Penggunaan Titik dan Syakl dalam Sistem Tulisan Arab

2. Penggunaan Titik dan Syakl dalam Sistem Tulisan Arab

Gagasan Khalifah Utsman untuk mengkodifikasi mushaf al-Qur'an sangat tepat, terutama untuk meminimalisir potensi konflik dan perpecahan di internal komunitas muslim. Tetapi, bukan berarti setelah itu umat Islam terbebas dari segala bentuk persoalan. Ketika khalifah ketiga (dari khulaf⒠al-râsyidûn) ini mengkodifikasi mushaf al-Qur'an, kemudian menggandakannya menjadi beberapa eksemplar, untuk selanjutnya mengirim salinan mushaf-mushaf itu ke beberapa tempat, sistem tulisan (Arab) yang digunakan untuk melukiskan lafal-lafal al-Qur'an belum sempurna. Saat itu belum ada aturan baku mengenai cara melukiskan bentuk huruf dan kaidah bunyi (i’rab). Ada beberapa huruf yang nama dan pengucapannya berbeda, namun bentuknya dilambangkan serupa. Misalnya, antara huruf ’ta’ ( ﺕ) dengan ’tsa’ (ﺙ)

keduanya dilukiskan dengan bentuk yang sama, tanpa titik sebagai pembeda ( ). Begitu juga antara huruf ’ha’ ( ﺡ) dengan ’kha’ (ﺥ), ’ra’ ( ﺭ) dengan ’za’ (ﺯ), ’’ain’ (ﻉ) keduanya dilukiskan dengan bentuk yang sama, tanpa titik sebagai pembeda ( ). Begitu juga antara huruf ’ha’ ( ﺡ) dengan ’kha’ (ﺥ), ’ra’ ( ﺭ) dengan ’za’ (ﺯ), ’’ain’ (ﻉ)

Selain belum ada titik sebagai pembeda huruf-huruf yang disimbolkan serupa, saat itu juga belum ada sistem syakl (harakat) dan i’râb yang membedakan pengucapan (bunyi) huruf dan kalimat—fathah, kasrah, dhammah dan tanwin.

Dengan demikian, salinan mushaf Utsman yang dikirim ke beberapa penjuru wilayah Islam belum terbebas dari kemungkinan kesalahan baca—belum dilengkapi dengan

syakl (harakat) dan nuqthah (titik). 98 Model penulisan Arab (al-Qur'an) yang seperti ini berlaku dalam waktu yang cukup lama. Menurut Hadi Ma’rifat, sampai

pertengahan abad pertama Hijriah, orang-orang Arab menulis khat-khat 99 tanpa titik. Model khat tanpa titik, yang gunakan orang-orang Arab, ini dikutip dari Suryani dan

Nabthi. Hingga saat ini, khat-khat Suryani dilukiskan tanpa titik. Menurut cerita, sejak sebelum kedatangan Islam orang-orang Arab Hijaz telah menjalin hubungan perdagangan dengan para saudagar di Syam dan Irak. Dalam perkembangannya, hubungan mereka tidak hanya sebatas urusan ekonomi dan perdagangan, tetapi juga masuk pada wilayah pertukaran budaya dan pengetahuan. Di antara para saudagar Arab Hijaz, misalnya, ada yang tertarik dan mempelajari ilmu baca-tulis kepada kolega-koleganya di Syam dan Irak. Sebagian mereka belajar menulis khat Nabthi (Nabatean) dan Suryani—dua jenis tulisan Arab yang tetap

97 Ma'rifat, Sejarah Al-Qur'an, hlm. 175. 98 Lihat sejarah dan berbagai bentuk tulisan Arab dalam Al-Nadim, al-Fihrist, hlm. 32. 99 Khat berasal dari bahasa Arab, khath ( ﻂ ﺧ). Secara etimologi, khat berarti garis; baris; tulisan

atau sejenisnya yang dirangkai menggunakan tangan. Dalam bahasa Inggris, khat biasanya diterjemahkan calligraphy, yang berarti tulisan tangan yang sangat indah dan elok. Adapun secara

terminology, Majdî Wahbah dan Kâmil al-Muhandis dalam Mu’jam al-Mushthalahât al-‘Arabiyyah fî wa al-‘Adad, mendefinisikan khat sebagai symbol atau rumus yang digunakan oleh sekelompok manusia sebagai media untuk membaca dan memahami dialektika ( kalâm) dari bahasa tertentu. Baca al-Mu’jam al-Wasith, (Kairo: Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, 1380 H/ 1960), hlm. 253. al-Munjid fî al-Lughah wa al-‘Alam, (Beirut: Dâr al-Masyriq), cetakan ke-26, hlm. 183. Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), cetakan XXV, hlm. 350. Tim Penyusun Kamus (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa), Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. pertama, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm. 380. Majdî Wahbah dan Kâmil al-Muhandis, Mu’jam al- Mushthalahât al-‘Arabiyyah fî wa al-‘Adad, (Beirut: Maktabah Lebanon, 1984), cetakan kedua, hlm. 160.

