Kodifikasi Huruf Arab

1. Kodifikasi Huruf Arab

Tulisan merupakan seperangkat sistem, kode dan rumus yang dimaksudkan untuk menerangkan dan mendokumentasikan suara (kata) yang terucap dan/atau dengar dalam wujud simbol (lambang) yang bisa dipahami. Yang dimaksud bisa dipahami di sini adalah memungkinkan terjadinya komunikasi dari pihak pengirim dan penerima (penulis dan pembaca). Karena itu, tulisan (begitu juga bahasa) harus merupakan kesepakatan sosial (konvensi). Adapun simbol yang di maksud di sini adalah huruf atau aksara.

Menurut Ibn Khaldûn, tulisan melukiskan (menerangkan; merekam) kata-kata yang terucap, sedangkan kata mewakili isi hati dan jiwa. Dengan demikian, tulisan pada gilirannya juga menunjukkan suasana jiwa dan fikiran manusia. Namun, tulisan

muncul kedua setelah ekspresi lisan (kata yang terucap). Ia merupakan keahlian mulia, sebab menulis (kitabah) merupakan ciri khas manusia yang membedakannya dari binatang. Tulisan juga bisa memungkinkan maksud seseorang sampai ke tempat yang lebih jauh (menjadi media komunikasi), sehingga memudahkan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya tanpa harus bersinggungan langsung dengan pihak-pihak tertentu. Dengan tulisan pula, seseorang dapat membaca ilmu pengetahuan serta buku-buku yang ditulis generasi yang lebih dulu, yang menginformasikan tradisi dan

budaya mereka. 63

63 Ibn Khaldûn, Mukaddimah, hlm. 417.

Di sini Ibn Khaldûn menganggap bahwa tulisan merupakan ekspresi kedua setelah ungkapan melalui suara. Dengan demikian, bagi dia, yang lebih dulu ada adalah tadisi kelisanan (oraliti) dan baru kemudian lahir tradisi keberaksaraan (literasi).

Pendapat para pakar mengenai asal-usul tulisan (khat) Arab, secara garis besar, bisa dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, tulisan Arab ditetapkan dan diajarkan langsung oleh Allah melalui Nabi Adam. Pendapat seperti ini, biasanya, lebih didasarkan pada keyakinan teologis ketimbang dibangun di atas bukti dan/atau argumentasi yang rasional. Dalam metode penelitian sejarah, pendekatan model ini

termasuk jenis interpretasi, yaitu interpretasi monistik. 64 Ibn al-Nadîm dalam al- Fihrist mengutip riwayat Ka'ab al-Akhbâr (m. 32 H), bahwa yang pertama kali

meletakkan dasar-dasar tulisan (kitâbah) Arab dan semua jenis tulisan adalah Adam a.s. pada 300 tahun sebelum dia meninggal. Menurut cerita itu, Adam menulis di tembikar (lempengan tanah liat yang sudah dibakar dan mengras). Pada satu hari bumi dilanda banjir (QS. Hud/11:25-49). Setelah surut, setiap bangsa di dunia ini mendapat tembikar peninggalan Adam tadi. Manuskrip Adam inilah yang menjadi

acuan tradisi tulisan mereka. 65 Al-Zarkasyî (745-794 H) dalam al-Burhân, adalah salah satu intelektual klasik yang mengikuti anggapan semacam ini, dengan

mengatakan bahwa khat Arab berasal dari Allah (tauqîfî). 66 Kedua, teori yang didasarkan pada riwayat hadis, yang secara garis besar

mengatakan bahwa khat Arab diciptakan dan/atau dipelajari oleh beberapa orang di tempat tertentu. Satu riwayat yang diturunkan Hisyâm al-Kalabî, misalnya,

64 Pendekatan ini memiliki kelemahan, yaitu lebih menonjolkan aspek teologis yang menekankan pada takdir Tuhan sehingga dinamika sejarah terkesan pasif. Lihat Dudung Abdurrahman,

Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos, 1999), cet. pertama, hlm. 75.

