Kodifikasi Ilmu al-Qur'an dan Ilmu Tafsir

4. Kodifikasi Ilmu al-Qur'an dan Ilmu Tafsir

Keberadaan Rasulullah Muhammad s.a.w. di tengah-tengah umat Islam menjadikan para sahabat Nabi tidak pernah mengalami kebuntuan ( mauqûf) ketika menginterpretasikan ajaran keagamaan, baik yang berupa teks ayat al-Qur'an maupun masalah sosial dan kemasyarakatan umum lainnya. Ini karena setiap ada persoalan yang menyangkut hajat hidup umat Islam selalu dikonsultasikan kepada Nabi, dan setelah itu, hampir bisa dipastikan, solusi final segera datang dari Nabi (QS.

Ibrâhîm/14:4). 157 Selalu begitu. Kondisi ini telah menciptakan iklim yang kondusif, minim persoalan, tetapi sekaligus stagnan (jumûd) di tengah komunitas muslim.

Kaum muslim tidak pernah memikirkan hal-hal yang progresif demi kemajuan islam di masa yang akan datang, tetapi semua menunggu komando dari figur sentral,

Nabi. 158 Kondisi ini berubah total semenjak Rasulullah s.a.w. wafat. Saat itu umat Islam

seakan mendapat pukulan hebat, shock. Kebiasaan kaum muslim yang tidak mandiri, menggantungkan segala urusan kepada Nabi mendapat benturan hebat. Pada saat-saat

itu umat Islam dihadapkan pada kondisi baru, yaitu harus bisa memecahkan segala persoalan yang baru dihadapi, yang sebelumnya belum pernah ada. Di sisi lain, referensi penyelesaian masalah yang dulu pernah dicontohkan Nabi tidak bisa sepenuhnya menjawab masalah di masa kemudian. Sejak itu, umat Islam memulai babak baru dalam hari-harinya. Mereka, sering, melakukan interpretasi bahkan spekulasi dalam memahami ajaran keislaman, meski dengan sikap hati-hati yang luar biasa. Begitu juga ketika menjawab kebutuhan sarana penunjang penguasaan ilmu- ilmu keislaman.

Salah satu terobosan di bidang penguasaan ilmu-ilmu keislaman adalah mulai disadarinya kebutuhan pedoman untuk memahami teks al-Qur'an. Pada masa

157 ﻢﻬﹶﻟ ﻦﻴﺒﻴِﻟ ِﻪِﻣﻮﹶﻗ ِﻥﺎﺴِﻠِﺑ ﺎﱠﻟِﺇ ٍﻝﻮﺳﺭ ﻦِﻣ ﺎﻨﹾﻠﺳﺭﹶﺃ ﺎﻣﻭ (artinya, Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka …).

158 Bandingkan dengan Didin Syafruddin, “Ilmu Al-Qur'an sebagai Sumber Pemikiran ”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban , volume 4, (Jakarta: Ichtiar Baru van

Hoeve, 2002), hlm. 30.

Rasulullah, bahkan pada masa sahabat, belum terfikirkan (karena dibutuhkan) untuk mengkodifikasi (codification) ilmu-ilmu al-Qur’an. 159 Banyak faktor yang

melatarbelakangi kondisi ini, di antaranya, karena mayoritas sahabat buta huruf; mereka mengalami kesulitan untuk mendapatkan alat tulis. Ditambah lagi, ketika masih dalam masa proses menerima wahyu (610-632 M), Nabi Muhammad s.a.w. melarang keras para sahabat mencatat yang bukan al-Qur'an, termasuk tentang Nabi. Hal ini dilakukan semata-mata karena sikap hati-hati: menghindari tercampurnya

ayat- al-Qur'an dengan ungkapan yang bukan al-Qur'an. 160 Karena itu, pada masa Nabi masih hidup dan juga pada masa kekhalifahan Abu Bakar ilmu al-Qur’an masih