popular (ada dan digunakan) hingga pasca-penaklukan Islam di Arab. Dalam perkembangannya, khat Nabthi berevolusi dan memunculkan khat Naskhi. Demikian juga, khat Suryani berevolusi dan akhirnya berubah menjadi khat Kufi, yang sebelumnya diberi nama khat Hairi (Hirah), satu kota Arab kuno yang berlokasi di dekat Kufah. Setelah Kota Kufah dibangun dan kebudayaan Arab berpindah ke pusat

kota, maka nama khat berubah menjadi khat Kufi. 100 Khat Naskhi dan Kufi inilah yang digunakan masyarakat Islam untuk menulis

surat dan mencatat peristiwa-peristiwa penting, termasuk wahyu yang turun. Di tangan generasi muslim, dunia aksara dan tulis menulis ini berkembang pesat. Mereka juga sangat berminat untuk mengembangkan, memperbaiki, dan memperindah bentuk khat Naskhi dan Kufi. Ibn Miqlal (pada awal abad ke-4 H) adalah salah satu orang

yang sangat bersemangat melakukan pekerjaan itu. Kini, khat Naskhi sudah mencapai puncak keindahannya, dan masih terus digunakan masyarakat muslim, termasuk untuk mengabadikan ayat-ayat al-Qur'an di atas lembaran kertas. Di sisi lain, nasib khat Kufi tidak seeksis khat Naskhi. Ia (khat Kufi) digunakan orang selama kurang lebih dua abad, setelah itu mengalami kemunduran dan akhirnya hilang dari

peredaran. 101 Semula, keberadaan mushaf al-Qur'an yang dituliskan dengan khat tanpa titik

dan syakl tidak menimbulkan persoalan serius di internal umat Islam. Saat itu masyarakat Arab muslim sangat menguasai bahasa Arab. Di tambah lagi, pada waktu itu al-Qur'an—selain terkodifikasi dalam bentuk tulisan—juga terkodifikasi di dalam hati (hafalan) para sahabat Nabi. Jadi, meskipun mushaf al-Qur'an tertulis dengan sistem penulisan yang belum sempurna, ia dengan mudah bisa dibaca dan dipahami. Ini karena, pada masa awal Islam, untuk membaca al-Qur'an tidak bergantung pada

tulisan, tetapi pada pendengaran dan hafalan. 102

100 Ma'rifat, Sejarah Al-Qur'an, hlm. 178. 101 Ma'rifat, Sejarah Al-Qur'an, hlm. 178. 102 Al-Suyûthi, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, juz 2, (Baerut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000), hlm

37. Lihat juga Al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân, juz 1, hlm. 243.

Masalah muncul tatkala al-Qur’an tidak hanya menjadi minat dan tujuan orang- orang Arab muslim, tetapi juga menjadi minat dan kajian orang-orang muslim di luar Arab. Seiring dengan semakin luasnya wilayah dunia muslim, minat orang-orang non-Arab (’ajam) untuk mengambil pengetahuan dari al-Qur'an semakin besar. Maka,

sejak saat itu jumlah pendatang baru dalam Islam terus bertambah. Akibatnya, negeri Islam banyak dihuni oleh orang asing. Para imigran ini harus menyesuaikan diri dengan komunitas baru, termasuk dalam berbahasa Arab. Sebagian dari mereka bahkan masuk dalam jajaran ulama dan qurrâ’, padahal, bahasa asal mereka bukan

bahasa Arab—mereka asing dengan bahasa Arab. 103 Dalam situasi seperti ini, tidak jarang, mereka melakukan kesalahan ketika mengujarkan bahasa, termasuk ketika

membaca al-Qur'an. Para pendatang baru (imigran dalam Islam) ini sebenarnya membutuhkan simbol, yaitu khat atau sistem tulisan yang benar, sebagai media untuk mengenal kalimat-kalimat al-Qur'an, agar mereka terhindar dari kekeliruan ketika membaca

Kalâmullâh ini. Seperti dijelaskan Ibn Khaldûn, 104 tulisan berfungsi untuk menerangkan, melambangkan, dan menggambarkan suara (kata-kata) yang terdengar

dalam wujud kode atau rumus yang bisa dipahami oleh pengguna (user)-nya. Dalam konteks ini, tulisan sangat bermanfaat untuk melambangkan kalimat ( lafazh), yang menjelaskan makna, pesan, serta pemahaman yang dimaksud oleh sebuah teks (mushaf al-Qur'an). Oleh karena itu, tulisan harus sesuai secara sempurna dengan lafazh yang dimaksud, harus ditulis sama persis dengan apa yang dibicarakan, agar khat itu bisa menjadi tolok ukur bagi lafazh, tanpa sedikit pun mengurangi apalagi

menambahi. 105

103 Al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân, juz 1, hlm. 407. 104 Ibn Khaldûn, Mukaddimah, hlm. 417. 105 Ma'rifat, Sejarah Al-Qur'an, hlm. 185

Di sisi lain, mushaf al-Qur'an (hasil kodifikasi Utsman) yang tersedia mengandung banyak kesalahan sistem penulisan, bila diukur dari kaidah khat. 106 Hal

ini bisa dilihat dari banyaknya penulisan lafazh yang mengandung bias makna dan bacaan. Maklum, pada waktu kodifikasi al-Qur'an dilakukan, orang-orang belum begitu berpengetahuan dalam seni khat dan metode penulisan. Bahkan, kebanyakan dari mereka tidak bisa menulis. Khat yang digunakan melukiskan ayat al-Qur'an saat

itu sangat dasar dan sederhana. 107 Seandainya al-Qur'an tidak tercatat dalam hafalan yang diperoleh dengan cara mendengar yang mutawatir; seandainya bacaan al-Qur'an

tidak dihafal oleh umat Islam generasi awal yang memiliki perhatian ekstra dalam hal ini, bisa dipastikan, kekeliruan membaca dan memahami al-Qur'an akan semakin

sering terjadi. 108 Dari peristiwa ini, mulai disadari bahwa ada yang belum selesai pada sistem

tulisan (khat) Arab yang digunakan untuk melukiskan lafal-lafal al-Qur'an. Masyarakat non-Arab mendapati al-Qur'an dalam bentuk tulisan mushaf, namun sistem tulisan yang digunakan belum sempurna—masih membuka celah perbedaan

bacaan dan mengarah pada kekeliruan makna. 109 Kesalahan baca al-Qur'an ini bisa berakibat fatal, karena memutarbalikkan pesan dan makna al-Qur'an. 110

Beberapa contoh kekeliruan bacaan karena mushaf al-Qur'an tidak bertitik, yang diberikan Muhammad Hadi Ma’rifat dalam Târikh al-Qur'ân: 111

SURAH

YANG BENAR

TULISAN SALAH

Menurut penuturan Abû Ah mad Askari, selama lebih dari empat puluh tahun masyarakat muslim masih menggunakan mushaf Utsman sampai pada zaman ’Abdul Mâlik bin Marwân. Lihat Ma'rifat, Sejarah Al-Qur'an, hlm. 179.