65 Al-Nadîm, al-Fihrist, (Baerut: Darl al-Kutub al-Islamiyyah, 1996), hlm. 11-12. 66 Al-Zarkasyi membangun argumennya berdasarkan QS. al- ‘Alaq/96:4-5: ﹶﻥﺎﺴﻧِﺈﹾﻟﺍ ﻢ ﱠﻠﻋ ( ٤ ) ِﻢﹶﻠﹶﻘﹾﻟﺎِﺑ ﻢﱠﻠﻋ ﻱِﺬﱠﻟﺍ

ﻢﹶﻠﻌﻳ ﻢﹶﻟ ﺎﻣ (Yang mengajar [manusia] dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya ), dan QS. al-Qalam/68:1: ﹶﻥﻭﺮﹸﻄﺴﻳ ﺎﻣﻭ ِﻢﹶﻠﹶﻘﹾﻟﺍﻭ ﻥ (Nûn. Demi kalam dan apa yang mereka tulis). Lihat al-Zarkasyi, al-Burhân, hlm. 259. Lihat juga al-Suyûthi, al-Itqân fî ‘Ulûm al- Qur’ân, juz 2, (Baerut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000), hlm 328.

menceritakan bahwa peletak khat Arab (al-khath al-’Arabî) adalah Kaum Adnân bin Ad, salah satu suku Arab al-’Âribah. Nama-nama mereka adalah: ، ﻥ ﻮ ﻤﻠﻛ ، ﻰﻄ ﺣ ، ﺍﺯ ﻮﻫ ، ﺎﺩ ﺟ ﻮ ﺑﺍ

ﺕ ﺎ ﺸ ﻳ ﺮﻗ ، ﺺ ﻔﻌ ﺻ (Abu Jâd, Hawâz, Hathâ, Kalamûn, Sha’afas, Qurasyât). Mereka adalah nama-nama raja/bangsa tertentu (mulûk madyan) yang binasa pada kurun Nabi

Syu’aib a.s. Menurut cerita, tulisan Arab dibuat berdasarkan nama-nama mereka. 67

Riwayat Ibn ’Abbâs juga menginformasikan, bahwa yang pertama kali merumuskan tulisan Arab adalah tiga orang anggota suku Bûlân, salah satu kabilah yang menetap di al-Anbâr (Irak), yaitu: Marâmar bin Marrah, Aslam bin Sadrah, dan

Âmir bin Jiddah. 68 Pendapat senada juga disampaikan Ibn Abî Dâwud (m. 316 H), bahwa khat Arab dipelajari kaum Quraisy dari Anbâr. 69 Pendapat yang hampir sama

dikemukakan/dikutip Abû ’Amr al-Dânî (m. 444 H). 70 Ada juga riwayat yang menceritakan bahwa yang meletakkan dasar-dasar tulisan Arab adalah tiga orang:

Nafîs, Nadhar, Taima, dan Dawamah—keempatnya putera Isma’il a.s. 71 Sepintas, riwayat-riwayat semacam ini terkesan menyederhanakan proses transformasi tradisi

tulisan. Bila riwayat-riwayat ini benar maka ia memperkuat dugaan bahwa tradisi tulisan Arab semula hanya dimiliki beberapa gelintir orang—bahkan, konon diciptakan oleh mereka sendiri—sampai akhirnya salah seorang dari Quraisy berhasil mempelajarinya. Kesimpulan Syahîn, misalnya, menyatakan bahwa Marâmir, Aslam dan Amir telah menganalogikan alfabet bahasa Arab dari alfabet bahasa Suryani.

67 Al-Nadîm, al-Fihrist, hlm. 11. Lihat juga: Ghânim Qadwarî al-Hamd, Rasm al-Mushaf: Dirâsah Lughawiyah Târikhiyah, (Baghdâd: Lajnah Wathaniyah li al-Ihtifâl bi Mathla' al-Qarn al-

Khâmis Asyar al-Hijrî, 1402 H/1982), hlm. 28-31. Bandingkan dengan al-Zarkasyi, al-Burhân, hlm. 259. Baca juga Muhammad 'Âli al-Dabagh, Samîr al-Talibîn fî Rasm wa Dabt al-Kitâb al-Mubîn , (Mesir: Multazam al-Tab' wa al-Nasyr Abd al-Hamid Ahmad Hanafî, 1357 H), hlm. 5-6; dan Abd al- Sabûr Syahîn, Tarîkh al-Qur`ân, (Kairo: Dâr al-I'tisâm, 1418 H/ 1997 M), hlm. 128.