diriwayatkan melalui penuturan secara lisan. Kodifikasi ilmu-ilmu al-Qur’an dimulai pada masa kekhalifahan ’Utsmân bin ’ Affân (memerintah 644-656 M), dua puluh tahun setelah Nabi s.a.w. wafat. Pada masa pemerintahan Utsman orang-orang Arab mulai bergaul dengan orang non-Arab. Karena khawatir di kalangan umat Islam terjadi perbedaan dalam membaca dan memahami al-Qur'an, maka Utsman menetapkan sebuah mushaf al-Qur'an yang bisa dijadikan pegangan bagi umat Islam. Mushaf ini kemudian digandakan menjadi beberapa eksemplar dan disebar ke berbagai daerah. Menurut Sub i al-Shâli , dengan memerintahkan untuk mereproduksi naskah al-Qur'an maka Utsman berarti telah meletakkan dasar ’ilm rasm al-Qur’an atau ’ilm rasm al-utsmanî (ilmu/ kaedah penulisan al-Qur'an). Selain Utsman, sahabat Ali bin Abi Thalib memerintahkan Abu al-Aswad al-Du’ali (m. 69 H) untuk merumuskan kaedah pramasastra (i’rab) bahasa

Arab guna menjaga corak keaslian bahasa Arab. 161 Ini berarti, Ali adalah yang meletakkan dasar ’ilm i’râb al-Qur’ân. 162

Sebagaimana informasi sejarah yang berhasil dihimpun Subi al-Shâli dalam hasil penelitiannya, Mabâ its fî Ulûm al-Qur’ân, pada masa-masa selanjutnya kita

Pada masa ini, Ulumul Qur ’an masih diriwayatkan melalui penuturan secara lisan. Baca Sub i al-Shâlih, Mabâhits, hlm. 144. 160 Al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân, juz 1, hlm. 369. 161 Al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân, juz 1, hlm. 405-408. 162 Al-Shâlih, Mabâhits, hlm. 120-126.

(ilmu nasikh dan mansukh), dan ’ilm gharîb al-Qur'ân. 163 Masa kodifikasi al-Qur'an juga mengantarkan gelombang penulisan ilmu tafsir.

Pada saat itu, ilmu tafsir menempati posisi utama mengungguli ilmu-ilmu lainnya karena dipandang sebagai induk ilmu al-Qur'an. 164 Banyak intelektual muslim awal

yang mencurahkan waktunya untuk menulis dan menekuni ilmu ini. Dari kalangan ulama abad kedua Hijiyah terdapat nama-nama seperti: Syu'bah bin al- Hajjâj (m. 160

H), 167 Sufyân bin ’Uyainah (m. 198 H) dan Waki' bin al-Jarrâh (128-197 H). Secara umum, ciri khas kitab-kitab yang mereka tulis adalah mengoleksi pendapat-

pendapat sahabat Nabi dan tabi'in. Pada masa-masa selanjutnya muncul nama Ibn Jarîr al-Thabarî (m. 310 H). Kitab-kitab yang dia tulis sangat berkualitas karena berisi riwayat hadits shahih yang ditulis dengan rumusan yang baik. Selain itu, kitab-

163 Al-Shâlih, Mabâhits, hlm. 121. 164 Bandingkan dengan Al-Zarkasyi, Al-Burhân, hlm. 22. 165

Syu'bah bin al-Hajjâj bin al-Ward al-'Atki al-Azdi Al-wâsithy, terkenal dengan nama panggilan Abû Busthâm. Mengalami masa kehidupan Ânas bin Mâlik r.a, dan mendengarkan pemikiran 400 orang dari kalangan thâbi'în. Dia sendiri adalah ahli hadis terkemuka di Bashrah. Di kalangan imam hadis, ia dipandang sebagai hujjah (pendapatnya dinilai sangat berbobot dan kuat

dijadikan dalil). Al-Shâlih, Mabâhits, hlm. 121.

166 Sufyân bin ’Uyainah al-Hilâly al-Kûfy. Ahli tafsir dan hadits terkemuka di Hijaz. 167 Waki' bin al-Jarrâh bin Malîh bin 'Ady, terkenal dengan sebutan Abû Sufyân al-Ruwâsy al-

Kûfy.

kitabnya juga dilengkapi i'rab (pramasastra), analisis dan pendapat-pendapat yang berharga. 168