107 Di tangan umat Islam, proses menuju puncak kesempurnaan kaidah dan keindahan bentuk, khat Arab membutuhkan waktu sekitar empat abad. Perkembangan ini bisa dibilang cepat. Maka,

wajar apabila pada masa kodifikasi al-Qur'an, ke mampuan umat Islam Arab dalam hal tulis-menulis — apalagi sampai menulis yang bernilai artistik —masih minim.

108 Al-Suyûthi, al-Itqân, juz 2, hlm 57. 109 Al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân, juz 1, hlm. 406-409. 110 Al-Suyûthî, al-Dur al-Mantsûr fî al-Tafsîr bi al-Matsûr, (Mauqi’ al-Tafâsîr), juz 5, hlm. 12.

Kisah ini juga terdapat dalam Al-Nadim, al-Fihrist, cetakan I, (Baerut: Darl al-Kutub al-Islamiyyah, 1996), hlm. 63.

Bagi Muhammad Hadi Ma’rifat, munculnya beragam versi bacaan (qirâ’ât) merupakan akibat dari kosongnya mushaf-mushaf dari titik dan tanda bunyi bacaan. Baca Ma'rifat, Sejarah Al- Qur'an, hlm. 176.

QS. al-Baqarah/2:259

(nunsyiruha) ﺎﻫﺮِﺸﻨﻧ (tunsyiruha) ﺎﻫﺮِﺸﻨ ﺗ QS. Ali Imrân/3:348

(nunsyizuha) ﺎﻫﺰِﺸﻨﻧ

(na’lamuhu) ﻪﻤ ﹶﻠﻌﻧ ﻭ QS. Yûnus/10:30

(wa yu’allimuhu) ﻪﻤﱢﻠﻌﻳﻭ

(tatlu) ﻮﹸﻠ ﺗﺘ QS. Yûnus/10:92

(tablu) ﻮﹸﻠﺒﺗ

(nunahhîka) ﻚﻴ ﺤ ﻨﻧ QS. al-’Ankabût/29:58 (lanubawwi’annahum)

(nunajjîka) ﻚﻴﺠﻨﻧ

(lanut sawiyannahum) ﻢﻬﻨ ﻮﻳ ﻨﹶﻟﹶﺜ

(lanubawwiyannahum) ﻢﻬﻨ ﻳ ﻮﺒﻨﹶﻟ QS. Saba/34:17

(yujâzi) ﻱِﺯﺎﺠ ﻳ QS. al-Hujurât/49:6

Namun demikian, bukan berarti kejadian ini tidak ada hikmahnya sama sekali. Justru dari kejadian-kejadin seperti ini, sebagian kecil dari orang-orang muslim terinspirasi dan termotivasi untuk merumuskan disiplin baru dalam dunia ilmu keislaman. Maka, lahirlah, misalnya, pedoman bentuk dan sistem penulisan (khat) Arab. Bila demikian, semakin jelas, bahwa berawal dari kebutuhan memahami dan

mendalami al-Qur’an akhirnya lahir satu tradisi keilmuan: sistem tulisan Arab (al- Qur’an) atau pedoman khat Arab. Adapaun alasan yang melatarbelakangi kodifikasi

disiplin ilmu ini adalah kebutuhan untuk menanggulangi umat Islam dari kesalahan mempelajari wahyu (al-Qur’an).

Pemakaian Tanda Titik dalam Mushaf

Menurut cerita, sebenarnya sistem pembeda huruf dan tanda bunyi telah digagas oleh Utsman. Sejak awal, khalifah keempat ini telah menyadari perlunya upaya perbaikan dalam cara penulisan dan pembacaan al-Qur'an. Dalam satu kesempatan, Utsman berkata: ”Aku menemukan dalam naskah salinan mushaf al-Qur'an beberapa

bacaan, yang kelak akan dibetulkan orang-orang Arab.” 112 Dengan demikian, bila kita mencermati ungkapan Utsman ini, terdapat kesan, sebenarnya dia menyadari,

bahwa sistem tulisan Arab yang digunakan untuk melukiskan ayat-ayat suci al-Qur'an belum sempurna. Namun, kodifikasi al-Qur'an harus segera dilakukan, karena

112 Ibn Abî Dâwûd, al-Mashâhif, (Leiden: Arthur Jeffery, 1937), hlm. 32. Baca juga Al-Shâlih, Mabâhits, hlm. 121.

berbagai pertimbangan. Adapun kekurangan yang terdapat sistem dan bentuk tulisan Arab biarlah menjadi pekerjaan rumah generasi muslim di masa-masa berikutnya.