68 Nadîm mengoleksi banyak sekali pendapat-pendapat yang hampir mirip, namun datang dari sumber yang berbeda. Selengkapnya, baca Al-Nadîm, al-Fihrist, hlm. 12.

69 Syahîn, Târikh al-Qur`ân, hlm. 127. 70 Khat Arab berasal dari al-Juljân bin al-Muham, sekretaris Nabi Hud, diajarkan melalui

wahyu. Al-Juljân mengajarkan kepada Thâri, kemudian diturukan kepada orang-orang Anbar (Irak), ’ Abdullâh bin Jad’ân, dan akhirnya sampai pada orang-orang Quraisy. Baca Abû ‘Amr al-Dânî, al-

Muhkam fî Naqth al-Mashâhif, tahqîq: ‘Izzat Hasan, (Damaskus: Wuzarât al-Tsaqafah wa al-Irsyâd al- Qûmî, 1960), hlm. 26. Baca juga Syahîn, Târikh al-Qur`ân, hlm. 129.

71 Al-Nadîm, al-Fihrist, hlm. 12.

Kepandaian tiga orang ini diturunkan kepada Bisyr bin Abdul Mâlak al-Kindi, kemudian diajarkan pada Shafyan bin Umaiyyah dan Abî Qais bin Manâf—dua orang ini mengembangkan ke Thâif—kemudian diturunkan pada Ghîlan bin Salamah al- Tsaqafî. Bisyr pergi ke Mudhar, dan mengajari ’Amr bin Zararah bin ’Adas (Amr al-

Kâtib). Dia lalu pindah ke Syam dan mengajarkan tradisi literasi di sana. 72 Teori asal-usul/sejarah masuknya tradisi literasi Arab juga dikemukakan

sejarahwan sekaligus sosiolog muslim terbesar, Ibn Khaldûn. Menurut dia, orang- orang Hijâz mengenal (belajar) tradisi literasi Arab dari Hîrah, dan orang-orang Hîrah

mengerti tradisi membaca dan menulis dari dinasti Tubb⒠(dalam Muqaddimah ditulis Tabâbi’ah) dan Himyar. Karena itu, tulisan Arab (al-khath al-’arabî) terkenal

dengan nama al-khath al-himyarî. Tulisan ini mencapai puncak keindahannya pada masa kejayaan dinasti Tubba’ (para penguasa Yaman pra Islam). Menurut Ibn Khaldûn, faktor yang mendukung majunya tradisi literasi di Tubb⒠adalah kesejahteraan ekonomi dan tingginya peradaban di wilayah ini. Karena itu, bagi Ibn Khaldûn, kemajuan tradisi literasi di sebuah wilayah sangat ditentukan oleh

keragaman budaya dan tingkat ketersediaan lapangan pekerjaan. 73 Dalam perkembangannya, pusat peradaban literasi bergeser ke wilayah kota

Hîrah (di dekat Furat, Irak) di bawah kekuasan dinasti Mundzir, yang juga masih ada ikatan keluarga dengan dinasti Tubba’. Hîrah merupakan pembaru (reformis) para penguasa Arab di Irak. Namun demikian, kualitas peradaban (literasi) di Irak (Hirrah) masih kalah jauh bila dibandingkan dengan kemajuan yang terlah dicapai orang- oramh Yaman pada masa sebelumnya. Ini disebabkan masih rendahnya peradaban di wilayah itu dan belum tersedianya seluruh komponen yang menopang kemajuan tradisi literasi. Nah, seperti dikatakan di paragraf sebelumnya, dari orang-orang Hîrah inilah penduduk Thâif (salah satu kota di Hijaz, dekat Mekah) dan suku Quraisy belajar menulis. Konon, orang Quraisy yang belajar menulis dari Hîrah adalah Sufyân

72 Syahîn, Târikh al-Qur`ân, hlm. 130. 73 Ibn Khaldûn, Mukaddimah, hlm. 417.

bin Umayyah, ada juga yang mengatakan Harb bin bin Umaiyyah, keduanya belajar dari Aslam bin Sudrah. 74