Pada abad ketiga Hjriyah, muncul gelombang baru lagi dalam ranah kajian al- Qur'an. Pada masa ini, kajian terhadap ilmu al-Qur'an dilakukan secara perbab dan

agak detail. ’Ali bin al-Madînî (m. 234 H), 169 misalnya, menulis kitab yang membahas asbâb al-nuzûl. Âbu ’Ubaid al-Qâsim bin Salam menulis kitab tentang al-

nâsikh wa al-mansûkh, qirâ'at, dan fadhâ'il al-Qur'ân (keistimewaan al-Qur'an). Muhammad bin Ayyûb al-Dharîs (m. 294) 170 menulis tentang ayat-ayat yang turun di

Mekah (makky) dan yang turun di Madinah (madany). Sementara Muhammad bin Khalaf bin Murzabân (m. 309 H) menulis kitab berjudul al-Hâwî fî Ulûm al-Qur'ân

(sebagian naskahnya tersimpan di dalam perpustakaan Baladiyah, di Alexandria, Mesir). 171

Gelombang kajian Ulumul Qur’an terus bergulir. Pada abad keempat Hijriyah Abû Bakar Muhammad bin al-Qâsim al-Anbâri (m. 328 H) menulis buku 'Ajâib 'Ulum al-Qur'ân (keajaiban-keajaiban ilmu al-Qur'an) yang membicarakan tentang keutamaan dan keistimewaan al-Qur'an, turunnya al-Qur'an dalam tujuh huruf, penulisan mushaf, jumlah surah, ayat dan lafadznya. Abû Hasan al-’Asy'ari menulis kitab al-Mukhtazan fî Ulûm al-Qur'ân (yang tersimpan dalam ilmu al-Qur'an)— sebuah kitab yang sangat tebal. Abû Bakar al-Sajistâny (m. 330 H) menulis tentang keanehan-keanehan al-Qur'an. Abu Muhammad al-Qashshâb Muhammad bin Ali al- Kurkhi (m. 360) menulis Nukat al-Qur'ân al-Dâllah 'ala al Bayân fî Anwâ' al- ’Ulum wa al-Ahkâm al-Munabbi'ah 'an Ikhtilâf al-Anâm (titik-titik al-Qur'an menunjukkan kejelasan tentang berbagai ilmu dan hukum yang memberitakan perbedaan fikiran manusia)—naskahnya tersimpan di Muradmala. Muhammad bin ’Ali al-Afdawî (m.

168 Al-Shâlih, Mabâhits, hlm. 121.

’Ali bin Abdullâh bin Ja'far, terkenal dengan panggilan Abu Ja'far. Dia dari kabilah Sa'ad berdasarkan wala (perwalian). Dia adalah guru Al-Bukhâri.

Muhammad bin Ayyûb al-Dharîs menulis kitabnya berjudul Fadha'ilul Qur'an. Naskahnya tersimpan di Dzahiriyah, dalam keadaan lengkap. Al-Shâlih, Mabâhits, hlm. 121. 171 Al-Shâlih, Mabâhits, hlm. 121.

388 H) menulis al-Istighn⒠(ada kemungkinan yang benar al-Istifta’) fî 'Ulûm al- Qur'ân (kebutuhan terhadap ilmu al-Qur'an)—yang terdiri dari 20 jilid. 172

Adapun penulis Ulumul Qur’an yang muncul pada abad kelima Hijriyah adalah: 'Ali bin Ibrâhim bin Sa'id al-Jufi (m. 430 H) 173 menulis al-Burhân fî 'Ulum al-Qur'ân

dan I'râb al-Qur'ân. Abû 'Amr al-Dâny (m. 444 H) menulis al-Taisîr fî al-Qirâ'ât al- Sab' dan al-Muhkâm fî al-Nuqath. Pada masa ini pula—menurut beberapa peneliti—

istilah Ulumul Qur'an (dalam arti keseluruhan) muncul, yaitu dengan ditulisnya al- Burhân fî 'Ulûm al-Qur'ân (pembuktian tentang ilmu-ilmu al-Qur'an) oleh ’Ali bin Ibrâhim bin Sa'id, atau yang lebih dikenal dengan sebutan al-Jufi (m. 430 H). Kitab ini terdiri dari 30 jilid, dan 15 jilid separuhnya tersimpan dalam keadaan tidak teratur dan tidak urut di Dâr al-Kutub, Kairo, Mesir dengan nomor penyimpanan 59 Tafsir. Pendapat ini disangkal Subhi al-Shâlih. Bagi dia, jauh sebelumnya sudah ada