Usaha yang lebih konkrit dilakukan oleh generasi Islam pada tahun 65 H. Di bawah kepemimpinan Khalifah ’Abdul Malik bin Marwân, beberapa pembesar pemerintahan menghawatirkan kemungkinan terjadinya perubahan nash-nash al- Qur'an, jika penulisan mushaf al-Qur'an tidak segera disempurnakan—dibiarkan tanpa titik dan harakat. Dengan pertimbangan ini, akhirnya mulai difikirkan penciptaan tanda-tanda tertentu, yang dapat membantu seseorang dalam membaca al- Qur'an agar lebih mudah, baik dan benar. Selanjutnya, orang yang menggunakan titik dalam menulis mushaf al-Qur'an adalah al-H ajjâj bin Yûsuf al-Tsaqafi, gubernur Irak

dan provinsi-provinsi timur. Dia melakukan perbaikan penulisan mushaf al-Qur'an di sebelas tempat. 113

Konon, yang mendorong al-Hajjâj memberlakukan tanda titik dalam penulisan mushaf al-Qur'an adalah semakin banyaknya perubahan dalam bacaan al-Qur'an. Sampai suatu ketika, dia mendapati perubahan ini menyebar hingga ke Irak. H ajjâj kemudian menyampaikan kekhawatirannya kepada para penulis, dan minta kepada mereka agar meletakkan tanda untuk huruf-huruf yang mirip, antara yang satu dengan yang lain agar dapat dibedakan. Kelak, pekerjaan ini dipopulerkan oleh Yah yâ bin

Ya’mâr, dan Nashr bin ’Âshim al-Laitsi. 114 Berkat upaya ini, masyarakat luas bisa membedakan huruf-huruf yang bertitik dengan yang tidak. Selain itu, bacaan al-

Qur'an menjadi lebih jelas, dan makna al-Qur'an pun lebih gampang dimengerti. 115

Kontribusi al-Hajjâj ini diragukan al-Zarqânî. Menurut penulis Manâhil al- Qur’ân ini, sebenarnya orang yang menggunakan titik dalam mushaf adalah dua murid Abû al-Aswad al-Du'ali, yaitu Yahyâ bin Ya’mâr, dan Nashr bin ’Âshim al-

Bagi Muhammad Hadi Ma’rifat, munculnya beragam versi bacaan (qirâ’ât) merupakan akibat dari kosongnya mushaf-mushaf dari titik dan tanda bunyi bacaan. Baca Ma'rifat, Sejarah Al- Qur'an, hlm. 179.

114 Al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân, juz 1, hlm. 406. 115 Al-Shâlih, Mabâhits, hlm. 92-93.

Laitsi. 116 Namun hal ini dibantah oleh Sub i al-Shâlih. Menurut penulis Mabâhits fî Ulûm al-Qur’ân ini, tidak ada bukti kuat bahwa Yahyâ bin Ya’mar adalah orang yang

pertama kali meletakkan dasar penggunaan titik dalam penulisan al-Qur'an. 117 Begitu juga dengan Nashr bin ’Âshim al-Laitsi, seorang ahli qirâ’ât di Bashrah (m. 89 H). 118

Yang jelas, Yahya dan Nashr adalah murid Abu al-Aswad al-Du'ali. Baik pendapat al-Zarqâni yang menganggap orang yang menggunakan titik dalam mushaf adalah Yahyâ dan Nashr, maupun pendapat Sub i al-Shâlih yang lebih setuju al-Hajjâj sebagai orang yang menggunakan titik dalam mushaf, sebenarnya kedua-duanya bisa jadi sama benar. Bukankah lazim, pada zaman awal Islam seorang penguasa menugaskan kepada ulama tertentu yang dianggap mumpuni untuk menyusun draft program tertentu. Di sini, bisa dimaknai si penguasa adalah orang yang paling awal, karena gagasan dan perintah datang dari dia. Sementara si ulama juga bisa dianggap sebagai penggagas, karena draft program yang sudah disusun matang datang dari dia. Bukankah hal ini bisa saja menimpa al-H ajjâj, Yahyâ dan Nashr?

Al-Suyûthi dalam al-Itqân fî Ulûm al-Qur’ân juga mengakui bahwa ada perbedaan pendapat mengenai siapa yang menggagas pemberian naqth dan syakl dalam mushaf. Ada yang mengatakan Abu al-Aswad al-Du'ali atas perintah ’Adul Malik bin Marwân, ada yang mengatakan Hasan al-Bashrî, Yahyâ bin Ya’mar, dan

juga ada yang mengatakan Nashr bin ’Âshim al-Laitsî. 119 Mengomentari hal ini, Sub i al-Shâlih menyebutkan, bahwa Hasan al-Bashri sebenarnya tidak terlibat dalam

menemukan cara penulisan dengan titik, hanya saja dia cukup akomodatif dan tidak menolak gagasan itu—sebagaimana sikap beberapa ulama pada zaman awal Islam.

116 Al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân, juz 1, hlm. 406. 117 Yahyâ bin Ya’mar belajar hadis dari Ibn ’Abbâs dan Ibn ’Umar. Dia pernah menjadi hakim

(qâdhi) di kota Muruw, kota yang juga tempat dia meninggal pada 129 H. Pada 45 H dia mukim di Bashrah. Dia sangat simpatik dengan Ali bin Abi Thalib dan para pengikutnya. Baca Al-Shâlih ,

Mabâhits, hlm. 92-93. 118 Ibn Abî Dâwud, al-Mashâhif, hlm. 117. Baca juga Sub i al-Shâlih, Mabâhits, hlm. 93.

Al-Suyûthi juga menyinggung bahwa al-Khalîl adalah orang yang perama kali memberlakukan tanda tasdîd, dan raum. Baca Al-Suyûthi, al-Itqân, juz 2, hlm 340.

