang-piutang (QS. Al-Baqarah/2:282-283), dan memerintahkan agar kontrak pembebasan dari perbudakan dibuat secara tertulis (QS. Al-Nur/24:33). Selain Al-Qur'an sangat peduli dengan tradisi baca-tulis, Nabi sendiri juga melakukan upaya serius untuk menerjemahkan program Al-Qur'an ini. Nabi, misalnya, segera mengerahkan sejumlah besar juru tulis untuk memelihara teks Al-Qur'an beberapa saat setelah wahyu ini turun. Nabi juga memberdayakan para tawanan perang Badar untuk kepentingan program melek aksara ini. Di sini, transformasi mendasar berlangsung dalam kesadaran masyarakat Arab, kultur non-tulisan dengan cepat berganti menjadi kultur tulisan. Unsur penting kesadaran baru ini adalah pemahaman hukum sebagai ketentuan tertulis (kutub; qur’ân); bukan tradisi yang turun-temurun (QS. A- Bayyinah/98:3). Lahirnya kesadaran (gagasan) Al-Qur'an sebagai kitab hukum inilah “ The Qur’an in Muslim Thought and Practice”, ditulis Mustansir Mir. Artikel (kurang lebih 5 halaman) ini terangkum dalam The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World (New York: Oxford University Press, 1995). Menurut Mustansir, budaya yang berkembang di masyarakat Arab adalah budaya yang bersifat lisan. Adapun yang menyebabkan terjadinya transformasi budaya dari pra-tulisan ke tulisan, terutama, adalah Al-Qur'an. Kitab suci umat muslim ini memiliki perhatian yang tinggi terhadap pentingnya tradisi baca-tulis. Wahyu yang pertama-tama diturunkan berhubungan erat dengan hal-hal seperti ’menulis’, ’membaca’, ‘pena’ dan ‘ buku’ (QS. Al-‘Alaq/96). Disusul kemudian wahyu yang mengambil tema sentral tentang ‘kalam’ (QS. Al-Qalam/68). Tidak hanya itu, sejumlah ayat juga menerangkan bahwa Al-Qur'an secara keseluruhan disebut ‘kitab’. Secara berulang- ulang Al-Qur'an juga menegaskan pentingnya mencatat transaksi utang-piutang (QS. Al-Baqarah/2:282-283), dan memerintahkan agar kontrak pembebasan dari perbudakan dibuat secara tertulis (QS. Al-Nur/24:33). Selain Al-Qur'an sangat peduli dengan tradisi baca-tulis, Nabi sendiri juga melakukan upaya serius untuk menerjemahkan program Al-Qur'an ini. Nabi, misalnya, segera mengerahkan sejumlah besar juru tulis untuk memelihara teks Al-Qur'an beberapa saat setelah wahyu ini turun. Nabi juga memberdayakan para tawanan perang Badar untuk kepentingan program melek aksara ini. Di sini, transformasi mendasar berlangsung dalam kesadaran masyarakat Arab, kultur non-tulisan dengan cepat berganti menjadi kultur tulisan. Unsur penting kesadaran baru ini adalah pemahaman hukum sebagai ketentuan tertulis (kutub; qur’ân); bukan tradisi yang turun-temurun (QS. A- Bayyinah/98:3). Lahirnya kesadaran (gagasan) Al-Qur'an sebagai kitab hukum inilah

History of The Arabs, karya Philip K. Hitti (New York: Palgrave Macmillan, 2002). Buku ini telah diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006). Dalam buku ini, Hitti membedakan orang Arab Utara dan orang Arab Selatan. Orang-orang Arab Utara kebanyakan nomaden, tinggal di ”rumah-rumah bulu” di Hijaz dan Nejed; sedangkan orang Arab Selatan kebanyakan adalah orang perkotaan di Yaman, Hadramaut dan di sepanjang pesisirnya. Orang Arab Utara berbicara dengan bahasa Al-Qur'an, bahasa Arab paling unggul; sementara orang Arab Selatan berbicara dengan bahasa Semit kuno, Sabaea atau Himyar. Orang-orang Arab Selatan sejak lama sebelum Islam telah maju dalam peradaban; sementara orang-orang Arab Utara tidak pernah mengemuka dalam percaturan internasional, tidak mengenal budaya baca-tulis dan hanya memiliki tradisi riwayat, legenda, peribahasa, dan terutama syair. Sayangnya, tidak satu pun tradisi-tradisi ini dituangkan dalam bentuk tulisan sebelum abad kedua dan ketiga hijrah—dua atau empat ratus tahun setelah masa hidup mereka. Orang-orang Arab Utara baru mengembangkan budaya baca-tulis menjelang masa Muhammad. Al- Qur'an memainkan peran penting, di antaranya, sebagai pilar Islam dan otoritas tertinggi dalam persoalan-persoalan spiritual dan etika, menjadi buku ilmiah untuk memperoleh pendidikan. Al-Qur'an menjadi karya terbaik pertama yang menjadi

model penciptaan berbagai karya prosa Arab. 75 Meskipun Hitti tidak secara jelas mengatakan peran Al-Qur'an dalam perkembangan tradisi literasi, namun dia

menjelaskan posisi Al-Qur'an yang begitu sentral di tengah umat Islam, termasuk dalam hal memperoleh pendidikan. Dengan demikian, Hitti bisa dikelompokkan ke

74 Mustansir Mir, “The Qur’an in Muslim Thought and Practice ”, dalam John L. Esposito, (editor in chief), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World , Vol. 3, New York: Oxford

University Press, 1995, hlm. 394.

75 Baca Philip K. Hitti, History of The Arabs: From the Earliest Times to the Present (terj. dalam bahasa Indonesia R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi), Jakarta: Serambi Ilmu

Semesta, 2006, hlm. 37-39 dan 158-161.

dalam tokoh yang sepakat bahwa Al-Qur'an memengaruhi perkembangan literasi Arab. Namun, penjelasan Hitti masih bersifat umum dan tidak mendalam.

Perlu ditegaskan di sini, penulis tidak bermaksud menafikan keberadaan previous finding (hasil penelitian/temuan sebelumnya) yang lain, ketika ada literatur terkait yang tidak dicantumkan di sini.

Selanjutnya, riset ini akan menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa faktor yang memengaruhi perkembangan tradisi literasi Arab adalah turunnya Al-Qur'an. Berdasarkan penelusuran bukti-bukti historis, riset ini membuktikan bahwa kontak budaya melalui perdagangan tidak memengaruhi perkembangan literasi Arab. Riset ini juga ingin mengatakan bahwa sebelum Al-Qur'an turun, tradisi literasi sudah

berlaku di lingkungan masyarakat Arab tetapi masih dalam lingkup yang sangat terbatas: hanya sebagian kecil masyarakat Arab yang berbudaya baca-tulis. Di sini, tidak ada perkembangan yang menyolok atas tradisi literasi hingga dalam waktu yang cukup lama. Al-Qur'an—melalui motivasi, tamtsil, serta perintah baca-tulis—dan kerja keras Nabi Muhammad berperan penting dalam mempopulerkan tradisi literasi Arab. Karena Al-Qur'an juga, sistem tulisan Arab menjadi sempurna.