Ketiga, teori yang dibangun berdasar pada bukti sejarah dan penemuan arkeologis. Nasîruddîn al-Asad, misalnya, mendasarkan pendapatnya pada benda- benda purbakala dan inskripsi yang dia teliti. Menurut dia, bangsa Arab telah memilki

budaya menulis lebih kurang tiga abad sebelum Islam datang. Pendapat serupa dilontarkan J. Cantineau, bahwa tradisi literasi di Jazirah Arab dimulai sejak abad

ketiga Masehi. Namun, bagi Nasir, di sini bukan berarti Arab adalah wilayah yang berdiri sendiri, yang tanpa melibatkan bangsa lain dalam menciptakan tradisi literasi. Artinya, tradisi penulisan sudah berkembang di beberapa kawasan jazirah Arab tanpa diketahui secara pasti titiknya—budaya literasi telah berkembang di Jazirah Arab,

namun secara terbatas. 75 Adalah mustahil ketika dikatakan, khat Arab dibuat dan muncul secara genuine dari Arab. Yang masuk akal, lahirnya tradisi literasi di

kawasan ini merupakan pertemuan beberapa tradisi dari berbagai wilayah yang diakibatkan oleh kontak budaya, misalnya, karena jaringan perdagangan dan lain sebagainya.

Menurut Ramadhân 'Abd al-Tawwâb (1979 M), skrip (script) bahasa Arab berasal dari khat Nabthi yang berkembang di Jazirah Arab Utara, Hîrah, Anbar, dan

sekitarnya. Nabataen (al-Nabti) 76 adalah salah satu suku dari Syam yang berbicara dengan bahasa Aramik. Bahasa Aramik saat itu banyak dipergunakan di Irak. Bahasa

74 Konon, Himyar memiliki jenis tulisan yang bernama al-musnad dengan model hurufnya yang terpisah. Dari H imyar suku Mudhar (suku Arab Utara) mempelajari tulisan Arab, namun mereka tidak

bisa mencapai kemampuan yang maksimal. Hal ini disebabkan perilaku orang-orang Arab utara yang masih berada dalam tradisi Baduwi (berpindah-pindah, dan tidak memiliki banyak kebutuhan kecuali berburu). Sementara tradisi literasi mengandaikan satu pola hidup yang menetap dan berbudaya luhur. Baca Ibn Khaldûn, Mukaddimah, hlm. 417.

75 Syahîn, Târikh al-Qur`ân, hlm. 133. 76 Menurut Jawad 'Ali, Nabataen adalah Arab yang lebih dekat dengan suku Quraisy dan Hijazi

dari pada Arab bagian selatan. Kedua suku ini memiliki Tuhan yang sama dan skrip mereka memiliki kesamaan dengan skrip yang digunakan para penulis-penulis al-Qur`an. Menurut ahli sejarah, Nabataen atau Nebat adalah Nebajoth, anak tertua dari Isma'il. Lihat Al-A'zami, Sejarah Teks Al- Qur'an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 135.

ini bersumber dari bahasa Finiqiyah (fonicia)—salah satu bangsa Syam Kuno. 77 Pendapat Ramadhân ini muaranya sama dengan teori ilmuwan asal Jerman,

Lidzbarsky, yang menyatakan bahwa alfabet Arab sebelum Islam tumbuh dari tulisan fonicia. 78

Beragam Abjad: Kontribusi Timur Dekat kepada peradaban manusia

(Sumber: Al-Faruqi,

77 Ramadhân 'Abd al-Tawwâb merujuk temuan arkeologis yang diteliti para Arkeolog (orientalis), terutama Enno Littmann dan René Dussaud. Empat inskripsi yang telah diteliti adalah:

Nimmarah, Zabad, Harran dan Umm al-Jimal. Ramadhân 'Abd al-Tawwâb, Fusûl fi Fiqh al- 'Arabiyyah, (Kairo: Maktabah al-Khânjî, cetakan ketiga, t.th), hlm. 55-58.