Sementara itu al-Dâni, penulis al-Muhkâm hanya memberi garis besar, bahwa tidak mustahil kalau yang merumuskan sistem titik dalam penulisan al-Qur'an adalah para sahabat Nabi sendiri, karena mereka juga yang membuat gambar-gambar yang

menandai tiap lima ayat, sepuluh ayat, atau tanda di dalam mushaf. 120

Tanda Syakl

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa selain tidak ada titik yang membedakan huruf-huruf yang disimbolkan serupa, khat Arab juga tidak memiliki sistem syakl (harakat) dan i’râb—yang membedakan pengucapan (bunyi) huruf dan

kalimat. 121 Pada suatu ketika, Abû al-Aswad al-Du'ali (10 SH-69 H/611-688 M) mendengar orang sedang membaca surah al-Taubah/9:3. Ayat yang seharusnya

dibaca: ﻪﹸﻟﻮــﺳﺭﻭ ﲔﻛﺮﺸــﳌﺍ ﻦــِﻣ ﹲﺊــﻳﺮﺑ َﷲﺍ ﱠﻥﹶﺃ (artinya, sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya memutuskan hubungan dengan kaum musyrikin), itu dikumandangkan secara keliru,

sehingga berbunyi: ِﻪِﻟﻮـﺳﺭﻭ ﲔﻛﺮﺸﳌﺍ ﻦِﻣ ﹲﺊﻳﺮﺑ َﷲﺍ ﱠﻥﹶﺃ (artinya, sesungguhnya Allah memutuskan hubungan dengan kaum musyrikin dan dari Rasul-Nya). 122

Sebenarnya, banyaknya kasus kesalahan dalam melafalkan al-Qur'an ini telah menjadi keprihatinan banyak kalangan pemimpin umat Islam. Bahkan jauh-jauh hari, sebelum Abû al-Aswad al-Du'ali menyaksikan sendiri kasus kesalahan dalam

membaca al-Qur'an, Ziyad bin Abih, gubernur Kufah (memerintah 50-53 H) pernah meminta Abû al-Aswad al-Du'ali untuk mencari solusi dari persoalan ini. Namun, saat itu, al-Du'ali keberatan memenuhi permintaan Ziyad. Tetapi setelah al-Du'ali menyaksikan sendiri kondisi di lapangan, betapa fatal kesalahan yang timbul dari tidak adanya pedoman baku dalam mengucapkan lafal al-Qur'an, dia akhirnya menyanggupi tugas yang ditawarkan Ziyad.

Versi lain mengatakan, Khalifah Ali bin Abî Thâlib adalah yang menugaskan Abû al-Aswad al-Du'ali untuk merumuskan kaidah tata bahasa Arab. Adapun penemuan tata cara penulisan al-Qur'an dengan huruf-huruf bertitik merupakan

120 Al-Shâlih, Mabâhits, hlm. 93-96. Baca juga Al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân, juz 1, hlm. 408. 121 Lihat, misalnya, Al-Suyûthi, al-Itqân, juz 2, hlm 340. Baca Al-Shâlih , Mabâhits, hlm. 90. 122 Al-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân, juz 2, hlm. 406.

follow-up dari penemuan Abû al-Aswad al-Du'ali. Dengan demikian, menurut versi ini, Abû al-Aswad al-Du'ali mendapat perintah dari ’Ali, bukan dari Ziyâd. 123

Sementara menurut pendapat al-Zarqâni, Abû al-Aswad al-Du'ali diminta Ziyâd bin Abî Sufyân untuk membuat tanda bacaan al-Qur'an agar umat Islam dapat membaca

Kitâbullâh itu dengan mudah dan benar. Sampai akhirnya Abû al-Aswad al-Du'ali berhasil merumuskan kaidah bunyi suara (harakat), yaitu: tanda fathah berupa titik di

atas huruf, kasrah berupa titik di bawah huruf, dhammah berupa titik di antara bagian yang memisahkan huruf, dan saknah berupa dua titik. 124 Tetapi ada juga yang

mengatakan, bahwa Abû al-Aswad al-Du'ali merumuskan tanda bacaan berupa titik atas dasar perintah Khalifah ’Abdul Mâlik bin Marwân. 125

Terlepas dari kontroversi siapa sebenarnya yang mendorong Abû al-Aswad al- Du'ali, tetapi, menurut Sub i al-Shâlih, yang jelas Abû al-Aswad al-Du'ali adalah

orang yang pertama melihat adanya kebutuhan umat Islam yang amat besar itu. 126

Untuk memulai tugasnya, merumuskan sistem sykl ( ﻞﻴﻜﺸـﺗ: dhammah, fathah, kasrah), al-Du'ali meminta didatangkan seorang penulis untuk mencatat semua yang

dia ujarkan. al-Du'ali kemudian berkata kepada si penulis: ”Letakkan titik di atas setiap huruf yang saya baca maftûh (dengan mulut terbuka). Jika saya merapatkan mulut (dhammah), maka letakkanlah titik di atas huruf itu. Jika saya membaca huruf dengan kasrah, maka tulislah titik di bawah huruf itu. Dan ketika aku membaca huruf dengan ghunnah, maka letakkan dua titik di atas huruf itu.” Maka, sejak saat itu dan seterusnya, masyarakat menggunakan titik sebagai tanda untuk menunjukkan harakat huruf dan kalimat. Titik-titik tersebut ditulis dengan warna yang berbeda dar warna

khat mushaf. Biasanya berwarna merah. 127

123 Al-Zarkasyi, al-Burhân, hlm. 259 124 Al-Zarkasyi, al-Burhân, hlm. 263

Lihat Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, muhaqqiq: Sâmî bin Muhammad Salâmah, cetakan kedua, (Dâr al-Thaybah, 1999/1420 H), juz 1, hlm. 50. Lihat juga Al-Suyûthi, al-Itqân, juz 2, 2000), hlm 79.