beberapa kitab yang mempelajari berbagai aspek dalam al-Qur'an dengan nama yang jelas, yaitu Ulumul Qur’an. Bagi Subhi al-Shâlih, istilah Ulumul Qur’an sudah digunakan dalam kitab yang ditulis Ibn al-Marzabân pada abad ketiga Hijriyah. Sedangkan kitab al-Burhân fî 'Ulûm al-Qur'ân, tulisan al-Jûfi, bagi Subhi al-Shâlih,

mencakup beberapa bidang ilmu al-Qur'an, dan lebih merupakan kitab tafsir. 174 Lebih jelas lagi, menurut penulis Kasyf al-Zhunûn, kitab al-Burhân fî 'Ulûm al-Qur'ân yang

ditulis al-Hufi mengandung al-Gharîb (yang aneh), al-I'râb (pramasastra) dan tafsir. Dengan demikian, bagi Subhi al-Shâlih dan juga penulis Kasyf al-Zhunûn, kitab al-

Burhân fî 'Ulûm al-Qur'ân yang ditulis al-Hufi tidak secara spesifik membicarakan Ulumul al-Qur'an, tetapi juga merambah pada persoalan lain, termasuk tafsir. 175

172 Al-Shâlih, Mabâhits, hlm. 122. 173 Nama lengkapnya ’Ali bin Ibrâhîm bin Sa'id al-Jûfy al-Mishry. Menurut Hâjî Khalîfah , buku

dia yang benar adalah al-Burhân fî 'Tafsîr al-Qur'ân Lihat juga Hâjî Khalîfah, Kasyf al-Zhunûn ’an Asâmî al-Kutub wa al-Funûn, jilid 5, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), hlm. 551.

174 Al-Shâlih, Mabâhits, hlm. 124. 175 Hâjî Khalîfah, Kasyf al-Zhunûn, hlm. 551.

Kemudian pada abad keenam Hijriyah muncul nama-nama seperti: Abû al- Qâsim Abdurrahman, atau yang dikenal dengan sebutan al-Suhaily 176 yang menulis

kitab Mubhamât al-Qur'ân (yang samar dalam al-Qur'an). Abad ini juga melahirkan Ibn al-Jauzy (m. 597 H) yang menulis kitab Funûn al-Afnân fî 'Ajâ'ib 'Ulum al- Qur'ân dan kitab al-Mujtabâ fî 'Ulum tata'allaq bi al-Qur'âsn —keduanya tersimpan

di Dar al-Kutub, Kairo, Mesir. Kemudian pada abad ketujuh Hijriyah juga lahir intelektual di bidang Ulumul Qur’an, seperti: Ibn 'Abd al-Salâm dengan kitabnya Majâz al-Qur'ân (kata-kata figurative dalam al-Qur'an) dan 'Ilmuddin al-Sakhâwi (m. 643 H) yang menulis kitab

tentang qirâ'ât, yaitu Jamâl al-Qurr⒠wa Kamâl al-Iqr⒠177 . Abû Syâmah (m. 665 H) dengan kitabnya al-Mursyid al-Wajîz fî mâ yata'allaq bi al-Qur'ân al-'Azîz .

Sampai di sini bisa diamati, bahwa kajian terhadap al-Qur'an bersifat umum dan belum menyentuh pada persoalan yang mendetail dari al-Qur'an, seperti mengkaji wilayah keindahan tertinggi dari ayat-ayat al-Qur'an. Kesadaran mengkaji wilayah ini baru muncul pada sekitar abad kedelapan, yaitu dengan munculnya Ilm bada'i al- Qur'ân (segala yang indah dari al-Qur'an) yang ditulis Ibn Abî al-Ishbâ’, ilm Hujaj al- Qur'ân (atau disebut juga Jadal al-Qur’an, debat al-Qur'an) yang ditulis secara spesifik oleh Najm al-Dîn al-Thâfy (Sulaimân bin ’Abd al-Qawy bin ’Abd al-Karîm,

meninggal tahun 716 H), ilm Aqsâm al-Qur'ân yang ditulis secara spesifik oleh Ibn al-Qayyim, dan Ilm Amtsâl al-Qur'ân. Dalam disiplin ilmu ini al-Qur'an dikaji secara

spesifik dan mendetail hingga pada persoalan keindahannya.