78 Kâmil al-Bâbâ, Rûh al-Khath al-'Arabî, terj. D. Sirodjudin AR, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1983), cetakan pertama, hlm. 9-10. Bandingkan dengan Al-A'zami, Sejarah Teks Al-Qur'an, hlm. 129-

Pendapat Ramadhân berbeda dengan Kâmil al-Bâbâ (1983). Menurut dia, skrip khat Arab adalah pecahan dari akar bahasa Suryani. Ini terlihat dari kemiripan bentuk

hurufnya. Sementara Von de Bronden (Belanda) menyimpulkan, tulisan Arab dan Kan’an tumbuh beriringan dengan kepingan Jazirah Sinai. Ini didasarkan pada penemuan beberapa ukiran tulisan khat Arab yang mirip dengan hierogliph (tulisan Mesir) pada 1904-1905 di Sinai. Batu-batu berukir itu baru terbaca tahun 1948 M berkat upaya seorang orientalis, Ebreit.* Inskripsi Sinai ini menginformasikan adanya dua puluh delapan huruf (alfabet) Arab. Van de Bronden juga menemukan bukti bahwa Sinai, yang menyimpan inskripsi ini, termasuk wilayah Arab, bukan Mesir.

Diperkirakan, inskripsi ini ditulis pada 1800 dan 1500 SM. 79 Menurut Abdul Karim Husain (1985 M), khat Arab bersumber dari hieroglyph,

yaitu tulisan Mesir kuno yang berbentuk gambar-gambar. Tulisan ini disebut juga pictograph, yang berarti tulisan gambar. Dari hieroglyph muncul tulisan hieritik, yang digunakan para pendeta Mesir untuk upacara keagamaan. Dari hieritik lahir huruf demotik—diperkirakan bertahan hingga mendekati abad kelima Masehi. Menurut cerita, orang-orang Mesir menjalin kerja sama perdagangan dengan para saudagar dari Palestina dan Syiria, terutama sekitar wilayah pegunaungan Lebanon. Di wilayah ini berdiam suku Kan’an dan Aramea, atau yang populer dengan nama Fonisia (fonicia), yang mendirikan kerajaan-kerajaan dari utara sampai selatan Syiria (sekitar

2000 SM). 80 Tulisan mereka pun dikenal dengan skrip fonicia. Dari penelitian arkeologis diketahui, huruf ini merupakan sumber tulisan-tulisan Semit ( 81 Samiyah).

Dari skrip fonisia muncul tulisan musnad, berasal dari nama suku di Yaman. Jenisl skrip ini disebarkan oleh suku Mainiyah (Minaeni), yang berpindah ke Arab Utara. Dalam beberapa perubahan, tulisan ini sama dengan tulisan yang digunakan

79 Kâmil al-Bâbâ, Rûh al-Khath al-'Arabî, hlm. 9-10. 80 Bandingkan dengan Al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, hlm. 23-41. 81 Abdul Karim Husain, Seni Kaligrafi Khat Naskhi, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1985),

hlm. 6.

suku Himyar. Skrip musnad mengalami perubahan menjadi beberapa tulisan, yaitu: shafawi (akhir abad ke-15 SM), tsamudi (715 SM), dan lihyani. 82 Pasca musnad

83 muncul tulisan kindi 84 dan nabthi. Dua tulisan ini dianggap paling lengkap dan mencerminkan suku Semit yang paling berpengaruh. Pada masa-masa selanjutnya,

suku Hirrah dan Anbar—dua suku yang mendiami kawasan sungai Eufrat, Irak abad ketiga Masehi—terus menyempurnakan bentuk skrip ini. Menurut cerita, skrip tersebut mirip tulisan Arab sekarang, setelah mengalami beberapa proses, seperti menambah beberapa huruf yang tidak terdapat dalam bahasa Semit Utara (tsa, dzal,

dhad, zha’ dan ghain), dan lain sebagainya. 85 Dengan demikian, menurut Abdul Karim Husain, tulisan Arab berasal dari skrip

musnad, bukan skrip Arami, meskipun keduanya berinduk dari tulisan funuqiah yang berkembang di Jazirah Arab bagian utara.