126 Al-Shâlih, Mabâhits, hlm. 94. 127 Ma'rifat, Sejarah Al-Qur'an, hlm. 175.

Sampai di sini sebenarnya ada kejanggalan, ketika harakat fathah, kasrah dan dhammah disimbolkan dengan titik, kemudian pada masa berikutnya dirumuskan tanda titik yang berfungsi membedakan huruf-huruf yang serupa, bukankah hal ini akan semakin menimbulkan kerancuan. Karena itu, dengan tanda ini belum cukup. Masyarakat pembaca mushaf masih harus membedakan lagi antara khat mushaf, titik pembeda huruf, dan titik pembeda bunyi dengan warna yang mencolok dan beragam.

Menurut al-Faruqi dalam The Cultural Atlas of Islam, Abû al-Aswad al-Du’ali tidak hanya menemukan sistem syakl. Generasi tabi’ûn (generasi kedua muslim) yang pernah menyertai Khalifah ’Ali bin Abi Thâlib (memerintah 36-41 H/ 656-661 M) dalam Perang Shiffin ini adalah orang pertama yang melakukan tugas peletakan tata

bahasa Arab dalam bentuk sistematis. 128 Adapun sistem syakl (i’râb) hanya bagian kecil dari wilayah kajian nahwu, dan merupakan upaya penanggulangan kesalahan

dalam membaca mushaf al-Qur'an. Al-Du’ali merancang tanda-tanda vokalisasi, yang ditentukan oleh status tata bahasa kata-kata dan membentuk indeks status itu, sehingga memungkinkan pemahaman.

Al-Faruqi menambahkan, bahwa tanda-tanda vokalisasi pertama yang dipakai dalam bahasa Arab adalah yang dipakai dalam Syiria, dan kemudian dipakai bahasa Ibrani: satu titik di atas untuk ’a’ pendek dari objek langsung (tanda fathah); satu titik di dalam huruf untuk ’u’ nominatif (tanda dhammah); dan satu titik di bawah huruf untuk menunjukkan bunyi ’i’ penghabisan dari objek tidak langsung (tanda kasrah). Sistem ini tidak bertahan lama. Sebelum abad pertama periode Islam berlalu, diperkenalkan tanda-tanda yang sekarang dipakai. Pada masa ini juga, tanda-tanda ini ditetapkan untuk menunjukkan hubungan dua kata atau pemisahan mereka, penggandaan konsonan, dan titik-titik untuk membedakan huruf-huruf yang bentuknya sama. Pada masa al-Hajjâj bin Yûsuf Tsaqafi, proses ini selesai. Dialah

128 Al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, hlm 233.

yang memasukannya ke dalam tulisan al-Qur'an pada masa kekhalifahan ’Abdul Mâlik bin Marwan (66-86 H/ 685-705). 129

Ide brilliant selanjutnya datang dari al-Khalîl 130 (m. 175 H), sastrawan dan pakar bahasa Arab. Al-Khalîl adalah yang pertama kali menyusun titik-titik kemudian

dibentuk menjadi tanda baca hamzah, tasydid, raum, dan isymam (isyarat bunyi suara—harakat—dengan merapatkan bibir, populer di kalangan qurrâ’). 131 Inilah

yang dimaksud al-Faruqi, bahwa sistem yang dicanangkan Abû al-Aswad al-Du’ali, sebelum abad pertama periode Islam berlalu, segera disempurnakan generasi berikutnya. Orang yang menyempurnakan itu adalah al-Khalîl. Dia menyempurnakan dan menindaklanjuti pekerjaan yang sudah dirancang Abû al-Aswad al-Du’ali. Apabila Abû al-Aswad al-Du’ali memberikan titik di atas huruf sebagai tanda fathah, titik di akhir huruf sebagai tanda dhammah, dan titik di bawah sebagai tanda kasrah, maka al-Khalîl menyempurnakan dan memperindah sistem ini. Dalam temuan al- Khalîl, tanda fathah berbentuk panjang yang diletakkan di atas huruf. Tanda kasrah

dengan bentuk yang sama diletakkan di bawah huruf. Tanda dhammah, adalah wawu kecil di atas huruf. Sedangkan tanwil adalah bacaan fathah, atau kasrah atau

dhammah. 132 Seiring dengan perkembangan dunia Islam, semakin terbukanya cara berfikir

dan dalam mengemukakan pendapat di kalangan umat Islam, upaya untuk mempermudah penulisan dan pembacaan al-Qur'an terus dilakukan. Tidak berhenti hanya pada sistem titik dan syakl, tetapi merambah ke berbagai bentuk. Tujuannya apalagi kalau tidak untuk membuka selebar-lebarnya akses umat Islam terhadap al- Qur'an. Bukankah kalau al-Qur'an itu bisa dengam mudah dicerna, yang akan diuntungkan adalah umat Islam itu sendiri? Sebaliknya, ketika al-Qur'an itu sulit dibaca dan dimengerti, toh yang akan repot juga umat Islam itu sendiri.

129 Al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, hlm 233.

Al-Khalîl bin Ahmad al-Farâhîdi al-Azdî, terkenal dengan panggilan Abû ’Abdurrahman. Dia adalah pakar tata bahasa Arab terkemuka (pada masanya), dan telah berhasil merumuskan kaidah ilmu Arudh (kaidah pembuatan puisi Arab). Dia meninggal 175 H. Al-Shâlih , Mabâhits, hlm. 94

131 Abî ’Amar al-Dâni, al-Nuqath, (1932), hlm. 133. Lihat juga Al-Suyûthi, al-Itqân, hlm. 81. 132 Ma'rifat, Sejarah Al-Qur'an, hlm. 175.