Abdurrahmân bin Abdullâh bin Ah mad al-Suhaili, terkenal dengan panggilan Abû Qâsim. Dia meninggal pada tahun 581 H, di Marakesh. Kitabnya, Mubhamat al-Qur'an, disebut oleh penulis Kasyf al-Dzunûn dengan nama Al-Ta'rîf wa al-I'lâm fîmâ abhama fî al-Qur'ân min al-Asm⠒ al-A'lâm (pengenalan dan pemberitahuan mengenai nama-nama dan tanda-tanda di dalam al-Qur'an). Nama itu menjelaskan maksud kitab tersebut. Naskahnya, dengan tulisan tangan, tersimpan di Darul-Kutub, Kairo, dan perpustakaan at-Timuriyyah. Kitab lainnya adalah Al-Raudh al-Anîf 'Alâ Sîrat Ibn Hâsyim . Lihat Al-Qufthi al-Wazîr Jamâluddîn Abî al-H asan ’Alî bin Yûsûf, Inbâh al-Ruwâh ’alâ Anbâh al-

Nuhât, tahqîq: Muhammad Abî al-Fadhal Ibrâbîm, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyyah, 1955) , II, hlm. 162. Lihat juga Hâjî Khalîfah, Kasyf al-Zhunûn, hlm. 350.

177 Dikatakan dalam Kasyf al-Zhunûn, kitab ini mencakup berbagai bidang ilmu qirâ'ât, seperti: tajwîd, waqaf (letak bacan berhenti), dan ibtid⒠(letak bacaan dimulai), nâsikh dan mansûkh. Lihat

juga Hâjî Khalîfah, Kasyf al-Zhunûn, hlm. 466.

Selain itu, pada abad kedelapan kajian tentang Ulumul Qur’an sudah semakin mapan. Hal ini nampak, misalnya dari karya monumental Badruddin al-Zarkasyi

(745-794 H) 178 yaitu al-Burhân fî Ulum al-Qur'ân. Pada abad kesembilan Hijriyah kajian Ulumul Qur’an semakin ramai lagi

dengan semakin banyaknya karya yang muncul dalam bidang Ulumul Qur’an. Jalaluddîn al-Bulqaini, misalnya, menulis Mawaqi' al-Ulûm min Mawâqi' al-Nujûm. Kemudian al-Suyûthî (m. 911 H) menulis al-Tahbîr fî 'Ulum al-Tafsîr yang disusul dengan karya al-Itqân fî Ulûm al-Qur'ân. Ketika mengomentari al-Itqân, Arkoun sampai menjajarkan al-Suyûthi dengan al-Thabari dalam menyusun tafsir besarnya. Bagi Arkoun, keduanya (al-Suyûthy dan al-Thabary telah menggali suatu khazanah yang begitu luas dan menyelamatkan banyak informasi yang mungkin bisa hilang

atau selamanya tetap tak dikenal. 179 Dengan kata lain, selama sembilan abad perkembangannya, ilmu-ilmu al-Qur'an agaknya menjadi sejumlah pengetahuan

praktis yang bertujuan untuk memelihara kepekaan terhadap suatu dasar ilahiah hukum, karakter supranatural Kalam Tuhan, dan keadaan-keadaan tanpa cela riwayat dan reproduksinya. Al-Itqân telah merampungkan suatu tugas yang panjang dalam menapis, menyaring dan merangkum berbagai data, sudut pandang, definisi, penjelasan dan tipe pengetahuan yang secara bertahap telah membentuk ortodoksi

dan ortofraksi terhadap al-Qur'an. 180 Pernyataan Arkoun ini menegaskan, bahwa pada saat itu disiplin Ulumul Qur’an sudah menjadi diskursus yang lengkap dan mapan.

Pada abad-abad berikutnya peminat studi al-Qur'an semakin banyak, dan bahkan merambah pada sejarah dan ilmu-ilmu yang menjadi cakupan al-Qur'an. Sebut saja, misalnya Thâhir al-Jazâ'iri mengeluarkan buku al-Tibyân li Ba'dh al- Mabâhits al-muta'alliqah bi al-Qur'ân. Muhammad Jamâluddîn al-Qâsimî () menulis Mahâsin al-Ta'wîl (Kairo: Dâr al-Ihy⒠al-Kutub al-’Arabiyyah, 1957). Muhammad

178 Badruddin Muhammad bin Abdullâh bin Bahadur al-Zarkasyi. Termasuk jajaran ulama ahli tafsir dan ahli ilmu ushuluddin.