Menurut Beatrice Gruendler, skrip Arab berasal dari alfabet Fonicia. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa bahasa Arab adalah yang paling jauh dan

terisolir. 86 Tidak menutup kemungkinan, bahasa Nabataen atau Syiriak sangat berperan dalam perkembangan skrip Arab. Pendapat ini diikuti beberapa tokoh

sesudahnya, seperti Theodor Nöldeke (1865), 87 M.A. Levy, M. De Vogü , J. Karabacek dan J. Euting. Dalam prespektif ini, skrip bahasa Arab al-Qur`an yang

ditulis dengan khat Kufi diyakini bermula dari skrip Nabataen. Kemudian menurut J. Starcky, bahasa Arab berasal dari tulisan Syiriak yang berbentuk meruncing ( syiriac

88 Cursive). 89 Adapun Y. Khalîl al-Nâmî, menyatakan bahwa daerah Hijaz merupakan

82 Nama ini berasal dari kabilah Arab, Lihyani, yaitu cabang Huzail. Kabilah ini berdiam di laut timur Mekah, Arab Selatan dan Himyari (Syiria), Arabia Utara.

83 Suku Kendah mendiamai wilayah selatan Arabia Barat, Hadramaut (awal abad 6 M). 84 Berasal dari nama Kerajaan Nabatean pada abad 1 SM. Wilayahnya memanjang dari selatan

Hijaz samapi daerah-daerah Syiria, meliputi Madyan, selat Aqabah, Hijaz, Palestina dan Hurran. 85 Abdul Karim Husain, Seni Kaligrafi Khat Naskhi, hlm. 6.

86 Hitti, History of The Arabs, hlm. 9. 87 Menurut Noldeke, skrip Nabataen (Nabthi) memberi pengakuan terhadap yang pertama

mempengaruhi skrip Arab Kûfî. Al-A'zami, Sejarah Teks Al-Qur'an, hlm. 129. 88 Beatrice Gruendle, The Development of The Arabic Script , (Atlanta Georgia: Scholar Press,

1993), hlm. 1. Selengkapnya, baca Al-A'zami, Sejarah Teks Al-Qur'an, hlm. 129 1993), hlm. 1. Selengkapnya, baca Al-A'zami, Sejarah Teks Al-Qur'an, hlm. 129

Adalah A'zami yang dengan tegas menolak pendapat yang menyatakan, bahwa al-Qur`an dipengaruhi bahasa Syiriak (Estrangelo) dan Nabataen. Bagi dia, tidak logis kalau al-Qur`an dipengaruhi bahasa Syiriak, yang dalam beberapa hal mirip manuskrip Arab Kristen. Menurut Abbott, manuskrip Kristen yang tertua bertahun 876 (264 H), padahal 'Awwad dalam karyanya, Aqdam al-Makhthûthât al-Arabiyyah

fî Maktabat al-'Alam menyebutkan manuskrip yang lebih awal bertahun 253 H/867. 91 Pendapat asal-usul khat Arab juga datang dari Hadi Ma’rifat (2007 M). Menurut

dia, sebelum Islam lahir orang-orang Arab Hijaz telah menjalin hubungan perdagangan dengan para saudagar di Syam dan Irak. Dalam perjalanannya, mereka tidak hanya terlibat urusan ekonomi dan perdagangan, tetapi juga saling bertukar budaya dan pengetahuan. Di antara para saudagar Arab Hijaz ada yang belajar menulis khat Nabthi (Nabatean) dan Suryani—dua jenis tulisan Arab yang tetap eksis

dan popular hingga pasca-penaklukan Islam di Arab. 92 Dengan demikian, Hadi Ma’rifat menganggap bahwa tradisi literasi masyarakat Arab datang dari Syam dan

Irak melalui jalur perdagangan. Menurut al-Faruqi, para pakar sepakat bahwa abjad Semit asli hampir identik dengan abjad Arab klasik. Bahasa-bahasa Semit memiliki abjad yang terdiri dari enam gutural (suara garau/tekak: a, h, j, kh, ’, gh), dua palatal (didekatkan ke langit- langit: k, j), dua labial (bibir: p, b), lima uvular (diucapkan dengan getaran anak lidah: q, th, zh, sh, dh), dua linguo-dental (lidah-gigi: t, c), tiga sibilan (bunyi berdesis: ts, s,

z), enam liquid (konsonan: r, y, l, w, m, n), dan enam spiran (m, g, t, d, p, b ) yang

89 Yahya Khalîl al-Nâmî menulis buku Ashl al-Khatth al-'Arabi wa Târikh Tathawwurihi ilâ mâ Qabl Islâm (Kairo, 1938). Baca Ghânim Qadwarî al-Hamd, Rasm al-Mushaf; Dirâsah Lughawiyah

Târikhiyah, (Baghdâd: Lajnah Wathaniyah li al-Ihtifâl bi Mathla' al-Qarn al-Khâmis Asyar al-Hijrî, 1402 H/1982), hlm. 797.