Puncaknya adalah ketika pakar bahasa Arab tersohor, Abû Hâtim al-Sajistâni (m. 248 H) 133 menulis buku tentang tanda baca titik dan syakl bagi al-Qur'an. Saat itu

cara penulisan mushaf al-Qur'an sudah mendekati sempurna, dan baru pada akhir abad ketiga Hijriyah penulisan mushaf al-Qur'an benar-benar telah mencapai puncak

keindahannya. Trend yang muncul di kalangan dunia muslim selanjutnya adalah berlomba-lomba menulis mushaf al-Qur'an dengan segala kesempurnaan dan

keindahannya (khath; kaligrafi al-Qur'an). 134 Diperkirakan hingga abad keempat belas Hijriyah banyak para penulis kaligrafi Arab yang menulis mushaf al-Qur'an dengan

bentuk tulisan yang elok. Mereka menulis dengan huruf Kufi (huruf Arab yang lazim digunakan penduduk Kufah), yang lambat laun popularitas huruf ini tergeser Nasakh

yang tidak kalah indahnya, hingga memasuki abad kelima Hijriyah. 135 Berdasarkan penelusuran penulis, tidak ada data pasti yang menginformasikan,

apakah persoalan titik atau i’râb, yang lebih dahulu muncul di kalangan umat Islam. Yang pasti, munculnya kebutuhan untuk membuat kaidah titik dan syakl berawal dari adanya kesalahan umat Islam dalam membaca al-Qur'an. Celah masuknya kesalahan baca ini adalah belum sempurnanya sistem tulisan Arab, yaitu persoalan titik dan i’rab. Namun, mengenai tanda titik untuk membedakan huruf-huruf yang bentuknya

serupa dimasukkan dalam disiplin ilmu rasm atau khat, 136 sementara kaidah bunyi huruf yang ditandai dengan syakl masuk pada bahasan ilmu nahwu. Dan, yang jelas,

dua piranti ini dibutuhkan untuk melengkapi alat bantu dalam mempelajari al-Qur'an. Menjadi jelas, bahwa proses penyempurnaan bentuk dan sistem tulisan Arab tidak terjadi sekaligus. Seperti diceritakan al-Faruqi, para cerdik pandai muslim melakukan eksperimen dan inovasi, sampai akhirnya menelorkan sistem tanda seperti yang berlaku hingga hari ini. Dan, Abû al-Aswad al-Du'ali bukanlah satu-satunya yang disepakati para peneliti telah merumuskan sistem pembeda huruf (titik) dan

133 Sahl bin Muhammad, lebih terkenal dengan sebutan Abî H âtim al-Sajistâni. Lihat Al-Shâlih , Mabâhits, hlm. 94. Baca Abû Dâwud, al-Mashâhif, hlm. 114.

134 Al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân, juz 1, hlm. 409. 135 Al-Shâlih, Mabâhits, hlm. 98-100. 136 Mengenai khat, baca Al-Zarkasyi, al-Burhân, hlm. 259.

tanda bunyi (harakat). Yang jelas, proses mencapai puncak kesempurnaan dan keindahan cara membaca dan penulisan al-Qur'an berlangsung secara bertahap dan estafet: diawali satu generasi, ditindaklanjuti oleh generasi berikutnya.

Pakar lain yang juga memberi kontribusi dalam penyempurnaan sistem tulisan mushaf adalah ’Ubaidillah bin Ziyâd. Dikisahkan, ’Ubaidillah bin Ziyâd menugasi seorang Persia untuk menambahkan huruf ’ ’ (alif)—sebagai tanda berbunyi panjang atau mad—pada dua ribu kata yang semestinya dibaca dengan suara panjang. Misalnya, kata ﺖــﻧﺎﹶﻛ yang tadinya ditulis tanpa huruf ’ ’—sehingga bentuk

penulisannya ﺖـﻨﹶﻛ, semuanya disempurnakan dengan menambahkan huruf ’ﺍ’ setelah huruf ’ ﻙ’ (kaf), sehingga bentuk penulisannya menjadi ﺖﻧﺎﹶﻛ. Begitu pula kata ﺖﻟﺎﹶﻗ yang sebelumnya ditulis ﺖـﻠﹶﻗ kemudian ditambahkan huruf ’ﺍ’ (alif) setelah huruf ’ﻕ’ (qaf), sehingga bentuk penulisannya menjadi 137 ﺖﻟﺎﹶﻗ.

Mencermati keterangan-keterangan di atas, bisa diambil pemahaman bahwa menemukan secara pasti tokoh yang merumuskan kaedah penulisan dengan mushaf al-Qur'an dengan titik dan syakl adalah pekerjaan sulit. Terlalu banyak riwayat yang memberi informasi mengenai penggagas sistem titik dan syakl, dengan argumen

masing. Namun dari sini bisa diambil benang merah, bahwa proses untuk mencapai kesempurnaan sistem penulisan mushaf al-Qur'an (dan dengan demikian juga berarti kesempurnaan sistem tulisan Arab) adalah hasil kerja keras (ijtihad) dan jasa dari beberapa generasi terbaik umat Islam, yang antara satu dengan lainnya saling melengkap dan menyempurnakan. Dan, yang pasti, semua itu terjadi tidak lain adalah dalam kerangka untuk mengambil, memahami, dan mempertahankan kitâbullâh, al- Qur'an al-Karîm. Artinya, tanpa al-Qur'an belum tentu proses kesempurnaan tulisan Arab akan terjadi secepat itu, atau, bahkan tidak akan terjadi sama sekali.