179 Muhammed Arkoun, Kajian Kontemporer Al-Qur'an, (Bandung: Pustaka, 1998), cetakan ke- 1, hlm. 3

180 Arkoun, Kajian Kontemporer Al-Qur'an, hlm. 8

'Abdul 'Azhîm al-Zarqâny menulis Manâhil al-'Irfân fî Ulûm al-Qur'ân . 181 Muhammad ’Ali Salâmah menulis Manhaj al-Furqân fî Ulûm al Qur'ân. 182

Nama tokoh dan kitab ulumul Qur’an/Tafsir yang ditulis pada masa perintisan KARYA ILMIAH

TOKOH/PENULIS

FOKUS KAJIAN/GAGASAN

Generasi sahabat; ’Abbâs, Ibn Mas'ûd, Zaid bin perintis/pengembang Ulumul

al-Khulaf⒠al-Râsyidîn, Ibn

Tsâbit, Ubay bin Ka'ab, Abû

Qur’an

Mûsâ al-Asy'ary dan ’Abdullâh bin al-Zubair Mujâhid, Ath⒠bin Yasâr,

Generasi kedua/ di

'Ikrimah, Qatâdah, Hasan al- Madinah Bashri, Sa'îd bin Jabîr, dan Zaid bin Aslam Mâlik bin Anas

Generasi ketiga/ . Memperoleh wawasan pengetahuan dari Zaid bin Aslam

al-Hajjâj (m. 160 H)

Mengoleksi pendapat-pendapat

Ibn ’Uyainah (m. 198 H)

sahabat Nabi dan tabi'in

Al-Jarrâh (m. 197 H)

Jâmi’ al-Bayân

al-Thabarî (m. 310 H)

Menulis kitab-kitab berkualitas, berisi riwayat hadits shahih, dilengkapi

(pramasastra), analisis dan pendapat yang berharga asbâb al-nuzûl

al-Madînî (m. 234 H)

Al-nâsikh wa al- Âbu ’Ubaid al-Qâsim bin Ulumul Qur’an dalam tema mansûkh, qirâ'at, dan

Salam

tertentu

fadhâ'il al-Qur'ân makky madany

al-Dharîs (m. 294)

Ulumul Qur’an dalam tema tertentu

al-Hâwî Ibn Murzabân (m. 309 H) Ulum al-Qur'ân Ajâib 'Ulum al-Qur'ân

al-Anbâri

Keutamaan dan keistimewaan al-

(m. 328 H)

Qur'an, turunnya al-Qur'an dalam tujuh huruf, penulisan mushaf, jumlah surah, ayat dan lafadznya

Ulum al-Qur'ân Gharâ’ib al-Qur'ân

Al-Mukhtazan

Abû Hasan al-’Asy'ari

Tema-tema al-Qur'an Nukat al-Qur'ân

Al-Sajistâny (m. 330 H)

'Ulum al-Qur'ân al-Istighnâ’/al-Istifta’

al-Kurkhi (m. 360)

'Ulum al-Qur'ân al-Burhân

al-Afdawî (m. 388 H)

'Ulum al-Qur'ân. Mempopulerkan dan I'râb al-Qur'ân

al-Hufi (m. 430 H)

istilah Ulumul Qur'an (dalam arti keseluruhan)

Lihat Al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân fî Ulûm al-Qur’ân, (Baerut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1996). 182 Al-Shâlih, Mabâhits, hlm. 124-126.

al-Taisîr

al-Dâny (m. 444 H)

'Ulum al-Qur'ân Funûn al-Afnân dan al-

al-Suhaily

Tema-tema dalam Qur’an Mujtabâ fî 'Ulum tata'allaq bi al-Qur'âsn

Ibn al-Jauzy (m. 597 H)

Majâz al-Qur'ân

Ibn 'Abd al-Salâm

kata-kata figurative dalam al- Qur'an

Jamâl al-Qurr⒠wa

Bacaan dalam Qur’an Kamâl al-Iqrâ