90 Nabia Abbott, The Rise of the North Arabic Script and its Kur'anic Development, with a full Description of the Kur'an Manuscripts in the Oriental Institute , (Chicago: The University of Chicago

Press, 1938), hlm. 6. Lihat Al-A'zami, Sejarah Teks Al-Qur'an, hlm. 130. 91 Al-A'zami, Sejarah Teks Al-Qur'an, hlm. 130.

92 Muhammad Hadi Ma'rifat, Sejarah Al-Qur'an, (Jakarta: Al-Huda, 2007), hlm. 178.

pelafalannya sedikit berbeda dengan yang dikenal dalam bahasa Inggris. Tidak ada bahasa atau dialek Semit yang memiliki itu semua. Bahasa Arab memiliki sebagian besarnya, yaitu dua puluh sembilan dari total tiga puluh dua. Dan, yang pasti, bahasa

Arab memiliki lebih banyak huruf dibanding bahasa Semit lainnya. 93 Pendapat pakar tentang sejarah tradisi literasi Arab sudah sedemikian banyak;

antara satu dengan yang laing saling beda. Namun, toh semuanya bersifat spekulatif. Bila digabungkan, teori-teori itu hampir menyebut seluruh bangsa dan peradaban yang mengitari wilayah geografis Arab sebagai perantara masuknya tradisi literasi ke

orang-orang Arab. Ini artinya, menemukan sumber tulisan Arab adalah suatu yang hampir mustahil. Yang jelas, tradili literasi Arab lahir dari pertemuan dan akumulasi beragam tradisi yang dimiliki satu bangsa.

Dan, sebenarnya yang terpenting bukan menentukan teori yang paling benar, atau menjawab dari mana orang Arab mengenal tradisi literasi. Tidak adanya kejelasan sumber tulisan Arab menunjukkan, bahwa tradisi mana pun di dunia tidak ada yang berdiri sendiri. Begitu juga dengan masyarakat di Jazirah Arab. Meskipun orang-orang Hijâz minim dalam tradisi literasi, tetapi orang-orang di sekitarnya bisa mempengaruhi mereka untuk belajar membaca dan menulis. Yang terjadi selanjutnya adalah proses memberi dan menerima. Dan, proses memberi/menerima, mengambil/membuang, dan menambah/mengurangi dalam menciptakan peradaban adalah satu hal yang wajar.

93 Al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, hlm 61.

Abjad Arab. Gambar ini menunjukkan, masyarakat Arab dikelilingi beragam tradisi dan budaya.

Dalam kondisi seperti ini, pertukaran tradisi menjadil hal yang biasa. Sumber: Al-Faruqi,

Di sini, pendapat Habibullâh Fadhâilî terasa lebih logis. Menurut dia, tradisi tulisan tidak tercipta sekali jadi dan langsung menjadi sempurna. Untuk mencapai kesempurnaan

proses yang

berkesinambungan. 94 Menarik juga menyimak pendapat al-Faruqi, bahwa hilangnya satu atau lebih huruf yang dimiliki bahasa tertentu merupakan gejala alamiah. Hal ini

bisa disebabkan oleh kebutuhan untuk menyederhanakan dan memudakan (efisiensi) dalam pelafalan, terutama oleh imigran (pendatang) pengguna bahasa agar mereka mudah memahami dan menggunakan huruf itu. Atau, mungkin juga karena ketidakmampuan pribumi yang mempelajari bahasa itu untuk melafalkan huruf atau

untuk membedakannya secara fonetik dari huruf serupa dari bahasa sendiri. 95 Bila demikian, pendapat-pendapat yang mengatakan bahwa orang-orang Arab