Daftar nama tokoh dan kontribunsinya dalam

137 Ibn Abî Dâwud, al-Mashâhif, hlm. 117. Lihat juga Al-Shâlih, Mabâhits, hlm. 90-91.

merumuskan sistem penulisan mushaf al-Qur'an dengan titik dan :

01 ’Utsman bin ’Affân Menginspirasi pentingnya (memerintah 644-656 M)

menyempurnakan sistem penulisan al- Qur'an.

02 Abû al-Aswad al-Du'ali Merumuskan kaidah tatabahasa Arab, (m. 69 H)

yang kemudian menginspirasi sistem titik dan syakl

03 ’Ubaidillah bin Ziyâd Menugasi seorang Persia merumuskan (m. 67 H)

sistem mâd (tanda berbunyi panjang). 04 al-Hajjâj bin Yûsuf al-Tsaqafi

Melakukan perbaikan penulisan al- (m. 95 H).

Qur'an di sebelas tempat. Mengawal secara ketat proses pemberian tanda baca .

05 Yahya bin Ya’mar Memberikan tanda baca titik dan syakl (m. 129 H).

pada mushaf di Kota Muruw. 06 Nashr bin ’Âshim al-Laitsi

Murid dan penerus Abu al-Aswad al- (m. 89 H)

Du'ali dan Yahyâ bin Ya’mâr 07 al-Khalîl (m. 175 H)

Sastrawan dan pakar bahasa Arab. Menyusun titik-titik yang kemudian dibentuk menjadi gambar untuk menghias buku, merumuskan tanda baca hamzah, tasydid, raum, dan isymam.

08 Abû Hâtim al-Sajistâni Pakar bahasa Arab tersohor. Menulis (m. 248 H)

buku tentang tanda baca titik dan syakl bagi al-Qur'an, yang dengan demikian menandai kesempurnaan sistem/cara penulisan mushaf al-Qur'an.

: Al-Shâlih (

), Al-Zarkasyi (

), Al-Faruqi (

), Al-Zarqani ( ), Ma'rifat (

) Al-Suyûthi (

Paragraf-paragraf di atas menunjukkan, tradisi literasi Arab sudah dimulai sejak pertama gerakan penulisan mushaf al-Qur'an dicanangkan Rasulullah, ketika pertama kali wahyu turun. Kemudian lebih kentara lagi dengan terbitnya beberapa mushaf al- Qur'an tulisan tangan—dengan beberapa kali perbaikan bentuk dan keindahannya. Sampai akhirnya, untuk pertama kalinya al-Qur'an dicetak di Kota Bunduqiyyah

(Venisia, Itali Utara) sekitar tahun 1530 M. 138

138 Al-Shâlih, Mabâhits, hlm. 99-100.

Apa yang bisa diambil pelajaran dari proses panjang menuju kesempurnaan sistem penulisan mushaf al-Qur'an ini? Tentu, banyak sekali. Tetapi, yang menarik, ternyata di antara rintangan itu juga datang dari internal komunitas muslim sendiri. Mengapa? Pasalnya, hingga akhir abad ketiga Hijriyah para ulama belum mencapai kata sepakat mengenai penggunaan tanda titik. Sejak awal, sahabat Nabi terkemuka, ‘ Abdullâh bin Mas’ûd, misalnya, dengan nada sangat keras mengatakan: ﻻ ﻭ ﻥﺁﺮﻘﻟﺍ ﺍﻭﺩﺮﺟ

ﺀﻲﺸـﺑ ﻩﻮـﻄﻠﲣ (Murnikanlah al-Qur'an, jangan campuri dengan apa pun). 139 Penolakan yang sama juga dilakukan sebagian kalangan tabi’in. Kalangan ini bahkan melarang

memberi wewangian pada lembaran-lembaran mushaf. 140 Namun, kelak kita menyaksikan pada zaman berikutnya, betapa banyak umat

Islam yang menyukai dan membutuhkan sesuatu yang tadinya ditolak dan ditentang para pendahulunya, yaitu penggunaan sistem tanda titik dan syakl dalam menulis mushaf al-Qur'an. Meski secara jelas kedua generasi ini beda sikap (yang satu menolak, yang lainnya membutuhkan sistem titik dalam penulisan mushaf), namun

keduanya sebenarnya bertemu pada muara yang sama, yaitu ingin menjaga kemurnian nash al-Qur'an. Bedanya, generasi awal melakukan dengan cara membebaskan nash al-Qur'an dari hal-hal baru, termasuk sistem titik, sementara generasi berikutnya melakukan dengan menyempurnakan sistem penulisan mushaf (dan dengan demikian memasukkan sistem-sistem baru), agar kaum muslimin terhindar dari kesalahan yang bisa menyebabkan tercederainya nash al-Qur'an. Kalau demikian, bukankah dua generasi ini satu tujuan?

Paragraf-paragraf di atas mengandung kesimpulan, bahwa karena kebutuhan untuk memahami bacaan al-Qur'an telah memberi inspirasi dan mendorong berbagai kalangan umat Islam untuk menciptakan metode titik dan syakl dalam sisten tulisan Arab. Penemuan ini juga berarti telah ada upaya untuk menyempurnakan dan

Lihat Al-Suyûthi, al-Itqân, juz 2, hlm. 341. Baca juga Al-Dânî, al-Muhkam fî Naqth al- Mashâhif, hlm. 10.

140 Riwayat dari Mujahid, dalam Al-Dânî, al-Muhkam fî Naqth al-Mashâhif, hlm. 10. Baca juga Al-Shâlih, Mabâhits, hlm. 97.

mencipta sistem dan tradisi tulisan Arab, yang belaum ada sebelumnya. Satu sistem telah diciptakan kaum muslim untuk kemudahan memahami al-Qur'an, yang berarti juga untuk kemajuan umat Islam dalam arti luas.