(penerima wahyu al-Qur'an) sudah mengenal tradisi literasi dan bisa digunakan sebagai media komunikasi perlu dikoreksi kembali. Kalau memang demikian, kenapa ketika huruf Arab ini dibutuhkan untuk merekam wahyu masih membutuhkan penambahan dan penyempurnaan. Kenapa huruf ini masih membuka kemungkinan salah baca dan makna, sehingga umat Islam harus bekerja keras untuk melengkapi

94 Habibullâh Fadhâilî, Atlas al-Khath wa al-Khuthûth, (Syiria: Dâr al-Talas li Dirasah wa al_Tarjamah wa al-Nasyr, 19993), cet. ke-3, h. 10,

95 Al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, hlm. 23.

sistem penulisan bahasa Arab. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa meskipun tulisan Arab ada karena perpaduan dari berbagai tradisi dan budaya, namun al-Qur'an telah

memberi kontribusi dalam proses menuju kesempurnaan huruf ini. Maka dari itu, al- Qur'an adalah inspirasi sekaligus motor bagi peradaban dalam Islam, tidak terkecuali sistem tulisan Arab.

Dalam hal ini, penulis cenderung sepakat dengan pandangan Ibn Khaldûn. Menurut dia, kemampuan menulis merupakan keahlian atau ketrampilan. Transformasi tradisi tulis menulis dari potensi (al-quwwah) kepada aktualisasi diri (al-fi’l) berlangsung melalui pembelajaran. Karena keahlian, perkembangan dan kelestarian tradisi tulis menulis mengandaikan adanya komunitas sosial, lingkungan yang kondusif, peradaban dan kompetisi yang mewadahi dan menjamin keberlangungan tradisi itu. Karena itu, biasanya tradisi tulis menulis tumbuh pada komunitas yang sudah mapan—di pusat kota dan pemerintahan. Adapun pada masyarakat Badui sangat jarang dijumpai orang yang bisa membaca dan menulis,

kecuali sangat sedikit. Itupun dengan kemampuan yang sangat terbatas. 96 Dengan penjelasan Ibn Khaldûn ini akan menjadi jelas, kenapa tradisi literasi

Arab sulit berkembang di Hijâz sebelum al-Qur'an turun. Jawabnya, karena pada waktu itu, masyarakat Hijâz belum punya sarana pendukung bagi pertumbuhan dan kelestarian peradaban literasi, yaitu: komunitas sosial, lingkungan yang kondusif, peradaban dan kompetisi yang mewadahi dan menjamin keberlangungan tradisi literasi. Dengan ini terjawab pula, kenapa pasca turunnya al-Qur'an literasi Arab berkembang pesat? Karena pada waktu itu masyarakat Arab dengan tampilnya Nabi Muhammad s.a.w. sebagai pemimpin telah memiliki sarana pendukung bagi tumbuh dan berkembangnya tradisi literasi.

Menurut hemat penulis, proses kodifikasi, perkembangan dan penyempurnaan tulisan Arab sangat erat kaitannya dengan gerakan akbar menuliskan al-Qur'an yang dipelopori Nabi. Proses pengumpulan al-Qur'an (jam’ al-Qur'ân) dalam arti

96 Ibn Khaldûn, Mukaddimah, hlm. 417.

penulisannya adalah memontum paling tepat dalam mewadahi dan menyalurkan keahlian tulis menulis Arab, yang dalam bahasa Ibn Khaldûn disebut ajang kompetisi. Di luar itu semua, gairah yang luar biasa dari umat Islam untuk mengambil pesan wahyu, cita-cita masyarakat yang ditawarkan Nabi Muhammad kepada masyarakat arab adalah komunitas sosial, peradaban sekaligus lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya tradisi literasi Arab. Adapun faktor ekonomi sebenarnya tidak terlalu dominan pada masa awal, tetapi faktor ini sangat terlihat pada masa-masa selanjutnya, ketika para penguasa terlibat langsung dalam program gerakan literasi dalam arti yang lebih luas. Namun demikian, pada dasarnya berbagai aspek itu tidak berdiri sendiri dan menjadi satu-satunya penyebab perkembangan literasi tetapi satu dengan lainnya saling mendukung.